Mengesakan: Pilar Fundamental Kehidupan dan Eksistensi Sejati

Prinsip mengesakan, atau pengakuan atas Keesaan mutlak, adalah fondasi pemahaman eksistensi yang paling mendasar. Ia bukan sekadar konsep teologis yang abstrak; ia adalah hukum universal yang menembus setiap dimensi kehidupan, mulai dari struktur atom terkecil hingga kompleksitas kosmos tak terbatas. Mengesakan adalah titik sentral di mana semua pencarian makna, etika, dan kebenaran berlabuh. Tanpa memahami dan menghayati Keesaan ini, realitas terpecah menjadi fragmen-fragmen yang saling bertentangan, menghasilkan kekacauan, dualitas, dan penderitaan.

Pola Geometri Kesatuan Sebuah pola geometris simetris yang menunjukkan keteraturan dan kesatuan dari berbagai elemen.

Ilustrasi: Keteraturan kosmik sebagai manifestasi dari prinsip mengesakan.

Artikel ini akan menelusuri kedalaman makna mengesakan, membedah implikasinya yang luas—mulai dari tingkatan teologis yang paling agung, manifestasinya dalam ilmu pengetahuan dan alam semesta, hingga penerapannya dalam dimensi moral dan sosial kehidupan manusia sehari-hari. Pemahaman ini bukan hanya sekadar dogma, melainkan sebuah kacamata filosofis yang mengubah cara pandang kita terhadap diri sendiri, sesama, dan seluruh jagat raya.

I. Mengesakan sebagai Jantung Keberadaan (Tauhid Al-Mutlaq)

A. Pengertian Inti dari Mengesakan

Secara etimologis dan konseptual, mengesakan berarti mengkhususkan Keesaan. Ini adalah pemurnian pandangan, keyakinan, dan perbuatan dari segala bentuk dualisme, pluralisme ilahiah, atau penyekutuan. Mengesakan menuntut pengakuan bahwa hanya ada satu Sumber Tunggal bagi segala sesuatu yang ada. Sumber ini adalah Yang Mutlak, Yang Mandiri, Yang Tak Terbatas, dan Yang Kekal. Prinsip ini menolak keras gagasan bahwa kekuasaan, penciptaan, atau penghormatan tertinggi dapat dibagi, diduakan, atau didelegasikan sepenuhnya kepada entitas lain.

Keesaan ini, yang menjadi inti dari setiap tradisi monoteistik, berfungsi sebagai landasan logika dan moralitas. Apabila Sumber Kehidupan tidak Tunggal, maka standar moralitas akan bersifat relatif dan otoritas akan terpecah-pecah, yang pada gilirannya akan melahirkan konflik tak berkesudahan di antara klaim-klaim kebenaran yang setara. Mengesakan adalah janji akan adanya keteraturan di tengah keragaman, dan kepastian di tengah ketidakpastian.

Kedalaman Filosofis Mengesakan

Pada level filosofis, mengesakan menyingkirkan kontradiksi fundamental. Jika ada dua entitas yang sama-sama mutlak, maka mereka saling membatasi, sehingga tak satupun dari mereka benar-benar mutlak. Hanya satu Yang Mutlak yang dapat eksis, karena kemutlakan meniscayakan kemandirian total, yang tidak mungkin dibagi. Eksplorasi ini membawa kita pada tiga pilar utama dalam pemahaman teologis mendalam mengenai mengesakan, yang harus dihayati untuk mencapai kemurnian pandangan hidup.

B. Tiga Pilar Fundamental Mengesakan (Tauhid Rabbani)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang mengesakan, pemikiran harus terbagi ke dalam tiga dimensi yang saling terkait:

1. Mengesakan dalam Kekuasaan dan Penciptaan (Rububiyah)

Pilar Rububiyah adalah pengakuan bahwa hanya ada satu Pencipta, Penguasa, Pemelihara, dan Pemberi Rezeki. Prinsip ini menyatakan bahwa segala hukum alam, setiap gerakan kosmik, setiap pertumbuhan biologis, dan setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta tunduk pada kehendak tunggal. Tidak ada satu pun partikel debu yang bergerak tanpa izin-Nya, dan tidak ada satu pun takdir yang tercipta tanpa pengetahuan-Nya. Proses berpikir untuk mengesakan dalam Rububiyah mendorong manusia untuk melihat keteraturan di balik kekacauan, menolak takhayul dan penyandaran nasib pada entitas alamiah, bintang, atau kekuatan tersembunyi selain Sang Pencipta.

Pengakuan ini adalah penolakan terhadap konsep dewa-dewa yang bertanggung jawab atas wilayah tertentu—satu dewa badai, satu dewa panen, satu dewa perang. Mengesakan Rububiyah menyatukan seluruh fungsi alam semesta di bawah satu otoritas sentral. Ini membebaskan pikiran dari ketakutan akan kekuatan-kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya. Ketika seseorang benar-benar menghayati pilar ini, ia menyadari bahwa seluruh alam adalah satu sistem yang terintegrasi, yang diatur oleh Satu Arsitek Maha Sempurna.

Setiap detail yang diamati, dari fotosintesis yang kompleks hingga pergerakan galaksi yang megah, adalah bukti tak terbantahkan dari kesatuan dan konsistensi hukum Ilahi. Jika ada dua Pengatur, maka hukum gravitasi di satu tempat bisa berbeda dari tempat lain, atau hukum fisika bisa bertentangan. Keteraturan dan prediktabilitas alam semesta adalah saksi bisu terbesar terhadap prinsip mengesakan dalam Kekuasaan.

2. Mengesakan dalam Penghambaan dan Pemujaan (Uluhiyah)

Pilar Uluhiyah adalah manifestasi praktis dari Rububiyah. Setelah mengakui bahwa hanya ada Satu Pencipta dan Penguasa (Rububiyah), maka secara logis, hanya kepada-Nya lah segala bentuk ibadah, pengabdian, doa, harapan, dan ketundukan harus diarahkan. Mengesakan Uluhiyah menuntut pemurnian niat dan perbuatan dari segala bentuk penyekutuan atau shirk.

Ini adalah dimensi yang paling menantang, karena shirk tidak selalu berupa patung berhala. Shirk modern atau tersembunyi seringkali muncul dalam bentuk: menjadikan kekayaan sebagai tujuan akhir yang disembah; menuhankan nafsu dan keinginan diri sendiri di atas perintah Ilahi; mencari pujian dan pengakuan manusia (riya') sebagai pengganti validasi dari Sang Pencipta; atau menyandarkan cinta dan takut secara mutlak kepada kekuatan duniawi (seperti penguasa atau idola). Mengesakan Uluhiyah adalah penolakan total terhadap semua bentuk perbudakan, kecuali perbudakan kepada Yang Tunggal.

Penghambaan sejati hanya mungkin terjadi ketika hati sepenuhnya terfokus pada Keesaan. Jika hati terbagi antara dua atau lebih objek pemujaan—misalnya, antara mencari rida Ilahi dan mencari rida manusia—maka ketaatan menjadi tidak stabil dan penuh hipokrisi. Keesaan dalam ibadah memberikan kemerdekaan batin yang luar biasa, membebaskan individu dari tirani opini publik, kekayaan yang fana, dan ketakutan yang tidak rasional. Keikhlasan, produk langsung dari Mengesakan Uluhiyah, adalah esensi dari setiap tindakan yang bermakna.

Untuk mencapai kedalaman pilar ini, meditasi dan refleksi harus terus-menerus diarahkan untuk mengidentifikasi dan membersihkan "ilah-ilah" tersembunyi dalam diri. Apakah ketakutan terhadap kemiskinan lebih besar daripada kepercayaan pada Pemberi Rezeki? Apakah ketergantungan pada kekuasaan manusia lebih dominan daripada ketergantungan pada Penguasa Mutlak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan sejauh mana seseorang telah berhasil dalam prinsip mengesakan Uluhiyah dalam dirinya.

3. Mengesakan dalam Nama dan Sifat (Asma wa Sifat)

Pilar Asma wa Sifat adalah pengakuan bahwa sifat-sifat dan nama-nama Ilahi adalah unik, sempurna, dan tak tertandingi. Prinsip ini mengajarkan bahwa tidak ada entitas ciptaan yang dapat memiliki sifat yang sama persis dengan sifat-sifat Sang Pencipta. Misalnya, meskipun manusia mungkin memiliki pengetahuan, pengetahuan Ilahi adalah absolut, tak terbatas, dan mendahului waktu. Mengesakan dalam sifat menolak dua ekstrem: (1) Menyamakan sifat-sifat Ilahi dengan sifat makhluk (antropomorfisme); dan (2) Menyangkal atau menafsirkan sifat-sifat Ilahi sedemikian rupa sehingga maknanya hilang (ta'til).

Pilar ini memastikan bahwa deskripsi mengenai Sang Pencipta tetap berada dalam bingkai kesucian dan kemutlakan. Ini adalah sebuah upaya untuk memahami tanpa mencoba untuk melingkupi. Ketika kita mengatakan bahwa Dia adalah Yang Maha Pengasih, kita mengakui bahwa kasih-Nya melampaui segala konsep kasih yang dikenal manusia. Ketika kita menyebut Dia sebagai Yang Maha Adil, kita memahami bahwa keadilan-Nya adalah standar keadilan sejati yang harus diperjuangkan oleh semua makhluk.

Inti dari mengesakan Asma wa Sifat adalah kesadaran akan ketidakmungkinan perbandingan. Dia adalah Al-Ahad (Yang Esa/Tunggal) dalam Dzat-Nya, Al-Wâhid (Yang Satu) dalam Sifat-Nya, dan tiada sekutu bagi-Nya. Pengenalan yang mendalam terhadap sifat-sifat ini (seperti Kekuatan, Hikmah, Pengetahuan, dan Kehidupan) adalah sumber inspirasi terbesar bagi manusia untuk meniru sifat-sifat mulia tersebut dalam batas kemampuan makhluk, sekaligus menjaga jarak dari kesombongan yang mengklaim kesetaraan dengan sifat Ilahi.

II. Manifestasi Mengesakan dalam Tatanan Kosmik dan Ilmu Pengetahuan

Prinsip mengesakan tidak terbatas pada dogma keagamaan; ia adalah kunci untuk memahami kesatuan fundamental yang mendasari fisika, biologi, dan matematika alam semesta. Para ilmuwan yang mencari 'Teori Segala Sesuatu' (Theory of Everything) secara implisit mencari bukti ilmiah dari prinsip mengesakan. Mereka mencari satu hukum tunggal yang menyatukan semua gaya, semua materi, dan semua energi.

A. Kesatuan Hukum Fisika

Fisika modern bergantung pada asumsi bahwa hukum alam bersifat universal. Hukum gravitasi yang berlaku di Bumi sama dengan hukum gravitasi yang mengatur galaksi terjauh. Jika prinsip mengesakan (dalam konteks Rububiyah) tidak benar, maka setiap sudut alam semesta bisa memiliki seperangkat aturan yang berbeda, membuat sains dan prediksi menjadi mustahil. Konsistensi kosmik ini adalah manifestasi konkret dari satu kehendak, satu perancangan, dan satu Pengatur.

Konsep kesatuan energi dan materi, serta upaya untuk menggabungkan empat gaya fundamental (gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah) menjadi satu super-gaya, adalah pengejaran akademis terhadap prinsip Keesaan. Ilmu pengetahuan, dalam pencarian kebenaran paling dasar, secara otomatis menolak dualitas fundamental di tingkat penciptaan. Ia selalu berusaha untuk menyederhanakan kompleksitas kembali ke akar tunggalnya.

Konsistensi dalam Struktur Atom

Pada tingkat yang lebih mikro, struktur atom yang sama—proton, neutron, dan elektron—membentuk segala sesuatu, dari bintang raksasa hingga sehelai daun. Keragaman yang kita lihat di dunia—warna, tekstur, rasa—semuanya berasal dari konfigurasi yang berbeda dari elemen-elemen dasar yang sama, yang diatur oleh hukum kimia dan fisika yang seragam. Ini adalah tarian kesatuan yang spektakuler, di mana jutaan bentuk dihasilkan dari sumber bahan baku yang terbatas dan seragam. Keajaiban ini memaksa kita untuk mengakui bahwa di balik segala keragaman adalah kesatuan substansi dan kesatuan hukum.

B. Mengesakan dalam Jaringan Kehidupan (Biologi)

Prinsip mengesakan juga tercermin dalam biologi. Seluruh kehidupan di Bumi berbagi kode genetik yang sama (DNA dan RNA). Meskipun spesies sangat beragam, bahasa dasar kehidupan, mekanisme replikasi, dan proses metabolisme fundamental identik, membuktikan adanya 'Arsitek' atau 'Perancang' Tunggal yang menggunakan cetak biru yang sama untuk menciptakan seluruh biosfer. Pohon, serangga, dan manusia berbagi nenek moyang biokimia yang sama, yang menegaskan kesatuan asal usul.

Ekosistem global juga berfungsi sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. Hilangnya satu mata rantai di satu tempat dapat memiliki dampak riak di seluruh planet. Siklus air, siklus karbon, dan siklus nutrisi adalah contoh sempurna dari bagaimana seluruh sistem Bumi bekerja sebagai satu organisme raksasa. Pandangan ini, yang mengakui keterhubungan total, adalah perspektif yang berakar pada mengesakan Rububiyah. Tidak ada bagian yang independen; setiap elemen adalah simfoni yang harmonis di bawah batuta tunggal.

C. Bahasa dan Logika Keesaan

Matematika, bahasa alam semesta, adalah perwujudan paling murni dari mengesakan. Angka satu (1) adalah fondasi dari seluruh sistem numerik. Semua perhitungan, kompleksitas, dan teori matematika yang luar biasa berasal dari konsep satuan. Jika konsep "satu" tidak diakui sebagai titik awal yang tak dapat dibagi, maka seluruh sistem logika dan kuantifikasi akan runtuh.

Logika filosofis juga menegaskan keharusan Keesaan. Prinsip non-kontradiksi, yang menyatakan bahwa sesuatu tidak bisa menjadi A dan non-A pada saat yang sama dan di tempat yang sama, adalah upaya untuk menegakkan kebenaran tunggal. Pencarian kebenaran adalah pencarian untuk menyingkirkan kontradiksi dan mencapai kesimpulan tunggal dan bulat, yang merupakan refleksi intelektual dari prinsip mengesakan.

III. Mengesakan sebagai Fondasi Etika dan Kesatuan Sosial

Jika mengesakan adalah prinsip kosmik, maka implikasi moralnya harus bersifat universal. Pengakuan atas Satu Pencipta bagi semua manusia secara otomatis menghancurkan semua dasar bagi rasisme, kasta, nasionalisme ekstrem, dan segala bentuk diskriminasi. Semua manusia berasal dari satu sumber dan diperintah oleh satu hukum moral yang universal.

A. Persaudaraan Universal

Prinsip mengesakan menanamkan doktrin persaudaraan universal. Apabila kita semua adalah ciptaan dari entitas Tunggal, maka perbedaan kulit, bahasa, kekayaan, atau status sosial adalah sekadar variasi pada tema tunggal, bukan pemisah esensial. Kehormatan seseorang tidak ditentukan oleh afiliasi kelompoknya, melainkan oleh kualitas kesadaran dan ketundukannya kepada Sang Pencipta.

Dengan demikian, mengesakan menuntut kesetaraan fundamental. Kekayaan material, kekuatan politik, atau keunggulan intelektual hanyalah ujian sementara, bukan tanda inheren dari keunggulan eksistensial. Pandangan ini memaksa masyarakat untuk memandang setiap individu dengan rasa hormat yang mendalam, karena setiap individu adalah manifestasi dari ciptaan Yang Esa.

Tiga Sosok yang Terhubung Ilustrasi tiga sosok manusia sederhana yang saling terhubung membentuk rantai, melambangkan persatuan dan ketergantungan sosial.

Ilustrasi: Mengesakan dalam konteks sosial menuntut keterhubungan dan kesetaraan antar manusia.

B. Keadilan Mutlak

Konsep keadilan (al-Adl) hanya dapat memiliki makna absolut jika didasarkan pada Otoritas Tunggal yang tidak dapat dipengaruhi, disuap, atau dipihaki. Jika keadilan bersifat relatif dan ditentukan oleh manusia atau kelompok yang berkuasa, maka ia akan berubah sesuai kepentingan. Mengesakan dalam Asma wa Sifat (bahwa Dia adalah Maha Adil) menetapkan standar keadilan yang melampaui kepentingan duniawi. Keadilan harus diterapkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap diri sendiri atau orang yang dicintai.

Penghayatan terhadap mengesakan mendorong individu untuk melawan segala bentuk kezaliman dan penindasan, karena kezaliman adalah bentuk nyata dari penyekutuan—mengambil hak yang hanya dimiliki oleh Sang Pencipta (hak untuk menentukan nilai mutlak) dan menggunakannya untuk menindas ciptaan-Nya. Keadilan sejati adalah menegakkan keseimbangan kosmik yang diinginkan oleh Satu Penguasa Universal.

Implikasi Ekonomi Mengesakan

Dalam ekonomi, prinsip mengesakan menolak pemusatan kekayaan secara eksklusif. Apabila rezeki datang dari Sumber Tunggal, maka kekayaan adalah amanah, bukan hak absolut untuk dipertahankan secara egois. Eksploitasi, penimbunan, dan riba adalah bentuk kegagalan dalam mengesakan, karena ia menuhankan keuntungan material dan melupakan kewajiban moral terhadap kesejahteraan komunitas, yang semuanya terikat dalam satu jaringan ciptaan.

IV. Tantangan Kontemporer dalam Menghayati Mengesakan

Meskipun dunia modern secara lahiriah telah meninggalkan politeisme tradisional, tantangan terhadap prinsip mengesakan tetap eksis dalam bentuk-bentuk yang lebih halus dan tersembunyi, yang menggerogoti kemurnian keyakinan dan tindakan individu.

A. Materialisme dan Individualisme

Materialisme adalah bentuk penyekutuan modern yang paling dominan. Ia secara implisit menuhankan materi dan energi sebagai penentu akhir eksistensi. Keyakinan bahwa realitas hanya terbatas pada apa yang dapat diukur dan dilihat, menolak dimensi transenden dari Keesaan. Dalam pandangan ini, nilai tertinggi diletakkan pada akumulasi harta, kenikmatan fisik, dan umur panjang duniawi, yang menggeser Yang Tunggal dari pusat perhatian.

Individualisme ekstrem, atau kultus diri, adalah bentuk lain dari kegagalan mengesakan Uluhiyah. Ketika individu menjadikan diri mereka sebagai standar moral tertinggi, mereka secara efektif menempatkan ego sebagai ilah. Keputusan didasarkan pada "apa yang saya rasakan" atau "apa yang saya inginkan" daripada pada kebenaran universal yang diturunkan oleh Sumber Tunggal. Individualisme ini meruntuhkan kohesi sosial yang seharusnya dibangun atas dasar persaudaraan universal.

B. Relativisme Moral

Relativisme moral adalah penolakan terhadap mengesakan dalam konteks etika. Jika tidak ada kebenaran moral absolut yang ditetapkan oleh Otoritas Tunggal, maka semua klaim moral memiliki validitas yang setara. Hal ini menghasilkan kekacauan filosofis di mana keadilan, kebaikan, dan kejahatan menjadi sekadar konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai selera kelompok yang dominan. Mengesakan mengajarkan bahwa ada kebenaran tunggal dan universal, yang menjadi jangkar bagi semua etika manusia.

C. Penyekutuan dalam Kekuatan Politik dan Teknologi

Di era modern, manusia seringkali menyandarkan harapan, ketakutan, dan bahkan pemujaan mereka kepada struktur kekuasaan atau teknologi. Teknologi dianggap sebagai penyelamat yang pada akhirnya akan menyelesaikan semua masalah manusia, memberinya kontrol total atas alam dan takdir. Penyekutuan ini, yang merupakan bentuk shirk tersembunyi, mengalihkan ketergantungan mutlak dari Sang Pencipta kepada kemampuan ciptaan-Nya sendiri. Mengesakan menuntut kesadaran bahwa teknologi dan kekuasaan adalah alat, bukan sumber kekuatan sejati.

Penguasa politik yang menuntut ketaatan absolut dan menempatkan hukum buatan mereka di atas hukum Ilahi juga merupakan tantangan serius. Ketika masyarakat memuja ideologi atau pemimpin sedemikian rupa sehingga otoritas mereka dianggap tak terbantahkan dan sakral, mereka telah gagal dalam prinsip mengesakan Uluhiyah.

V. Internalisi Mengesakan: Perjalanan Menuju Kemurnian Hati dan Tindakan

Mengetahui prinsip mengesakan secara intelektual saja tidak cukup. Ia harus menjadi keadaan batin, sebuah cara hidup yang meresapi setiap pikiran, emosi, dan tindakan. Proses internalisasi ini adalah jihad terbesar, perjuangan untuk terus-menerus memurnikan hati dari segala bentuk penyekutuan tersembunyi.

A. Kesadaran Diri dan Keikhlasan (Ikhlas)

Ikhlas (ketulusan) adalah buah utama dari mengesakan. Ia adalah penolakan terhadap motivasi ganda. Setiap tindakan, dari yang terkecil hingga terbesar, harus dilakukan semata-mata karena mengharap rida Yang Tunggal. Ketika ikhlas tercapai, manusia terbebas dari kekhawatiran tentang hasil, pujian, atau kegagalan di mata manusia. Fokusnya adalah kualitas persembahan, bukan kuantitasnya atau dampak sosialnya.

Proses internalisasi ini memerlukan introspeksi yang ketat. Kapan saja tindakan dilakukan untuk menarik perhatian, menghindari kritik, atau memperoleh keuntungan duniawi, itu adalah tanda adanya penyekutuan yang menggerogoti ikhlas. Keberhasilan dalam mengesakan tercermin dalam ketenangan jiwa yang dihasilkan dari mengetahui bahwa segala urusan telah diserahkan kepada Sang Pengatur Tunggal.

B. Penguatan Ketergantungan (Tawakkal)

Mengesakan Rububiyah melahirkan tawakkal (ketergantungan penuh). Tawakkal bukanlah pasifisme atau kemalasan, melainkan kerja keras yang disertai keyakinan teguh bahwa hasil akhir berada di luar kendali manusia dan sepenuhnya berada di bawah Kehendak Ilahi. Ini adalah pembebasan dari kegelisahan. Seseorang melakukan segala upaya terbaiknya, namun hati tetap terikat pada Yang Tunggal.

Dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kesehatan, tawakkal yang berakar pada mengesakan adalah benteng pertahanan psikologis. Ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada kekuatan lain selain Yang Tunggal yang dapat mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, kekhawatiran akan masa depan menjadi berkurang secara signifikan. Ketergantungan ini adalah manifestasi paling murni dari mengakui kekuasaan mutlak Yang Esa.

C. Mengesakan dalam Seni dan Estetika

Keindahan dan estetika juga merupakan manifestasi dari prinsip mengesakan. Seni yang agung seringkali berfokus pada simetri, harmoni, dan kesatuan desain—karakteristik yang mencerminkan sifat Sang Pencipta yang Maha Indah (Al-Jamīl). Dalam tradisi seni geometris, misalnya, pola yang kompleks dibangun dari pengulangan bentuk dasar tunggal, menunjukkan bagaimana keberagaman yang luar biasa dapat muncul dari kesatuan mendasar. Menghargai seni dan keindahan yang teratur adalah bentuk lain dari pengakuan terhadap Mengesakan dalam desain kosmik.

VI. Pendalaman Konsep Mengesakan (Ekstensi Filosofis)

Untuk mencapai bobot wacana yang komprehensif, kita perlu memperluas refleksi tentang bagaimana prinsip mengesakan berfungsi sebagai kriteria pembeda (al-Furqan) antara kebenaran dan kesesatan, antara konstruksi dan kehancuran. Ini adalah prinsip yang tidak pernah mengenal kompromi karena ia adalah titik pangkal dari segala realitas. Apabila kita mencoba memahami eksistensi dari titik pandang dualitas atau pluralitas esensial, maka seluruh bangunan pengetahuan kita akan goyah.

A. Mengesakan dan Hakikat Waktu

Konsep waktu yang linear, dengan masa lalu, sekarang, dan masa depan, adalah realitas ciptaan. Namun, Yang Tunggal berada di luar bingkai waktu dan ruang. Mengesakan dalam konteks sifat-sifat Ilahi menuntut pengakuan bahwa Pengetahuan-Nya tidak dibatasi oleh urutan kronologis. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi secara simultan. Ini membebaskan manusia dari perbudakan waktu, yang seringkali menjadi sumber kecemasan (penyesalan masa lalu dan ketakutan masa depan).

Penghayatan Keesaan mengajarkan bahwa yang terpenting adalah ‘sekarang’ (an-nâs), titik di mana manusia berinteraksi langsung dengan Kehendak Ilahi. Ketika seseorang fokus untuk mengesakan Yang Tunggal dalam tindakannya saat ini, ia secara efektif mengatasi ilusi batasan waktu, dan mencapai kemerdekaan batin yang bersifat abadi. Ini adalah esensi dari kesadaran spiritual yang mendalam.

B. Mengesakan dan Penghapusan Ketakutan Berlebihan

Ketakutan (khawf) adalah emosi mendasar manusia. Ketakutan yang sehat mengarahkan kita pada hati-hati. Namun, ketakutan yang berlebihan dan melumpuhkan seringkali berakar pada kegagalan mengesakan Rububiyah. Ketika seseorang percaya bahwa ada banyak sumber bahaya yang independen—misalnya, percaya pada nasib buruk, pada kekuatan magis pihak lain, atau pada kejahatan yang tidak terkendali—maka ia hidup dalam ketegangan konstan.

Prinsip mengesakan menyederhanakan sumber ketakutan: hanya ada Satu Kekuatan yang harus ditakuti, dan rasa takut ini (takut akan murka-Nya karena melanggar perintah-Nya) justru melahirkan kedamaian. Jika kita patuh kepada Yang Tunggal, maka semua kekuatan lainnya tidak dapat mencelakai kita tanpa izin-Nya. Ini adalah formula untuk keberanian dan ketenangan hati yang tak tergoyahkan, sebuah perisai mental yang hanya dapat dibentuk melalui pemurnian Keesaan.

C. Konsistensi dalam Wahyu

Dalam konteks wahyu, prinsip mengesakan adalah standar untuk menguji keaslian pesan ilahi. Semua pesan yang benar, dari zaman ke zaman, harus memiliki benang merah yang sama: seruan untuk menyembah Yang Tunggal dan menjauhi penyekutuan. Jika suatu ajaran memperkenalkan dualitas (misalnya, dua kekuatan yang sama-sama kuat, baik dan jahat) atau membagi ketaatan (menyembah entitas ciptaan), maka ia bertentangan dengan prinsip mendasar Keesaan kosmik dan teologis.

Oleh karena itu, Keesaan menjadi kriteria pembeda yang universal, melampaui batas-batas budaya dan waktu. Ia adalah tanda tangan Sang Pencipta yang terukir pada setiap lembar wahyu sejati. Refleksi ini menunjukkan betapa sentralnya konsep mengesakan, bukan hanya sebagai keyakinan, tetapi sebagai perangkat analisis untuk membedakan yang hak dari yang batil.

VII. Mengesakan dalam Detail Perilaku Sehari-hari

Kini kita harus melihat bagaimana prinsip mengesakan meresap ke dalam keputusan mikro yang kita buat setiap hari, jauh dari perdebatan filosofis yang agung. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh seberapa konsisten ia menerapkan prinsip ini dalam hal-hal kecil.

A. Mengesakan dan Penggunaan Sumber Daya

Apabila kita mengakui bahwa seluruh sumber daya di bumi (air, udara, mineral, energi) berasal dari Satu Sumber (Mengesakan Rububiyah), maka kita harus mengelolanya dengan rasa tanggung jawab yang mendalam. Kerusakan lingkungan, eksploitasi berlebihan, dan pemborosan adalah bentuk kegagalan dalam menghormati Sang Pemberi. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa individu atau kelompok menuhankan hak mereka sendiri untuk menggunakan sumber daya tanpa batas, melupakan bahwa mereka hanyalah pengelola sementara di bawah Otoritas Tunggal.

Etika lingkungan yang didasarkan pada mengesakan menuntut konservasi, keberlanjutan, dan distribusi yang adil. Kesadaran ini mengubah cara kita memandang sampah, konsumsi, dan kepemilikan. Semua adalah pinjaman; dan yang berhak menentukan bagaimana pinjaman itu digunakan adalah Sang Pemilik Tunggal.

B. Mengesakan dan Kehidupan Keluarga

Dalam konteks keluarga, mengesakan tercermin dalam penolakan terhadap egoisme dan tirani. Suami, istri, dan anak-anak tidak boleh saling menuhankan; mereka tidak boleh menjadikan pasangan atau anak mereka sebagai tujuan hidup tertinggi yang melebihi ketaatan kepada Sang Pencipta. Ketika cinta dan ketaatan dalam keluarga terkelola di bawah payung Keesaan Ilahi, hubungan menjadi sehat, stabil, dan bebas dari ketergantungan patologis.

Kewajiban keluarga dijalankan sebagai bagian dari pengabdian kepada Yang Tunggal. Pengasuhan anak dilakukan bukan semata-mata untuk menghasilkan kebanggaan pribadi, melainkan untuk menghasilkan individu yang menghayati Keesaan. Ketika prinsip ini dilanggar, keluarga cenderung mengalami krisis identitas dan konflik yang berakar pada perebutan kekuasaan atau pemujaan terhadap materi.

C. Mengesakan dan Kesehatan Mental

Banyak masalah kesehatan mental modern—kecemasan, depresi, obsesi—berakar pada kegagalan dalam mengesakan tawakkal. Kekhawatiran berlebihan adalah hasil dari keyakinan bahwa kita harus mengendalikan segala sesuatu, sebuah klaim yang secara implisit menantang Rububiyah. Individu yang berpegang teguh pada Mengesakan menyadari keterbatasan kontrol mereka dan menyerahkan hasil kepada Sang Pengatur yang Maha Tahu.

Penyerahan diri (Islam/submission) kepada Kehendak Tunggal menghasilkan penerimaan (rida) terhadap takdir, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Penerimaan ini adalah terapi spiritual terbaik, karena ia membebaskan pikiran dari perjuangan sia-sia untuk memaksakan kehendak individu pada realitas yang diatur oleh Kehendak Yang Maha Kuasa. Mengesakan adalah jaminan ketenangan batin.

VIII. Penolakan terhadap Dualitas dan Pluralitas (Tafsir Kontra-Mengesakan)

Untuk memahami kekuatan mengesakan, penting untuk secara eksplisit menolak sistem pemikiran yang secara fundamental bersifat dualistik atau pluralistik, karena sistem-sistem ini selalu menghasilkan kelemahan eksistensial dan moral.

A. Menghancurkan Dualisme Kosmik

Dualisme kosmik—keyakinan bahwa alam semesta diperintah oleh dua kekuatan independen, misalnya, terang dan gelap, atau baik dan jahat—secara langsung bertentangan dengan mengesakan. Dualisme ini mengimplikasikan bahwa kebaikan dan kejahatan memiliki sumber yang setara dan saling bersaing, yang menghilangkan konsep kemutlakan moral.

Mengesakan mengajarkan bahwa meskipun ada kejahatan dan penderitaan, mereka adalah entitas yang bersifat kontingen (tergantung), bukan mutlak. Kejahatan adalah penyimpangan dari tatanan tunggal yang telah ditetapkan, bukan kekuatan kreatif independen. Dengan demikian, energi dan harapan selalu diarahkan pada pemulihan tatanan yang diatur oleh Sang Tunggal, bukan pada pertempuran tanpa akhir antara dua dewa yang setara. Dualisme menimbulkan keputusasaan karena tidak ada janji kemenangan total, sementara Mengesakan menjanjikan dominasi kebaikan karena ia berakar pada Yang Mutlak.

B. Penolakan terhadap Relativisme Pengetahuan

Jika pengetahuan didasarkan pada pluralitas sumber yang setara dan saling bertentangan (relativisme), maka kebenaran menjadi subjektif. Mengesakan menuntut satu sumber kebenaran yang obyektif dan stabil. Ini tidak berarti menolak keragaman perspektif, tetapi menegaskan bahwa semua perspektif harus berlabuh pada satu realitas akhir. Misalnya, berbagai teori ilmiah mungkin ada, tetapi semuanya harus merujuk pada hukum fisika tunggal yang mengatur alam semesta. Demikian pula, semua pandangan moral harus merujuk pada keadilan mutlak Yang Esa.

IX. Puncak Penghayatan Mengesakan: Fana dan Baqa

Puncak tertinggi dari perjalanan menghayati mengesakan seringkali digambarkan dalam konsep spiritual yang mendalam, yaitu fana (peleburan diri) dan baqa (kekekalan). Ini adalah keadaan di mana kesadaran diri (ego) telah sepenuhnya larut dalam pengakuan mutlak akan Keesaan Ilahi.

A. Peleburan Diri (Fana)

Fana adalah hilangnya kesadaran akan ego yang terpisah. Ini bukanlah hilangnya eksistensi fisik, melainkan hilangnya perasaan memiliki kekuatan, kehendak, atau keberadaan independen dari Yang Tunggal. Ketika seseorang mencapai fana, ia tidak lagi mengklaim "kekuatanku" atau "pengetahuanku," tetapi sepenuhnya menghubungkan segala sesuatu kepada Sang Sumber. Ini adalah puncak dari mengesakan Uluhiyah, karena semua pemujaan, bahkan pemujaan diri, telah dihilangkan.

Di tingkat ini, tindakan manusia menjadi sangat murni. Tidak ada lagi perhitungan untung rugi pribadi; yang ada hanyalah eksekusi kehendak Sang Pencipta melalui wadah ciptaan-Nya (yaitu diri sendiri). Fana membebaskan manusia dari kesombongan, iri hati, dan keserakahan, karena semua itu adalah atribut dari ego yang merasa diri setara atau independen dari Kekuasaan Mutlak.

B. Kekekalan dalam Kebenaran (Baqa)

Setelah ego dileburkan melalui fana, yang tersisa adalah baqa, yaitu eksistensi yang kekal dalam kebenaran. Individu tersebut kini hidup dalam kesadaran yang konstan akan Keesaan. Kekuatan mereka, pandangan mereka, dan kasih mereka dipancarkan melalui kebenusan Mengesakan.

Keadaan baqa adalah hasil dari konsistensi total dalam mengesakan Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat. Orang yang mencapai keadaan ini menjadi mata air kebaikan, keadilan, dan hikmah, karena mereka bertindak sebagai agen murni dari Kehendak Tunggal di dunia yang penuh dualitas. Mereka adalah bukti hidup bahwa Mengesakan adalah prinsip yang tidak hanya teoritis tetapi dapat dihayati secara total.

X. Penutup: Mengesakan sebagai Janji Kedamaian

Pada akhirnya, prinsip mengesakan adalah janji akan kedamaian abadi—kedamaian di dalam diri, di antara sesama manusia, dan kedamaian dengan alam semesta. Konflik muncul dari perpecahan dan dualitas; kedamaian muncul dari kesatuan. Ketika setiap individu menyelaraskan diri mereka dengan Pusat Tunggal realitas, klaim-klaim yang bertentangan akan tereduksi menjadi harmoni, dan ketidakadilan akan digantikan oleh keadilan yang universal.

Jalan menuju pemahaman mengesakan adalah jalan yang panjang dan menuntut refleksi terus-menerus, tetapi imbalannya adalah kemerdekaan sejati dari perbudakan materi, nafsu, dan ilah-ilah palsu. Ia adalah fondasi yang kokoh, di atasnya peradaban sejati dan kemanusiaan yang utuh dapat dibangun. Tugas setiap generasi adalah menjaga kemurnian prinsip ini, menjadikannya lentera yang memandu di tengah kegelapan relativisme dan fragmentasi modern. Mengesakan adalah kunci pembuka untuk memahami hakikat diri dan hakikat seluruh eksistensi.

🏠 Kembali ke Homepage