Menasional: Pilar Tunggal Kedaulatan dan Identitas Bangsa

Proses panjang dan berkelanjutan dalam membangun kesatuan fundamental Republik Indonesia.

I. Definisi dan Urgensi Menasional

Konsep ‘menasional’ melampaui sekadar pengakuan geografis atas suatu wilayah kedaulatan. Ia adalah proses dinamis, berakar mendalam dalam sejarah kolektif, yang mentransformasikan identitas-identitas lokal yang tersebar menjadi satu entitas politik, budaya, dan ekonomi yang tunggal dan berdaulat. Menasionalisasi adalah perekat sosiologis dan ideologis yang memastikan bahwa keberagaman yang ada di Indonesia tidak menjadi sumber disintegrasi, melainkan fondasi bagi kekuatan bersama. Proses ini melibatkan harmonisasi kepentingan, standarisasi nilai-nilai fundamental, dan internalisasi rasa kepemilikan kolektif atas aset negara, baik fisik maupun non-fisik.

Urgensi dari menasionalisasi terletak pada fungsi fundamentalnya sebagai benteng terhadap ancaman, baik dari dalam maupun luar. Tanpa fondasi nasional yang kokoh, kedaulatan—yang diperoleh melalui pengorbanan sejarah yang tak ternilai—akan mudah tererosi oleh tekanan globalisasi, fragmentasi etnis, atau eksploitasi ekonomi pihak asing. Menasional bukan hanya tentang mencintai tanah air, melainkan tentang membangun sistem hukum, ekonomi, dan pendidikan yang berorientasi pada kepentingan kolektif nasional di atas segala kepentingan kelompok atau individu.

Dimensi Integral dari Menasionalisasi

Proses menasionalisasi tidak dapat dipisahkan menjadi bagian-bagian terpisah; ia adalah sebuah prisma multidimensi yang saling terkait. Terdapat minimal tiga dimensi utama yang harus berjalan simultan dan saling menguatkan dalam konteks Indonesia yang majemuk:

  1. Dimensi Politik-Ideologis: Meliputi penetapan dan pengakuan universal terhadap Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai kerangka hukum tertinggi, serta pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final negara. Proses ini memastikan legitimasi kekuasaan berada di tangan rakyat yang terorganisir dalam entitas nasional.
  2. Dimensi Ekonomi-Sovereign: Mencakup pengendalian negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan vital, pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, dan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan seluruh wilayah, mengurangi disparitas regional, dan menciptakan kemandirian ekonomi.
  3. Dimensi Sosial-Kultural: Berkaitan dengan pembentukan identitas kolektif melalui Bahasa Indonesia, simbol-simbol negara (Bendera, Lagu Kebangsaan, Lambang Negara), sistem pendidikan yang terstandardisasi, dan pelestarian serta promosi budaya lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari Kebudayaan Nasional.

Kegagalan pada salah satu dimensi akan secara signifikan melemahkan dimensi lainnya. Misalnya, kegagalan dalam menasionalisasi ekonomi (ketergantungan pada modal asing) akan merusak dimensi politik (kebijakan negara rentan dipengaruhi kekuatan eksternal) dan sosial (kesenjangan ekonomi memicu konflik identitas lokal).

Simbol Menasionalisasi dan Persatuan Bangsa BHINNEKA TUNGGAL IKA

Ilustrasi 1: Menasionalisasi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai entitas lokal menjadi satu kesatuan yang kuat.

II. Akar Sejarah dan Perjuangan Ideologis Menasional

Menasionalisasi di Indonesia bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari kesadaran kolektif yang dipicu oleh penderitaan kolonialisme dan dorongan untuk menentukan nasib sendiri. Perjalanan ini dimulai jauh sebelum Proklamasi 1945, berakar pada gerakan kebangkitan nasional yang muncul pada awal abad ke-20. Kesadaran bahwa musuh bersama (kolonialisme) lebih besar daripada perbedaan suku, agama, dan bahasa adalah katalisator utama yang mendorong konvergensi identitas.

Sumpah Pemuda dan Transendensi Lokalitas

Peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan monumen paling penting dalam proses menasionalisasi ideologis. Sebelum momen tersebut, pergerakan kerap kali didasarkan pada identitas kedaerahan (Jong Java, Jong Sumatra, dll.). Sumpah Pemuda mentransformasi pandangan ini dengan menetapkan tiga pilar tunggal yang melampaui batas-batas lokal: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Keputusan untuk mengadopsi Bahasa Melayu (yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan adalah tindakan menasionalisasi yang paling radikal dan efektif, karena secara instan menciptakan saluran komunikasi dan kesamaan identitas di tengah ribuan bahasa daerah yang ada.

Sejarawan banyak mencatat bahwa pilihan Bahasa Indonesia tidak hanya karena faktor jumlah penutur, tetapi karena sifatnya yang non-diskriminatif. Berbeda dengan Bahasa Jawa yang kental dengan stratifikasi sosial, Bahasa Indonesia memungkinkan setiap individu dari Sabang hingga Merauke untuk berkomunikasi secara setara, menjadikannya instrumen ideal bagi pembangunan egalitarianisme nasional. Tanpa unifikasi bahasa ini, mustahil membentuk struktur administrasi negara, sistem hukum, dan kurikulum pendidikan yang seragam—fondasi esensial dari negara modern yang menasional.

Pancasila sebagai Kompromi Fundamental

Puncak dari perjuangan ideologis menasional adalah perumusan Pancasila. Pancasila bukan sekadar lima sila; ia adalah sintesis filosofis dan kompromi historis antara berbagai kelompok pendiri bangsa yang memiliki pandangan ideologi yang berbeda (sekuler, agamis, sosialis). Proses menasionalisasi mengharuskan adanya titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak, dan Pancasila berhasil mengisi peran ini. Ia berfungsi sebagai payung yang mengikat keberagaman dalam bingkai Ketuhanan yang berbudaya, Kemanusiaan yang adil, Persatuan yang inklusif, Kerakyatan yang musyawarah, dan Keadilan sosial yang merata.

Upaya untuk menasionalisasi ideologi terus berlanjut pasca-kemerdekaan. Penerapan Pancasila dalam berbagai kebijakan publik, sistem pendidikan (Pendidikan Moral Pancasila/Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dan sebagai dasar hukum negara, bertujuan untuk menanamkan kesadaran kolektif bahwa Indonesia adalah kesatuan yang tidak bisa dipecah. Ini adalah upaya berkelanjutan untuk mengatasi residu feodalisme dan primordialisme yang mungkin menghambat integrasi nasional.

"Menasionalisasi adalah pertarungan terus-menerus melawan egosentrisme lokal dan kepentingan pribadi, demi mewujudkan cita-cita kolektif yang tertuang dalam konstitusi."

III. Menasionalisasi Ekonomi: Kedaulatan Atas Sumber Daya

Salah satu aspek paling kritis dan seringkali menjadi medan pertempuran dalam proses menasionalisasi adalah sektor ekonomi. Bagi negara berkembang yang baru lepas dari penjajahan, menguasai ekonomi berarti mengamankan kemerdekaan sejati. Menasionalisasi ekonomi adalah upaya sistematis untuk mengalihkan kendali atas aset-aset strategis—yang sebelumnya dikuasai pihak asing atau swasta—kepada negara, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanat UUD 1945.

Implementasi Pasal 33 UUD 1945

Dasar filosofis dari menasionalisasi ekonomi Indonesia terpusat pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, khususnya ayat (2) dan (3). Ayat (3) menegaskan bahwa "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Ini adalah deklarasi kedaulatan ekonomi yang menolak sistem kapitalisme liberal murni dan memilih jalan tengah, yaitu ekonomi Pancasila atau sistem ekonomi kekeluargaan.

Konsekuensi dari pasal ini adalah pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berfungsi sebagai pilar ekonomi nasional. BUMN didirikan untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak—seperti listrik (PLN), minyak dan gas (Pertamina), telekomunikasi, dan air bersih. Proses menasionalisasi di sektor-sektor ini memastikan bahwa keuntungan dari pengelolaan sumber daya vital tidak mengalir keluar negeri, melainkan diinvestasikan kembali untuk pembangunan nasional, infrastruktur, dan subsidi publik.

Proses Pengambilalihan dan Tantangannya

Secara historis, menasionalisasi ekonomi ditandai oleh momen-momen penting, terutama pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir 1950-an. Tindakan ini bukan hanya respons terhadap konflik Irian Barat, tetapi juga manifestasi nyata dari kedaulatan ekonomi yang baru diperoleh. Perusahaan-perusahaan besar seperti Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang menjadi Garuda Indonesia, dan De Javasche Bank yang menjadi Bank Indonesia, adalah simbol konkret dari transisi kendali dari asing ke nasional.

Namun, proses menasionalisasi menghadapi tantangan berat dalam era kontemporer, yang ditandai oleh globalisasi dan liberalisasi pasar:

  1. Efisiensi vs. Ideologi: BUMN sering kali dikritik karena kurang efisien dibandingkan perusahaan swasta murni. Tantangannya adalah menyeimbangkan fungsi ideologisnya (melayani publik dan menjaga kedaulatan) dengan tuntutan profesionalisme dan keuntungan.
  2. Ancaman Asing Modern: Di era digital, menasionalisasi tidak hanya tentang aset fisik, tetapi juga data dan infrastruktur digital. Kedaulatan siber menjadi garis depan baru menasionalisasi, memastikan data warga negara dan transaksi digital di bawah kontrol nasional.
  3. Disparitas Regional: Menasionalisasi ekonomi harus menjangkau seluruh pelosok. Pembangunan infrastruktur di wilayah terluar (Tol Laut, pembangunan perbatasan, pemerataan harga BBM satu harga) adalah wujud nyata dari menasionalisasi yang bertujuan menghapus kesenjangan dan membuat setiap warga negara merasa diakui sebagai bagian integral dari bangsa.

Strategi Hilirisasi dan Kemandirian

Belakangan, strategi menasionalisasi ekonomi diwujudkan melalui kebijakan hilirisasi, khususnya di sektor mineral dan tambang. Kebijakan ini menekankan bahwa kekayaan alam, seperti nikel, bauksit, dan timah, tidak boleh diekspor dalam bentuk mentah. Menasionalisasi dalam konteks hilirisasi adalah memaksa penambahan nilai (value added) terjadi di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Ini adalah upaya untuk mengubah posisi Indonesia dari sekadar eksportir komoditas menjadi pemain utama dalam rantai pasok industri global, seperti baterai kendaraan listrik. Upaya ini merupakan langkah strategis yang sangat agresif dalam menegaskan kedaulatan ekonomi di panggung dunia.

Simbol Menasionalisasi Ekonomi dan Kedaulatan Sumber Daya PASAL 33

Ilustrasi 2: Pengendalian dan pemanfaatan sumber daya alam oleh negara (Pasal 33) sebagai inti dari menasionalisasi ekonomi.

IV. Menasionalisasi Budaya dan Pembentukan Identitas Kolektif

Jika politik menyediakan struktur dan ekonomi menyediakan sumber daya, maka budaya adalah jiwa yang mengisi ruang nasional. Proses menasionalisasi budaya adalah yang paling halus namun paling fundamental, karena ia beroperasi pada tingkat kesadaran, kebiasaan, dan narasi yang dianut bersama. Indonesia menghadapi tantangan unik: bagaimana mengambil kekayaan budaya yang sangat beragam—dari Aceh hingga Papua—dan menyatukannya menjadi satu kesatuan identitas tanpa memusnahkan keunikan lokal.

Peran Krusial Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia tetap menjadi agen tunggal menasionalisasi yang paling kuat. Standarisasi dan penyebarannya melalui sistem pendidikan, media massa, dan administrasi publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses ke wacana nasional. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai lingua franca yang memungkinkan seorang politisi dari Jawa berdialog dengan petani di Sulawesi atau nelayan di Maluku tanpa kehilangan makna substantif. Upaya ini harus terus dijaga, termasuk melalui pengawasan penggunaan bahasa asing yang berlebihan dalam ruang publik dan menjaga kemurnian tata bahasa yang baku.

Pendidikan memegang peran sentral dalam memastikan transmisi nilai-nilai nasional. Kurikulum nasional yang seragam, yang mengajarkan sejarah perjuangan, nilai-nilai Pancasila, dan pengenalan terhadap keberagaman budaya di seluruh nusantara, adalah investasi jangka panjang dalam menasionalisasi kesadaran generasi muda. Sekolah adalah laboratorium utama di mana identitas lokal bertemu dengan identitas nasional, dan di mana anak-anak diajarkan untuk menghargai warisan lokal mereka sambil memprioritaskan persatuan nasional.

Simbol dan Narasi Kolektif

Menasionalisasi budaya juga melibatkan pengakuan dan promosi simbol-simbol yang berfungsi sebagai penanda kolektif. Batik, misalnya, dulunya adalah kerajinan lokal, tetapi melalui upaya pemerintah dan pengakuan UNESCO, ia diangkat menjadi warisan budaya nasional Indonesia yang diakui global. Demikian pula, kuliner tradisional, musik daerah (seperti gamelan), dan tarian-tarian tradisional, meskipun berasal dari wilayah tertentu, dipromosikan sebagai kekayaan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Proses ini memerlukan strategi yang matang untuk menghindari sentralisasi budaya yang berlebihan (Jawanisasi atau Sumateranisasi). Pengelolaan budaya nasional harus bersifat inklusif, memastikan bahwa kontribusi dari suku-suku minoritas diakui dan diberi panggung setara. Dengan demikian, menasionalisasi budaya menjadi proses filtrasi dan adopsi, bukan homogenisasi paksa.

Tantangan Fragmentasi Digital

Di era digital, tantangan menasionalisasi budaya semakin kompleks. Media sosial dan platform hiburan global sering kali menawarkan narasi budaya asing yang lebih dominan, berpotensi mengikis identitas nasional. Upaya menasionalisasi kini harus merambah ke ranah digital, melalui produksi konten lokal yang berkualitas, penyediaan platform yang mendukung Bahasa Indonesia, dan perlindungan terhadap narasi sejarah yang akurat di tengah banjir informasi palsu.

Hal ini mendesak peran negara untuk menjadi kurator aktif dalam ranah budaya, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator bagi seniman dan budayawan lokal untuk memproduksi karya yang resonan dengan nilai-nilai nasional. Jika kita membiarkan ruang budaya diisi sepenuhnya oleh kekuatan pasar global tanpa filterisasi nasional, maka generasi mendatang mungkin kehilangan jejak koneksi emosional dan historis mereka terhadap identitas Indonesia.

V. Hukum dan Politik: Kerangka Kerja Menasionalisasi Struktural

Menasionalisasi di tingkat struktural politik adalah memastikan bahwa semua lembaga negara, dari tingkat pusat hingga daerah, beroperasi di bawah kerangka hukum yang tunggal dan berorientasi pada kepentingan nasional. Ini adalah upaya untuk mentransformasi sistem pemerintahan kolonial yang sentralistik dan eksploitatif menjadi sistem demokrasi yang melayani rakyat di seluruh wilayah kedaulatan.

Desentralisasi dalam Bingkai NKRI

Setelah reformasi, Indonesia mengadopsi sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang signifikan. Ini adalah respons terhadap sentralisasi berlebihan di masa sebelumnya. Namun, menasionalisasi menuntut bahwa desentralisasi tidak boleh diterjemahkan sebagai federalisme atau kesempatan untuk memisahkan diri. Otonomi daerah harus dipandang sebagai strategi menasionalisasi yang lebih efektif, di mana kekuasaan didelegasikan agar pelayanan publik lebih dekat ke rakyat, namun dengan pengawasan ketat dari pusat untuk menjaga keutuhan NKRI dan mencegah kebijakan yang diskriminatif atau bertentangan dengan UUD 1945.

Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) sangat penting dalam menjaga konsistensi hukum nasional. Setiap peraturan daerah (Perda) harus selaras dengan Undang-Undang di atasnya, yang pada akhirnya harus berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Proses menasionalisasi hukum adalah proses penyelarasan vertikal, memastikan tidak ada kantong-kantong hukum lokal yang berdiri sendiri di luar sistem nasional.

Penguatan Lembaga Negara Kunci

Proses menasionalisasi struktural juga melibatkan penguatan lembaga-lembaga yang secara spesifik memiliki mandat untuk menjaga kesatuan. TNI dan Polri, sebagai garda terdepan keamanan dan ketertiban, adalah manifestasi fisik dari menasionalisasi kedaulatan. Kehadiran mereka di wilayah perbatasan dan daerah terpencil tidak hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga sebagai simbol kehadiran negara di setiap jengkal tanah air. Mereka memastikan bahwa otoritas tunggal negara dihormati di mana pun.

Selain itu, lembaga-lembaga pengelola sumber daya strategis, seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atau lembaga pengelola dana abadi pendidikan, merupakan wujud dari menasionalisasi modal publik. Mereka memastikan bahwa kekayaan negara dikelola secara profesional dan transparan, demi kepentingan generasi sekarang dan masa depan, yang merupakan esensi dari menasionalisasi aset.

Pembangunan SDM Berperspektif Nasional

Menasionalisasi politik juga menuntut pembangunan sumber daya manusia (SDM) birokrasi yang memiliki perspektif nasional yang kuat. Aparatur Sipil Negara (ASN) harus direkrut dan ditempatkan berdasarkan meritokrasi dan kebutuhan negara, bukan berdasarkan koneksi atau primordialisme. Seorang pejabat yang ditempatkan di Papua harus mampu memahami dan menerapkan kebijakan yang dirancang untuk kepentingan seluruh Indonesia, begitu pula sebaliknya. Sistem pelatihan dan rotasi yang bersifat nasional menjadi kunci untuk memastikan birokrasi memiliki kesadaran kolektif yang tunggal.

Implementasi kebijakan yang bersifat menasional, seperti pembangunan ibu kota baru (IKN), adalah contoh monumental dari upaya politik untuk menggeser paradigma sentralistik Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris. Meskipun kompleks dan memakan biaya besar, langkah ini secara filosofis merupakan afirmasi ulang terhadap komitmen menasionalisasi, yaitu bahwa pembangunan harus merata dan pusat pemerintahan harus merefleksikan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang utuh.

VI. Tantangan Globalisasi dan Resiliensi Menasional

Di tengah gelombang globalisasi yang masif, proses menasionalisasi menghadapi tantangan baru yang lebih abstrak namun berpotensi lebih destruktif. Globalisasi membawa integrasi ekonomi, penyebaran budaya global (pop culture), dan mobilitas modal serta informasi yang sangat cepat. Tugas negara adalah memastikan bahwa integrasi ini tidak terjadi atas dasar penyerahan kedaulatan, melainkan atas dasar kepentingan nasional yang telah terumuskan dengan baik.

Menjaga Kedaulatan di Tengah Pasar Bebas

Integrasi Indonesia ke dalam organisasi perdagangan global (WTO, APEC) menuntut keterbukaan pasar. Namun, menasionalisasi mensyaratkan adanya batas-batas proteksi yang cerdas. Ini bukan berarti menutup diri, melainkan menerapkan kebijakan yang memprioritaskan industri dalam negeri, melindungi petani dan UMKM dari persaingan yang tidak adil, dan memastikan bahwa investasi asing membawa transfer teknologi dan bukan hanya eksploitasi sumber daya mentah.

Sektor pangan adalah contoh krusial. Kedaulatan pangan adalah inti dari menasionalisasi, memastikan bahwa negara tidak bergantung pada impor untuk komoditas dasar. Kebijakan pertanian, irigasi, dan logistik yang mendukung ketahanan pangan adalah wujud nyata dari pertahanan nasional di bidang ekonomi, yang menjamin stabilitas sosial dan politik tanpa tertekan oleh gejolak harga pangan global.

Perlindungan Identitas dari Kultur Asing

Serbuan budaya asing, khususnya dari Barat dan Asia Timur, melalui media digital dapat menimbulkan krisis identitas di kalangan generasi muda. Menasionalisasi harus berfungsi sebagai filter. Tidak semua budaya asing harus ditolak, tetapi harus ada upaya aktif untuk memperkuat narasi dan nilai-nilai lokal. Ini memerlukan pendanaan yang signifikan untuk lembaga-lembaga kebudayaan, museum, dan program pertukaran budaya dalam negeri yang mempertemukan pemuda dari berbagai provinsi.

Selain itu, resiliensi menasional diwujudkan dalam kemampuan bangsa untuk menjaga etika dan moralitas kolektif yang bersumber dari Pancasila. Ketika nilai-nilai individualisme dan materialisme ekstrem yang dibawa globalisasi mulai mengikis semangat gotong royong dan musyawarah, maka penegasan kembali nilai-nilai luhur bangsa menjadi sangat penting. Ini adalah pertempuran di level kesadaran dan karakter bangsa.

Diplomasi yang Menasional

Di panggung internasional, menasionalisasi diwujudkan melalui kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan mengutamakan kepentingan nasional. Diplomasi Indonesia tidak boleh hanya melayani kepentingan geopolitik blok tertentu, tetapi harus fokus pada isu-isu yang secara langsung memengaruhi rakyat: perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, penyelesaian sengketa perbatasan, dan upaya untuk menjaga perdamaian regional yang stabil bagi pembangunan ekonomi domestik.

Setiap perjanjian internasional yang ditandatangani harus melalui kajian mendalam untuk memastikan bahwa ia tidak melemahkan kedaulatan ekonomi atau hukum Indonesia. Sikap tegas dalam negosiasi hak pengelolaan aset vital—seperti divestasi saham di perusahaan tambang besar—adalah manifestasi tertinggi dari menasionalisasi kedaulatan di hadapan entitas korporat transnasional.

Simbol Menasionalisasi Budaya dan Inklusivitas Aksara Persatuan dalam Keberagaman

Ilustrasi 3: Budaya Nasional sebagai payung yang menaungi dan menyatukan gelombang keberagaman, dipandu oleh bahasa persatuan.

VII. Kontinuitas dan Masa Depan Proses Menasional

Menasionalisasi bukanlah tujuan akhir yang dapat dicapai dan kemudian diabaikan; ia adalah proses yang berkelanjutan, sebuah perjuangan yang harus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks Indonesia, di mana dinamika sosial, teknologi, dan geopolitik terus berubah, definisi dan implementasi dari menasional harus selalu diperbarui agar relevan dan efektif.

Memperkuat Ketahanan Ideologi

Masa depan menasionalisasi sangat bergantung pada ketahanan ideologi Pancasila. Generasi Z dan Alpha, yang hidup dalam ekosistem digital dan paparan informasi tanpa batas, memerlukan pendekatan baru dalam memahami dan menginternalisasi nilai-nilai nasional. Ini bukan lagi tentang menghafal lima sila, melainkan tentang menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam tindakan nyata—seperti toleransi beragama, keadilan sosial di lingkungan digital, dan penggunaan kekayaan alam secara bertanggung jawab.

Pendidikan karakter yang berbasis Pancasila harus diintegrasikan secara holistik ke dalam setiap mata pelajaran, menunjukkan relevansi nilai-nilai tersebut dengan tantangan modern, mulai dari perubahan iklim, etika kecerdasan buatan, hingga pemberantasan korupsi. Jika Pancasila hanya menjadi jargon, maka perekat nasional akan melemah. Jika ia menjadi panduan moral dan etis, menasionalisasi akan terus kuat.

Integrasi dan Pemerataan Pembangunan

Salah satu parameter keberhasilan menasionalisasi di masa depan adalah sejauh mana negara mampu mengatasi kesenjangan pembangunan antara wilayah barat dan timur, serta antara perkotaan dan pedesaan. Program pembangunan yang terpusat dan terencana dengan baik, seperti pembangunan infrastruktur konektivitas (jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan internet), harus dipandang sebagai upaya menasionalisasi ruang fisik. Ketika akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi setara di seluruh wilayah NKRI, maka rasa kepemilikan kolektif atas bangsa akan semakin menguat.

Aspek penting lainnya adalah integrasi ekonomi wilayah perbatasan. Wilayah perbatasan seringkali memiliki loyalitas ganda karena kedekatan ekonomi dan budaya dengan negara tetangga. Kebijakan menasionalisasi harus membuat warga perbatasan merasa bahwa mereka adalah prioritas utama negara, memastikan bahwa harga barang dan kualitas infrastruktur di perbatasan lebih baik daripada di seberang batas negara. Ini adalah strategi menasionalisasi yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan.

Regulasi dan Kedaulatan Data

Di masa depan, menasionalisasi akan semakin berfokus pada ruang siber. Negara harus mampu mengatur arus data internasional dan memastikan bahwa data pribadi warga negara Indonesia dilindungi, dan kedaulatan data berada di tangan entitas nasional. Kebijakan ini penting untuk mencegah manipulasi politik, ekonomi, atau sosial oleh pihak asing melalui eksploitasi data. Pembentukan infrastruktur digital nasional yang kuat dan aman adalah manifestasi terbaru dari menasionalisasi aset strategis.

Selain itu, menasionalisasi harus menjadi payung bagi kebijakan pertahanan total. Ancaman hibrida, termasuk perang informasi dan serangan siber, menuntut kesadaran nasional yang tinggi dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Menasionalisasi kesadaran pertahanan adalah prasyarat untuk menjaga kedaulatan, memastikan bahwa setiap warga negara merasa memiliki tanggung jawab kolektif untuk melindungi bangsa, bukan hanya tugas TNI atau Polri semata.

Kesimpulannya, menasionalisasi adalah janji kolektif yang harus terus ditegaskan ulang. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang penuh perjuangan menuju masa depan yang penuh harapan, di mana kedaulatan bukan hanya diakui di peta dunia, tetapi dirasakan manfaatnya secara adil oleh setiap individu di Indonesia.

VII.1. Elaborasi Mendalam: Dialektika Lokalitas dan Nasionalitas

Proses menasionalisasi di Indonesia tidak pernah menjadi garis lurus, melainkan sebuah dialektika yang kompleks antara mempertahankan keunikan lokal (partikularisme) dan membangun kesatuan nasional (universalitas). Kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk mengelola ketegangan ini. Jika partikularisme terlalu dominan, risiko disintegrasi akan muncul; jika universalitas terlalu menekan, kekayaan budaya lokal akan mati dan nasionalitas menjadi hampa tanpa akar. Oleh karena itu, menasionalisasi harus terus diuji dan diakui kembali melalui kebijakan yang bersifat rekonsiliatif dan apresiatif.

Dalam ranah pendidikan, misalnya, kebijakan menasional tidak hanya menetapkan kurikulum inti yang seragam—sejarah, Pancasila, Bahasa Indonesia—tetapi juga memberikan ruang yang cukup bagi muatan lokal. Pembelajaran bahasa daerah, seni tradisi, dan sejarah lokal yang diselaraskan dengan narasi nasional, berfungsi sebagai upaya untuk memastikan bahwa identitas kedaerahan menjadi fondasi, bukan penghalang, bagi identitas kebangsaan. Ini adalah strategi "Menasionalisasi dari Bawah," di mana kesadaran nasional tumbuh organik dari rasa bangga terhadap asal-usulnya, yang kemudian dihubungkan dengan kerangka bangsa yang lebih besar.

Tantangan Otonomi dan Loyalitas Ganda

Otonomi daerah, meskipun secara struktural merupakan penyerahan wewenang, secara ideologis adalah ujian bagi proses menasionalisasi. Ketika kepala daerah memiliki kewenangan besar atas pengelolaan sumber daya dan birokrasi, loyalitas mereka harus tetap tertuju pada kepentingan nasional. Munculnya politik dinasti atau eksploitasi sumber daya lokal demi keuntungan elit daerah adalah kegagalan menasionalisasi di tingkat implementasi. Oleh karena itu, penguatan pengawasan anti-korupsi dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu di seluruh wilayah adalah prasyarat mutlak untuk menjaga integritas proses menasionalisasi politik.

Pemerintah pusat perlu terus memperkuat mekanisme insentif dan disinsentif bagi daerah. Daerah yang berhasil mengelola sumber dayanya secara berkelanjutan dan menunjukkan komitmen tinggi terhadap pelayanan publik nasional (seperti pendidikan dan kesehatan yang merata) harus diberi apresiasi dan dukungan fiskal. Sebaliknya, daerah yang menunjukkan gejala segregasi, diskriminasi, atau korupsi yang merusak sendi-sendi nasional, harus mendapatkan intervensi hukum dan administratif yang tegas. Keseimbangan ini menegaskan bahwa menjadi bagian dari NKRI membawa tanggung jawab sekaligus manfaat yang tidak dapat ditawar.

VII.2. Menasionalisasi Infrastruktur Fisik dan Digital

Pembangunan infrastruktur adalah alat paling nyata dan masif dari menasionalisasi. Jika di masa lalu Belanda membangun rel kereta api dan jalan raya semata-mata untuk tujuan eksploitasi (menghubungkan perkebunan ke pelabuhan), maka pembangunan infrastruktur nasional modern bertujuan untuk integrasi. Jalan Trans-Sumatera, Trans-Jawa, dan program pembangunan di Kalimantan dan Sulawesi dirancang untuk memecah isolasi geografis, menurunkan biaya logistik, dan menyamakan harga barang di seluruh negeri.

Dampak ekonomi dari menasionalisasi infrastruktur sangat besar. Ketika harga semen di Papua sama dengan harga di Jakarta, ini bukan hanya masalah subsidi, tetapi masalah afirmasi kedaulatan: Negara memastikan bahwa tidak ada warga negara yang merasa terisolasi atau dieksploitasi karena lokasi geografisnya. Pembangunan ini adalah upaya untuk menerjemahkan keadilan sosial (Sila Kelima) ke dalam bentuk fisik yang dapat disentuh dan dirasakan oleh masyarakat di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).

Dalam konteks digital, proyek Palapa Ring adalah contoh ambisius dari menasionalisasi infrastruktur telekomunikasi. Menyediakan jaringan serat optik ke seluruh nusantara memastikan bahwa akses informasi dan peluang ekonomi digital dapat dinikmati secara merata. Menasionalisasi akses ini penting, karena di era informasi, akses terhadap internet adalah hak dasar yang menentukan partisipasi seseorang dalam wacana dan ekonomi nasional. Tanpa akses yang merata, kesenjangan sosial-ekonomi akan semakin melebar, mengancam fondasi persatuan yang dibangun dengan susah payah.

VII.3. Menasionalisasi Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif

Menasionalisasi tidak hanya terbatas pada BUMN besar atau sumber daya alam. Di tingkat mikro, menasionalisasi juga harus merangkul dan memberdayakan kewirausahaan lokal dan ekonomi kreatif sebagai bagian integral dari kekuatan ekonomi nasional. UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menjaga stabilitas ekonomi lokal.

Dukungan menasionalisasi bagi UMKM meliputi: standarisasi kualitas produk agar mampu bersaing di pasar nasional; fasilitasi akses permodalan yang adil dan merata; serta promosi produk lokal ke pasar internasional. Ketika sebuah produk kerajinan dari Nusa Tenggara Timur diakui dan dipasarkan secara nasional, ini adalah afirmasi bahwa identitas lokal telah berhasil diangkat menjadi aset nasional.

Sektor ekonomi kreatif, yang didominasi oleh anak muda, memerlukan perlindungan kekayaan intelektual (HKI) yang kuat. Menasionalisasi HKI memastikan bahwa inovasi dan kreativitas anak bangsa di bidang musik, film, desain, dan teknologi, diakui sebagai aset negara dan terlindungi dari pembajakan atau eksploitasi pihak asing. Melalui penguatan sektor ini, Indonesia tidak hanya mengamankan ekonomi, tetapi juga mengekspor narasi dan nilai-nilai budayanya ke dunia, menjadikannya kekuatan lunak (soft power) yang berbasis nasional.

VII.4. Peran Kebijakan Pertanahan dalam Menasionalisasi

Kepemilikan atas tanah dan sumber daya agraria adalah isu yang sangat emosional dan fundamental dalam menasionalisasi. Sejarah menunjukkan bahwa konflik agraria seringkali menjadi pemicu ketidakpercayaan terhadap negara. Kebijakan menasionalisasi agraria harus berfokus pada pengembalian hak-hak tanah adat (ulayat) yang selama ini terampas oleh korporasi atau kepentingan kolonial, serta redistribusi tanah (land reform) untuk memastikan keadilan bagi petani gurem.

Reformasi agraria yang sejati adalah upaya menasionalisasi keadilan sosial. Ini bukan hanya tentang membagikan sertifikat, tetapi tentang memastikan bahwa tanah yang dikuasai negara benar-benar dioptimalkan untuk kemakmuran rakyat, sesuai mandat Pasal 33. Kebijakan ini juga mencakup perlindungan lahan pertanian produktif dari konversi menjadi properti komersial, menjamin ketahanan pangan jangka panjang yang merupakan pilar kedaulatan ekonomi yang tak tergoyahkan.

Setiap sertifikat tanah yang diterbitkan oleh negara di pelosok daerah adalah simbol pengakuan kedaulatan dan kepemilikan warga negara atas asetnya, di bawah payung hukum Republik Indonesia. Ini memperkuat rasa aman dan loyalitas warga negara terhadap entitas nasional, karena mereka merasa bahwa negara hadir sebagai pelindung hak-hak fundamental mereka. Proses ini merupakan upaya menasionalisasi yang paling konkret dan langsung menyentuh kehidupan rakyat kecil.

VIII. Kesimpulan: Menasional Sebagai Warisan Kritis

Menasionalisasi adalah warisan kritis yang terus diolah dan diperjuangkan. Ia adalah sebuah kontrak sosial yang mewajibkan negara untuk hadir secara adil dan merata di seluruh wilayah, dan mewajibkan warga negara untuk menempatkan kepentingan persatuan di atas kepentingan sektoral. Dari dimensi ideologis (Pancasila) hingga dimensi ekonomi (Pasal 33), setiap kebijakan yang diambil harus menguatkan fondasi kedaulatan tunggal NKRI.

Di era yang semakin terglobalisasi, tantangan untuk tetap menasional semakin berat, memerlukan kecerdasan adaptif dan ketegasan ideologis. Masa depan bangsa Indonesia bergantung pada kemampuan kolektif kita untuk terus memperbarui dan memperkuat proses menasionalisasi, memastikan bahwa Bhinneka Tunggal Ika—semboyan yang menjadi jantung dari proses ini—bukan hanya slogan, melainkan realitas hidup yang dihayati bersama.

🏠 Kembali ke Homepage