Mengari: Seni Tradisional Berburu dan Kearifan Lokal yang Terlupakan

Di jantung kepulauan Nusantara, tersembunyi sebuah tradisi kuno yang melampaui sekadar aktivitas mencari nafkah. Tradisi ini dikenal sebagai Mengari. Kata ‘mengari’ sendiri, meskipun variatif dalam dialek dan konteksnya di berbagai suku, secara esensial merujuk pada seni menangkap atau berburu dengan cara yang halus, terencana, dan penuh perhitungan, seringkali menggunakan perangkap atau jerat tradisional. Mengari bukan hanya tentang mendapatkan hasil; ia adalah sebuah sistem pengetahuan ekologis yang kompleks, etika lingkungan yang ketat, serta manifestasi mendalam dari hubungan timbal balik antara manusia dan alam.

Tulisan ini mengajak pembaca menelusuri kedalaman makna Mengari, dari filosofi konservasi yang tersirat di dalamnya hingga detail-detail praktis mengenai teknik pembuatan jerat dan pemahaman terhadap perilaku fauna. Melalui lensa tradisi ini, kita akan memahami bagaimana masyarakat adat telah mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam mereka selama bergenerasi, sebuah pelajaran yang sangat relevan di tengah tantangan krisis ekologi modern.

I. Definisi dan Landasan Filosofis Mengari

A. Mengari sebagai Siklus Kehidupan, Bukan Eksploitasi

Secara linguistik, ‘mengari’ seringkali dikaitkan dengan proses pengamatan yang cermat sebelum mengambil tindakan. Ia melibatkan pemetaan mental terhadap wilayah jelajah, memahami jalur migrasi hewan, dan membaca tanda-tanda kecil yang ditinggalkan alam—seperti patahan ranting, jejak kaki yang samar, atau perubahan pola angin. Filosofi utama Mengari adalah prinsip ‘Sekadar Cukup’ atau ‘Ambil Seperlunya’. Hal ini bertentangan dengan konsep berburu modern yang didorong oleh komersialitas atau rekreasi semata.

Bagi para pengari tradisional, keberhasilan bukan diukur dari kuantitas tangkapan, melainkan dari presisi dan minimnya kerusakan yang ditimbulkan pada ekosistem. Ada keyakinan kuat bahwa setiap hewan yang ditangkap adalah pemberian dari roh penjaga hutan atau sungai, dan hadiah tersebut harus diterima dengan rasa syukur serta tanggung jawab. Jika seorang pengari mengambil lebih dari yang dibutuhkan keluarganya, ia dianggap melanggar keseimbangan kosmis, dan diyakini akan menghadapi kesialan pada upaya Mengari berikutnya.

Prinsip etis ini diwujudkan dalam berbagai ritual pra-Mengari, seperti permohonan izin kepada Penunggu Rimba (penjaga hutan) atau pelaksanaan puasa singkat sebelum masuk ke wilayah perburuan. Ritual ini berfungsi ganda: sebagai pengingat spiritual akan keterbatasan manusia dan sebagai kontrol sosial yang memastikan tidak ada individu yang serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam komunal.

B. Konsep Keseimbangan (Harmoni Tiga Dunia)

Dalam pandangan kosmologi adat, Mengari adalah jembatan yang menghubungkan Tiga Dunia: Dunia Atas (roh dan dewa), Dunia Tengah (manusia dan komunitas), dan Dunia Bawah (fauna, flora, dan unsur tanah). Ketika seorang pengari memasuki hutan, ia tidak hanya berinteraksi dengan Dunia Bawah secara fisik, tetapi juga harus menghormati Dunia Atas untuk memastikan keberlangsungan siklus ini. Setiap bahan yang digunakan untuk membuat jerat, mulai dari tali ijuk hingga umpan pakan, harus diambil dengan izin, memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya ini tidak menyebabkan kepunahan lokal.

Keseimbangan ini juga termanifestasi dalam larangan-larangan praktis. Misalnya, larangan menangkap hewan pada musim kawin atau saat hewan tersebut sedang membawa anak. Larangan ini, yang mungkin terlihat seperti takhayul, sebenarnya adalah regulasi konservasi yang sangat efektif. Pelanggaran terhadap larangan ini seringkali dikenakan sanksi adat yang berat, menggarisbawahi betapa tingginya nilai konservasi dalam praktik Mengari.

Representasi Simbolis Mengari Ilustrasi simbolis yang menunjukkan seorang pengari tradisional yang menyatu dengan alam, diapit oleh representasi air dan hutan. Mengari: Keseimbangan & Presisi
Figur 1: Mengari melambangkan kesabaran dan pengetahuan yang mengikat manusia dengan lingkungan hutan dan air.

II. Anatomie Teknik Mengari: Peralatan dan Metodologi

Mengari adalah sinonim dengan penggunaan alat tangkap pasif. Alat tangkap pasif memerlukan pemahaman ekologis yang mendalam mengenai sasaran, karena keberhasilannya sangat bergantung pada penempatan yang sempurna, bukan pada kekuatan fisik atau kecepatan. Peralatan Mengari terbagi menjadi dua kategori besar: jerat darat (untuk mamalia kecil, burung) dan bubu/jaring (untuk ikan dan satwa air).

A. Seni Merangkai Jerat Darat (Simal)

Jerat darat, atau yang dalam beberapa wilayah disebut Simal atau Rantik, dibuat dari bahan-bahan organik yang mudah didapatkan dan terurai. Ini adalah kunci konservasi: jika jerat hilang, ia tidak akan menjadi sampah yang merusak lingkungan dalam jangka panjang.

1. Jerat Tali Ijuk (Simpul Hidup)

Jerat ini adalah yang paling umum digunakan untuk menangkap burung hutan, ayam hutan, hingga kancil. Bahan dasarnya adalah serat ijuk dari pohon enau atau serat rotan muda yang kuat. Pembuatannya sangat detail dan memakan waktu. Tali harus diolah sedemikian rupa agar tidak berbau kimia atau berbau manusia, sehingga tidak mencurigakan bagi satwa target. Proses perendaman dalam lumpur atau daun tertentu sering dilakukan untuk menghilangkan bau dan memberinya warna kamuflase alami.

Penempatan jerat ijuk memerlukan pengamatan terhadap lintasan (jalur tetap yang dilewati hewan). Pengari harus mampu membedakan lintasan yang digunakan untuk mencari makan, lintasan menuju sumber air, dan lintasan yang digunakan untuk melarikan diri. Jerat dipasang pada ketinggian yang tepat—tidak terlalu tinggi hingga satwa bisa melompatinya, dan tidak terlalu rendah hingga terinjak tanpa terlilit.

Kedalaman analisis penempatan ini meluas hingga ke pemahaman tentang topografi mikro. Misalnya, jerat untuk rusa sering dipasang di celah sempit antara dua bongkahan batu atau di bawah ranting yang tumbang, memaksa rusa meletakkan kakinya tepat di posisi simpul. Detail ini memastikan bahwa efektivitas penangkapan tinggi, sehingga jumlah jerat yang harus dipasang minim, mengurangi potensi tangkapan yang tidak perlu.

2. Pemasangan Jebakan Lubang (Pelumpuk)

Untuk satwa yang lebih besar namun tidak terlalu agresif, seperti babi hutan muda (di beberapa tradisi yang mengizinkannya) atau tapir, metode Pelumpuk (lubang jebakan) digunakan. Pelumpuk bukanlah lubang terbuka yang mencolok, melainkan jebakan yang ditutup dengan ranting dan dedaunan yang disusun menyerupai permukaan tanah asli. Proses kamuflase adalah tahap paling penting dan harus dilakukan tanpa meninggalkan jejak kaki atau bau yang ditinggalkan manusia di sekitar area jebakan.

Yang membedakan Pelumpuk dalam Mengari tradisional adalah adanya ‘katup pengaman’ ekologis. Misalnya, di beberapa komunitas, Pelumpuk didesain agar hanya satwa dengan bobot tertentu yang dapat memicu jebakan. Hal ini memastikan bahwa anak-anak satwa atau spesies yang sangat langka yang kebetulan lewat tidak tertangkap. Pengetahuan tentang struktur tanah, kelembaban, dan komposisi vegetasi lokal menjadi modal utama keberhasilan metode ini. Pelumpuk hanya efektif jika pengari tahu persis kapan dan di mana satwa target akan melakukan perjalanan rutinnya—sebuah pengetahuan yang membutuhkan pengamatan musiman selama bertahun-tahun.

B. Menangkap di Perairan: Bubu dan Jaring Pukat Mini

Mengari juga merambah ke perairan, baik sungai, danau, maupun pesisir. Di sini, kearifan lokal berfokus pada memahami arus, kedalaman air, dan siklus perkembangbiakan ikan.

1. Bubu Bambu (Perangkap Berongga)

Bubu adalah perangkap berbentuk kerucut atau tabung yang dibuat dari anyaman bambu atau rotan. Prinsip bubu sangat sederhana: ikan masuk melalui corong yang mengecil dan tidak bisa berbalik arah. Namun, kesederhanaan alat ini menutupi kompleksitas penempatannya.

Pengari harus menghitung kecepatan arus dan posisi tepat di mana pusaran air (wir) terbentuk atau di mana air tenang bertemu air deras. Bubu harus ditenggelamkan dengan pemberat alami (batu sungai) dan diposisikan agar mulutnya menghadap arah datangnya arus utama—kecuali untuk jenis ikan tertentu yang berenang melawan arus. Lebih lanjut, waktu pemasangan bubu disesuaikan dengan fase bulan. Banyak komunitas percaya bahwa penangkapan ikan paling efisien terjadi saat bulan purnama atau bulan baru, karena perubahan cahaya memengaruhi perilaku makan dan pergerakan ikan di dasar sungai.

2. Jaring Tangan dan Jala (Jaring Kecil)

Penggunaan jaring dalam Mengari sangat berbeda dari penangkapan ikan komersial modern. Jaring yang digunakan adalah jaring kecil (jala lempar atau pukat tangan mini) yang hanya digunakan di area terbatas dan selektif. Yang terpenting adalah ukuran mata jaring (mesh size). Secara tradisional, mata jaring dibuat besar untuk memastikan ikan-ikan kecil (benih) dapat lolos dan melanjutkan siklus hidup mereka. Ini adalah regulasi tangkap lestari yang terinternalisasi secara turun-temurun.

Filosofi di balik jaring kecil adalah selektivitas. Jaring besar yang menyapu seluruh populasi dianggap sebagai tindakan tamak. Jala tangan memaksa pengari untuk bergerak perlahan, hanya menargetkan spot yang padat ikan dewasa, dan menariknya dengan cepat tanpa merusak habitat di dasar sungai atau terumbu karang (jika di pesisir).

III. Pengetahuan Ekologis Mendalam: Membaca Bahasa Alam

Inti dari Mengari bukanlah alat, melainkan pengetahuan. Seorang pengari sejati adalah seorang etnobotanis, ahli zoologi, dan meteorolog yang handal. Mereka harus memahami bahasa alam, yang seringkali diungkapkan melalui isyarat-isyarat halus yang tak terlihat oleh mata orang awam.

A. Penguasaan Topografi dan Mikroklimat

Setiap bukit, cekungan, dan kelompok pepohonan memiliki karakteristiknya sendiri yang memengaruhi pergerakan satwa. Pengari harus mengetahui: di mana titik terdingin hutan pada malam hari (tempat satwa mencari perlindungan), di mana jalur air menghilang selama musim kemarau, dan di mana jenis jamur tertentu tumbuh (yang seringkali menjadi makanan utama satwa herbivora).

Pengetahuan ini terkait erat dengan Arah Angin. Satwa liar memiliki indra penciuman yang tajam, dan jika seorang pengari mendekati wilayah perburuan dengan angin berhembus dari arah dirinya menuju satwa, seluruh upaya Mengari akan sia-sia. Pengari selalu bergerak melawan arah angin, atau menggunakan topografi (seperti lembah atau punggung bukit) untuk menahan hembusan angin yang membawa bau manusia.

Pemahaman mikroklimat juga mencakup prediksi cuaca jangka pendek. Sebelum hujan deras, satwa seringkali bergerak mencari tempat berlindung lebih cepat, yang bisa menjadi waktu ideal untuk memasang jerat di jalur-jalur yang jarang digunakan. Sebaliknya, saat cuaca panas terik, fokus Mengari beralih ke sumber air atau lumpur.

B. Interpretasi Jejak dan Suara Satwa

Kemampuan untuk membaca jejak jauh lebih rumit daripada hanya mengidentifikasi jenis kaki. Seorang pengari yang ulung dapat menentukan:

Selain jejak, suara adalah panduan vital. Suara panggilan burung tertentu menandakan adanya predator di dekatnya. Desis ular, gemerisik daun yang tidak wajar, atau bahkan keheningan yang tiba-tiba—semua adalah sinyal yang harus diinterpretasikan dengan cepat. Pengetahuan ini diturunkan melalui lisan dan memerlukan latihan intensif sejak usia dini, seringkali melalui permainan imitasi di alam terbuka.

Simbol Jerat dan Kearifan Hutan Sebuah penggambaran jerat tradisional (simal) dengan latar belakang vegetasi yang lebat, melambangkan keahlian memanfaatkan sumber daya alam secara minimalis. Presisi Penempatan Jerat
Figur 2: Desain jerat tradisional (Simal) menunjukkan presisi dan penggunaan bahan yang terbarukan.

IV. Mengari dalam Konteks Komunal dan Ritual Adat

Mengari bukanlah praktik individualis. Ia adalah inti dari ketahanan pangan dan struktur sosial banyak komunitas adat di Indonesia. Pembagian hasil Mengari, ritual sebelum dan sesudah Mengari, serta peran pengari dalam hierarki masyarakat, semuanya terintegrasi dalam sistem adat yang kokoh.

A. Sistem Pembagian Hasil (Bagi Rata)

Setelah Mengari berhasil, hasil tangkapan, terutama satwa besar, tidak pernah dikonsumsi sendiri. Terdapat sistem pembagian yang ketat, seringkali diatur oleh tetua adat atau kepala komunitas. Sistem ini memastikan bahwa bahkan anggota masyarakat yang tidak mampu berburu atau sedang sakit pun tetap mendapatkan bagian protein yang dibutuhkan.

Pembagian ini juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial terhadap keserakahan. Individu yang menangkap terlalu banyak (melampaui kebutuhan komunal) akan dicurigai melanggar etika Mengari, dan hasil tangkapannya mungkin akan disita atau dibagikan ke seluruh kampung sebagai bentuk denda moral. Hal ini menciptakan rasa kepemilikan bersama terhadap sumber daya hutan, mengurangi persaingan antar individu, dan memperkuat solidaritas.

Dalam banyak tradisi, bagian terbaik dari tangkapan (misalnya hati atau kepala) harus dipersembahkan kepada tetua atau dibiarkan di tempat khusus sebagai persembahan balik kepada roh penjaga, menegaskan kembali janji untuk tidak mengeksploitasi alam.

B. Tradisi Larangan dan Pantangan (Pali atau Pemali)

Pantangan (Pali atau Pemali) adalah hukum tak tertulis yang mengatur Mengari. Pantangan ini sangat spesifik dan seringkali ditujukan untuk konservasi populasi. Beberapa contoh Pemali yang lazim ditemukan:

Kepatuhan terhadap Pemali ini ditanamkan melalui cerita rakyat dan mitos yang menakutkan tentang hukuman yang akan diterima oleh pelanggar, misalnya dihantui roh satwa yang mati sia-sia atau mengalami kegagalan panen. Ketakutan spiritual ini adalah penegak hukum lingkungan yang paling efektif.

V. Mengari sebagai Ilmu Pengetahuan Etnobiologi

Pengetahuan yang terkandung dalam Mengari melahirkan sebuah cabang ilmu etnobiologi yang tak tertulis. Ini adalah pengetahuan tentang kapan, mengapa, dan bagaimana satwa berperilaku, yang telah teruji selama ribuan tahun.

A. Penggunaan Umpan Alami dan Feromon

Teknik Mengari yang paling canggih melibatkan pemanfaatan umpan yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik satwa pada waktu tertentu. Ini jauh melampaui penggunaan buah biasa.

1. Memahami Preferensi Makanan Musiman

Seorang pengari harus tahu bahwa satwa yang sama akan memakan buah yang berbeda di musim hujan dibandingkan di musim kemarau. Mereka harus mengidentifikasi pohon-pohon pakan kunci dan memanen buahnya pada tingkat kematangan yang tepat untuk digunakan sebagai umpan. Pengetahuan ini memerlukan katalog mental ratusan spesies tumbuhan dan siklus berbuahnya.

2. Peniruan Panggilan dan Bau (Mimikri Ekologis)

Dalam Mengari burung, penggunaan peniruan panggilan (mimikri vokal) adalah teknik standar. Beberapa pengari bahkan mampu membuat seruling bambu khusus yang menghasilkan frekuensi suara identik dengan panggilan betina. Selain suara, bau juga dimanfaatkan. Pengari bisa menggunakan ekskresi atau aroma khas dari satwa sejenis untuk menarik target ke area jerat. Misalnya, menggunakan urin atau kelenjar aroma satwa predator untuk memancing rasa ingin tahu satwa mangsa ke lokasi yang tidak terduga.

B. Pengetahuan tentang Waktu Tidur dan Siklus Harian

Keberhasilan Mengari bergantung pada intervensi minimal. Ini berarti beroperasi saat satwa paling rentan, yaitu saat mereka tidur atau saat mereka dalam transisi antara tidur dan mencari makan.

Setiap satwa memiliki ritme sirkadian yang berbeda. Kucing hutan aktif di malam hari, tetapi cenderung beristirahat pada jam-jam paling panas di siang hari di tempat yang teduh. Babi hutan memiliki pola makan dan mandi lumpur yang sangat teratur. Pengari tahu persis jendela waktu kritis ini dan menempatkan jerat beberapa jam sebelum periode aktivitas puncak, memastikan bahwa intervensi manusia sekecil mungkin, dan jerat berfungsi sebagai bagian alami dari jalur satwa tersebut.

VI. Tantangan Kontemporer dan Masa Depan Mengari

Meskipun Mengari adalah gudang pengetahuan konservasi, tradisi ini menghadapi ancaman serius di era modern, mulai dari degradasi lingkungan hingga stigma modernitas.

A. Degradasi Habitat dan Konflik Manusia-Satwa

Deforestasi masif, konversi lahan hutan menjadi perkebunan monokultur, dan fragmentasi habitat telah menghancurkan lintasan tradisional yang digunakan para pengari. Satwa kehilangan jalur migrasi mereka, populasi menyusut, dan pengetahuan Mengari yang diturunkan berdasarkan topografi stabil menjadi usang.

Di wilayah yang terfragmentasi, Mengari yang dulunya lestari kini menjadi praktik yang semakin sulit dan berisiko. Ironisnya, karena satwa terpaksa memasuki wilayah pertanian atau pemukiman, praktik penangkapan yang dilakukan masyarakat modern seringkali bersifat destruktif (menggunakan racun atau listrik) untuk melindungi hasil panen, bukan lagi berdasarkan etika Mengari yang berkelanjutan.

B. Kepunahan Pengetahuan (Etnosida)

Ancaman terbesar bagi Mengari adalah kepunahan pengetahuan itu sendiri (etnosida). Generasi muda kini lebih tertarik pada pekerjaan perkotaan atau profesi berbasis komersial, menjauhi kerasnya kehidupan di hutan dan sungai. Rantai transmisi pengetahuan yang dulunya berlangsung dari kakek ke cucu melalui magang yang intensif kini terputus.

Banyak bahasa daerah kehilangan istilah spesifik untuk jenis jerat, jenis tumbuhan umpan, atau nama-nama lokal untuk satwa langka. Ketika bahasa hilang, kategori kearifan ekologis yang rumit ini juga ikut hilang. Upaya dokumentasi yang dilakukan oleh antropolog seringkali tidak memadai untuk menangkap kedalaman praktis dan spiritual dari tradisi ini.

C. Rekontekstualisasi Mengari untuk Konservasi Modern

Solusi untuk melestarikan Mengari bukan hanya dengan membekukannya sebagai artefak sejarah, melainkan dengan merekontekstualisasikannya menjadi alat konservasi modern.

Pengetahuan tentang lintasan satwa, musim kawin lokal, dan teknik penangkapan yang tidak mematikan (non-lethal trapping) sangat berharga bagi ilmu biologi konservasi. Misalnya, teknik membuat jerat Simpul Hidup yang minim cedera dapat dimodifikasi dan digunakan oleh peneliti untuk menangkap satwa guna keperluan pemasangan GPS atau penelitian kesehatan tanpa menyakiti satwa tersebut.

Selain itu, etika Mengari—yaitu prinsip 'Sekadar Cukup' dan 'Hormat kepada Penunggu Rimba'—dapat diajarkan sebagai landasan etika lingkungan di sekolah-sekolah dan program ekowisata. Dengan demikian, Mengari berubah dari sekadar praktik berburu menjadi sebuah kerangka kerja filosofis untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan lingkungan tropis.

VII. Mengari: Kesabaran, Refleksi, dan Warisan Budaya

Jauh di balik aspek teknisnya, Mengari adalah meditasi yang bergerak, sebuah latihan kesabaran dan refleksi diri. Seorang pengari menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, dalam keheningan, menunggu tanpa kepastian. Proses menunggu ini menumbuhkan kesabaran yang luar biasa (ketenangan jiwa) dan kemampuan untuk membaca keadaan emosional diri sendiri seiring dengan perubahan alam.

Warisan terpenting dari Mengari bukanlah daftar alat tangkap, melainkan filosofi bahwa kehidupan manusia terikat erat dengan keberlangsungan makhluk lain. Keberlanjutan bukan hanya pilihan, melainkan keharusan spiritual.

Mengari mengajarkan bahwa pengetahuan sejati berasal dari pengamatan yang mendalam dan empati terhadap dunia di sekitar kita. Di tengah derasnya arus modernisasi dan tuntutan eksploitasi yang tak terbatas, suara tradisi Mengari menjadi pengingat yang mendesak: untuk mengambil hanya yang diperlukan, untuk menghormati setiap jejak kehidupan, dan untuk memastikan bahwa hutan, sungai, dan isinya tetap lestari bagi generasi mendatang, sebagaimana telah diwariskan kepada kita.

Penghayatan terhadap seni Mengari adalah langkah penting dalam membangun kembali hubungan yang rusak antara manusia dan biosfer. Mengari bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah peta jalan menuju masa depan ekologis yang lebih bijaksana di Nusantara.


Eksplorasi Mendalam Bagian Tambahan: Mikro-Ekologi Mengari

Untuk memahami kedalaman Mengari, kita harus melihat bagaimana tradisi ini menyentuh mikro-ekologi di setiap lapisan hutan. Ini bukan hanya tentang menangkap hewan besar, tetapi juga memahami rantai makanan yang sangat halus. Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana pengari memilih lokasi untuk jerat burung pemakan biji-bijian. Mereka tidak hanya melihat di mana biji-bijian tumbuh, tetapi juga menganalisis ketersediaan air minum terdekat dan apakah lokasi tersebut dilindungi dari predator udara (elang atau rajawali). Detail ini menunjukkan pemikiran tiga dimensi yang kompleks—mempertimbangkan makanan, air, dan keamanan secara simultan.

Penggunaan lumpur dalam Mengari seringkali diabaikan dalam analisis modern, tetapi lumpur memegang peran penting. Lumpur dari lokasi tertentu dipercaya memiliki sifat penetralisir bau manusia yang paling efektif. Lumpur yang diambil dari tepi sungai yang dialiri air belerang, misalnya, dapat digunakan untuk melapisi tali jerat agar baunya menyatu dengan lingkungan, menipu indra satwa yang sangat peka. Proses pengambilan lumpur ini juga merupakan ritual tersendiri, di mana pengari harus mengucapkan mantra pendek untuk "meminjam" kekuatan bumi, memastikan bahwa bahan alami tersebut berfungsi maksimal.

Lebih lanjut, dalam konteks Mengari ikan di sungai, pemahaman tentang sedimen dasar sungai adalah krusial. Ikan-ikan tertentu, seperti ikan lele atau beberapa jenis ikan mas, cenderung bersembunyi atau mencari makan di dasar berlumpur atau berkerikil. Pengari harus mampu membedakan jenis dasar sungai hanya dari arus air di permukaan. Jika arus menciptakan riak-riak tertentu, itu mungkin menunjukkan adanya bongkahan batu di bawahnya; jika air mengalir lambat dan tenang, itu mungkin menunjukkan dasar sungai yang dalam dan berlumpur. Penempatan bubu (perangkap bambu) harus disesuaikan dengan jenis dasar ini. Bubu di dasar berlumpur memerlukan pemberat yang lebih ringan dan harus diangkat secara horizontal agar tidak mengganggu sedimen dan menakut-nakuti ikan lain di sekitarnya.

Aspek lain yang sangat mendalam adalah pengetahuan tentang tanah garam atau lumpur mineral (salting lick). Satwa herbivora membutuhkan mineral dari tanah, terutama di musim tertentu. Pengari tahu persis lokasi tanah garam ini dan kapan waktu puncaknya didatangi satwa. Jerat dilarang keras dipasang di pusat tanah garam, karena ini adalah titik temu satwa dan merupakan sumber kehidupan. Sebaliknya, jerat akan ditempatkan jauh di jalur menuju tanah garam, memastikan bahwa satwa yang tertangkap adalah individu yang sedang dalam perjalanan rutin, bukan yang sedang menikmati kebutuhan biologis vital mereka. Hal ini menunjukkan penghormatan terhadap kebutuhan dasar satwa.

Kesabaran yang dipraktikkan dalam Mengari juga termanifestasi dalam pengawasan jerat. Berbeda dengan pemburu modern yang mungkin meninggalkan perangkap selama berminggu-minggu, pengari tradisional diwajibkan oleh etika adat untuk memeriksa jerat mereka setidaknya sekali dalam 24 jam. Ini adalah prinsip etis untuk meminimalkan penderitaan satwa. Satwa yang tertangkap harus segera ditangani dan dimanfaatkan, tidak dibiarkan menderita atau dimakan predator lain. Kegagalan mematuhi aturan pengawasan ini dianggap sebagai perbuatan lalai yang melanggar janji kepada alam.

Pengalaman kognitif seorang pengari adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka harus memegang peta temporal dan spasial yang kompleks di benak mereka. Mereka tahu: di lembah mana babi hutan melahirkan, di pohon mana burung enggang bersarang, kapan musim buah tertentu berlimpah, dan kapan sungai akan meluap. Semua informasi ini terjalin dalam narasi lisan dan pantun yang diwariskan, menjadikannya lebih mudah diingat dan diterapkan di lapangan. Hilangnya narasi ini sama dengan hilangnya ribuan tahun data ekologis terperinci.

Lebih jauh lagi, Mengari seringkali melibatkan pemahaman terhadap mikro-habitat. Misalnya, di kawasan rawa gambut, satwa kecil seperti tikus atau beberapa jenis reptil cenderung bergerak melalui gundukan-gundukan kecil tanah yang lebih kering. Jerat yang dipasang harus sangat kecil dan hanya menargetkan gundukan ini. Pengetahuan ini memerlukan pembedaan antara gundukan yang terbentuk oleh akar pohon yang kuat (yang tidak bergerak) dan gundukan yang dibentuk oleh aktivitas satwa (yang merupakan jalur aktif). Keterampilan ini, yang disebut membaca kontur mikroskopis, adalah tanda seorang pengari yang telah mencapai tingkat keahlian tertinggi.

Pengaruh Mengari terhadap lanskap budaya juga sangat signifikan. Di banyak suku, inisiasi menjadi seorang laki-laki dewasa seringkali dihubungkan dengan keberhasilan melaksanakan Mengari pertamanya secara mandiri dan etis. Kesuksesan ini tidak hanya diukur dari tangkapan, tetapi dari kemampuannya untuk kembali tanpa merusak hutan, dan kemampuannya untuk berbagi hasil tangkapan tersebut. Ini menjadikan Mengari sebagai pendidikan moral dan tanggung jawab sosial, jauh melampaui fungsi ekonominya semata. Kehilangan Mengari berarti kehilangan salah satu pilar pendidikan karakter berbasis alam di masyarakat adat.

Salah satu teknik paling langka dalam Mengari adalah penggunaan "Pintu Angin." Ini adalah teknik menempatkan jerat di celah-celah tebing atau di antara pepohonan besar yang dikenal sebagai jalur hembusan angin yang konstan. Satwa yang sedang mencari makanan atau berlindung seringkali mengikuti jalur angin karena bau manusia sulit tercium di sana. Seorang pengari yang memahami Pintu Angin akan menempatkan jeratnya sedikit di luar jalur angin utama, memaksa satwa untuk sedikit berbelok, tepat ke dalam perangkap yang tersembunyi. Keahlian ini membutuhkan perhitungan aerodinamika alami, yang merupakan puncak dari pengetahuan tradisional.

Diskusi tentang Mengari harus selalu kembali pada etika konservasi yang melekat: Tidak ada yang boleh disia-siakan. Jika satwa tertangkap, setiap bagiannya harus dimanfaatkan. Tulang diolah menjadi alat, kulit diubah menjadi pakaian atau wadah, dan sisa-sisa yang tidak termakan dikembalikan ke tanah untuk dimakan oleh mikroorganisme dan serangga. Siklus pemanfaatan ini memastikan bahwa kematian satwa adalah bagian dari rantai makanan yang berkelanjutan, bukan sekadar pemenuhan nafsu sesaat. Prinsip nol-limbah (zero waste) ini adalah model ekologis yang ideal untuk diterapkan pada masyarakat global saat ini.

Pengari juga seringkali menjadi penjaga sejarah lisan wilayah mereka. Mereka adalah orang yang paling tahu tentang sejarah geologi dan perubahan lingkungan karena mereka telah memantau lanskap yang sama selama puluhan tahun. Mereka dapat menceritakan kapan sungai berpindah alur, kapan pohon raksasa tumbang, atau kapan populasi spesies tertentu menghilang karena faktor alam. Pengetahuan ini adalah basis data historis yang tak ternilai bagi upaya restorasi ekosistem. Tanpa para pengari ini, data lingkungan masa lalu akan hilang selamanya, menyulitkan kita memahami bagaimana alam berfungsi sebelum intervensi modern.

Dalam Mengari, terdapat juga konsep tentang "Mengari Non-Fauna." Ini adalah metafora untuk mencari sumber daya alam non-hewani, seperti madu hutan atau tanaman obat. Proses mencari madu hutan, misalnya, memerlukan kearifan yang sama seperti menjerat. Pengari harus mengidentifikasi pohon sarang, menentukan waktu panen yang tepat (tidak boleh saat musim kawin lebah), dan mengambil madu secukupnya tanpa merusak sarang secara permanen. Mereka harus meninggalkan sebagian madu untuk lebah, memastikan koloni dapat bertahan dan kembali menghasilkan di tahun berikutnya. Kerifan ini menunjukkan bahwa Mengari adalah tentang ekstraksi lestari dari seluruh spektrum sumber daya alam, bukan hanya daging.

Akhir kata, Mengari adalah perwujudan dari Homo Sapiens Sapiens (manusia yang bijaksana) yang hidup dalam keterbatasan yang diatur oleh kesadaran. Dalam dunia yang bergerak cepat, di mana makanan dapat dipesan dengan satu klik, memahami kedalaman tradisi Mengari memberikan perspektif baru tentang nilai makanan, nilai usaha, dan yang paling penting, nilai hormat terhadap lingkungan yang memberi kita hidup.

Keberlanjutan tradisi ini kini bergantung pada pengakuan kita terhadap nilai-nilai konservasi yang tersirat di dalamnya, dan upaya kolektif untuk mendukung komunitas adat agar pengetahuan ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan menjadi mercusuar bagi etika lingkungan di masa depan.

🏠 Kembali ke Homepage