MENGUAK MAKNA DAN STRATEGI NASIONALISASI ASET BANGSA

I. Pendahuluan: Definisi dan Urgensi Menasionalisasikan Aset Strategis

Tindakan menasionalisasikan, sebuah konsep yang bergema kuat dalam sejarah ekonomi dan politik global, merujuk pada proses formal di mana suatu negara atau pemerintah mengambil alih kepemilikan dan kendali atas aset, industri, atau perusahaan swasta, seringkali yang dimiliki oleh entitas asing, dan menjadikannya milik publik atau negara. Ini adalah manifestasi nyata dari kedaulatan ekonomi sebuah bangsa, sebuah instrumen krusial dalam pembangunan identitas nasional, dan fondasi bagi upaya untuk mengendalikan takdir ekonomi sendiri. Dalam konteks Indonesia, istilah ini tidak hanya sekadar istilah teknis hukum, melainkan narasi panjang perjuangan melawan sisa-sisa dominasi ekonomi kolonial dan upaya untuk mewujudkan amanat konstitusi.

Keputusan untuk menasionalisasikan biasanya didorong oleh serangkaian motif yang kompleks, mulai dari kebutuhan untuk mengamankan sumber daya alam yang vital, keinginan untuk redistribusi kekayaan, hingga upaya stabilisasi industri yang gagal di bawah pengelolaan swasta. Motivasi utama yang melandasi tindakan ini di banyak negara berkembang, terutama Indonesia, adalah kedaulatan dan penegasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Nasionalisasi, oleh karena itu, berfungsi sebagai mekanisme transisi kepemilikan dari tangan asing—yang seringkali hanya berorientasi pada keuntungan eksternal—ke tangan negara yang bertanggung jawab atas kesejahteraan kolektif rakyat.

Pada awalnya, gelombang besar nasionalisasi pasca-Perang Dunia II di Asia dan Afrika merupakan respons langsung terhadap runtuhnya imperium kolonial. Bagi Indonesia, langkah untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda pasca-1950-an adalah tindakan politis yang tak terhindarkan, sebuah puncaknya konfrontasi diplomatik dan ekonomi yang dikenal sebagai perjuangan merebut Irian Barat. Ini bukan hanya tentang aset materiil, tetapi juga tentang simbolisme; mengubah kantor-kantor dagang yang selama ratusan tahun menjadi simbol eksploitasi menjadi instrumen pembangunan nasional. Proses ini melibatkan ribuan aset, mulai dari perkebunan skala besar, bank-bank sentral, hingga perusahaan pelayaran dan pertambangan yang menjadi urat nadi perekonomian.

ASET Representasi kedaulatan atas sumber daya negara.

Gambar I: Ilustrasi Pengambilalihan Aset oleh Negara.

II. Landasan Filosofis dan Hukum Menasionalisasikan di Indonesia

A. Konstitusi sebagai Pilar Utama

Fondasi ideologis bagi setiap tindakan untuk menasionalisasikan di Indonesia berakar kuat pada kedaulatan rakyat dan konsep ekonomi kolektif sebagaimana diuraikan dalam UUD 1945. Khususnya, Pasal 33 UUD 1945 menjadi mantra kebijakan ekonomi negara. Ayat (2) pasal tersebut menyatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." Ayat (3) menambahkan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Prinsip-prinsip ini memberikan legitimasi hukum yang tak terbantahkan bagi pemerintah untuk sewaktu-waktu menasionalisasikan sektor-sektor kunci, menjadikannya bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan kewajiban konstitusional.

Interpretasi atas "menguasai hajat hidup orang banyak" telah meluas seiring perkembangan zaman. Pada era awal kemerdekaan, ini secara eksplisit merujuk pada listrik, air, telekomunikasi, dan pelabuhan. Namun, dalam era modern, diskusi mengenai apakah sektor digital, infrastruktur data, atau bahkan paten-paten strategis tertentu harus dikuasai atau diatur secara ketat oleh negara menjadi relevan, menunjukkan bahwa mandat untuk menasionalisasikan terus beradaptasi dengan kebutuhan dan ancaman ekonomi kontemporer. Tujuan utamanya tetap konsisten: memutus rantai kontrol yang eksploitatif dan mengarahkan keuntungan dari sumber daya tersebut kembali kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada sekelompok kecil pemegang modal.

B. Prinsip Kesejahteraan dan Keadilan Sosial

Selain landasan hukum formal, proses menasionalisasikan juga didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam banyak kasus, nasionalisasi merupakan koreksi terhadap ketidakseimbangan struktural yang diwarisi dari masa lalu, di mana kepemilikan aset kunci terpusat pada kelompok tertentu atau kepentingan asing, mengakibatkan disparitas ekonomi yang tajam. Dengan mengambil alih kontrol, negara berharap dapat memastikan bahwa sumber daya alam yang tidak terbarukan dieksploitasi dengan cara yang berkelanjutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai program-program sosial, pendidikan, dan kesehatan, sehingga secara fundamental berkontribusi pada pencapaian cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Namun, pelaksanaan menasionalisasikan juga menghadirkan dilema etika dan ekonomi. Salah satu isu paling sensitif adalah kompensasi. Hukum internasional umumnya mensyaratkan bahwa pengambilalihan aset harus diikuti dengan kompensasi yang "segera, efektif, dan memadai." Negosiasi mengenai nilai aset dan bentuk kompensasi seringkali menjadi medan pertempuran hukum dan diplomatik yang panjang, sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus sengketa investasi internasional. Kegagalan dalam memberikan kompensasi yang dianggap adil dapat merusak reputasi investasi sebuah negara dan memicu arbitrase internasional, meskipun secara filosofis, negara berhak penuh untuk mengatur asetnya demi kepentingan publik yang lebih besar.

III. Sejarah Menasionalisasikan di Indonesia: Dari Konfrontasi Hingga Konsolidasi

A. Gelombang Nasionalisasi Pasca-Konferensi Meja Bundar (1950-an)

Sejarah Indonesia tidak dapat dipisahkan dari upaya gigih untuk menasionalisasikan aset-aset kolonial. Meskipun kemerdekaan diakui secara de jure pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), struktur ekonomi Indonesia saat itu masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda (NVA - Netherlandse Ondernemingen in Indonesië). Pemerintah Indonesia pada masa demokrasi parlementer menghadapi tekanan besar untuk membebaskan diri dari belenggu ekonomi ini.

Puncaknya terjadi pada Desember 1957. Sebagai respons terhadap kegagalan negosiasi mengenai status Irian Barat di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Indonesia, yang didukung oleh aksi massa buruh, memulai tindakan radikal untuk menasionalisasikan semua perusahaan Belanda. Langkah ini adalah salah satu tindakan ekonomi-politik paling berani dan besar dalam sejarah Republik. Ribuan perusahaan yang mencakup pelayaran (KPM), perbankan (NHM menjadi cikal bakal Bank Indonesia dan Bank Dagang Negara), perkebunan (menjadi PN Perkebunan), dan perusahaan dagang besar lainnya, beralih kepemilikan dalam semalam. Proses ini secara masif mengubah lanskap ekonomi dan memberikan negara alat kontrol yang diperlukan untuk memulai program pembangunan terencana.

B. Kasus Perminyakan: Menasionalisasikan Kontrol Sumber Daya

Sektor energi, khususnya minyak dan gas, merupakan area di mana tindakan menasionalisasikan dilakukan secara bertahap namun strategis. Awalnya, perusahaan minyak asing seperti Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM, cikal bakal Shell) dan Caltex menguasai hampir seluruh produksi. Langkah progresif dimulai dengan pembentukan perusahaan minyak negara, yang puncaknya adalah peleburan PN Permina dan PN Pertamin menjadi Pertamina. Ini bukan hanya sekadar penggantian nama; ini adalah perubahan filosofi dari sistem konsesi (di mana perusahaan asing memiliki hak penuh atas sumber daya) menjadi sistem Kontrak Karya (KK), dan kemudian sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC).

Pergeseran ini memungkinkan Indonesia untuk menasionalisasikan kepemilikan sumber daya di bawah tanah (migas adalah milik negara), sementara kontraktor asing hanya bertindak sebagai operator yang menanggung risiko eksplorasi dan menerima bagian dari produksi. Kebijakan ini merupakan model yang kemudian ditiru oleh banyak negara penghasil minyak lain. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa kendali operasional, penentuan harga, dan, yang terpenting, bagian terbesar dari keuntungan, tetap berada di tangan bangsa Indonesia. Keputusan strategis untuk menasionalisasikan kontrol ini telah menjamin pendapatan besar bagi kas negara selama beberapa dekade.

C. Tantangan Manajemen Pasca-Nasionalisasi

Meskipun tindakan menasionalisasikan berhasil mencapai tujuan kedaulatan, fase pasca-pengambilalihan sering kali menimbulkan tantangan manajerial yang signifikan. Aset yang diwarisi dari perusahaan kolonial harus dikelola oleh birokrasi dan tenaga ahli nasional yang jumlahnya terbatas. Akibatnya, beberapa perusahaan negara (BUMN) menghadapi masalah efisiensi, intervensi politik, dan kurangnya inovasi dalam beberapa periode. Kritikus berpendapat bahwa semangat kedaulatan seringkali tidak sejalan dengan efisiensi ekonomi. Memang, mempertahankan aset yang telah dinasionalisasikan memerlukan investasi besar dalam sumber daya manusia, teknologi, dan tata kelola yang bersih, sebuah pelajaran berharga yang terus relevan hingga saat ini.

IV. Studi Kasus Mendalam: Dinamika Menasionalisasikan Sektor Krusial

A. Transformasi Sektor Perbankan dan Keuangan

Salah satu sektor vital yang segera dinasionalisasikan adalah perbankan. Kontrol atas sistem moneter dan kredit adalah prasyarat mutlak bagi kedaulatan ekonomi. Langkah untuk menasionalisasikan bank-bank besar Belanda seperti De Javasche Bank (menjadi Bank Indonesia) dan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) adalah langkah fundamental. Pengambilalihan ini memungkinkan pemerintah Indonesia untuk menetapkan kebijakan moneter independen, mencetak mata uang sendiri, dan mengarahkan aliran kredit sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.

Transformasi ini memastikan bahwa keuntungan dari layanan keuangan tidak lagi mengalir ke luar negeri, tetapi digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur domestik. Namun, proses menasionalisasikan ini juga kompleks, terutama ketika menghadapi krisis keuangan global. Pada era Orde Baru, meskipun banyak bank tetap berstatus BUMN, liberalisasi pasar keuangan memicu masuknya modal asing. Krisis 1998 menunjukkan kerentanan sistem yang terintegrasi, yang pada gilirannya memicu serangkaian tindakan semi-nasionalisasi atau rekapitalisasi paksa, di mana pemerintah mengambil alih bank-bank yang kolaps melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), membuktikan bahwa intervensi negara dalam kepemilikan aset strategis tidak hanya terjadi dalam konteks dekolonisasi, tetapi juga dalam konteks penyelamatan ekonomi.

B. Menasionalisasikan Infrastruktur Pelayaran dan Logistik

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, penguasaan infrastruktur pelayaran sangat penting. Ketika Indonesia memutuskan untuk menasionalisasikan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda yang menguasai jalur maritim Nusantara, langkah ini memiliki implikasi geopolitik dan logistik yang sangat besar. KPM diubah menjadi Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia). Pengambilalihan ini bertujuan untuk menyatukan nusantara secara ekonomi dan memastikan bahwa transportasi komoditas dan penumpang tidak bergantung pada kepentingan asing.

Meskipun menghadapi kesulitan operasional di awal, tindakan menasionalisasikan sektor pelayaran ini adalah kunci dalam pembangunan ekonomi terpadu. Tanpa kontrol atas logistik dan pelayaran, harga komoditas di wilayah timur akan selalu dikendalikan oleh kekuatan luar, menghambat integrasi pasar domestik. Oleh karena itu, Pelni dan BUMN pelabuhan yang dinasionalisasikan (seperti Pelindo) bertindak sebagai jangkar kedaulatan logistik, meski tuntutan efisiensi di era globalisasi modern terus menantang peran dan struktur BUMN-BUMN ini.

C. Menasionalisasikan Pertambangan dan Mineral Baru

Dalam beberapa dekade terakhir, tindakan untuk menasionalisasikan kepemilikan tidak selalu berbentuk pengambilalihan aset fisik, tetapi melalui restrukturisasi kontrak dan peningkatan saham negara (divestasi). Kasus Freeport di Papua adalah contoh modern paling menonjol dari upaya Indonesia untuk meningkatkan kontrol dan kepemilikan dalam operasi pertambangan raksasa. Melalui negosiasi yang alot, pemerintah berhasil menasionalisasikan mayoritas saham PT Freeport Indonesia, meningkatkan kepemilikan negara dari minoritas menjadi mayoritas (51%).

Langkah ini merupakan implementasi kontemporer dari mandat Pasal 33. Walaupun perusahaan asing tetap menjadi operator, kepemilikan mayoritas saham oleh BUMN (Inalum) memastikan bahwa keputusan strategis dan bagian terbesar dari keuntungan mengalir kembali kepada negara. Ini menunjukkan evolusi strategi nasionalisasi; bukan lagi sekadar pengambilalihan paksa, melainkan penguasaan saham mayoritas melalui skema investasi dan negosiasi, yang diakui secara internasional. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan perhitungan yang sangat detail terkait nilai valuasi, hak pengelolaan, dan tanggung jawab lingkungan, menegaskan bahwa proses menasionalisasikan di era modern jauh lebih kompleks daripada di masa dekolonisasi.

Ilustrasi sektor pertambangan dan energi.

Gambar II: Sektor Strategis yang Kerap Menjadi Target Nasionalisasi.

V. Dampak Ekonomi dan Sosial dari Tindakan Menasionalisasikan

A. Keuntungan Makroekonomi: Kedaulatan Fiskal dan Stabilisasi

Keuntungan paling signifikan dari tindakan menasionalisasikan adalah penguatan kedaulatan fiskal. Ketika perusahaan-perusahaan strategis berada di bawah kendali negara, pemerintah dapat memastikan bahwa royalti, pajak, dan dividen dialokasikan sepenuhnya untuk kepentingan domestik. Ini sangat penting untuk komoditas yang harganya sangat fluktuatif di pasar global, seperti minyak, batu bara, atau tembaga. Dengan kontrol penuh, negara dapat menggunakan pendapatan BUMN yang dinasionalisasikan sebagai penyangga ekonomi selama masa krisis, memastikan stabilitas harga domestik, dan menyediakan subsidi yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak.

Lebih jauh lagi, nasionalisasi memungkinkan perencanaan ekonomi jangka panjang yang lebih kohesif. Perusahaan swasta, terutama entitas asing, cenderung berfokus pada horizon keuntungan jangka pendek. Sebaliknya, BUMN yang dinasionalisasikan, seperti PLN atau Pertamina, diamanatkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional meskipun proyek tersebut mungkin tidak menguntungkan secara komersial dalam jangka pendek. Tindakan untuk menasionalisasikan, oleh karena itu, adalah alat untuk mengintegrasikan kebutuhan pasar dengan tujuan pembangunan sosial, sebuah keseimbangan yang sulit dicapai dalam sistem pasar bebas murni.

B. Tantangan Efisiensi dan Inovasi

Di sisi lain, kritikus sering menyoroti tantangan yang muncul setelah langkah menasionalisasikan berhasil dilakukan. Salah satu kritik utama adalah potensi penurunan efisiensi. BUMN sering dikritik karena birokrasi yang kaku, kurangnya insentif inovasi, dan kerentanan terhadap intervensi politik atau praktik korupsi. Tanpa tekanan kompetitif yang ketat dari pasar, beberapa entitas yang dinasionalisasikan dapat menjadi lamban dan mahal dalam operasionalnya.

Mengatasi tantangan ini membutuhkan reformasi tata kelola BUMN yang berkelanjutan. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa restrukturisasi dan profesionalisasi manajemen adalah kunci untuk mempertahankan semangat nasionalisasi sambil meningkatkan daya saing. Upaya modern untuk menasionalisasikan, seperti yang terjadi pada sektor telekomunikasi dan infrastruktur digital, harus dibarengi dengan komitmen pada praktik tata kelola perusahaan yang baik (GCG) agar aset negara benar-benar memberikan manfaat optimal dan tidak menjadi beban fiskal.

C. Dampak Terhadap Lingkungan Investasi

Keputusan untuk menasionalisasikan, terutama jika dilakukan tanpa kompensasi yang memadai atau melalui proses yang tidak transparan, dapat mengirimkan sinyal negatif yang kuat kepada investor asing. Hal ini dapat meningkatkan risiko politik (political risk) yang diperhitungkan oleh calon investor, yang pada gilirannya dapat menaikkan biaya modal dan menghambat investasi langsung asing (FDI) di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam melaksanakan nasionalisasi, memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan perjanjian bilateral dan multilateral serta hukum internasional.

Namun, perlu ditekankan bahwa nasionalisasi yang dilakukan secara sah dan terstruktur, seperti skema divestasi saham mayoritas, sering kali diterima oleh komunitas investasi sebagai bagian dari evolusi kedaulatan negara. Ketika Indonesia berhasil menasionalisasikan sebagian besar saham perusahaan tambang besar melalui negosiasi, pesan yang disampaikan adalah bahwa Indonesia terbuka untuk investasi, tetapi di bawah persyaratan yang menjamin kepentingan nasional mayoritas. Ini adalah keseimbangan sulit antara kebutuhan modal asing dan kewajiban konstitusional untuk menguasai aset strategis.

VI. Mekanisme dan Prosedur Hukum Menasionalisasikan di Era Modern

A. Tinjauan Aspek Legal dan Kompensasi

Proses hukum untuk menasionalisasikan sebuah perusahaan harus didukung oleh landasan hukum domestik yang kuat, biasanya melalui Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Di Indonesia, undang-undang mengenai penanaman modal dan BUMN memberikan kerangka kerja untuk pengambilalihan atau restrukturisasi kepemilikan. Yang paling krusial adalah penentuan nilai kompensasi. Prinsip kompensasi harus memenuhi standar "adil dan wajar."

Menentukan apa yang adil dan wajar seringkali menjadi sengketa. Apakah kompensasi harus didasarkan pada nilai buku (book value), nilai pasar (market value), atau nilai aset yang telah disusutkan (depreciated replacement value)? Dalam kasus nasionalisasi aset kolonial tahun 1950-an, isu kompensasi sering dikesampingkan karena adanya klaim balik Indonesia atas kerugian yang diderita selama masa pendudukan kolonial. Namun, dalam kasus modern, seperti divestasi tambang atau pengambilalihan kontrak energi, kompensasi harus melalui proses audit independen yang teliti untuk menghindari sengketa internasional. Kehati-hatian dalam proses hukum ini memastikan bahwa langkah menasionalisasikan tidak dianggap sebagai perampasan (expropriation) yang melanggar hukum internasional.

B. Menasionalisasikan Kontrol Vs. Menasionalisasikan Kepemilikan

Dalam praktik kontemporer, upaya untuk menasionalisasikan tidak selalu berarti mengambil alih 100% kepemilikan. Seringkali, negara lebih memilih untuk mengamankan kontrol strategis melalui beberapa mekanisme:

  1. Divestasi Saham Mayoritas: Memaksa entitas asing untuk menjual saham mayoritas kepada BUMN.
  2. Pengubahan Kontrak: Mengubah kontrak konsesi menjadi kontrak bagi hasil (PSC) yang memberikan negara kendali penuh atas produksi dan penentuan harga.
  3. Golden Share (Saham Emas): Negara memegang saham khusus yang, meskipun minoritas, memberikan hak veto atas keputusan strategis, seperti penjualan aset utama atau perubahan dewan direksi.
Strategi penguasaan kontrol ini jauh lebih fleksibel dan minim risiko dibandingkan nasionalisasi total, karena masih memungkinkan modal dan keahlian asing untuk tetap beroperasi, sementara kedaulatan negara tetap terjaga. Ini adalah pendekatan yang lebih pragmatis dalam upaya untuk menasionalisasikan manfaat ekonomi tanpa menanggung seluruh risiko operasional.

VII. Nasionalisasi dalam Konteks Kontemporer: Sektor Baru dan Tantangan Digital

A. Menasionalisasikan Data dan Infrastruktur Digital

Di abad ke-21, konsep aset strategis telah meluas dari sumur minyak dan pelabuhan hingga ke domain siber. Data, konektivitas, dan infrastruktur telekomunikasi kini dianggap sebagai "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara." Pertanyaannya adalah, bagaimana negara dapat menasionalisasikan kontrol atas aset-aset digital ini tanpa menghambat inovasi?

Upaya ini terwujud melalui regulasi ketat mengenai lokasi penyimpanan data (data localization), kontrol atas gerbang internet (internet backbone), dan kepemilikan BUMN di sektor telekomunikasi. Ketika sebuah perusahaan asing menguasai infrastruktur digital vital, kemampuan negara untuk menjamin keamanan siber, privasi warganya, dan bahkan stabilitas politik dapat terancam. Oleh karena itu, langkah untuk menasionalisasikan dalam bentuk regulasi yang ketat dan kepemilikan mayoritas BUMN atas menara telekomunikasi dan satelit menjadi sangat relevan, memastikan bahwa informasi strategis tidak sepenuhnya berada di bawah yurisdiksi asing.

B. Kedaulatan Farmasi dan Kesehatan

Pandemi global yang terjadi beberapa waktu lalu menyoroti kerentanan Indonesia terhadap pasokan asing, khususnya dalam sektor farmasi dan alat kesehatan. Hal ini memicu diskusi baru tentang perlunya tindakan untuk menasionalisasikan atau setidaknya menguatkan kontrol negara atas rantai pasok obat-obatan esensial dan teknologi kesehatan vital (seperti produksi vaksin). Ini bukan berarti mengambil alih setiap pabrik obat, tetapi memastikan bahwa kapasitas produksi domestik didukung, dijamin, dan dilindungi dari persaingan impor yang merusak.

Dalam konteks ini, langkah menasionalisasikan dapat berarti penguatan BUMN farmasi, pemberian hak eksklusif (preferensi) dalam pengadaan pemerintah, dan dukungan penelitian dan pengembangan yang didanai negara. Tujuan akhirnya adalah kedaulatan kesehatan—kemampuan negara untuk melindungi warganya dari krisis tanpa bergantung sepenuhnya pada geopolitik dan pasokan global yang tidak stabil. Kebijakan ini merupakan interpretasi modern dari mandat konstitusional untuk menguasai hajat hidup orang banyak.

C. Nasionalisasi sebagai Alat Pembangunan Industri Hulu

Akhir-akhir ini, kebijakan hilirisasi (downstreaming) mineral, seperti nikel dan bauksit, dapat dilihat sebagai bentuk nasionalisasi ekonomi yang lebih halus namun sangat berdampak. Larangan ekspor bahan mentah, yang memaksa investor asing maupun domestik untuk membangun fasilitas pemrosesan (smelter) di Indonesia, secara efektif menasionalisasikan nilai tambah (added value) dari sumber daya tersebut.

Meskipun perusahaan yang membangun smelter mungkin tetap swasta atau asing, negara telah berhasil mengamankan tahapan pemrosesan yang paling menguntungkan di dalam negeri. Artinya, keuntungan dari pengolahan nikel menjadi baterai atau stainless steel kini berada di Indonesia, menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan pendapatan pajak yang lebih besar. Pendekatan ini adalah cara inovatif untuk menasionalisasikan manfaat ekonomi dan industrialisasi tanpa harus sepenuhnya mengambil alih kepemilikan aset di tambang itu sendiri, menandakan bahwa strategi nasionalisasi terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi dan geopolitik global.

VIII. Perdebatan Abadi: Efisiensi vs. Kedaulatan dalam Menasionalisasikan

A. Argumen Pendukung Kedaulatan Ekonomi

Para pendukung tindakan menasionalisasikan selalu menempatkan kedaulatan ekonomi di atas segalanya. Mereka berargumen bahwa tidak ada perusahaan asing, seefisien apa pun, yang akan pernah memprioritaskan kepentingan nasional Indonesia di atas kepentingan pemegang saham global mereka. Hanya negara, melalui BUMN, yang memiliki mandat untuk menjalankan fungsi sosial dan memastikan pasokan energi, air, atau pangan tersedia secara merata, bahkan di daerah terpencil yang tidak menguntungkan secara komersial.

Lebih dari itu, penguasaan atas aset strategis memberikan negara kekuatan tawar-menawar (bargaining power) yang sangat besar di panggung internasional. Negara-negara yang berhasil menasionalisasikan kontrol atas sumber daya mereka, seperti negara-negara OPEC, memiliki suara yang lebih kuat dalam diplomasi global. Bagi Indonesia, mempertahankan kontrol atas sumber daya alam adalah prasyarat untuk menjadi negara yang mandiri dan tidak rentan terhadap tekanan politik atau ekonomi dari kekuatan besar.

B. Argumen Menentang dan Fokus pada Tata Kelola

Penentang nasionalisasi total sering kali mengkhawatirkan konsekuensi jangka panjang terhadap efisiensi dan daya saing. Mereka berpendapat bahwa mekanisme pasar, ketika diatur dengan baik, cenderung lebih efisien dalam alokasi modal dan inovasi. Mereka khawatir bahwa BUMN yang dinasionalisasikan, tanpa disiplin pasar, cenderung memboroskan sumber daya atau menjadi arena bagi kepentingan politik sesaat, alih-alih melayani kepentingan publik secara optimal.

Oleh karena itu, perdebatan modern telah bergeser dari "apakah kita harus menasionalisasikan" menjadi "bagaimana kita mengelola aset yang sudah dinasionalisasikan." Fokusnya kini adalah pada reformasi BUMN: menerapkan standar manajemen kelas dunia, membatasi intervensi politik, dan memastikan transparansi. Jika BUMN yang dinasionalisasikan tidak dikelola secara profesional, tujuan kedaulatan itu sendiri bisa tercoreng oleh kegagalan operasional dan kerugian finansial yang pada akhirnya harus ditanggung oleh rakyat.

Isu mengenai tata kelola ini sangat mendasar. Ketika negara memutuskan untuk menasionalisasikan, negara mengambil risiko operasional dan keuangan yang sebelumnya ditanggung oleh swasta. Jika risiko ini tidak dikelola dengan hati-hati, hasil yang dinanti-nantikan berupa kemakmuran dapat berubah menjadi beban utang dan inefisiensi. Sejarah ekonomi Indonesia, dengan pasang surutnya kinerja BUMN, memberikan bukti nyata bahwa kedaulatan tanpa efisiensi adalah kedaulatan yang mahal dan kurang berkelanjutan. Oleh sebab itu, setiap langkah strategis untuk menasionalisasikan harus dibarengi dengan rencana detail mengenai profesionalisasi manajemen pasca-pengambilalihan.

IX. Menasionalisasikan dan Hukum Investasi Internasional

A. Sengketa dan Arbitrase dalam Proses Pengambilalihan

Ketika sebuah negara mengambil tindakan untuk menasionalisasikan aset yang dimiliki oleh entitas asing, hampir selalu terjadi potensi konflik dengan rezim hukum investasi internasional, terutama di bawah Perjanjian Investasi Bilateral (BITs) dan mekanisme arbitrase seperti ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes). Perjanjian-perjanjian ini dirancang untuk melindungi investor asing dari pengambilalihan yang diskriminatif atau tidak kompensatif (expropriation).

Indonesia, seperti negara berkembang lainnya, telah terlibat dalam beberapa sengketa arbitrase yang berkaitan dengan isu nasionalisasi atau tindakan yang dianggap setara dengan nasionalisasi (seperti perubahan regulasi yang drastis yang merampas nilai investasi). Penting bagi pemerintah yang hendak menasionalisasikan untuk membuktikan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang sah dan nondiskriminatif, dilakukan berdasarkan kepentingan publik yang mendesak, dan yang paling utama, diikuti dengan tawaran kompensasi yang cepat, efektif, dan memadai. Kegagalan mematuhi norma-norma ini dapat mengakibatkan putusan arbitrase yang merugikan negara, memaksa pembayaran ganti rugi yang sangat besar.

B. Hukum Internasional dan Hak Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya

Di sisi lain, hukum internasional juga mengakui Prinsip Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam (Permanent Sovereignty over Natural Resources), sebuah doktrin yang dikembangkan PBB. Prinsip ini menegaskan hak mutlak dan tak terbantahkan setiap negara untuk mengendalikan, mengeksploitasi, dan menasionalisasikan sumber daya alamnya demi kepentingan rakyatnya. Doktrin ini memberikan justifikasi kuat bagi negara untuk melakukan restrukturisasi kepemilikan, asalkan proses tersebut dilakukan dengan itikad baik dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan secara legal.

Dalam konteks modern, ketika Indonesia melakukan divestasi saham mayoritas di perusahaan pertambangan, tindakan ini sejalan dengan kedua prinsip tersebut. Tindakan tersebut merupakan penegasan kedaulatan atas sumber daya, sekaligus dilakukan melalui proses negosiasi dan pembelian saham yang memastikan kompensasi yang adil, sehingga meminimalkan risiko sengketa arbitrase. Ini menunjukkan bahwa upaya untuk menasionalisasikan kini harus berjalan beriringan dengan pemahaman mendalam tentang lanskap hukum investasi global yang kompleks.

X. Masa Depan Nasionalisasi: Revitalisasi dan Strategi Jangka Panjang

A. Revitalisasi BUMN Hasil Nasionalisasi

Masa depan tindakan menasionalisasikan di Indonesia kemungkinan besar tidak akan berbentuk pengambilalihan massal seperti yang terjadi di tahun 1950-an. Sebaliknya, fokusnya adalah pada revitalisasi dan konsolidasi aset yang sudah dinasionalisasikan. Banyak BUMN yang didirikan dari hasil nasionalisasi menghadapi tekanan besar dari kompetitor global yang lebih lincah dan berteknologi maju.

Strategi BUMN saat ini sering melibatkan "holdingisasi" (pengelompokan BUMN berdasarkan sektor) untuk meningkatkan sinergi, efisiensi modal, dan daya saing. Tujuannya adalah menjadikan BUMN-BUMN ini sebagai "agen pembangunan" yang tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga menjalankan fungsi sosial-ekonomi yang diamanatkan konstitusi. Dengan kata lain, mempertahankan semangat untuk menasionalisasikan manfaat bagi rakyat, sambil mengadopsi praktik terbaik perusahaan multinasional.

B. Menasionalisasikan Talenta dan Teknologi

Di luar aset fisik, upaya untuk menasionalisasikan kini juga menyentuh aspek non-fisik yang tak kalah penting: talenta dan teknologi. Kedaulatan teknologi—kemampuan untuk mengembangkan, mengoperasikan, dan memperbaiki teknologi strategis tanpa ketergantungan asing—adalah bentuk nasionalisasi modern.

Hal ini dapat dilakukan melalui investasi besar-besaran dalam riset domestik, pendirian pusat keunggulan teknologi di BUMN, dan kebijakan yang mendorong transfer pengetahuan dari proyek-proyek asing. Sebuah negara yang mampu menasionalisasikan proses penciptaan nilai, bukan hanya aset yang sudah ada, akan menjadi negara yang berdaya saing global. Ini adalah bentuk nasionalisasi yang paling berkelanjutan dan paling sesuai dengan kebutuhan ekonomi berbasis pengetahuan.

C. Kesinambungan Amanat Konstitusi

Pada akhirnya, tindakan menasionalisasikan, baik dalam bentuk pengambilalihan kepemilikan, penguasaan kontrol, atau hilirisasi nilai tambah, adalah sebuah penegasan kesinambungan dari amanat konstitusi. Selama Pasal 33 UUD 1945 tetap menjadi panduan, negara akan selalu memiliki kewajiban dan hak untuk mengatur, menguasai, atau mengambil alih aset yang dianggap vital bagi kesejahteraan umum. Tindakan ini merupakan alat yang kuat, namun harus digunakan dengan bijaksana, transparan, dan dibarengi dengan profesionalisme manajerial yang tinggi, memastikan bahwa kedaulatan yang telah diperjuangkan melalui proses menasionalisasikan benar-benar menghasilkan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

🏠 Kembali ke Homepage