MENGESANG: Kedalaman Kerinduan yang Melampaui Nostalgia Biasa

Sebuah eksplorasi intensif tentang kata yang menyimpan seluruh sejarah emosi, menelisik batas antara kenangan dan identitas diri.

Pengantar ke Gerbang Ingatan yang Tersembunyi

Dalam khazanah bahasa Indonesia yang kaya, terdapat sejumlah kata yang memiliki resonansi emosional yang jauh lebih dalam daripada padanan kata sehari-hari. Salah satunya adalah mengesang. Kata ini, yang jarang muncul dalam percakapan modern, bukan sekadar sinonim dari rindu atau kangen. Mengesang adalah tindakan emosional yang intens, sebuah proses penarikan diri ke dalam ruang batin di mana ingatan bukan hanya dilihat, tetapi juga dirasakan kembali dengan seluruh intensitas aslinya—seringkali disertai kesadaran yang pahit akan jarak, kehilangan, atau kemustahilan kembalinya waktu tersebut.

Mengesang melibatkan dimensi historis, filosofis, dan psikologis yang kompleks. Ia adalah kerinduan yang berakar kuat pada kesadaran akan masa lalu yang monumental, baik itu masa lalu personal, komunal, maupun peradaban. Ketika seseorang mengesang, ia tidak hanya mengingat sebuah peristiwa, tetapi juga menginternalisasi keseluruhan suasana, aroma, dan implikasi dari keberadaan masa lampau tersebut. Ini adalah suatu bentuk pemujaan terhadap memori yang begitu jujur dan menyakitkan, sehingga ia membentuk ulang lanskap emosional individu.

Kita akan menyelami esensi dari kata ini, menelusuri bagaimana ia berfungsi sebagai mekanisme pertahanan sekaligus sebagai pengakuan tulus akan kerapuhan waktu. Mengesang memaksa kita untuk menghadapi kekosongan yang ditinggalkan oleh apa yang telah pergi, menjadikannya kunci untuk memahami bagaimana budaya dan identitas kolektif kita terpelihara melalui air mata kerinduan yang mendalam.

I. Etimologi dan Semantik: Perbedaan Antara Rindu dan Mengesang

Untuk memahami kedalaman mengesang, kita harus membedakannya dari konsep kerinduan yang lebih umum. Kerinduan (rindu) bersifat horizontal; ia adalah jarak antara dua titik di masa kini atau keinginan sederhana untuk bertemu kembali. Nostalgia, meskipun lebih dalam, seringkali menyentuh sisi sentimentil dan terkadang mengidealisasi masa lalu. Mengesang, sebaliknya, bersifat vertikal; ia menggali ke dalam lapisan-lapisan waktu yang hampir tidak terjangkau, melibatkan kesedihan eksistensial karena waktu itu sendiri telah tiada.

1.1. Akar Kata dan Resonansi Bahasa

Secara etimologis, kata ini membawa nuansa yang berat. Meskipun akar pastinya mungkin terfragmentasi dalam penggunaan modern, resonansinya dalam bahasa-bahasa Nusantara kuno selalu terkait dengan keharuan, ratapan, atau perasaan yang teramat dalam yang diucapkan melalui napas atau desahan. Ini bukan kata kerja yang ringan; ia membutuhkan keterlibatan seluruh jiwa. Ia sering dikaitkan dengan tradisi lisan di mana para pujangga atau tetua mengungkapkan kesedihan yang tak terkatakan atas hilangnya kejayaan, tanah leluhur, atau orang-orang yang telah lama berpulang.

Mengesang adalah tindakan membiarkan memori merasuki indra secara total. Ini bukan hanya fungsi kognitif; ini adalah fungsi somatik—tubuh ikut merasakan beban sejarah yang diusung oleh memori tersebut. Perbedaan ini krusial: Rindu bisa disembuhkan dengan pertemuan; Mengesang hanya bisa ditenangkan dengan penerimaan bahwa sesuatu yang dirindukan itu tidak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama. Oleh karena itu, mengesang adalah tindakan duka cita yang abadi, sebuah penghormatan terhadap kekalahan waktu.

1.2. Spektrum Emosi Kerinduan

Dalam spektrum emosi, mengesang menempati ruang di antara melankolia kronis dan rasa syukur yang menyakitkan. Melankolia adalah duka tanpa objek yang jelas; Mengesang memiliki objek yang sangat jelas (sebuah era, seseorang, atau keadaan), namun objek tersebut telah sepenuhnya tercabut dari realitas saat ini. Rasa syukur yang menyakitkan muncul karena individu tersebut menyadari betapa berharganya apa yang hilang, dan penyesalan karena tidak sepenuhnya menghargainya saat ia masih ada.

Analisis leksikal menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki kata sekuat mengesang cenderung memiliki hubungan yang lebih spiritual dan kurang linear terhadap waktu. Waktu bukanlah sekadar urutan jam, tetapi lapisan-lapisan keberadaan yang saling tumpang tindih. Ketika seseorang mengesang, ia sedang menarik lapisan waktu yang sudah lapuk itu ke dalam lapisan waktu saat ini, menyebabkan pergesekan dan kepedihan psikologis. Proses ini membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa, sebab ia melawan insting alamiah untuk melupakan dan melanjutkan hidup. Sebaliknya, mengesang memilih untuk mengingat secara menyeluruh, bahkan jika itu berarti menderita.

Kata ini menjadi penanda bahwa dalam budaya tersebut, ingatan yang dalam dianggap sebagai tanggung jawab, bukan hanya sebuah pengalaman pasif. Ia adalah tugas untuk memastikan bahwa esensi dari yang telah hilang tetap hidup, meskipun hanya dalam ratapan batin yang sunyi.

II. Dimensi Psikologis Mengesang: Beban Identitas dan Memori

Dari sudut pandang psikologi mendalam, mengesang berfungsi sebagai jembatan antara ego yang sadar dan alam bawah sadar yang menyimpan arsip sejarah personal dan kolektif. Ini adalah momen introspeksi paksa di mana individu menghadapi pertanyaan mendasar: Siapa saya tanpa masa lalu itu? Kerinduan yang mendalam ini sering kali memicu krisis identitas yang transformatif.

2.1. Mengesang sebagai Proses Pengolahan Duka Transenden

Berbeda dengan proses duka yang distandarisasi (penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, penerimaan), mengesang lebih merupakan penerimaan yang berkelanjutan. Individu yang mengesang telah melampaui fase penerimaan sederhana. Mereka telah menerima kehilangan, tetapi mereka memilih untuk memelihara rasa sakit yang terkait dengan ingatan itu karena rasa sakit tersebut telah menjadi bagian integral dari apa yang membuat mereka menjadi diri mereka saat ini. Rasa sakit menjadi monumen ingatan.

Ini terkait erat dengan konsep trauma kolektif. Generasi yang mengesang atas hilangnya kedaulatan, tradisi, atau lingkungan alam, melakukannya bukan karena mereka secara pribadi mengalami keseluruhan kerugian itu, tetapi karena memori genetik dan naratif budaya memaksa mereka untuk merasakan kepedihan tersebut sebagai bagian dari warisan mereka. Ini adalah empati temporal yang kuat, kemampuan untuk merasakan penderitaan dari orang-orang yang hidup di masa lalu seolah-olah mereka hidup berdampingan di masa kini.

Simbol ingatan yang mendalam dan kerinduan abadi. (Alt: Simbol ingatan yang mendalam dan kerinduan abadi.)

2.2. Mengesang dan Arketipe Jungian

Dalam kerangka Jungian, mengesang dapat dilihat sebagai upaya untuk menyentuh Anima/Animus kolektif, sebuah upaya untuk mengintegrasikan bayangan (shadow) dari masa lalu yang belum terselesaikan. Memori yang paling kita mengesang adalah memori yang paling kuat membentuk kita, tetapi yang juga paling sulit untuk diakui dalam cahaya modern. Ini mungkin adalah ingatan tentang kesederhanaan, koneksi spiritual yang lebih utuh, atau bahkan kekejaman yang telah dilakukan di masa lalu.

Ketika energi psikis diinvestasikan secara besar-besaran dalam mengesang, hal itu dapat menyebabkan penarikan diri dari realitas kontemporer. Namun, ini bukanlah pelarian pasif. Ini adalah penarikan diri yang aktif, sebuah ritual internal untuk membersihkan identitas dari kebohongan waktu. Dengan terus-menerus mengingat kedalaman hilangnya sesuatu, individu tersebut menjaga kejujuran emosional yang sering kali diabaikan oleh dorongan masyarakat untuk bergerak maju tanpa menoleh.

Keseimbangan adalah kunci. Jika mengesang terlalu dominan, ia bisa melumpuhkan. Namun, jika diabaikan, identitas individu akan kehilangan kedalaman dan akar. Tugas psikologis dari mengesang adalah untuk mengambil nutrisi spiritual dari masa lalu tanpa membiarkan masa lalu memenjarakan masa kini. Proses dialektika antara ingatan yang menyakitkan dan kehidupan yang harus dijalani inilah yang memberikan makna mendalam pada keberadaan.

2.3. Neurobiologi Mengesang: Interaksi Hippocampus dan Amigdala

Secara neurobiologis, kerinduan normal (rindu) mungkin melibatkan stimulasi hippocampus (pusat memori), tetapi mengesang jauh lebih intens. Ia melibatkan interaksi yang kuat dan berkelanjutan antara hippocampus dan amigdala (pusat emosi). Ini berarti bahwa ingatan yang ditarik keluar bukan hanya berupa fakta naratif, tetapi juga paket emosi mentah—ketakutan, kegembiraan, kesedihan—yang diproses ulang seolah-olah baru terjadi.

Aktivitas korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas penilaian dan regulasi emosi, mungkin berkurang selama puncak mengesang. Hal ini memungkinkan individu untuk sepenuhnya tenggelam dalam keadaan mental masa lalu, menangguhkan penilaian rasional terhadap ketidakmampuan untuk kembali ke masa itu. Ini menjelaskan mengapa pengalaman mengesang sering kali terasa seperti kesurupan temporal, di mana batas antara 'saat itu' dan 'saat ini' menjadi kabur. Seseorang tidak hanya mengingat masa lalu; mereka sementara waktu menjadi diri mereka di masa lalu itu, membawa serta segala keindahan dan kepedihan yang menyertainya.

III. Mengesang dalam Tradisi Lisan dan Karya Budaya

Di banyak budaya Nusantara, di mana sejarah sering kali diturunkan melalui kisah, legenda, dan ratapan, mengesang adalah tindakan budaya yang sangat dihargai. Ia berfungsi sebagai pelestarian arsip non-tertulis, sebuah jembatan antara leluhur dan keturunan yang tidak membutuhkan tinta maupun batu pahat, melainkan hanya getaran jiwa.

3.1. Ratapan dan Syair Kerinduan Sejarah

Dalam tradisi sastra kuno, terutama dalam genre ratapan atau syair duka, kata atau konsep mengesang sering menjadi inti. Para pujangga tidak hanya meratapi kematian seorang raja atau kehancuran sebuah kota. Mereka mengesang atas hilangnya seluruh tatanan kosmos yang diyakini telah mendukung masa keemasan tersebut. Ini adalah ratapan atas ketidaksempurnaan dunia, yang dulunya dianggap sempurna.

Ambil contoh tradisi gandrung atau tarian mistis tertentu yang dimaksudkan untuk membangkitkan roh masa lalu. Tujuan dari ritual ini bukan untuk menyenangkan penonton, tetapi untuk mencapai keadaan di mana komunitas secara kolektif mengesang. Melalui irama yang berulang, aroma kemenyan, dan gerakan yang hipnotis, batas realitas melebur, memungkinkan partisipan untuk 'merasakan' kembali kehadiran spiritual para leluhur, bukan sekadar mengingatnya. Ini adalah bentuk mengesang yang terinstitusionalisasi.

3.2. Mengesang Atas Tanah yang Hilang (Ecological Mengesang)

Dalam konteks modern, mengesang mengambil bentuk yang berkaitan dengan krisis ekologis dan hilangnya lingkungan alam. Bagi masyarakat adat yang memiliki ikatan spiritual yang dalam dengan hutan atau laut, tindakan mengesang adalah respon terhadap penggundulan hutan atau pencemaran air. Mereka tidak hanya merindukan pohon; mereka merindukan identitas mereka yang terjalin dengan ekosistem itu. Mereka mengesang atas suara hutan yang sunyi, atas kemurnian air yang telah ternoda, atas janji spiritual yang telah dilanggar.

Jenis mengesang ini adalah seruan untuk keadilan, sebuah pengingat bahwa kerugian material selalu diikuti oleh kerugian spiritual yang jauh lebih besar. Seorang nelayan yang mengesang tidak hanya kehilangan tangkapan ikan yang melimpah, ia kehilangan dialog suci yang ia miliki dengan laut, hubungan transaksional yang melampaui ekonomi. Hilangnya kemampuan untuk mengesang dalam konteks ini berarti hilangnya kemampuan untuk peduli terhadap lingkungan di tingkat terdalam.

3.3. Mengesang sebagai Seni Perlawanan Pasif

Di bawah rezim yang represif atau dalam menghadapi modernitas yang memaksa, mengesang dapat menjadi bentuk perlawanan pasif yang kuat. Ketika sejarah resmi ditulis ulang, kemampuan individu untuk mempertahankan ingatan kolektif yang jujur melalui kerinduan yang mendalam adalah sebuah subversi. Dengan mengesang, individu menolak narasi yang disederhanakan dan bersikeras pada kompleksitas masa lalu yang hilang.

Hal ini dapat terlihat dalam lagu-lagu rakyat minoritas atau tradisi penceritaan di rumah tangga. Kisah yang diceritakan berulang kali, yang selalu diakhiri dengan desahan atau air mata, adalah tindakan politik ingatan. Itu adalah penegasan bahwa 'Kami tahu apa yang hilang, dan kami tidak akan membiarkan ingatan itu mati, meskipun kami tidak memiliki kekuatan untuk mengembalikannya.' Kerinduan menjadi bendera yang dipegang teguh di ruang pribadi.

Ilustrasi sosok yang merenung di tengah sunyi, menghadapi kedalaman memori. (Alt: Sosok yang merenung di tengah sunyi.)

IV. Filsafat Waktu dan Keberadaan dalam Mengesang

Filsafat telah lama bergulat dengan sifat memori dan waktu. Dalam mengesang, kita menemukan sebuah titik temu di mana waktu subjektif individu menantang waktu linear yang obyektif. Tindakan ini membalikkan cara kita memahami 'masa lalu'.

4.1. Mengesang: Merobek Kontinuum Waktu

Menurut pemikiran tradisional Barat, masa lalu telah berlalu dan masa kini sedang terjadi. Namun, ketika seseorang mengesang dengan intensitas penuh, masa lalu tidak terasa 'lalu'. Ia terasa hadir, namun tidak terjangkau. Ini menciptakan ketegangan eksistensial yang unik: pengalaman realitas yang ganda.

Filsuf seperti Henri Bergson berbicara tentang durée, waktu yang dialami secara subjektif. Mengesang adalah manifestasi utama dari durée. Itu bukan ingatan yang dingin tentang fakta, melainkan fusi emosional di mana seluruh diri kita (masa lalu, kini, dan potensi masa depan) dipertanyakan dalam cahaya sebuah momen yang hilang. Kehilangan yang dimengesangi menjadi batu ujian moralitas dan arah hidup.

Jika ingatan biasa adalah seperti melihat foto, mengesang adalah seperti tiba-tiba terlempar ke dalam foto itu, mencium bau yang sama, mendengar suara yang sama, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa Anda adalah pengunjung, bukan penghuni permanen. Kepedihan mengesang datang dari menyadari bahwa meskipun Anda dapat merasakan kehadirannya, Anda tidak dapat mengubah atau memasukinya sepenuhnya.

4.2. Etika Mengesang: Tanggung Jawab Terhadap Ingatan

Apakah kita memiliki tanggung jawab etis untuk mengesang? Dalam konteks komunitas, jawabannya adalah ya. Mengesang adalah cara untuk menjaga keadilan terhadap mereka yang telah pergi dan terhadap peristiwa yang mungkin dilupakan oleh sejarah arus utama. Dengan berulang kali kembali ke jurang kerinduan yang dalam ini, kita memastikan bahwa korban, pahlawan, dan keindahan masa lalu tidak hanya menjadi statistik, tetapi tetap menjadi sumber makna dan motivasi.

Etika mengesang menuntut kejujuran radikal. Ini menolak penutupan yang tergesa-gesa. Ini mengatakan: 'Saya akan merasakan kedalaman kerugian ini sepenuhnya, agar saya tidak pernah mengulangi kesalahan yang menyebabkan kerugian ini, atau agar saya dapat membawa esensi kebijaksanaan masa lalu ke masa depan.' Dalam hal ini, mengesang menjadi praktik spiritual yang menantang nihilisme modern.

4.3. Mengesang dan Transendensi Diri

Puncak dari mengesang sering kali menghasilkan transendensi. Setelah periode intensif kerinduan yang menyakitkan, individu sering mencapai titik hening yang luar biasa. Ini bukan lagi kesedihan; ini adalah pencerahan yang diperoleh dari kesadaran penuh akan sifat kefanaan. Dengan memeluk sepenuhnya apa yang hilang, individu tersebut menjadi utuh—tidak karena ia telah melupakan, tetapi karena ia telah mengintegrasikan kehilangan tersebut ke dalam definisinya tentang diri.

Bisa dikatakan bahwa mengesang adalah jalan menuju kebijaksanaan sejati. Hanya mereka yang berani merasakan kepedihan masa lalu secara utuh yang dapat menghargai kerapuhan dan keindahan masa kini. Ini adalah seni hidup yang sangat kuno: merangkul duka untuk mencapai sukacita yang lebih mendalam, yang tidak bergantung pada keberadaan fisik objek kerinduan.

V. Mengesang di Era Digital dan Kecepatan Informasi

Bagaimana konsep kuno dan mendalam seperti mengesang bertahan dalam masyarakat yang didominasi oleh kecepatan digital, memori yang disimpan di awan, dan budaya instan?

5.1. Dilusi Kerinduan: Nostalgia Instan vs. Mengesang Sejati

Era digital telah menciptakan nostalgia yang sangat cepat dan dangkal. Kita disajikan dengan "Throwback Thursday" dan notifikasi 'Memori Anda dari Hari Ini', yang semuanya mengotomatisasi proses mengingat. Ini menciptakan nostalgia yang bersifat pop-up, yang mudah diakses dan mudah dilupakan. Nostalgia jenis ini jarang membutuhkan energi psikis yang signifikan.

Mengesang sejati menuntut waktu, kesunyian, dan upaya batin. Ia menolak kliping foto yang bersih dan sempurna. Ia mencari detail yang kotor, yang terasa. Di dunia di mana kita dapat menghubungi siapa pun kapan pun, ironisnya, kemampuan untuk mengesang (merindukan yang benar-benar hilang) terancam. Kita kehilangan rasa jarak, dan tanpa jarak, tidak ada kedalaman kerinduan yang sesungguhnya.

Teknologi memberikan ilusi bahwa tidak ada yang benar-benar hilang; semuanya diarsipkan, direplikasi, atau dapat diakses kembali. Ilusi ini merampas kesempatan kita untuk menghadapi kefanaan. Mengesang adalah pengakuan bahwa meskipun kita memiliki arsip digital, esensi spiritual dan kontekstual dari masa itu tidak dapat diunduh. Esensi itu harus diolah secara internal, melalui penderitaan yang disengaja.

5.2. Menciptakan Ruang Sunyi untuk Mengesang

Survival dari mengesang dalam konteks modern bergantung pada kemampuan individu untuk menolak gangguan dan menciptakan 'ruang sunyi' temporal. Ini adalah ruang di mana koneksi terputus, notifikasi dimatikan, dan fokus beralih ke ingatan yang menuntut perhatian penuh.

Praktik meditasi, ritual seni tradisional, atau bahkan perjalanan kembali ke tempat asal dapat berfungsi sebagai katalisator untuk mengesang. Mereka memaksa pikiran untuk memperlambat dan membiarkan beban sejarah tenggelam. Dalam konteks ini, mengesang menjadi sebuah praktik radikal: sebuah penolakan terhadap pemujaan kepuasan instan dan penerimaan terhadap waktu yang lambat, waktu yang mendalam.

Jika kita gagal mempertahankan kemampuan untuk mengesang, kita berisiko menjadi masyarakat tanpa kedalaman historis, terputus dari akar emosional dan spiritual yang menentukan jati diri kita. Kita akan menjadi koleksi kenangan yang terfragmentasi, alih-alih identitas yang terintegrasi secara holistik.

5.3. Mengesang sebagai Sumber Kreativitas Modern

Banyak seniman, penulis, dan musisi modern menggunakan energi yang dihasilkan dari mengesang sebagai sumber kreativitas mereka. Kerinduan yang mendalam ini, karena sifatnya yang tidak terselesaikan dan penuh kontradiksi, menjadi mesin penggerak untuk menghasilkan karya yang memiliki resonansi abadi. Karya-karya yang bersumber dari mengesang sering kali terasa lebih otentik dan universal, karena mereka menyentuh kesedihan kolektif manusia atas waktu yang terus berlari.

Dalam karya seni, mengesang termanifestasi sebagai motif yang kabur, warna yang melankolis, atau melodi yang berlarut-larut. Ini adalah seni yang mengakui kehilangan, tetapi dalam pengakuannya itu, ia merayakan keindahan dari apa yang pernah ada. Dengan demikian, mengesang bukan hanya tentang berduka, tetapi juga tentang menciptakan warisan baru dari puing-puing memori lama.

Penutup: Mewarisi Beban Kerinduan

Mengesang, dalam seluruh kompleksitasnya, adalah salah satu kata paling penting yang dapat kita miliki dalam kosa kata kita tentang jiwa manusia. Ia adalah pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang terikat pada waktu, dan bahwa esensi kita dibentuk oleh bayangan-bayangan masa lalu yang kita cintai dan kita ratapi.

Ia menantang kita untuk bergerak melampaui kerinduan yang santai dan masuk ke dalam pengolahan duka yang jujur dan menyakitkan. Ia mengingatkan kita bahwa ingatan bukanlah harta yang disimpan dalam kotak, tetapi sebuah sungai bawah tanah yang terus mengalir, membentuk lanskap kesadaran kita dari waktu ke waktu.

Mewarisi kemampuan untuk mengesang berarti mewarisi tanggung jawab untuk menghormati masa lalu—bukan dengan harapan untuk mengulanginya, tetapi dengan tekad untuk memahami pelajaran abadi yang terkandung dalam kepedihan kehilangan. Hanya dengan merangkul kedalaman kerinduan inilah kita dapat menemukan ketenangan yang sejati, ketenangan yang lahir dari integrasi sempurna antara apa yang pernah ada dan apa yang harus kita bangun di masa depan.

Ketika kita merasa jiwa kita ditarik ke belakang oleh memori yang kuat, biarkan itu menjadi pengingat. Itu bukanlah beban yang harus dibuang, tetapi harta yang harus dipegang erat. Itu adalah mengesang—tindakan kerinduan abadi yang menjaga api identitas kita tetap menyala di tengah kegelapan waktu.

Kehadiran kata mengesang dalam bahasa kita adalah bukti bahwa budaya kita menghargai bukan hanya perjalanan ke depan, tetapi juga perjalanan yang tak terhindarkan ke kedalaman hati kita sendiri, tempat di mana masa lalu dan masa kini berpelukan dalam keheningan yang penuh makna.

🏠 Kembali ke Homepage