Tindakan mendevaluasikan mata uang merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter yang paling drastis dan sering kali memicu perdebatan sengit dalam arena ekonomi global. Secara esensial, devaluasi merujuk pada penurunan resmi nilai tukar mata uang suatu negara relatif terhadap standar mata uang asing (seperti Dolar AS, Euro, atau emas) dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system).
Keputusan untuk mendevaluasikan bukanlah keputusan teknis semata, melainkan tindakan politik ekonomi yang kompleks, melibatkan perhitungan cermat terhadap keuntungan jangka pendek versus risiko stabilitas jangka panjang. Negara yang memilih jalur ini biasanya menghadapi tekanan ekonomi eksternal atau internal yang signifikan, seperti defisit neraca pembayaran yang kronis, cadangan devisa yang menipis, atau kebutuhan mendesak untuk meningkatkan daya saing ekspornya.
Dalam konteks sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate), istilah yang lebih tepat untuk penurunan nilai adalah depresiasi. Namun, ketika otoritas moneter suatu negara secara eksplisit mengumumkan dan melaksanakan penurunan paritas mata uangnya, itu disebut devaluasi. Pemahaman mendalam tentang mekanisme ini esensial, karena dampaknya meresap ke setiap lapisan ekonomi, mulai dari harga barang impor hingga tingkat inflasi domestik.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa pemerintah dan bank sentral memutuskan untuk mendevaluasikan, bagaimana proses ini dijalankan, dan konsekuensi multi-dimensi—baik yang diharapkan maupun yang tidak diinginkan—yang mengiringi langkah kebijakan moneter yang transformatif ini. Kita akan menjelajahi dasar-dasar teoretis, dampak praktis pada sektor perdagangan, dan pelajaran dari studi kasus historis di berbagai belahan dunia.
Untuk memahami sepenuhnya tindakan mendevaluasikan, penting untuk membedakannya dari depresiasi. Devaluasi hanya mungkin terjadi dalam rezim nilai tukar yang diatur atau dikaitkan (pegged exchange rate). Dalam rezim ini, bank sentral secara aktif mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan melalui intervensi pasar—membeli atau menjual mata uang asing. Ketika bank sentral secara formal mengumumkan nilai tukar baru yang lebih rendah, itulah devaluasi.
Sebaliknya, depresiasi terjadi di bawah rezim nilai tukar mengambang (floating rate), di mana nilai mata uang ditentukan murni oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar valuta asing. Penurunan nilai akibat permintaan yang rendah atau penawaran yang tinggi secara alami disebut depresiasi. Meskipun efek ekonomi akhirnya serupa—mata uang menjadi lebih murah—perbedaannya terletak pada siapa
yang mengambil keputusan: otoritas moneter (devaluasi) versus pasar (depresiasi).
Proses mendevaluasikan adalah tindakan kebijakan yang memerlukan kredibilitas dan komunikasi yang jelas. Biasanya, langkah ini melibatkan:
Tingkat penurunan nilai (persentase devaluasi) sangat krusial. Devaluasi yang terlalu kecil mungkin tidak memberikan dorongan yang cukup bagi ekspor, sementara devaluasi yang terlalu besar dapat memicu kepanikan, inflasi hiper, dan pelarian modal (capital flight).
Gambar 1: Ilustrasi skematis penurunan nilai mata uang secara resmi (devaluasi).
Keputusan untuk mendevaluasikan selalu didorong oleh tujuan makroekonomi spesifik, yang biasanya berfokus pada perbaikan posisi neraca pembayaran negara dan pemulihan pertumbuhan ekonomi melalui jalur perdagangan.
Ini adalah alasan yang paling sering dikutip. Ketika mata uang lokal dilemahkan, barang dan jasa domestik menjadi lebih murah bagi pembeli asing. Misalnya, jika Rupiah didevaluasi terhadap Dolar AS, pembeli di Amerika dapat membeli lebih banyak produk Indonesia dengan jumlah Dolar yang sama. Hal ini secara teori akan meningkatkan permintaan untuk ekspor, memperluas volume penjualan, dan membawa arus masuk devisa (mata uang asing) ke negara tersebut.
Namun, efektivitas peningkatan ekspor sangat bergantung pada elastisitas harga permintaan. Jika produk ekspor suatu negara adalah komoditas yang permintaannya inelastis (kebutuhan pokok yang tidak banyak berubah meski harga turun), devaluasi mungkin hanya meningkatkan volume sedikit, tetapi mengurangi nilai total ekspor karena harga yang lebih rendah.
Defisit neraca pembayaran terjadi ketika jumlah uang yang keluar dari negara (untuk impor, pembayaran utang, dan investasi asing) melebihi jumlah uang yang masuk (dari ekspor, investasi, dan remitansi). Devaluasi bertujuan untuk mengatasi defisit ini dengan dua cara: meningkatkan pemasukan dari ekspor (seperti dijelaskan di atas) dan mengurangi pengeluaran untuk impor.
Karena mata uang lokal kini lemah, barang impor menjadi lebih mahal secara signifikan bagi konsumen domestik. Kenaikan harga impor ini diharapkan dapat menekan permintaan domestik untuk produk luar negeri, mendorong konsumen beralih ke substitusi barang domestik (import substitution), dan dengan demikian mengurangi aliran keluar devisa.
Meskipun devaluasi sering kali memperburuk biaya pembayaran utang luar negeri dalam denominasi mata uang asing (karena dibutuhkan lebih banyak mata uang lokal untuk membayar), bagi negara-negara yang utangnya didominasi dalam mata uang domestik (atau negara yang mencoba mengurangi beban riil utang domestik), devaluasi dapat menjadi alat. Lebih penting lagi, dengan merangsang ekspor dan meningkatkan cadangan devisa, devaluasi meningkatkan kapasitas negara untuk melunasi utang luar negeri di masa depan, asalkan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan melebihi kenaikan biaya utang.
Jika bank sentral terus-menerus menggunakan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang terlalu tinggi (misalnya, menjual Dolar untuk membeli mata uang lokal), cadangan devisa akan terkuras. Tindakan mendevaluasikan nilai tukar dapat menghentikan pendarahan ini. Dengan nilai tukar yang lebih rendah, tekanan pasar untuk menjual mata uang lokal berkurang, dan bank sentral tidak perlu lagi menghabiskan cadangan berharganya untuk intervensi besar-besaran.
Secara tidak langsung, devaluasi dapat berfungsi sebagai pemotongan upah riil secara merata. Karena harga barang impor (dan barang lokal yang menggunakan komponen impor) naik, daya beli gaji domestik menurun. Hal ini dapat membuat biaya tenaga kerja relatif terhadap negara lain menjadi lebih kompetitif, menarik investasi asing langsung (FDI) yang mencari biaya produksi rendah.
Setelah keputusan untuk mendevaluasikan diterapkan, sektor-sektor yang berorientasi ekspor, seperti manufaktur, pertanian, dan pariwisata, biasanya akan mengalami lonjakan permintaan. Peningkatan produksi ini memerlukan lebih banyak tenaga kerja, yang mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan output domestik (PDB). Bagi ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor, devaluasi bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan.
Kenaikan harga barang impor secara drastis menciptakan insentif kuat bagi produsen domestik untuk memproduksi barang pengganti. Misalnya, jika harga mobil impor menjadi dua kali lipat, konsumen akan lebih cenderung membeli mobil rakitan lokal. Kebijakan ini, jika didukung dengan infrastruktur yang memadai, dapat memperkuat basis industri domestik dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global yang rentan.
Bagi wisatawan asing, destinasi negara yang mata uangnya didevaluasi tiba-tiba menjadi jauh lebih terjangkau. Hotel, makanan, dan transportasi lokal menjadi murah dalam denominasi mata uang keras mereka. Peningkatan arus turis ini membawa devisa segar, menciptakan lapangan kerja di sektor jasa, dan merangsang investasi di sektor perhotelan dan infrastruktur terkait.
Para ekonom sering kali merujuk pada "Efek J-Curve" untuk menjelaskan waktu yang dibutuhkan agar devaluasi membuahkan hasil positif. Awalnya, defisit perdagangan cenderung memburuk (membentuk bagian bawah huruf 'J') karena kontrak impor jangka pendek masih harus dibayar dengan nilai tukar baru yang mahal, sementara volume ekspor belum sempat meningkat. Seiring waktu, ketika produsen berhasil menyesuaikan strategi harga, dan konsumen beralih dari impor ke produk domestik, neraca perdagangan akan mulai membaik dan akhirnya melampaui posisi awalnya. Keberhasilan devaluasi sangat bergantung pada kemampuan negara untuk bersabar melewati fase awal yang menyakitkan ini.
Meskipun tujuannya adalah untuk menstabilkan ekonomi, tindakan mendevaluasikan mata uang adalah pedang bermata dua yang membawa risiko inflasi, ketidakstabilan, dan erosi kepercayaan publik.
Konsekuensi negatif yang paling cepat terasa adalah inflasi, khususnya inflasi yang diimpor (cost-push inflation). Hampir setiap negara mengimpor bahan bakar, bahan baku industri, atau komponen mesin. Ketika mata uang didevaluasi, biaya impor ini meroket. Produsen domestik yang bergantung pada impor terpaksa menaikkan harga jual produk mereka. Kenaikan harga ini segera menyebar ke seluruh rantai pasok, mengakibatkan kenaikan biaya hidup yang signifikan bagi seluruh populasi.
Bagi perusahaan, bank, dan pemerintah yang memiliki utang dalam mata uang asing (misalnya, utang berdenominasi Dolar AS), devaluasi secara instan meningkatkan beban pembayaran utang dalam mata uang domestik. Jika suatu perusahaan harus membayar kembali utang $1 juta, dan mata uang domestik didevaluasi sebesar 30%, maka perusahaan tersebut tiba-tiba memerlukan 30% lebih banyak pendapatan domestik hanya untuk memenuhi kewajiban yang sama. Ini dapat memicu gelombang kebangkrutan, terutama di sektor perbankan dan korporasi yang memiliki paparan utang valas yang tinggi, sebagaimana terjadi dalam Krisis Keuangan Asia 1997.
Tindakan mendevaluasikan dapat merusak kepercayaan investor dan publik. Investor asing mungkin melihat devaluasi sebagai tanda keputusasaan ekonomi atau ketidakmampuan pemerintah mengelola kebijakan moneter, yang mendorong mereka untuk menarik modal mereka (capital flight) dari negara tersebut. Pelarian modal ini lebih lanjut menekan mata uang dan memperburuk ketidakstabilan keuangan. Bagi warga negara, hilangnya kepercayaan dapat memicu aksi panik membeli aset asing (Dolar, Emas), yang makin menguras cadangan devisa.
Perubahan besar dan tiba-tiba pada nilai tukar menciptakan ketidakpastian yang menghambat investasi jangka panjang. Perusahaan mungkin menunda ekspansi atau proyek baru karena sulit memprediksi biaya impor di masa depan atau pendapatan ekspor riil. Distorsi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Gambar 2: Dampak devaluasi yang cepat terhadap kenaikan inflasi impor dan domestik.
Sejarah ekonomi penuh dengan contoh negara-negara yang terpaksa atau sengaja mendevaluasikan mata uang mereka. Studi kasus ini memberikan pelajaran berharga mengenai prasyarat keberhasilan dan jebakan kegagalan.
Contoh klasik dari devaluasi yang dipaksakan adalah krisis yang melanda Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Negara-negara ini mempertahankan nilai tukar yang dipatok (pegged) terhadap Dolar AS pada tingkat yang terlalu tinggi selama bertahun-tahun. Ketika pasar mulai meragukan kemampuan bank sentral untuk mempertahankan patokan tersebut (karena cadangan devisa yang menipis dan utang valas korporasi yang masif), serangan spekulatif pun terjadi.
Thailand adalah yang pertama menyerah pada tekanan pasar, memutuskan untuk mengambangkan (secara de facto mendevaluasikan) Baht pada Juli 1997. Langkah ini memicu efek domino. Indonesia, yang awalnya memiliki nilai tukar mengambang terkendali (managed float), terpaksa sepenuhnya melepaskan patokan Rupiah karena pelarian modal yang ekstrem. Devaluasi Rupiah yang terjadi sangat masif, menyebabkan inflasi hiper dan keruntuhan sistem perbankan akibat beban utang dolar yang tidak terbayarkan. Pelajaran utamanya: devaluasi yang dipaksakan dan tidak didukung oleh fundamental ekonomi kuat, terutama manajemen utang valas, akan menyebabkan bencana.
Argentina menjalankan sistem konvertibilitas (Currency Board) yang mengikat Peso ke Dolar AS 1:1 selama satu dekade. Meskipun sistem ini berhasil mengendalikan inflasi, ia merusak daya saing ekspor secara kronis dan membuat kebijakan moneter sangat kaku. Pada akhir 2001, setelah bertahun-tahun resesi dan utang yang tidak berkelanjutan, pemerintah terpaksa mengakhiri sistem patokan dan secara besar-besaran mendevaluasikan Peso. Devaluasi ini memicu kerusuhan sosial, pembekuan bank, dan hiper-inflasi. Meskipun akhirnya Argentina mendapatkan kembali daya saing, proses transisinya sangat menyakitkan, menunjukkan bahaya dari mempertahankan nilai patokan terlalu lama di tengah fundamental yang memburuk.
Pada 2015, Bank Sentral Tiongkok (PBOC) secara tiba-tiba melakukan penyesuaian nilai tukar Yuan, yang banyak dianggap sebagai devaluasi mini. Tujuannya bukan untuk mengatasi krisis, melainkan untuk memberikan dorongan pada ekspor di tengah perlambatan ekonomi domestik dan untuk beralih ke sistem penetapan nilai tukar yang lebih berorientasi pasar. Meskipun devaluasi ini relatif kecil, dampaknya terasa global, memicu kekhawatiran perang mata uang dan menunjukkan bagaimana devaluasi dapat digunakan sebagai alat strategis dalam persaingan dagang internasional.
Keberhasilan devaluasi terletak pada apakah negara tersebut memiliki kapasitas suplai untuk merespons permintaan ekspor yang meningkat dan apakah negara tersebut dapat mengendalikan inflasi yang dihasilkan. Negara dengan kapasitas produksi yang tinggi dan utang valas yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan manfaat dari keputusan mendevaluasikan mata uang.
Keputusan untuk mendevaluasikan hanyalah langkah pertama. Keberhasilan jangka panjangnya sangat bergantung pada serangkaian kebijakan pendukung yang dilaksanakan secara simultan dan kredibel.
Setelah devaluasi, bank sentral harus bertindak cepat untuk mencegah inflasi impor merambat menjadi inflasi domestik yang didorong oleh ekspektasi (demand-pull inflation). Ini biasanya melibatkan pengetatan kebijakan moneter, yaitu menaikkan suku bunga acuan. Meskipun suku bunga yang tinggi dapat menahan investasi domestik, itu diperlukan untuk meredam permintaan agregat dan menahan kenaikan harga. Kegagalan menaikkan suku bunga akan membuat devaluasi tidak efektif, karena setiap keuntungan daya saing akan terhapus oleh inflasi yang lebih tinggi.
Pemerintah harus memastikan kebijakan fiskalnya tidak bertentangan dengan tujuan devaluasi. Ini berarti mengurangi defisit anggaran dan mengendalikan pengeluaran pemerintah. Defisit fiskal yang besar dapat memicu kebutuhan pembiayaan utang yang besar, yang pada gilirannya dapat mendorong bank sentral mencetak uang atau menekan nilai mata uang lebih lanjut.
Devaluasi hanya memberikan solusi cepat. Untuk perbaikan daya saing yang berkelanjutan, reformasi struktural diperlukan. Ini termasuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mengurangi birokrasi, investasi pada infrastruktur (untuk menurunkan biaya logistik), dan diversifikasi basis ekspor. Jika devaluasi tidak diikuti reformasi, negara tersebut kemungkinan akan kembali ke titik krisis dalam beberapa tahun, membutuhkan devaluasi putaran kedua.
Pasca-devaluasi, pemerintah mungkin perlu melakukan restrukturisasi utang luar negeri (jika bebannya tidak berkelanjutan). Selain itu, pengawasan ketat terhadap pinjaman valuta asing oleh sektor korporasi diperlukan untuk mencegah akumulasi risiko yang sama di masa depan. Beberapa negara bahkan memberlakukan kontrol modal sementara untuk mencegah pelarian modal pasca-devaluasi.
Di kalangan ekonom, efektivitas tindakan mendevaluasikan selalu menjadi subjek perdebatan yang intens. Tidak ada jawaban universal, dan keberhasilan bergantung pada kondisi spesifik negara tersebut.
Syarat mutlak agar devaluasi dapat memperbaiki neraca perdagangan (yaitu, ekspor meningkat lebih dari kenaikan harga impor) adalah terpenuhinya Kondisi Marshall-Lerner. Kondisi ini menyatakan bahwa jumlah elastisitas harga permintaan ekspor dan elastisitas harga permintaan impor (dalam nilai absolut) harus lebih besar dari satu.
Dalam ekonomi modern, ekspektasi memainkan peran besar. Jika pasar dan publik percaya bahwa pemerintah memiliki rencana yang kredibel dan devaluasi adalah langkah yang terukur, kemungkinan besar inflasi dapat dikendalikan dan investasi akan kembali. Sebaliknya, jika devaluasi terlihat sebagai langkah terakhir dari pemerintah yang tidak kompeten, ekspektasi inflasi akan meroket, dan devaluasi akan cepat diikuti oleh depresiasi lebih lanjut.
Beberapa negara, terutama anggota zona mata uang seperti Zona Euro, tidak dapat mendevaluasikan mata uang mereka sendiri. Untuk memulihkan daya saing, mereka harus menjalani "devaluasi internal." Devaluasi internal melibatkan upaya mengurangi biaya produksi domestik, terutama melalui pemotongan upah, reformasi pasar tenaga kerja, dan peningkatan produktivitas. Proses ini sering kali memakan waktu lebih lama dan menyebabkan tekanan deflasi atau resesi sementara, tetapi menghindari risiko lonjakan utang valas dan inflasi impor yang disebabkan oleh devaluasi nilai tukar.
Keputusan devaluasi oleh satu negara besar dapat memicu kekhawatiran akan "perang mata uang," di mana negara-negara lain merespons dengan devaluasi kompetitif. Jika semua negara mencoba mendevaluasikan untuk meningkatkan ekspor secara bersamaan, efek positifnya akan saling meniadakan, dan yang tersisa hanyalah kekacauan nilai tukar global dan ketidakpastian perdagangan.
Terlepas dari perhitungan ekonomi, keputusan mendevaluasikan memiliki konsekuensi politik dan sosial yang mendalam yang sering kali menjadi penentu utama apakah kebijakan tersebut berkelanjutan.
Kelompok masyarakat yang paling terpukul oleh devaluasi adalah mereka yang pendapatannya tetap (fixed income), pegawai negeri, dan masyarakat miskin. Kenaikan harga barang pokok, yang dipicu oleh inflasi impor, secara drastis mengurangi daya beli mereka. Dalam banyak kasus historis, devaluasi telah memicu kerusuhan sosial, protes, dan bahkan penggulingan pemerintahan, terutama jika devaluasi tersebut dirasakan sebagai pengorbanan yang tidak adil atau salah kelola.
Devaluasi menciptakan pemenang dan pecundang yang jelas di dalam negeri:
Dampak politik dari devaluasi sering kali bergantung pada seberapa kuat lobi dari sektor-sektor pecundang. Jika sektor importir kuat dan memiliki utang besar, mereka akan menekan pemerintah untuk kebijakan yang bertentangan dengan tujuan devaluasi.
Pemerintah harus sangat hati-hati dalam mengkomunikasikan alasan dan tujuan devaluasi. Jika masyarakat tidak memahami bahwa langkah tersebut diperlukan untuk pemulihan jangka panjang, mereka hanya akan melihat kenaikan harga. Kredibilitas politik pemerintah sering kali menjadi korban utama kebijakan moneter yang menyakitkan ini.
Mengingat risiko yang melekat pada keputusan mendevaluasikan mata uang, banyak negara mencari alternatif untuk memperbaiki defisit neraca pembayaran atau meningkatkan daya saing tanpa harus mengubah nilai tukar secara resmi.
Jika masalah utama adalah defisit neraca pembayaran yang disebabkan oleh permintaan domestik yang terlalu tinggi (sehingga terjadi lonjakan impor), pemerintah dapat mencoba mengurangi permintaan agregat melalui pengetatan fiskal (pengurangan pengeluaran publik) atau pengetatan moneter (kenaikan suku bunga). Logikanya, permintaan yang lebih rendah akan mengurangi impor, memperbaiki neraca pembayaran, dan secara alami dapat memperkuat nilai mata uang.
Daripada menggunakan devaluasi sebagai alat, negara dapat menerapkan kontrol selektif terhadap arus modal untuk membatasi pelarian modal atau membatasi pinjaman valas yang berisiko oleh sektor korporasi. Ini memungkinkan nilai tukar tetap stabil sambil memitigasi risiko keuangan.
Daya saing ekspor tidak hanya ditentukan oleh harga. Negara dapat berinvestasi pada kualitas produk, diferensiasi merek, inovasi teknologi, dan negosiasi perjanjian perdagangan. Meningkatkan kualitas produk (sehingga permintaan menjadi kurang elastis terhadap harga) akan memberikan manfaat jangka panjang yang jauh lebih stabil daripada devaluasi, yang hanya memberikan manfaat harga sementara.
Dalam jangka pendek, negara dengan cadangan devisa yang besar dapat memilih untuk menjual sebagian cadangannya di pasar untuk menahan tekanan depresiasi, memberikan waktu bagi kebijakan fiskal dan moneter lainnya untuk bekerja. Namun, strategi ini tidak berkelanjutan jika fundamental ekonomi tidak diperbaiki.
Keputusan untuk mendevaluasikan mata uang adalah manuver ekonomi yang memiliki potensi keuntungan signifikan dalam hal pemulihan daya saing ekspor dan perbaikan neraca pembayaran. Namun, langkah ini juga membawa risiko inflasi serius, krisis utang valas, dan ketidakstabilan sosial-politik yang dapat mengancam integritas sistem keuangan.
Devaluasi berfungsi paling efektif sebagai bagian dari paket reformasi yang komprehensif. Itu bukan obat ajaib, melainkan penyesuaian harga relatif yang harus diikuti oleh kebijakan moneter yang ketat, konsolidasi fiskal, dan yang paling penting, reformasi struktural yang meningkatkan produktivitas dan kapasitas suplai negara. Tanpa reformasi ini, negara yang memutuskan mendevaluasikan hanya akan mengalami siklus inflasi, ketidakstabilan, dan kebutuhan untuk devaluasi yang lebih besar di masa depan.
Analisis yang mendalam terhadap elastisitas permintaan perdagangan dan struktur utang merupakan prasyarat mutlak sebelum otoritas moneter mengambil langkah monumental ini. Pada akhirnya, tindakan devaluasi mencerminkan pengakuan bahwa nilai tukar sebelumnya tidak realistis dan tidak berkelanjutan, menandai awal dari upaya penyesuaian yang sulit namun diperlukan untuk mengembalikan fundamental ekonomi ke jalur yang sehat.
***
Satu aspek krusial dari devaluasi yang perlu ditekankan adalah potensi spiral harga upah. Ketika devaluasi memicu inflasi (cost-push), pekerja akan menuntut kenaikan upah untuk mempertahankan daya beli riil mereka. Jika kenaikan upah diberikan, ini akan meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan, yang kemudian menaikkan harga jual produk mereka lebih lanjut. Siklus ini, dikenal sebagai spiral inflasi-upah (wage-price spiral), dapat dengan cepat mengikis semua keuntungan daya saing yang diperoleh dari devaluasi awal, memaksa otoritas untuk mempertimbangkan devaluasi putaran kedua.
Pasar berkembang (emerging markets) menghadapi tantangan unik dalam mendevaluasikan karena mereka sering kali memiliki sistem keuangan yang kurang matang dan ketergantungan yang lebih besar pada pinjaman valas (dolarisasi utang). Ketika negara maju melakukan devaluasi, dampaknya terbatas pada harga. Tetapi ketika pasar berkembang melakukan devaluasi, ini sering kali memicu krisis likuiditas dan solvabilitas perusahaan, karena pendapatan mereka dalam mata uang lokal tidak cukup untuk menutupi kewajiban utang dalam mata uang keras yang melonjak. Ini menjelaskan mengapa bagi banyak negara berkembang, mempertahankan stabilitas nilai tukar, meskipun dengan biaya cadangan devisa, seringkali dianggap sebagai prioritas utama untuk mencegah keruntuhan sistemik.
Kompleksitas yang menyertai tindakan mendevaluasikan memastikan bahwa ini akan tetap menjadi topik perdebatan panas—sebuah langkah yang hanya diambil ketika pilihan kebijakan lain telah habis, dan risiko kegagalan dianggap lebih kecil daripada risiko inersia ekonomi.