Analisis Komprehensif Surah An-Nisa Ayat 136

Fondasi Keimanan dalam Bingkai Syariat Islam

Pengantar: Ayat Kunci Fondasi Keislaman

Surah An-Nisa (Wanita), yang merupakan surah keempat dalam Al-Qur'an, kaya akan panduan hukum, etika sosial, dan, yang terpenting, prinsip-prinsip teologis mendasar. Di antara ayat-ayatnya yang menjadi pilar utama Aqidah (akidah) Islam adalah ayat 136. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai seruan moral, tetapi sebagai manifesto yang merumuskan kembali inti dari keimanan seorang Muslim. Ia ditujukan kepada mereka yang telah mengaku beriman, menuntut mereka untuk memperbaharui, memperkuat, dan mengokohkan keimanan mereka terhadap seluruh elemen dasar yang ditetapkan oleh syariat.

Ayat ini memiliki signifikansi luar biasa karena secara eksplisit menyatukan tuntutan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kitab suci yang pernah diturunkan. Lebih jauh, ia mengandung peringatan yang tajam dan tegas bagi siapa saja yang mengingkari salah satu dari enam rukun iman yang kemudian dikenal luas dalam Islam. Oleh karena itu, memahami An-Nisa 4:136 adalah memahami jantung dari identitas tauhid seorang mukmin sejati.

Teks Suci dan Terjemahan

Memahami konteks dan makna mendalam dari ayat ini harus dimulai dengan menelaah lafaz aslinya dalam bahasa Arab, yang penuh dengan kedalaman linguistik dan retorika ilahiah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Terjemahan Kementerian Agama RI:

Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

Sangat jelas bahwa ayat ini memuat dua komponen utama: seruan proaktif untuk afirmasi keimanan (bagian pertama) dan peringatan keras mengenai konsekuensi dari penolakan terhadap pilar-pilar tersebut (bagian kedua).

Tafsir Bagian Pertama: Panggilan untuk Memperbaharui Iman

Panggilan ilahi dimulai dengan ungkapan retorika yang kuat, "Yā ayyuhalladzīna āmanū āminū..." (Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah...). Ini adalah konstruksi yang unik dan memerlukan penjelasan tafsir yang mendalam mengenai mengapa orang yang sudah beriman masih diperintahkan untuk beriman.

Nuansa Retorika: Iman yang Dinamis

Para mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menjelaskan beberapa kemungkinan makna dari seruan ini:

  1. Panggilan kepada Orang Munafik:

    Seruan ini mungkin ditujukan kepada orang-orang yang hanya beriman secara lisan (munafik). Mereka dipanggil untuk mengubah iman lahiriah mereka menjadi iman hakiki (iman sejati) yang tertanam dalam hati. Ini adalah permintaan agar mereka meninggalkan keraguan dan kemunafikan.

  2. Panggilan kepada Umat Terdahulu (Ahli Kitab):

    Ayat ini bisa ditujukan kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman kepada nabi dan kitab mereka, agar mereka sekarang beriman kepada Muhammad SAW dan Al-Qur'an. Ini menunjukkan inklusivitas Islam yang mewajibkan keimanan kepada seluruh rangkaian risalah.

  3. Panggilan untuk Peningkatan Iman (Ziyadah):

    Makna yang paling kuat dan diterima secara umum di kalangan ahlus sunnah wal jama'ah adalah bahwa iman itu dinamis, dapat bertambah dan berkurang. Perintah "berimanlah" setelah "wahai orang-orang yang beriman" adalah perintah untuk teguh dalam iman yang telah ada, untuk menyempurnakannya, dan untuk melanjutkan ketaatan yang dapat menambah kualitas keimanan. Ini sejalan dengan prinsip bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal perbuatan.

Seruan ini menekankan bahwa keimanan bukanlah status statis yang sekali dicapai, melainkan perjalanan spiritual dan komitmen yang harus diperbaharui dan diperkuat setiap saat, terutama dalam menghadapi fitnah dan godaan duniawi.

Rincian Objek Keimanan yang Diwajibkan

Ayat ini kemudian merinci empat objek keimanan fundamental yang wajib diyakini oleh setiap mukmin yang ingin mengokohkan dirinya:

1. Beriman kepada Allah (Tawhid Mutlak)

Keimanan kepada Allah adalah pondasi utama (ushul al-iman). Ini mencakup pengakuan akan keesaan-Nya dalam tiga dimensi utama Tauhid:

2. Beriman kepada Rasul-Nya (Muhammad SAW)

Iman kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari iman kepada Rasul-Nya. Muhammad SAW adalah pembawa risalah dan penjelas syariat. Keimanan ini menuntut empat hal:

Iman kepada Rasul adalah jembatan untuk mengimplementasikan Tawhid al-Uluhiyyah. Tanpa Rasul, manusia tidak akan tahu bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Oleh karena itu, Ayat 136 menekankan penyandingan iman kepada Allah dan Rasul-Nya secara berurutan.

3. Beriman kepada Kitab yang Diturunkan kepada Rasul-Nya (Al-Qur'an)

Kitab yang dimaksud di sini secara spesifik adalah Al-Qur'anul Karim. Keimanan kepada Al-Qur'an tidak hanya sebatas mengakui eksistensinya, tetapi juga mencakup:

Ayat menggunakan kata kerja نَزَّلَ (nazzala), yang menunjukkan penurunan secara bertahap (tanzil) selama 23 tahun. Ini berbeda dengan kata kerja yang digunakan untuk kitab sebelumnya, yang menyiratkan penurunan secara sekaligus, menunjukkan keunikan dan pentingnya Al-Qur'an sebagai pedoman akhir.

4. Beriman kepada Kitab yang Diturunkan Sebelumnya

Ini mencakup Taurat (kepada Musa), Injil (kepada Isa), Zabur (kepada Daud), dan shuhuf (lembaran-lembaran) para nabi sebelumnya. Keimanan ini memiliki dua aspek:

Ayat ini menegaskan prinsip universalitas risalah Islam, yang menghormati dan mengakui semua wahyu ilahi sebelumnya, menjadikannya agama yang terhubung dengan sejarah kenabian yang panjang.

Tafsir Bagian Kedua: Peringatan Keras dan Enam Pilar Iman

Paruh kedua ayat 136 berisi ancaman serius dan mendefinisikan batas antara iman dan kekufuran:

وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

Dalam bagian ini, ayat tersebut menyebutkan lima hal yang jika diingkari, akan menyebabkan penyimpangan yang sangat jauh (dalālan ba'īdā). Jika digabungkan dengan poin yang telah disebutkan sebelumnya, ayat ini menjadi landasan formal bagi enam Rukun Iman yang terkenal, dengan penambahan Malaikat dan Hari Akhir.

1. Kufr (Ingkar) kepada Malaikat-malaikat-Nya

Malaikat adalah makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya, yang bertugas melaksanakan perintah Allah tanpa pernah membangkang. Keimanan kepada malaikat mencakup:

  1. Meyakini keberadaan mereka.
  2. Meyakini nama-nama yang disebutkan (Jibril, Mikail, Israfil, dll.).
  3. Meyakini tugas-tugas spesifik mereka (pencatat amal, pembawa wahyu, pencabut nyawa).

Mengapa keimanan kepada malaikat disandingkan di sini? Karena malaikat adalah perantara dalam menyampaikan wahyu (Kitab dan Rasul). Mengingkari malaikat Jibril, misalnya, sama dengan mengingkari sumber otoritas wahyu itu sendiri, yang pada gilirannya akan merusak keimanan kepada Kitab dan Rasul.

Peran Malaikat dalam Konsistensi Iman

Konsepsi teologis tentang malaikat memainkan peran fundamental dalam menjaga konsistensi iman. Malaikat adalah saksi abadi dari ketaatan mutlak kepada Allah. Dengan mengingkari keberadaan mereka, seseorang meruntuhkan konsep pengawasan ilahiah (Raqib dan Atid), yang dapat mengarah pada sikap sembrono terhadap syariat. Penyimpangan di sini bukanlah sekadar penolakan eksistensi, tetapi penolakan terhadap peran mereka dalam sistem kosmik dan etika Islam.

2. Kufr (Ingkar) kepada Kitab-kitab-Nya

Ini adalah penguatan terhadap kewajiban beriman kepada Al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya. Mengingkari salah satu kitab suci yang diakui oleh Islam (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an) sama dengan mengingkari sumber syariat dan bimbingan ilahiah. Ingkar di sini berarti menolak asal-usulnya yang ilahi atau menolak hukum yang terkandung di dalamnya. Karena Al-Qur'an adalah kitab penutup dan penyempurna, pengingkaran terhadapnya adalah bentuk kekufuran yang paling parah.

Konsekuensi Mengingkari Hukum Kitab

Ingkar kepada Kitab juga mencakup penolakan terhadap hukum-hukumnya. Jika seseorang mengaku beriman kepada Al-Qur'an, tetapi menolak kewajiban shalat, zakat, atau berpegang pada hukum-hukum muamalah, maka ia telah mengingkari sebagian dari Kitab Allah, dan ini membawa kepada penyimpangan yang jauh, karena ia meremehkan otoritas wahyu yang universal dan abadi.

3. Kufr (Ingkar) kepada Rasul-rasul-Nya

Keimanan Islam bersifat komprehensif. Wajib beriman kepada seluruh rasul sejak yang pertama (Adam AS, menurut sebagian ulama) hingga penutup (Muhammad SAW). Mengingkari kenabian salah satu dari rasul yang namanya telah disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, atau Isa, sama dengan mengingkari seluruh rangkaian kenabian. Prinsip ini memastikan bahwa umat Islam menghargai kesinambungan risalah ilahi, yang berpuncak pada kenabian Muhammad SAW.

Penolakan terhadap Otoritas Kenabian

Dalam konteks An-Nisa 136, kekufuran terhadap Rasulullah Muhammad SAW adalah penolakan terhadap pembaruan iman yang diminta dalam bagian pertama ayat. Kekufuran ini secara otomatis membatalkan seluruh klaim keimanan seseorang, karena Rasulullah adalah satu-satunya jalur transmisi bagi syariat terakhir dan paling lengkap.

4. Kufr (Ingkar) kepada Hari Kemudian (Al-Yawm Al-Akhir)

Hari Akhir mencakup keyakinan akan kebangkitan, hari perhitungan (hisab), surga, dan neraka. Keyakinan ini adalah motor penggerak bagi moralitas dan ketaatan manusia. Jika seseorang mengingkari adanya kehidupan setelah mati, maka tidak ada motivasi baginya untuk bertindak sesuai syariat di dunia ini.

Penyebutan Hari Akhir di sini berfungsi sebagai penyeimbang: Tawhid menekankan ibadah di dunia, sementara Hari Akhir menekankan pertanggungjawaban di akhirat. Kedua pilar ini menciptakan kerangka etika yang utuh bagi mukmin.

Analisis 'Dalālan Ba'īdā' (Tersesat Sangat Jauh)

Frasa penutup, فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (faqad dalla dalālan ba'īdā), memiliki penekanan yang kuat. Kata dalālan (kesesatan) diulang dan disifati dengan ba'īdā (jauh). Ini menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi akibat mengingkari salah satu pilar keimanan bukanlah kesesatan biasa (kesalahan kecil), melainkan kesesatan fundamental yang menjauhkan seseorang dari jalan kebenaran (siratul mustaqim) secara total dan permanen. Ini adalah peringatan bahwa keimanan bersifat integral; mengingkari satu bagian sama dengan meruntuhkan seluruh bangunannya.

Peta Konsep Teologis: An-Nisa 136 dan Rukun Iman

Ayat 136 Surah An-Nisa seringkali diakui oleh para ulama sebagai dasar tekstual utama untuk enam Rukun Iman yang diajarkan dalam hadis Jibril. Perhatikan bagaimana ayat ini menyusun pilar-pilar tersebut:

  1. Rukun Pertama dan Kedua: Allah dan Rasul

    Disebutkan dalam seruan awal: "آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ". Keimanan kepada keduanya adalah syarat mutlak masuknya seseorang ke dalam Islam. Sifatnya adalah keimanan substansial yang terus-menerus diperbaharui.

    Rincian keimanan kepada Allah memerlukan pemahaman mendalam tentang sifat-sifat keesaan-Nya. Ini melibatkan penolakan total terhadap semua bentuk politeisme dan deisme yang menyimpang. Dalam konteks modern, ini mencakup penolakan terhadap pemujaan ideologi, materi, atau nafsu sebagai tandingan bagi ketaatan kepada Allah.

  2. Rukun Ketiga dan Keempat: Kitab-kitab dan Malaikat

    Kitab disebutkan dua kali dalam bagian seruan ("Kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya" dan "Kitab yang diturunkan sebelumnya"). Malaikat dan Kitab disebutkan dalam bagian peringatan (وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ). Susunan ini menunjukkan hubungan sebab-akibat: Kitab datang melalui Malaikat Jibril.

    Keimanan kepada malaikat menegaskan sistem komunikasi antara Pencipta dan makhluk, sementara keimanan kepada Kitab menegaskan adanya panduan hukum yang pasti. Mengingkari salah satu berarti merusak otoritas syariat itu sendiri.

  3. Rukun Kelima: Rasul (Pengulangan dan Penegasan)

    Para Rasul disebutkan dalam seruan dan dalam peringatan (وَرُسُلِهِ). Pengulangan ini menekankan bahwa Rasul bukan hanya perantara sejarah, melainkan otoritas yang wajib diikuti secara berkelanjutan. Penolakan terhadap satu rasul adalah penolakan terhadap Allah yang mengutus mereka.

    Tingkat keimanan kepada Rasul yang dituntut oleh An-Nisa 136 adalah pengakuan bahwa Sunnah (tradisi kenabian) adalah penjelas yang otoritatif bagi Al-Qur'an. Ini menolak kelompok-kelompok yang hanya menerima Al-Qur'an dan menolak Sunnah (Ingkarus Sunnah), karena hal itu akan menyebabkan kekufuran terhadap ajaran Rasul.

  4. Rukun Keenam: Hari Akhir

    Disebutkan dalam bagian peringatan (وَالْيَوْمِ الْآخِرِ). Ini adalah rukun yang menjamin pertanggungjawaban moral. Tanpa keyakinan pada Hari Akhir, konsep keadilan ilahi menjadi tidak lengkap. Keimanan kepada Hari Akhir mencakup keyakinan terhadap seluruh tahapan pasca-kematian, dari alam barzakh hingga Surga dan Neraka.

    Kekufuran terhadap Hari Akhir seringkali menjadi akar dari kesesatan terbesar, karena ia menghilangkan rasa takut (khauf) akan hukuman dan harapan (raja') akan pahala, sehingga menghilangkan motivasi untuk hidup lurus dan adil.

Diagram Rukun Iman Berdasarkan An-Nisa 136 Sebuah diagram yang menunjukkan enam pilar keimanan yang bersumber dari Surah An-Nisa Ayat 136. An-Nisa 4:136 Pilar Keimanan 1. Allah 2. Malaikat 3. Kitab-kitab 4. Rasul-rasul 5. Hari Akhir 6. Qada & Qadar (Diimplikasikan oleh Tawhid Rububiyyah)

Alt Text: Diagram menunjukkan Surah An-Nisa 4:136 sebagai sumber utama pilar keimanan yang mencakup Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, dan Hari Akhir, dengan Qada dan Qadar diimplikasikan.

Analisis Linguistik dan Retorika (Balaghah)

Kekuatan ayat 136 terletak pada pilihan kata dan struktur kalimatnya yang cermat, yang dikenal sebagai Balaghah dalam studi Al-Qur'an.

Perbedaan Kata Kerja: Nazzaala dan Anzala

Ayat ini menggunakan dua kata kerja yang berasal dari akar yang sama (N-Z-L) tetapi memiliki bentuk (wazan) yang berbeda, yang membawa makna berbeda pula:

Perbedaan subtil ini menegaskan keunikan Al-Qur'an, yang proses penurunannya dirancang untuk mendidik dan membimbing komunitas secara progresif, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat hukum dan ajaran moral yang diturunkan sekaligus. Keimanan yang dituntut oleh ayat ini harus memahami perbedaan metode wahyu ini.

Penggunaan Huruf Wau (و) dalam Perincian Rukun

Penggunaan huruf penyambung (waw al-'athf) di sepanjang ayat menunjukkan bahwa semua elemen yang disebut harus diyakini secara simultan dan setara. Masing-masing pilar iman tidak dapat dipisahkan. Jika seseorang beriman kepada Allah tetapi menolak Rasul-Nya, atau beriman kepada Kitab-kitab tetapi menolak Malaikat, maka keimanannya tidak sah. Ini menggarisbawahi sifat integral dari Aqidah Islam.

Implikasi Gramatikal pada Kekufuran

Bagian kedua ayat menggunakan bentuk man yakfur (barangsiapa ingkar) yang bersifat umum, diikuti dengan perincian lengkap enam rukun (minus qadar). Ini adalah teknik retorika untuk memperingatkan bahwa mengingkari *satu saja* dari elemen tersebut sudah cukup untuk menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan yang sangat jauh. Kekufuran terhadap satu pilar adalah kekufuran terhadap keseluruhan sistem ilahi.

Implikasi Syar’i dan Praktis Keimanan

Kajian mendalam Surah An-Nisa 136 tidak lengkap tanpa membahas bagaimana ayat ini diterjemahkan menjadi tindakan dan pandangan hidup seorang Muslim.

Pentingnya Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)

Seruan "Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah" menunjukkan bahwa keimanan adalah sebuah pekerjaan hati yang harus terus disucikan (tazkiyatun nafs). Seorang mukmin harus secara teratur mengevaluasi niat dan tindakannya untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan tuntutan Tawhid. Penyucian ini mencakup penghapusan syubhat (keraguan) dan syahwat (nafsu) yang dapat mengikis iman.

Iman sejati yang lahir dari peneguhan ayat ini akan membuahkan rasa khusyu' dalam ibadah, kejujuran dalam muamalah, dan kesabaran dalam menghadapi musibah. Karena ia meyakini Rububiyyah Allah, ia akan selalu bertawakal; karena ia meyakini Hari Akhir, ia akan berhati-hati dalam berbuat maksiat.

Menghindari Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ayat ini secara tegas menetapkan batas-batas Aqidah. Walaupun Islam menghormati asal-usul kitab-kitab terdahulu dan para nabi mereka, ayat 136 mewajibkan setiap Muslim untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur'an sebagai penutup dan pemutus hukum. Ini secara teologis menolak paham sinkretisme (penggabungan berbagai agama) atau pluralisme yang menyamaratakan kebenaran semua agama tanpa tunduk pada risalah penutup Islam.

Iman yang sejati menuntut pengakuan mutlak bahwa satu-satunya jalan yang diterima di sisi Allah setelah diutusnya Muhammad SAW adalah Islam yang dibawa oleh beliau, sesuai dengan apa yang diturunkan dalam Al-Qur'an. Mengingkari kenabian Muhammad SAW adalah bentuk kekufuran yang diancam dengan dalālan ba'īdā.

Keimanan sebagai Prasyarat Amal Saleh

Dalam teologi Islam, amal saleh tidak akan diterima tanpa landasan keimanan yang sahih. An-Nisa 136 menyediakan definisi keimanan yang sahih tersebut. Amal perbuatan, sekecil apapun, harus didahului oleh keyakinan yang kokoh pada keenam rukun yang disebutkan. Jika keimanan kepada salah satu pilar runtuh, seluruh amal perbuatan akan sia-sia di hadapan Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh status "tersesat sangat jauh."

Hubungan Amal dan Iman

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu menekankan bahwa iman dan amal tidak terpisahkan. Perintah untuk "berimanlah" (آمِنُوا) ditujukan kepada mereka yang sudah beriman (الَّذِينَ آمَنُوا), menunjukkan bahwa peningkatan iman secara langsung terkait dengan peningkatan amal ketaatan. Setiap ketaatan yang dilakukan merupakan bukti fisik dan spiritual dari keimanan yang diperbaharui, sementara dosa mengurangi kualitas iman dan mendekatkan pada kesesatan.

Peringatan terhadap Sikap Tasyabbuh (Menyerupai yang Sesat)

Kesesatan yang jauh (dalālan ba'īdā) adalah kondisi teologis di mana seseorang telah keluar dari garis kebenaran. Peringatan ini ditujukan kepada Muslim agar menjauhi segala bentuk praktik, keyakinan, atau gaya hidup yang menyerupai mereka yang mengingkari pilar-pilar ini. Ini adalah prinsip al-Wala’ wal-Bara’ (loyalitas dan penolakan) yang menuntut loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya serta penolakan terhadap jalan kesesatan, yang secara eksplisit didefinisikan dalam ayat ini.

Kontinuitas Risalah Ilahi dan Keunggulan Al-Qur'an

Salah satu poin teologis terpenting yang digarisbawahi oleh An-Nisa 136 adalah konsep kesinambungan risalah (agama) dari Allah. Allah telah mengirimkan petunjuk yang sama melalui berbagai nabi dan kitab, tetapi setiap fase risalah disesuaikan dengan kebutuhan umat pada masanya. Ayat ini mewajibkan kita mengimani keseluruhan sejarah ini.

Al-Qur'an sebagai Muhaymin (Penjaga dan Pengawas)

Walaupun kita wajib beriman kepada semua kitab, ayat 136 secara implisit menguatkan status Al-Qur'an sebagai muhaymin (penjaga, pengawas, atau penentu) atas kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an mengoreksi kesalahan interpretasi yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu dan mengkonfirmasi bagian-bagian kebenaran yang masih tersisa dalam Taurat dan Injil.

Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membaca Taurat atau Injil, ia harus selalu merujuk pada Al-Qur'an sebagai standar kebenaran mutlak. Ini adalah bentuk iman yang dituntut: iman kepada kitab sebelumnya sambil mengakui superioritas dan validitas terakhir Al-Qur'an.

Peran Para Nabi sebagai Kesatuan Keluarga Risalah

Kewajiban mengimani semua rasul meniadakan konflik antar-nabi. Semua nabi membawa pesan dasar yang sama (Tawhid). Ayat 136 mengikat umat Islam pada pandangan dunia yang mengakui kenabian Isa AS, Musa AS, dan lainnya, tetapi menempatkan Muhammad SAW sebagai yang paling utama dan terakhir, yang ajaran dan syariatnya bersifat abadi.

Kekufuran terhadap satu rasul (baik rasul yang diutus sebelumnya maupun rasul penutup) dianggap setara dalam hal konsekuensi kesesatan, karena meruntuhkan rantai transmisi ilahi. Inilah keindahan teologis dari ayat ini, yang menyatukan seluruh narasi kenabian di bawah payung keimanan Islam.

Kesimpulan: Keimanan yang Kokoh dan Komprehensif

Surah An-Nisa ayat 136 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit memetakan kewajiban keimanan seorang Muslim. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan bukanlah sekadar pengakuan lisan, melainkan sebuah komitmen total dan dinamis yang harus senantiasa ditingkatkan (āminū).

Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesahihan iman bergantung pada penerimaan penuh terhadap Allah (dalam segala aspek tauhid-Nya), Rasul-Nya (sebagai pembawa risalah terakhir), Kitab-Nya (baik Al-Qur'an maupun wahyu sebelumnya), serta pilar-pilar gaib seperti Malaikat dan Hari Akhir. Mengingkari salah satu pilar ini—sebagaimana diperingatkan dengan frasa faqad dalla dalālan ba'īdā—akan mengakibatkan penyimpangan total dari jalan yang lurus.

Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, An-Nisa 4:136 adalah cermin yang harus digunakan untuk mengukur kedalaman dan keabsahan akidah pribadi mereka, memastikan bahwa setiap aspek keyakinan telah tertanam kokoh sesuai dengan tuntutan wahyu ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage