Konsep mengharamkan merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem etika dan hukum yang mengatur perilaku manusia. Dalam konteks syariat, pengharaman merujuk pada penetapan suatu tindakan, objek, atau transaksi sebagai sesuatu yang dilarang secara mutlak, di mana pelanggarnya dikenakan sanksi atau konsekuensi yang telah ditetapkan. Kata kunci ini bukan sekadar larangan biasa; ia membawa dimensi sakral dan kepastian hukum yang tinggi, menetapkannya sebagai batasan yang tidak boleh dilanggar oleh individu maupun masyarakat.
Artikel ini akan mengupas tuntas filosofi di balik proses mengharamkan, menelusuri sumber-sumber otentik yang menjadi landasan penetapannya, serta menganalisis implikasi mendalam dari penerapan batasan-batasan ini dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari konsumsi, interaksi sosial, hingga sistem ekonomi global. Kita akan melihat bagaimana ulama dan ahli hukum bekerja untuk secara cermat mengharamkan praktik-praktik yang berpotensi merusak tatanan sosial dan individu.
Proses mengharamkan suatu perkara tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ia memerlukan otoritas hukum yang kuat dan dalil yang jelas. Dalam tradisi keilmuan, terdapat hierarki sumber yang digunakan untuk menetapkan hukum, termasuk keputusan untuk mengharamkan atau membolehkan (menghalalkan). Kepastian hukum ini sangat penting agar masyarakat memiliki pegangan yang teguh mengenai batasan moral dan sosial.
Al-Qur'an adalah sumber utama dan pertama dalam penetapan hukum. Ketika Al-Qur'an secara eksplisit menggunakan lafaz yang menunjukkan larangan keras (seperti hurrimat atau la taqrabu), maka status hukumnya adalah haram qat'i, yaitu kepastian mutlak yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Contoh klasik dari penetapan Al-Qur'an yang secara langsung mengharamkan adalah larangan terhadap riba (praktik berbunga), meminum khamr (minuman keras), dan memakan bangkai.
Analisis mendalam terhadap dalil Al-Qur'an menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mengharamkan seringkali disertai dengan deskripsi konsekuensi etis atau sosial yang dihindari. Misalnya, pelarangan memakan harta anak yatim (QS. An-Nisa: 10) secara implisit mengharamkan segala bentuk kezaliman finansial. Ketika suatu teks suci secara definitif mengharamkan sesuatu, ruang ijtihad untuk mengubah status hukum tersebut menjadi tertutup. Kepastian ini memberikan fondasi yang sangat stabil bagi etika komunitas. Proses para fuqaha dalam memahami dan mengaplikasikan lafaz mengharamkan dari Al-Qur'an membutuhkan keahlian linguistik yang tinggi untuk memastikan tidak ada kekeliruan interpretasi terhadap kehendak Tuhan.
As-Sunnah (tradisi Nabi) berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an. Sunnah dapat berfungsi dalam tiga cara terkait penetapan hukum: (a) menguatkan apa yang telah diharamkan Al-Qur'an; (b) menjelaskan detail operasional dari larangan yang bersifat umum dalam Al-Qur'an; atau (c) secara independen mengharamkan suatu perkara yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Contoh dari yang ketiga adalah larangan terhadap pernikahan sementara (mut'ah) atau larangan memakan binatang buas tertentu yang memiliki taring.
Otoritas Nabi Muhammad dalam mengharamkan didasarkan pada mandat ilahi. Para ulama memastikan keabsahan hadis (riwayat) sebelum menggunakannya sebagai dasar untuk mengharamkan sesuatu. Ini melibatkan ilmu kritik sanad (rantai perawi) dan matan (isi teks). Jika Sunnah secara jelas mengharamkan, maka hukumnya juga menjadi pasti, meskipun tingkat kepastiannya (Qat'i atau Zhanni) bergantung pada kekuatan riwayat hadis tersebut. Penetapan melalui Sunnah ini menunjukkan fleksibilitas hukum untuk menyesuaikan dengan kebutuhan praktis, namun tetap dalam koridor ilahiah. Upaya mengharamkan melalui Sunnah memerlukan penelitian yang teliti untuk menghindari keraguan (syubhat) dalam penerapannya.
Ketika suatu isu baru muncul yang tidak secara langsung disebutkan dalam Al-Qur'an atau Sunnah, para ulama menggunakan metode Ijma' (konsensus) atau Qiyas (analogi) untuk menentukan status hukumnya, termasuk apakah harus diharamkan.
Keputusan untuk mengharamkan suatu perbuatan tidaklah didasarkan pada pembatasan semata, melainkan didasarkan pada tujuan luhur syariat (Maqasid asy-Syari'ah). Tujuan utama dari semua penetapan hukum, termasuk tindakan mengharamkan, adalah untuk melindungi kepentingan dasar manusia. Para ulama membagi kepentingan ini menjadi lima pilar utama, yang semuanya terancam oleh praktik-praktik yang diharamkan.
Tindakan yang secara langsung diharamkan karena mengancam agama adalah kemurtadan, bid'ah yang merusak akidah, atau praktik-praktik yang mengarah pada penyimpangan keyakinan. Pengharaman di sini memastikan kemurnian ajaran dan melindungi kebebasan beragama yang otentik. Setiap upaya yang dapat merusak fundamental kepercayaan masyarakat secara mutlak akan diharamkan. Ini mencakup mengharamkan segala bentuk sihir atau ramalan yang mengklaim kekuatan ilahi di luar batas yang diizinkan.
Setiap tindakan yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan kematian, cedera, atau bahaya serius bagi jiwa manusia mutlak diharamkan. Ini adalah kategori yang sangat luas dan mencakup: pembunuhan, bunuh diri, penyerangan, dan segala bentuk makanan atau obat yang terbukti mematikan atau merusak kesehatan jangka panjang. Mengharamkan perbuatan ini adalah bentuk perlindungan sosial yang paling dasar. Bahkan tindakan yang berisiko tinggi tanpa alasan yang syar'i, seperti balapan liar atau penggunaan senjata tanpa hak, dapat dianggap sebagai perbuatan yang diancam pengharaman karena melanggar prinsip menjaga jiwa.
Mengharamkan konsumsi zat-zat adiktif dan merusak (rokok dalam pandangan banyak ulama kontemporer, dan narkoba secara universal) didasarkan pada prinsip Hifzh an-Nafs. Kerusakan yang ditimbulkan zat tersebut terhadap fungsi organ tubuh, kualitas hidup, dan potensi umur manusia menjadi *illat* utama bagi penetapan pengharaman ini. Hukum tidak hanya mengharamkan penggunaan, tetapi juga produksi dan perdagangannya, karena ini adalah rantai pasok yang mengancam kehidupan masyarakat luas.
Akal adalah instrumen utama pembeda manusia dan fondasi moralitas serta tanggung jawab. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menghilangkan atau merusak fungsi akal secara serius diharamkan. Yang paling jelas adalah pengharaman khamr (minuman keras) dan obat-obatan terlarang. Mengharamkan konsumsi zat ini bukan sekadar larangan moral, tetapi perlindungan terhadap kemampuan manusia untuk berpikir, membuat keputusan rasional, dan menjalankan fungsinya di masyarakat.
Dalam konteks modern, ulama juga menggunakan prinsip ini untuk mengharamkan konten-konten media atau kegiatan (seperti perjudian masif) yang secara patologis merusak kemampuan kognitif, daya ingat, atau menimbulkan obsesi yang menghilangkan fokus individu dari tanggung jawab primer mereka. Kerusakan akal akibat perbuatan yang diharamkan seringkali dianggap sebagai salah satu kejahatan terberat karena menghilangkan dasar pertanggungjawaban individu.
Pengharaman segala bentuk pergaulan bebas (zina), homoseksualitas, dan praktik-praktik yang mengancam integritas lembaga perkawinan atau garis keturunan (seperti adopsi yang menyamarkan nasab) didasarkan pada prinsip ini. Tujuan utama adalah memastikan bahwa keturunan lahir dalam ikatan yang sah, mendapatkan hak-hak mereka, dan struktur keluarga sebagai unit sosial terkecil tetap utuh. Mengharamkan perzinaan, misalnya, berfungsi sebagai benteng terhadap kekacauan sosial dan penelantaran anak-anak yang tidak jelas statusnya.
Selain itu, mengharamkan fitnah dan tuduhan tak berdasar (qazaf) juga termasuk dalam perlindungan ini, karena tuduhan tersebut merusak reputasi keluarga dan mengancam stabilitas keturunan di masyarakat. Penetapan batasan dalam hubungan interpersonal merupakan salah satu bentuk perlindungan paling ketat yang dilakukan melalui proses mengharamkan.
Prinsip ini adalah dasar untuk mengharamkan segala bentuk transaksi atau perbuatan yang melanggar hak kepemilikan orang lain, seperti mencuri, merampok, korupsi, penipuan (ghishsh), dan yang paling signifikan, riba (bunga/usury). Pengharaman riba adalah salah satu aspek hukum paling rinci dan kompleks, bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang adil, di mana risiko dibagi bersama dan kekayaan tidak hanya berputar di kalangan segelintir orang.
Dalam konteks muamalah kontemporer, ulama berjuang keras untuk mengharamkan instrumen keuangan yang melibatkan gharar (ketidakpastian atau spekulasi berlebihan) atau maysir (perjudian). Proses ijtihad kontemporer untuk mengharamkan atau membolehkan suatu produk keuangan sangat bergantung pada apakah ia melanggar prinsip keadilan dalam kepemilikan harta ini. Mereka yang bertanggung jawab untuk mengharamkan harus memastikan bahwa pengharaman tersebut benar-benar melayani tujuan keadilan ekonomi, bukan sekadar membatasi tanpa alasan yang syar'i.
Ada beberapa perkara yang status mengharamkan-nya bersifat dzatiah (inheren pada zat atau perbuatannya) dan telah disepakati oleh seluruh mazhab hukum. Detail kasus ini menunjukkan sejauh mana hukum bekerja untuk menetapkan batasan demi kemaslahatan umat.
Riba, atau bunga, adalah salah satu perbuatan yang paling keras diharamkan. Dalil-dalilnya bersifat qat'i. Riba secara fundamental diharamkan karena melanggar prinsip Hifzh al-Mal dan memicu ketidakadilan ekonomi. Ulama membagi riba menjadi dua kategori utama, yang keduanya mutlak diharamkan:
Penerapan konsep mengharamkan riba ini telah melahirkan seluruh industri keuangan syariah, di mana produk-produk baru harus melalui proses ketat untuk memastikan tidak ada elemen riba yang tersembunyi. Dewan syariah bekerja terus menerus untuk mengharamkan praktik-praktik keuangan yang menyamar, seperti penjualan hutang atau kontrak derivatif spekulatif yang menyerupai perjudian.
Larangan terhadap khamr (minuman yang memabukkan) adalah larangan bertahap yang puncaknya adalah penetapan mengharamkan secara permanen. Khamr diharamkan karena merusak akal (Hifzh al-'Aql). Aturan mengharamkan ini bersifat universal: tidak peduli kuantitasnya. Prinsipnya, jika banyak dari suatu zat dapat memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Perluasan hukum ini digunakan untuk mengharamkan semua jenis narkotika, zat psikoaktif, dan zat lain yang menghilangkan kesadaran dan fungsi kognitif yang sehat.
Keputusan untuk mengharamkan mencakup tidak hanya meminumnya, tetapi juga memproduksi, menjual, mengangkut, dan menyajikannya. Ini menunjukkan komitmen hukum untuk memberantas sumber kejahatan yang dapat merusak akal individu dan memicu kejahatan sosial lainnya, sehingga memastikan pelestarian tujuan syariah yang vital.
Dalam kategori makanan, babi (khinzir) secara eksplisit diharamkan oleh teks suci. Selain babi, bangkai (binatang yang mati tanpa disembelih sesuai aturan) juga mutlak diharamkan, kecuali ikan dan belalang. Pengharaman ini tidak hanya terkait dengan spiritualitas tetapi juga kesehatan dan sanitasi, meskipun alasan utama tetap adalah kepatuhan pada perintah yang jelas. Ulama kontemporer telah memperluas aplikasi mengharamkan ini ke semua turunan produk yang mengandung bahan dari babi, seperti gelatin, lemak, atau enzim.
Proses identifikasi dan sertifikasi produk menjadi krusial untuk memastikan bahwa umat tidak mengonsumsi apa yang telah secara tegas diharamkan. Penetapan mengharamkan di sektor pangan sangat detail, mencakup metode penyembelihan (zabh), yang jika tidak dilakukan dengan benar, membuat daging binatang itu jatuh ke status bangkai yang diharamkan.
Di era modern, banyak isu baru yang memerlukan fatwa, dan para ulama kontemporer menghadapi tantangan besar dalam memutuskan apakah suatu praktik baru harus diharamkan. Proses ijtihad modern berpegangan pada kaidah-kaidah fiqh (aturan yurisprudensi) dan Maqasid asy-Syari'ah. Mereka harus berhati-hati untuk tidak terlalu cepat mengharamkan (tasyaddud) atau terlalu mudah membolehkan (tasahul).
Ketika menetapkan hukum, khususnya untuk mengharamkan, para mujtahid sering menggunakan kaidah seperti:
Teknologi dan ilmu kedokteran sering memunculkan pertanyaan baru tentang pengharaman. Contohnya, kloning manusia secara luas diharamkan karena melanggar prinsip Hifzh an-Nasl (menjaga keturunan) dan Hifzh an-Nafs (martabat jiwa). Transplantasi organ, di sisi lain, umumnya dibolehkan, tetapi perdagangan organ secara tegas diharamkan karena melanggar prinsip Hifzh an-Nafs dan Hifzh al-Mal (menjual bagian tubuh manusia dianggap merendahkan martabat).
Isu-isu seperti aborsi juga melalui proses ijtihad yang sangat ketat untuk menentukan kapan ia diharamkan secara mutlak. Konsensus umum adalah bahwa aborsi diharamkan setelah janin ditiupkan roh, kecuali ada bahaya nyata bagi nyawa ibu (Hifzh an-Nafs ibu lebih diutamakan daripada janin yang belum mencapai kesempurnaan jiwa).
Selain larangan yang berkaitan dengan ritual dan konsumsi, ada banyak sekali perilaku sosial yang secara tegas diharamkan karena merusak tatanan komunitas dan etika. Pengharaman ini sangat penting untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis dan adil.
Ghibah (menggunjing) dan Namimah (adu domba) secara etis diharamkan. Meskipun dampaknya tidak sejelas pembunuhan, kerusakan yang diakibatkannya terhadap hubungan sosial dan kepercayaan sangat besar. Mengharamkan ghibah adalah perlindungan terhadap kehormatan individu (Hifzh al-Irdh, bagian dari Hifzh an-Nasl). Teks suci bahkan menyamakan ghibah dengan memakan daging saudara sendiri yang sudah mati, menunjukkan betapa parahnya status pengharaman ini.
Segala bentuk kecurangan dalam timbangan, pengukuran, atau penyembunyian cacat barang dagangan (tadlis) mutlak diharamkan. Ini melanggar Hifzh al-Mal dan prinsip keadilan dalam muamalah. Nabi Muhammad menekankan bahwa "Siapa yang menipu, maka ia bukan dari golongan kami." Penetapan mengharamkan ini memastikan transparansi dan etika bisnis yang sehat.
Perjudian diharamkan karena melanggar Hifzh al-Mal. Ia melibatkan perolehan harta tanpa usaha yang sah dan spekulasi murni (gharar), yang merusak stabilitas finansial dan memicu konflik sosial. Pengharaman perjudian tidak hanya berlaku untuk kasino fisik tetapi juga semua bentuk lotre, taruhan online, dan bentuk-bentuk lain yang melibatkan risiko untung-rugi yang spekulatif tanpa nilai tambah nyata.
Mengingat kompleksitas dan relevansi kontemporer, penting untuk memberikan ekspansi yang mendalam mengenai bagaimana konsep mengharamkan diterapkan dalam isu riba (usury), karena inilah yang paling banyak memicu ijtihad dan diskusi di kalangan ekonomi Islam modern. Keputusan untuk secara mutlak mengharamkan riba berakar pada pemahaman bahwa uang harus berfungsi sebagai alat tukar, bukan komoditas untuk diperdagangkan.
Sistem keuangan konvensional didominasi oleh bunga. Upaya ulama untuk terus mengharamkan praktik ini bertujuan untuk menawarkan model ekonomi yang lebih berkeadilan sosial. Pengharaman riba mendorong penggunaan skema bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), di mana bank atau investor harus berbagi risiko kerugian dengan pengusaha, alih-alih hanya menuntut pengembalian tetap (bunga) tanpa peduli apakah proyek itu sukses atau gagal. Ini adalah perbedaan filosofis yang fundamental.
Dalam pasar keuangan modern, banyak produk derivatif (seperti swaps, futures, dan options) dinilai oleh dewan syariah sebagai instrumen yang harus diharamkan. Mengapa? Karena produk-produk ini seringkali melibatkan spekulasi ekstrem (gharar fakhish) dan menyerupai maysir (perjudian). Misalnya, kontrak yang memungkinkan seseorang mengambil untung dari perubahan harga aset di masa depan tanpa benar-benar memiliki aset tersebut (short selling) sering kali jatuh dalam kategori yang diharamkan karena melanggar prinsip kepemilikan riil dan mengandung unsur untung-rugi yang spekulatif tanpa adanya aktivitas ekonomi yang produktif.
Keputusan mengharamkan juga diterapkan pada kredit konsumsi modern, seperti KPR atau kredit kendaraan bermotor yang menggunakan bunga. Meskipun kebutuhan masyarakat modern akan perumahan sangat tinggi (mashlahah), kerusakan yang ditimbulkan oleh bunga (riba) dianggap lebih besar (mafsadah), sehingga bentuk transaksi ini tetap diharamkan. Solusi yang ditawarkan adalah kontrak murabahah (jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati) atau ijarah (sewa dengan janji kepemilikan), yang memastikan bahwa pinjaman berbasis bunga (yang diharamkan) digantikan oleh transaksi jual beli atau sewa yang sah.
Proses mengharamkan dalam muamalah selalu melibatkan perdebatan yang kompleks, namun intinya adalah menjaga harta dari cara perolehan yang eksploitatif dan tidak adil. Sifat mutlak dari pengharaman riba menunjukkan bahwa dampak sosialnya dianggap sangat merusak, jauh melampaui kerugian finansial individu semata. Mengharamkan riba adalah langkah krusial menuju stabilitas sosial dan ekonomi yang berbasis etika.
Ketika ulama menetapkan status mengharamkan, mereka juga harus mempertimbangkan tingkat keparahan larangan tersebut, yang dikenal sebagai tingkatan hukum taklifi (hukum yang membebani).
Tidak semua larangan memiliki tingkat kepastian yang sama. Istilah Haram merujuk pada larangan yang wajib ditinggalkan, didukung oleh dalil yang jelas dan pasti (qat'i), dan pelanggarnya diancam sanksi keras. Sementara itu, Makruh Tahrim (makruh yang mendekati haram) adalah larangan yang didukung oleh dalil yang kurang pasti (zhanni), di mana meninggalkannya mendatangkan pahala, namun melakukannya belum tentu menyebabkan sanksi seberat pelanggaran haram dzatiah. Namun, dalam banyak mazhab, tindakan mengharamkan bertujuan untuk kepastian, sehingga ulama berusaha menggolongkan perkara sebagai haram jika dampaknya destruktif.
Melanggar sesuatu yang telah secara mutlak diharamkan memiliki dua konsekuensi utama:
Bagi individu, pemahaman tentang apa yang diharamkan adalah kunci untuk kehidupan yang beretika. Konsep wara' (kehati-hatian) dan menjauhi syubhat (perkara samar-samar) menjadi penting. Meskipun sesuatu belum secara resmi dan eksplisit diharamkan oleh konsensus ulama, seorang individu yang berhati-hati akan memilih untuk menjauhinya jika ia berpotensi mengarah pada yang haram. Prinsip ini melengkapi proses formal mengharamkan dengan kehati-hatian spiritual pribadi.
Kesadaran akan prinsip-prinsip yang melandasi mengharamkan membantu individu bukan sekadar mematuhi aturan buta, melainkan memahami kebijaksanaan di balik larangan tersebut, seperti menjaga kesehatan, harta, dan kehormatan. Penghindaran terhadap hal-hal yang telah diharamkan adalah manifestasi ketaatan yang paling murni.
Banyak tindakan yang diharamkan berkaitan langsung dengan pencegahan kezaliman (kezaliman). Kezaliman (Zulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, dan ini merupakan kebalikan dari keadilan. Tindakan mengharamkan berfungsi sebagai mekanisme untuk menjaga keadilan universal. Setiap tindakan yang mengarah pada eksploitasi, penindasan, atau pengambilan hak orang lain secara tidak sah adalah perbuatan yang secara inheren harus diharamkan.
Korupsi, misalnya, secara universal diharamkan karena melibatkan pencurian harta publik, melanggar amanah, dan menghancurkan prinsip Hifzh al-Mal secara kolektif. Korupsi adalah bentuk kezaliman sistemik. Upaya untuk mengharamkan korupsi dan suap (risywah) sangat ditekankan, karena dampaknya meluas hingga mengancam stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat. Suap diharamkan karena ia memutarbalikkan keadilan, memberikan hak kepada yang tidak berhak, dan melucuti hak mereka yang semestinya mendapatkan.
Demikian pula, fitnah dan pencemaran nama baik, yang telah kita sebut sebagai ghibah dan namimah, merupakan kezaliman terhadap kehormatan. Mengharamkan perbuatan ini adalah perlindungan terhadap martabat yang merupakan hak dasar setiap manusia.
Meskipun teks klasik lebih fokus pada interaksi manusia dan konsumsi, ulama kontemporer menggunakan prinsip mengharamkan untuk mengatasi isu lingkungan. Perusakan lingkungan secara masif (fasad fil ardh) dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mendekati pengharaman karena melanggar prinsip Hifzh an-Nafs (kesehatan komunitas) dan Hifzh al-Mal (kerusakan sumber daya). Pemborosan yang ekstrem (israf) dan perusakan yang disengaja diharamkan karena bertentangan dengan prinsip keseimbangan alam dan perlindungan sumber daya untuk generasi mendatang. Mengharamkan perusakan lingkungan adalah perpanjangan logis dari tujuan syariat untuk melindungi kehidupan dan harta secara universal.
Selain riba dan gharar, terdapat perdagangan atau transaksi tertentu yang secara khusus diharamkan karena mengandung unsur penipuan, monopoli, atau eksploitasi yang tidak adil. Misalnya:
Prinsip mengharamkan di sini melampaui tindakan individu; ia mengatur etika rantai pasok dan interaksi bisnis secara keseluruhan untuk memastikan bahwa ekonomi berfungsi untuk kebaikan sosial (mashlahah), bukan eksploitasi.
Proses mengharamkan suatu perkara adalah sebuah keputusan serius yang dilakukan berdasarkan dalil-dalil otentik dan bertujuan untuk mencapai kemaslahatan tertinggi umat manusia (Maqasid asy-Syari'ah). Penetapan haram memberikan kepastian hukum dan etika, berfungsi sebagai batasan yang melindungi lima kebutuhan esensial manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dari mengharamkan riba yang menjamin keadilan ekonomi, hingga mengharamkan khamr yang melindungi akal, setiap larangan memiliki tujuan yang mendalam. Dalam menghadapi tantangan modern, peran ahli hukum dalam melakukan ijtihad terus berlanjut, memastikan bahwa prinsip-prinsip abadi dalam mengharamkan tetap relevan dan diterapkan secara bijaksana untuk menjaga ketertiban, moralitas, dan kesejahteraan masyarakat global. Batasan yang ditetapkan melalui proses mengharamkan bukanlah hambatan, melainkan bingkai yang kokoh untuk mencapai kehidupan yang adil dan bermartabat.
Kehati-hatian yang berlebihan dalam menetapkan apa yang diharamkan sangatlah diperlukan. Ulama menghindari tahrim (tindakan mengharamkan) tanpa landasan yang kuat. Sebaliknya, mereka memastikan bahwa ketika larangan ditetapkan, ia memiliki dasar yang tak terbantahkan, sehingga otoritas hukumnya diakui secara universal. Filosofi ini memastikan bahwa hukum memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat yang etis, menghindari kerusakan (mafsadah), dan memprioritaskan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi yang merugikan.
Inti dari konsep mengharamkan adalah pengakuan bahwa ada batas-batas yang, jika dilanggar, akan menyebabkan kerugian besar di tingkat individu dan sosial. Larangan-larangan ini adalah bentuk rahmat dan perlindungan. Proses mengharamkan telah dan akan selalu menjadi inti dari pembentukan peradaban yang berlandaskan keadilan dan etika universal.