Amputasi, tindakan bedah untuk mengamputasi atau memotong sebagian atau seluruh ekstremitas—lengan, kaki, jari, atau bagian tubuh lainnya—adalah salah satu prosedur medis tertua dan paling drastis dalam sejarah manusia. Keputusan untuk melakukan amputasi tidak pernah diambil dengan ringan; ini adalah intervensi penyelamat jiwa atau penyelamat fungsi tubuh yang dilakukan ketika opsi medis atau bedah lainnya telah gagal atau dianggap tidak mungkin dilakukan.
Dalam konteks modern, amputasi bukan lagi akhir dari sebuah perjalanan, melainkan permulaan yang menuntut adaptasi. Tujuannya telah berevolusi dari sekadar menghilangkan jaringan yang sakit menjadi membentuk anggota tubuh residual (stump) yang optimal, yang memungkinkan pemasangan prostetik (anggota tubuh palsu) yang fungsional dan nyaman, memaksimalkan potensi mobilitas dan kualitas hidup pasien di masa depan. Prosedur ini melibatkan pemahaman mendalam tentang anatomi, patofisiologi, dan yang tak kalah penting, psikologi manusia.
Klasifikasi amputasi sangat penting karena tingkat pemotongan secara langsung memengaruhi kemampuan rehabilitasi. Amputasi diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya:
Ilustrasi konseptual tindakan bedah yang merupakan titik kritis antara menyelamatkan hidup dan mempertahankan fungsi.
Sejarah mengamputasi merupakan cerminan langsung dari kemajuan ilmu kedokteran, terutama dalam penguasaan rasa sakit, infeksi, dan pendarahan. Selama ribuan tahun, amputasi adalah prosedur putus asa yang memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi.
Bukti arkeologi menunjukkan praktik amputasi dilakukan bahkan oleh peradaban prasejarah. Tujuannya seringkali adalah untuk menghilangkan anggota tubuh yang terserang gangren, suatu kondisi yang mereka pahami akan menyebabkan kematian. Bangsa Mesir Kuno, Romawi, dan Yunani telah mencatat prosedur ini, tetapi tantangan utamanya adalah:
Pada Abad Pertengahan, amputasi sering dilakukan oleh tukang cukur bedah di medan perang. Metode yang kasar melibatkan pemotongan cepat dengan gergaji yang tidak disterilkan, diikuti dengan kauterisasi (pembakaran) luka menggunakan besi panas untuk menghentikan pendarahan. Meskipun kauterisasi mengurangi pendarahan segera, hal itu justru meningkatkan risiko infeksi dan menyebabkan rasa sakit yang mengerikan, menjadikan amputasi sebagai hukuman mati yang dipercepat bagi banyak korban.
Titik balik dalam sejarah amputasi terjadi pada pertengahan abad ke-19 dengan dua penemuan fundamental yang mengubah operasi dari tindakan brutal menjadi ilmu yang terukur:
Penggunaan eter dan kloroform memungkinkan pasien untuk tidur selama prosedur, menghilangkan rasa sakit yang tak tertahankan. Ini memberikan waktu yang cukup bagi ahli bedah untuk bekerja dengan lebih teliti, fokus pada penempatan sayatan yang tepat dan manajemen pembuluh darah, daripada berpacu dengan waktu sebelum pasien mengalami syok neurogenik.
Joseph Lister memperkenalkan penggunaan asam karbolik untuk membersihkan instrumen bedah, tangan, dan luka pada tahun 1860-an. Dengan menguasai infeksi pasca-bedah, tingkat kematian akibat amputasi turun drastis. Amputasi yang sebelumnya memiliki tingkat kematian 50-90% (terutama di rumah sakit kota) mulai menjadi prosedur yang dapat ditoleransi.
Konflik besar seperti Perang Saudara Amerika dan Perang Dunia I menghasilkan ribuan kasus amputasi akibat trauma proyektil berkecepatan tinggi yang menghancurkan jaringan. Pengalaman ini memaksa para ahli bedah untuk menyempurnakan teknik pembentukan tunggul, terutama menekankan pentingnya mempertahankan panjang tulang maksimum yang sehat dan penutupan kulit yang lunak (flap) untuk persiapan pemasangan prostetik di masa depan.
Keputusan untuk mengamputasi didasarkan pada prinsip bahwa anggota tubuh yang rusak atau sakit mengancam kehidupan pasien, atau bahwa anggota tubuh tersebut telah kehilangan fungsi dan menyebabkan rasa sakit yang tidak dapat dikelola, sehingga mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan. Indikasi dapat dibagi menjadi elektif (terencana) atau darurat.
Penyebab paling umum amputasi non-trauma di seluruh dunia adalah komplikasi yang timbul dari diabetes melitus yang tidak terkontrol, yang menyebabkan Penyakit Vaskular Perifer (PVD) dan Neuropati. Kombinasi dari kedua kondisi ini menciptakan situasi berbahaya:
PVD menyebabkan penyempitan dan pengerasan pembuluh darah (aterosklerosis), terutama di kaki bagian bawah. Aliran darah yang buruk (iskemia) berarti oksigen dan nutrisi tidak dapat mencapai jaringan, dan sel darah putih tidak dapat melawan infeksi. Hal ini menyebabkan Gangren Kering—kematian jaringan yang lambat dan kering. Jika infeksi bakteri masuk, kondisi berkembang menjadi Gangren Basah, yang merupakan darurat medis yang mengancam jiwa karena racun (toksin) dilepaskan ke aliran darah, menyebabkan sepsis.
Diabetes juga merusak saraf, menyebabkan pasien kehilangan sensasi di kaki (kaki mati rasa). Akibatnya, luka kecil, lecet, atau bisul (ulkus diabetik) tidak disadari. Luka tersebut memburuk, terinfeksi, dan menyebar ke tulang (osteomielitis). Pada tahap ini, antibiotik seringkali tidak memadai karena aliran darah yang buruk mencegah obat mencapai lokasi infeksi. Amputasi menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran infeksi ke tubuh bagian atas.
Cedera parah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, ledakan, luka tembak, atau cedera industri sering memerlukan amputasi darurat. Indikasi trauma termasuk:
Kanker tulang primer, seperti osteosarkoma atau sarkoma Ewing, sering memerlukan amputasi. Meskipun kemajuan dalam bedah ortopedi (terutama operasi penyelamat anggota tubuh/limb-sparing surgery) telah mengurangi frekuensi amputasi, prosedur ini tetap diperlukan jika tumor:
Selain diabetes, infeksi kronis seperti osteomielitis (infeksi tulang) yang tidak merespons pengobatan jangka panjang dengan antibiotik intravena dapat memerlukan amputasi. Infeksi ini menjadi sumber bahaya sistemik yang dapat melemahkan pasien secara permanen.
Dalam kasus yang jarang terjadi, amputasi elektif dilakukan pada anak-anak dengan kelainan bentuk bawaan (kongenital) atau kekurangan anggota tubuh (displasia). Tujuannya adalah untuk membentuk anggota tubuh residual yang lebih baik dan lebih simetris, sehingga pemasangan prostetik di masa kanak-kanak menjadi lebih mudah dan fungsional.
Prosedur mengamputasi modern adalah operasi yang sangat terencana. Fokus utama bukan hanya pada penghilangan bagian tubuh yang sakit, tetapi pada pembentukan tunggul (residual limb) yang kuat, tidak menyakitkan, dan dibalut dengan baik agar siap menerima tekanan dan gerakan prostetik.
Fase ini krusial, terutama pada amputasi elektif. Pasien harus memahami sepenuhnya proses dan konsekuensi, serta berpartisipasi dalam perencanaan rehabilitasi awal. Pemeriksaan vaskular (aliran darah) yang cermat dilakukan untuk memastikan tingkat amputasi yang dipilih berada di zona dengan suplai darah yang memadai untuk penyembuhan luka.
Tingkat amputasi ditentukan oleh beberapa faktor:
Ahli bedah membuat sayatan (insisi) yang dirancang untuk menciptakan penutup kulit (flap) yang akan menutupi ujung tulang tanpa ketegangan. Flap biasanya dirancang agar jahitan utama tidak berada tepat di ujung tunggul (area yang akan menanggung beban), untuk mencegah ulserasi saat menggunakan prostetik.
Ini adalah langkah terpenting untuk menciptakan tunggul yang fungsional. Otot harus diseimbangkan dan diikat. Ada dua teknik utama:
Tujuan dari mioplasti/miodesis adalah untuk memberikan bantalan yang baik pada ujung tulang, mempertahankan kekuatan otot yang tersisa, dan mencegah otot tertarik ke atas (retraksi), yang dapat menghasilkan tunggul yang runcing dan menyakitkan.
Setiap saraf besar yang terpotong harus ditangani dengan hati-hati. Jika saraf dibiarkan terpotong di permukaan luka, ia dapat tumbuh menjadi massa yang menyakitkan yang disebut neuroma. Untuk mencegahnya, saraf ditarik dengan lembut, dipotong setinggi mungkin (proksimal), dan dibiarkan menyusut kembali ke dalam jaringan otot yang lebih dalam, di mana mereka tidak akan tertekan oleh soket prostetik.
Tulang dipotong pada tingkat yang telah ditentukan. Ujung tulang dihaluskan dan tumpul untuk menghilangkan tepi tajam yang dapat merobek jaringan lunak. Dalam beberapa prosedur, ujung tulang juga dimiringkan (beveling) untuk mengurangi tekanan. Pada amputasi yang melibatkan tulang ganda (seperti tibia dan fibula), fibula mungkin dipotong lebih pendek dari tibia untuk memastikan ujung tunggul rata dan bulat.
Fokus segera setelah operasi adalah manajemen rasa sakit, pencegahan infeksi, dan kompresi tunggul. Kompresi, seringkali menggunakan perban elastis atau shrinker sock, sangat penting untuk mengurangi edema (pembengkakan) dan membentuk tunggul menjadi bentuk kerucut yang ideal untuk pemasangan prostetik. Pembentukan yang tepat akan mempercepat proses rehabilitasi.
Meskipun prosedur mengamputasi berhasil secara teknis, tantangan fisik dan neurologis masih ada. Komplikasi dapat memengaruhi penyembuhan dan kemampuan pasien untuk menggunakan prostetik.
Ini adalah fenomena yang paling unik dan menyusahkan. Pasien merasakan rasa sakit, gatal, atau posisi di anggota tubuh yang sudah tidak ada. PLP bukan psikologis semata; ini adalah respons neurologis yang nyata. Teori yang berlaku adalah bahwa otak, yang masih memetakan anggota tubuh yang hilang, mengirimkan sinyal ke ujung saraf yang terputus (neuroma). PLP dapat bermanifestasi sebagai sensasi terbakar, tertusuk, atau kram parah.
Perawatan bervariasi dari obat-obatan (seperti gabapentin atau pregabalin), teknik stimulasi saraf (TENS), hingga terapi cermin (mirror therapy), di mana pasien ‘menipu’ otak mereka dengan melihat pantulan anggota tubuh yang utuh bergerak, yang dapat meredakan sensasi yang menyakitkan pada anggota tubuh hantu.
Neuroma adalah gumpalan jaringan saraf non-kanker yang terbentuk di ujung saraf yang terpotong. Jika neuroma terbentuk dekat dengan kulit atau area yang terkena tekanan soket prostetik, ia dapat menyebabkan rasa sakit yang tajam dan terlokalisasi. Nyeri tunggul juga dapat berasal dari masalah tulang, infeksi, atau masalah vaskular yang belum sepenuhnya teratasi.
Kulit pada tunggul sangat rentan. Gesekan dari soket prostetik, keringat berlebihan, dan tekanan dapat menyebabkan lecet, ulkus (borok), atau infeksi. Penyembuhan luka yang lambat—terutama pada pasien dengan diabetes atau penyakit vaskular kronis—dapat menunda rehabilitasi selama berbulan-bulan.
Jika sendi di atas tingkat amputasi (misalnya, lutut setelah BKA atau pinggul setelah AKA) tidak digerakkan secara teratur, otot dan tendon dapat memendek, menyebabkan sendi kaku dalam posisi bengkok (kontraktur). Kontraktur lutut atau pinggul membuat penggunaan prostetik menjadi sangat sulit atau bahkan mustahil. Fisioterapi segera setelah operasi sangat penting untuk pencegahan.
Kontras antara anggota tubuh residual yang dirawat dan teknologi prostetik modern yang mengembalikan mobilitas.
Rehabilitasi setelah mengamputasi adalah proses multi-disiplin yang panjang dan intensif, melibatkan ahli bedah, ahli prostetik (prostetist), fisioterapis, terapis okupasi, dan psikolog. Keberhasilan rehabilitasi sangat bergantung pada dedikasi pasien dan kualitas perawatan tunggul yang diberikan.
Perawatan tunggul dimulai segera setelah operasi dan berlanjut seumur hidup. Tujuan utamanya adalah mengurangi pembengkakan dan membentuk tunggul. Proses ini disebut shaping atau pembentukan:
Teknik kompresi (menggunakan perban elastis, kaus kaki pengecil, atau shrinkers) harus diterapkan hampir sepanjang hari untuk mengurangi edema, mematangkan luka, dan membentuk tunggul menjadi bentuk kerucut yang diperlukan agar dapat masuk ke dalam soket prostetik dengan pas. Pembengkakan yang tidak terkontrol akan menunda pemasangan prostetik.
Kulit pada tunggul awalnya akan sangat sensitif. Proses desensitisasi melibatkan pijatan lembut dan sentuhan dengan tekstur yang berbeda (seperti handuk, kain wol) untuk membiasakan saraf ujung dan mempersiapkan kulit menghadapi tekanan dan gesekan soket prostetik.
Fisioterapi dimulai saat pasien masih di tempat tidur. Ini adalah kunci untuk mencegah kontraktur dan mempertahankan kekuatan inti tubuh.
Setelah tunggul cukup sembuh dan stabil (biasanya 6-12 minggu pasca-operasi), prostetik sementara akan dipasang. Prostetik sementara ini memungkinkan pasien untuk mulai membebani tunggul dan belajar berjalan. Karena tunggul akan terus menyusut selama 6 hingga 12 bulan ke depan, soket harus sering disesuaikan atau diganti.
Setelah bentuk dan volume tunggul stabil, prostetik permanen dibuat. Ada banyak jenis prostetik, mulai dari desain mekanis dasar hingga teknologi canggih:
Pasien harus belajar berjalan dengan cara yang sama sekali baru. Hal ini melibatkan pelatihan untuk mengendalikan sendi prostetik, menghemat energi, dan meminimalkan gaya berjalan yang tidak wajar (limping). Pelatihan ini membutuhkan ratusan jam pengulangan dan koreksi postur oleh fisioterapis.
Faktor kunci dalam keberhasilan penggunaan prostetik bukanlah kecanggihan alat, melainkan kesesuaian (fit) soket. Soket yang buruk dapat menyebabkan nyeri, lecet kronis, dan akhirnya, penolakan pasien terhadap penggunaan prostetik.
Dampak dari mengamputasi melampaui fisik. Menghilangkan bagian tubuh adalah pengalaman traumatis yang memicu proses berduka yang kompleks. Dukungan psikologis sama pentingnya dengan perawatan bedah dan fisik.
Pasien amputasi melalui tahapan berduka yang serupa dengan kehilangan orang yang dicintai: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Proses ini diperumit oleh perubahan citra diri (body image).
Banyak pasien merasakan kehilangan identitas yang mendalam, terutama jika anggota tubuh yang diamputasi terkait erat dengan pekerjaan, hobi, atau definisi diri mereka (misalnya, atlet, musisi, atau pekerja fisik). Terapis dan kelompok dukungan memainkan peran vital dalam membantu pasien menyadari bahwa identitas mereka tidak terbatas pada integritas fisik mereka.
Tingkat kecemasan klinis dan depresi cukup tinggi pada populasi amputasi, terutama pada tahun pertama. Kecemasan berkisar dari takut terjatuh, takut akan nyeri tunggul, hingga kekhawatiran finansial terkait biaya prostetik dan rehabilitasi. Dukungan sebaya (peer support) dari penyintas amputasi lainnya seringkali merupakan intervensi yang paling efektif.
Integrasi kembali ke masyarakat dan tempat kerja dapat dipenuhi dengan hambatan, baik fisik maupun persepsi. Meskipun undang-undang disabilitas memberikan perlindungan, stigma dan kurangnya aksesibilitas fisik (tangga, transportasi) masih menjadi masalah.
Hubungan intim dan keluarga juga berubah. Pasangan mungkin menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan penampilan dan keterbatasan baru, menuntut komunikasi terbuka dan empati yang tinggi. Pendidikan keluarga tentang perawatan tunggul dan penanganan rasa sakit sangat penting untuk memfasilitasi dukungan yang efektif.
Tujuan akhir rehabilitasi seringkali adalah mengembalikan pasien ke pekerjaan sebelumnya atau menemukan pekerjaan baru yang sesuai. Hal ini mungkin memerlukan pelatihan ulang kejuruan (vocational training) atau adaptasi tempat kerja, menekankan bahwa kehilangan anggota tubuh tidak berarti kehilangan kapasitas produktif.
Bidang prostetik terus berevolusi, menjanjikan peningkatan fungsionalitas bagi mereka yang harus mengamputasi anggota tubuh mereka. Dua bidang utama inovasi adalah antarmuka manusia-mesin yang lebih baik dan intervensi bedah yang lebih canggih.
Osseointegrasi adalah teknik bedah revolusioner di mana sebuah implan titanium ditanamkan langsung ke tulang sisa (tulang paha atau tulang kering). Prostetik kemudian dipasang langsung ke implan ini, melewati kebutuhan akan soket tradisional.
Meskipun menjanjikan, teknik ini memerlukan perawatan kebersihan yang ketat untuk mencegah infeksi di sekitar titik keluar implan dari kulit.
TMR adalah teknik bedah lanjutan yang dirancang untuk meningkatkan kontrol prostetik biomekatronik. Saraf yang terpotong dan terdiam selama amputasi diambil dan dijahit ke otot yang tidak lagi melakukan fungsinya (misalnya, otot dada atau otot paha). Ketika pasien mencoba menggerakkan anggota tubuh yang hilang, saraf yang 'disalurkan kembali' ini mengaktifkan otot baru.
Aktivitas listrik dari otot baru ini (EMG) kemudian ditangkap oleh sensor di prostetik bionik, memungkinkan kontrol yang jauh lebih intuitif dan presisi, hampir menyerupai gerakan alami. TMR efektif dalam mengurangi neuroma dan nyeri phantom karena memberikan tujuan baru pada saraf yang terputus.
Di masa depan yang lebih jauh, penelitian berfokus pada regenerasi. Ilmuwan sedang mempelajari bagaimana beberapa hewan dapat meregenerasi anggota tubuh mereka, dan mencoba menerapkan prinsip-prinsip ini pada manusia. Meskipun anggota tubuh utuh belum dapat diregenerasi, kemajuan dalam bioteknologi dapat mengarah pada jaringan penutup yang lebih baik, penyembuhan luka yang lebih cepat, atau bahkan pertumbuhan kembali jaringan saraf yang rusak secara fungsional.
Tindakan mengamputasi merupakan salah satu intervensi medis yang paling menantang, ditandai oleh kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan penyelamatan hidup dengan pemeliharaan fungsi. Ini adalah keputusan yang memuat beban sejarah, menuntut keahlian bedah yang presisi, dan membutuhkan komitmen rehabilitasi yang tak tergoyahkan.
Bagi pasien, amputasi adalah permulaan dari sebuah transformasi. Dengan dukungan yang tepat, mulai dari penanganan nyeri anggota tubuh hantu hingga adopsi teknologi prostetik canggih, individu dapat mencapai tingkat mobilitas dan kemandirian yang tinggi. Kisah-kisah ketahanan (resiliensi) dari penyintas amputasi di seluruh dunia membuktikan bahwa kehilangan anggota tubuh hanyalah satu babak, bukan keseluruhan cerita kehidupan. Fokus pada perawatan komprehensif—fisik, psikologis, dan sosial—adalah kunci untuk memastikan bahwa prosedur krusial ini benar-benar membuka jalan menuju kualitas hidup yang lebih baik dan penuh harapan di masa depan.