Konsep menasionalisasi—tindakan mengambil alih kepemilikan aset atau industri strategis dari pihak swasta, biasanya asing, untuk dikelola oleh negara—merupakan inti dari perjuangan ekonomi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Proses ini bukan sekadar transaksi komersial; ia adalah manifestasi kedaulatan, alat untuk mewujudkan amanat konstitusi, dan seringkali menjadi titik balik historis yang menentukan arah pembangunan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisasi berakar kuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) yang menggariskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Filosofi ini menempatkan kepentingan umum di atas motif laba murni, menjamin bahwa sumber daya alam yang melimpah tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite atau entitas asing, melainkan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk memahami sepenuhnya peran vital nasionalisasi, kita harus menelusuri landasan teoritisnya, mempelajari gelombang sejarah yang membentuknya, dan menganalisis dampak jangka panjangnya terhadap struktur ekonomi nasional.
Tindakan menasionalisasi tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar utama: kedaulatan, keadilan sosial, dan fungsi negara sebagai pengatur keseimbangan. Tanpa ketiga pilar ini, nasionalisasi hanya akan menjadi pengambilalihan aset biasa. Namun, dalam konteks pembangunan negara, ia memiliki bobot etis dan yuridis yang mendalam.
Pasca kemerdekaan, Indonesia menghadapi warisan kolonial di mana hampir seluruh sektor vital—perkebunan, pertambangan, perbankan, dan transportasi—dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda (NICA). Menasionalisasi aset-aset ini adalah langkah pertama yang tegas untuk mengukuhkan kedaulatan politik yang baru diraih. Kedaulatan ekonomi berarti kemampuan bangsa untuk menentukan nasib ekonominya sendiri, bebas dari intervensi atau kontrol yang berlebihan oleh modal asing.
Gambar 1: Representasi Kedaulatan Negara atas Sumber Daya Vital.
Pasal 33 adalah jiwa ekonomi Indonesia. Ayat (2) dan (3) secara eksplisit membahas kontrol negara. Ayat (2) menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) lebih lanjut menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nasionalisasi adalah mekanisme hukum dan politik untuk mentransformasikan prinsip filosofis ini menjadi realitas operasional. Tanpa menasionalisasi, jaminan konstitusional ini akan tetap menjadi teks belaka. Proses penguasaan oleh negara ini meliputi tidak hanya kepemilikan (hak yuridis) tetapi juga kontrol manajemen, kebijakan, dan alokasi hasil. Ini membutuhkan perumusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kuat dan efisien, yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjalankan fungsi kesejahteraan.
Penguasaan oleh negara ini tidak selalu berarti kepemilikan 100%. Dalam interpretasi modern, penguasaan dapat berbentuk kontrol regulasi yang ketat, kepemilikan saham mayoritas (divestasi), atau bahkan perjanjian kerja sama yang menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas utama (seperti yang terjadi dalam sektor migas dan pertambangan mineral). Namun, dalam kasus industri yang dianggap 'monopoli alami' atau sangat strategis (seperti kelistrikan dan air bersih), nasionalisasi penuh seringkali dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin akses publik yang adil dan merata.
Sejarah nasionalisasi di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa gelombang utama, yang masing-masing dipicu oleh dinamika politik, ekonomi, dan hubungan internasional yang berbeda.
Gelombang pertama dipicu oleh kegagalan perundingan Irian Barat dan meningkatnya sentimen anti-Belanda. Pada Desember 1957, terjadi serangkaian aksi buruh yang berpuncak pada pengambilalihan perusahaan-perusahaan vital Belanda, termasuk maskapai penerbangan KLM (yang menjadi cikal bakal Garuda), perusahaan pelayaran KPM, bank ESCOMTO (kemudian Bank Exim), dan perusahaan perkebunan besar seperti Handelsvereeniging Amsterdam (HVA).
Tindakan ini dilaksanakan melalui Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. Keputusan ini merupakan langkah politik yang radikal dan berisiko tinggi, mengingat Belanda adalah mitra dagang dan investor utama saat itu. Dampak langsungnya adalah eksodus besar-besaran tenaga ahli Belanda dan penurunan tajam dalam manajemen operasional awal. Namun, secara politik, ini berhasil mengkonsolidasikan dukungan rakyat terhadap pemerintah dan menunjukkan kemandirian Indonesia di panggung global. Ini juga menjadi fondasi bagi pembentukan BUMN pertama yang struktural, memaksa Indonesia untuk segera mengembangkan kapasitas manajerial dan teknis domestik.
Pada masa Konfrontasi (Dwikora), nasionalisasi meluas ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia yang dituduh mendukung pembentukan Federasi Malaysia, yang dianggap mengancam kedaulatan Indonesia. Meskipun cakupannya tidak sebesar pengambilalihan aset Belanda, gelombang ini menekankan bahwa nasionalisasi adalah alat politik luar negeri dan pertahanan ekonomi. Banyak aset ini kemudian dilebur ke dalam badan usaha milik negara yang sudah ada atau dikelola sementara oleh militer.
Di era Orde Baru, meskipun pemerintah membuka diri terhadap investasi asing, filosofi penguasaan negara tetap dijaga melalui kontrak kerja dan regulasi ketat. Alih-alih nasionalisasi secara total, fokusnya beralih ke: (a) penguatan BUMN yang sudah ada (Pertamina, PLN), dan (b) negosiasi ulang kontrak karya. Hal ini terlihat jelas dalam sektor pertambangan di mana kontrak karya memberikan hak eksklusif kepada investor asing, tetapi dengan kewajiban untuk menjual sebagian kepemilikan (divestasi) kepada pihak Indonesia setelah periode tertentu. Ini adalah bentuk nasionalisasi bertahap yang diatur kontrak.
Era Reformasi menghadirkan tantangan baru, terutama pasca krisis 1998. Negara terpaksa menasionalisasi atau mengambil alih sejumlah bank swasta yang gagal (melalui BPPN) untuk menyelamatkan sistem keuangan nasional. Meskipun tujuannya adalah penyelamatan, tindakan ini secara de facto adalah nasionalisasi sementara (rekapitalisasi yang diubah menjadi kepemilikan negara) sebelum aset tersebut dijual kembali (privatisasi) setelah kondisi membaik.
Aplikasi nasionalisasi paling signifikan terjadi di sektor energi dan sumber daya mineral, yang merupakan denyut nadi perekonomian negara.
Salah satu kisah nasionalisasi paling ikonik adalah pengambilalihan sumur minyak asing. Pada masa kolonial, perusahaan seperti BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) mendominasi. Setelah kemerdekaan dan melalui serangkaian undang-undang (terutama UU No. 44 Prp Tahun 1960), negara menegaskan bahwa minyak dan gas bumi adalah kekayaan nasional yang dikuasai penuh. Lahirnya Pertamina (merger dari berbagai perusahaan minyak negara) menjadi kunci untuk mengelola hulu hingga hilir.
Blok Rokan di Riau, salah satu lapangan minyak terbesar di Indonesia, dikelola oleh Chevron (dahulu Caltex) selama puluhan tahun. Ketika masa kontrak berakhir, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Chevron dan menyerahkan pengelolaan penuh kepada PT Pertamina (Hulu Rokan) per Agustus 2021. Ini merupakan 'nasionalisasi modern' yang terjadi tanpa konflik atau pengambilalihan paksa, melainkan melalui penegasan kedaulatan kontrak. Keputusan ini didasarkan pada perhitungan strategis bahwa aset vital harus dikelola langsung oleh negara untuk menjamin ketahanan energi dan optimalisasi penerimaan. Meskipun Pertamina menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan tingkat produksi, langkah ini mengirimkan pesan kuat mengenai komitmen negara terhadap Pasal 33. Analisis ekonomi yang mendalam menunjukkan bahwa meskipun terdapat biaya transisi yang besar, manfaat strategis jangka panjang dari penguasaan data, teknologi, dan keuntungan operasional melebihi risiko awal.
Kasus PT Freeport Indonesia di Papua adalah contoh negosiasi nasionalisasi yang paling panjang dan bergejolak. Selama puluhan tahun, saham mayoritas perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar ini dipegang oleh Freeport-McMoRan (AS). Tuntutan untuk divestasi saham adalah inti dari upaya penegakan kedaulatan mineral.
Pada akhirnya, Indonesia melalui BUMN tambang (Inalum/MIND ID) berhasil meningkatkan kepemilikan saham dari minoritas menjadi 51% pada 2018. Perjanjian ini, meskipun melibatkan pembayaran kompensasi yang sangat besar, secara efektif mengubah status Freeport dari perusahaan yang didominasi asing menjadi perusahaan yang dikontrol oleh Indonesia. Dampaknya adalah kontrol terhadap arah kebijakan, penempatan direksi yang ditunjuk negara, dan kewajiban hilirisasi (pembangunan smelter). Tindakan ini bukan nasionalisasi murni dalam arti pengambilalihan tanpa kompensasi, melainkan pengembalian kontrol mayoritas yang didorong oleh semangat nasionalisasi.
Sektor kelistrikan (PLN), air bersih (PDAM), dan telekomunikasi (Telkom) sejak awal telah diposisikan sebagai monopoli alami yang harus dikuasai negara. Tujuan nasionalisasi di sektor ini adalah menjamin keterjangkauan (affordability) dan ketersediaan (accessibility) bagi seluruh lapisan masyarakat, yang merupakan tugas utama dari negara kesejahteraan.
Meskipun nasionalisasi adalah alat yang ampuh untuk mencapai kedaulatan, implementasinya selalu diwarnai oleh tantangan kompleks, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Ketika suatu negara menasionalisasi aset asing, isu kompensasi yang "sepadan, cepat, dan efektif" seringkali menjadi sumber konflik. Jika kompensasi dianggap tidak adil, perusahaan asing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan arbitrase internasional. Indonesia telah menghadapi berbagai sengketa arbitrase terkait nasionalisasi atau kebijakan yang dianggap 'ekspropriasi' (pengambilan paksa). Keputusan untuk menasionalisasi harus didukung oleh dasar hukum yang kuat dan proses penilaian aset yang transparan untuk meminimalisir risiko gugatan internasional.
Tantangan terbesar pasca-nasionalisasi adalah menjaga dan bahkan meningkatkan efisiensi operasional. Perusahaan yang dinasionalisasi, yang kemudian menjadi BUMN, seringkali rentan terhadap birokrasi, intervensi politik, dan kurangnya akuntabilitas dibandingkan dengan manajemen swasta yang digerakkan oleh pasar.
Pengelolaan aset yang dinasionalisasi membutuhkan profesionalisme yang ekstrem. Kegagalan dalam tata kelola (Good Corporate Governance/GCG) dapat mengubah aset strategis menjadi beban fiskal. Sejarah mencatat beberapa BUMN yang kesulitan setelah pengambilalihan karena manajemen yang tidak efisien, korupsi, atau penempatan profesional yang tidak sesuai. Oleh karena itu, nasionalisasi harus diikuti dengan reformasi BUMN yang radikal, memastikan bahwa direksi dipilih berdasarkan meritokrasi dan bahwa perusahaan beroperasi dengan prinsip komersial sambil tetap menjalankan fungsi pelayanan publik (PSO).
Perusahaan asing seringkali membawa teknologi mutakhir dan akses ke pasar modal global. Setelah nasionalisasi, negara harus memastikan bahwa BUMN yang baru mengambil alih mampu mengisi kekosongan teknologi dan memiliki kapasitas finansial untuk investasi jangka panjang yang dibutuhkan, terutama di sektor padat modal seperti pertambangan dan energi. Program transfer teknologi dan pengembangan sumber daya manusia domestik menjadi kunci keberlanjutan pasca-nasionalisasi.
Gambar 2: Kebutuhan akan Efisiensi dan Tata Kelola yang Kuat Pasca-Nasionalisasi.
Meskipun istilah ‘nasionalisasi’ sering dikaitkan dengan era sosialisme atau dekolonisasi pertengahan abad ke-20, praktik penguasaan negara atas industri vital masih relevan hingga hari ini, terutama dalam menghadapi globalisasi yang cepat dan ancaman kancah persaingan geopolitik.
Di masa kini, aset vital tidak hanya berupa ladang minyak atau jalur kereta api, tetapi juga infrastruktur digital, data, dan teknologi komunikasi. Beberapa negara mulai mempertimbangkan konsep ‘nasionalisasi data’—atau setidaknya kontrol ketat atas data warga negara—dari platform teknologi raksasa asing. Ini adalah bentuk nasionalisasi kedaulatan informasi yang baru.
Dalam konteks Indonesia, perlindungan infrastruktur telekomunikasi dan satelit menjadi sangat penting. Penguasaan spektrum frekuensi dan kabel optik bawah laut oleh negara memastikan bahwa komunikasi kritis tidak dapat dimanipulasi oleh pihak asing. Upaya untuk memperkuat BUMN di sektor digital (seperti Telkom dan anak perusahaannya) adalah respons terhadap kebutuhan untuk menjaga kedaulatan di ruang siber, di mana pengambilalihan fisik aset digantikan oleh penguasaan kontrol logis dan regulasi data.
Dalam ekonomi modern, nasionalisasi paling sering terjadi sebagai 'bailout' saat krisis finansial. Ketika lembaga keuangan atau perusahaan industri besar dianggap 'terlalu besar untuk gagal' (Too Big to Fail), negara terpaksa menyuntikkan modal dan mengambil alih kepemilikan saham mayoritas. Contoh global terkenal adalah pengambilalihan sebagian besar bank di AS dan Eropa selama krisis 2008. Di Indonesia, mekanisme ini diterapkan secara luas pasca-krisis 1998 dan berujung pada restrukturisasi besar-besaran yang dikelola oleh BPPN.
Tindakan penyelamatan (bailout) ini bertujuan ganda: menstabilkan sistem dan mencegah keruntuhan ekonomi. Setelah kondisi membaik, aset yang dinasionalisasi sementara ini biasanya diprivatisasi kembali ke pasar. Namun, proses ini membuktikan bahwa pada saat-saat kritis, negara harus memiliki kemampuan untuk menasionalisasi aset, bahkan yang tadinya murni swasta, demi menjaga stabilitas nasional.
Untuk mengevaluasi keberhasilan nasionalisasi, perlu ditinjau dampak ekonomi jangka panjang, jauh melampaui euforia politik pada saat pengambilalihan.
Dampak positif paling nyata adalah peningkatan penerimaan negara (dividen BUMN, pajak, dan royalti yang dikelola lebih transparan). Selain itu, penguasaan oleh negara memungkinkan kontrol harga produk-produk strategis (listrik, BBM bersubsidi) yang vital untuk menjaga daya beli masyarakat dan mengontrol inflasi, sejalan dengan mandat kesejahteraan sosial.
Kontrol harga ini, meskipun secara sosial positif, seringkali menciptakan distorsi ekonomi. Harga BBM dan listrik yang disubsidi berarti BUMN terkait (Pertamina, PLN) harus menanggung beban keuangan yang besar, yang kemudian harus ditutup oleh APBN. Ini menimbulkan debat abadi: seberapa jauh BUMN harus beroperasi sebagai entitas komersial dan seberapa jauh sebagai pelayan publik? Nasionalisasi di Indonesia menempatkan BUMN pada posisi ambigu ini, di mana laba harus dikejar, tetapi tidak boleh mengorbankan aksesibilitas sosial. Mengelola subsidi secara efektif adalah pekerjaan rumah utama yang muncul dari keputusan menasionalisasi.
Nasionalisasi memberikan leverage bagi negara untuk memaksa pengembangan industri hilir. Contoh terbaik adalah tuntutan terhadap Freeport untuk membangun smelter di dalam negeri. Sebelum dinasionalisasi, perusahaan asing seringkali hanya fokus pada ekspor bahan mentah. Dengan adanya kontrol negara, muncul kebijakan yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) mineral dan batubara di dalam negeri.
Hilirisasi adalah strategi nasionalisasi nilai tambah. Artinya, kekayaan alam tidak hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi diolah untuk menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan nilai tambah yang jauh lebih tinggi di rantai produksi domestik. Ini adalah bentuk nasionalisasi yang jauh lebih canggih daripada sekadar pengambilalihan aset fisik, karena melibatkan penguasaan proses dan pasar.
Setiap tindakan menasionalisasi di Indonesia harus tunduk pada kerangka hukum yang ketat untuk menjamin legalitas dan menghindari sengketa yang merugikan di masa depan.
Hukum yang mengatur kekayaan alam (seperti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas) secara eksplisit mendukung penguasaan negara dan mengatur mekanisme kontrak karya/izin usaha pertambangan yang harus menjamin kepentingan nasional. Hukum-hukum ini seringkali menjadi dasar bagi negara untuk menuntut renegosiasi kontrak atau divestasi saham, yang merupakan bentuk nasionalisasi secara evolusioner.
Khususnya dalam sektor sumber daya alam, konsep 'Kontrak Karya Generasi Baru' dikembangkan untuk memastikan bahwa jangka waktu kontrak lebih pendek dan syarat divestasi saham mayoritas kepada entitas nasional ditetapkan sejak awal. Ini adalah pembelajaran dari pengalaman masa lalu di mana kontrak-kontrak yang ditandatangani di masa awal Orde Baru memiliki jangka waktu yang terlalu panjang dan syarat yang kurang menguntungkan bagi negara. Penegakan hukum yang tegas terhadap kontrak lama dan perumusan kontrak baru yang pro-nasional adalah kunci untuk mencegah modal asing mendominasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur bagaimana aset yang telah dinasionalisasi dikelola. BUMN harus tetap beroperasi sebagai perseroan terbatas atau perusahaan umum, namun tunduk pada pengawasan pemerintah dan Parlemen. Konsolidasi BUMN, seperti yang terjadi pada sektor tambang (MIND ID) dan pelabuhan (Pelindo), adalah langkah lanjutan pasca-nasionalisasi untuk menciptakan efisiensi skala dan memperkuat daya tawar BUMN di pasar global. Konsolidasi ini memastikan bahwa aset yang telah diperjuangkan untuk kembali ke tangan negara tidak terfragmentasi dan melemah.
Menasionalisasi adalah langkah awal; memperkuat BUMN adalah strategi jangka panjang. BUMN yang efektif adalah bukti bahwa negara mampu mengelola aset yang dinasionalisasi dengan baik.
Untuk memutus siklus inefisiensi, BUMN harus dijalankan dengan prinsip meritokrasi penuh. Penunjukan dewan direksi dan komisaris harus didasarkan pada kompetensi profesional, bukan afiliasi politik. Penghapusan birokrasi yang berlebihan memungkinkan BUMN bergerak cepat menanggapi dinamika pasar. BUMN harus memiliki independensi operasional, sambil tetap tunduk pada mandat strategis negara.
Transformasi BUMN di Indonesia saat ini menekankan pada pembentukan holding (seperti di sektor energi, tambang, dan keuangan) untuk memisahkan fungsi strategis dari fungsi operasional. Holding bertugas menyusun strategi jangka panjang dan mengelola risiko, sementara anak perusahaan fokus pada operasional harian. Pendekatan ini adalah upaya untuk meniru struktur korporasi global, yang diperlukan karena banyak BUMN Indonesia kini berhadapan langsung dengan korporasi multinasional raksasa di kancah internasional. Kedaulatan ekonomi tidak hanya diukur dari kepemilikan, tetapi dari daya saing global BUMN yang menguasai aset tersebut.
Karena BUMN mengelola aset yang diperoleh melalui nasionalisasi (yang dibiayai atau dijamin oleh APBN), akuntabilitas terhadap publik menjadi mutlak. Pengawasan oleh BPK dan DPR harus efektif. Laporan keuangan harus transparan, dan setiap keputusan investasi besar harus dipertimbangkan dengan cermat. Kepercayaan publik terhadap BUMN adalah modal sosial terpenting untuk mempertahankan aset yang telah dinasionalisasi.
Di masa depan, konsep nasionalisasi kemungkinan akan berevolusi dari pengambilalihan aset fisik menjadi pengambilalihan kontrol strategis dan data. Negara perlu beradaptasi dengan dinamika baru untuk menjaga kedaulatan.
Seiring transisi menuju energi terbarukan, nasionalisasi akan berfokus pada penguasaan teknologi hijau dan rantai pasok mineral kritis (nikel, kobalt) yang diperlukan untuk baterai dan kendaraan listrik. Indonesia, yang kaya akan nikel, berupaya menasionalisasi nilai tambahnya melalui pelarangan ekspor bijih mentah dan memaksa investasi hilirisasi. Ini adalah nasionalisasi dalam bentuk regulasi pasar, memastikan bahwa proses industrialisasi hijau dikendalikan di dalam negeri.
Penguasaan penuh terhadap rantai pasok baterai, dari penambangan nikel hingga produksi sel baterai, adalah strategi nasionalisasi di abad ke-21. Pemerintah harus memastikan bahwa modal asing yang masuk untuk pembangunan smelter dan pabrik baterai tunduk pada ketentuan yang memaksa transfer teknologi dan kepemilikan saham di masa depan, sehingga kontrol strategis tetap berada di tangan entitas nasional.
Nasionalisasi di sektor pangan dan maritim akan menjadi semakin penting mengingat tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan global. Penguasaan atas lahan pertanian strategis dan armada penangkapan ikan nasional menjamin pasokan domestik stabil. Meskipun jarang berbentuk pengambilalihan perusahaan asing, tindakan seperti pengetatan regulasi kapal asing dan pemberian hak monopoli kepada BUMN pangan (Bulog, RNI) merupakan langkah-langkah de-facto untuk menasionalisasi rantai pasok pangan.
Menasionalisasi di Indonesia adalah proses yang berkelanjutan, sebuah cerminan perjuangan panjang antara kedaulatan politik dan tekanan ekonomi global. Tindakan ini selalu menjadi pedang bermata dua: ia menawarkan janji kemakmuran dan kontrol penuh atas nasib bangsa, tetapi juga membawa risiko inefisiensi dan beban fiskal jika tidak dikelola dengan profesionalisme tertinggi.
Sejak pengambilalihan aset Belanda hingga divestasi saham Freeport dan Blok Rokan, setiap keputusan nasionalisasi adalah penegasan kembali komitmen terhadap Pasal 33 UUD 1945. Untuk memastikan bahwa kedaulatan ekonomi yang telah direbut ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat, fokus negara harus beralih dari sekadar 'kepemilikan' (ownership) menuju 'kontrol manajemen yang unggul' (superior management control).
Masa depan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada kemampuan BUMN—sebagai hasil akhir dari nasionalisasi—untuk beroperasi secara efisien, inovatif, dan beretika. Hanya dengan BUMN yang kuat, mandiri, dan profesional, cita-cita menasionalisasi sumber daya alam dan industri vital dapat terwujud sepenuhnya sebagai pilar utama pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan, menjamin bahwa kekayaan nusantara benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Perjalanan ini adalah cerminan dari identitas ekonomi bangsa, sebuah identitas yang selalu menempatkan kedaulatan di garis depan setiap kebijakan strategis.
Tanggung jawab negara atas aset yang dinasionalisasi adalah tugas suci yang menuntut kewaspadaan tanpa henti terhadap godaan intervensi non-profesional dan praktik koruptif. Konsistensi dalam penegakan GCG, investasi dalam pengembangan teknologi domestik, dan adaptasi terhadap bentuk-bentuk kedaulatan baru (seperti data dan teknologi hijau) akan menentukan apakah semangat nasionalisasi tetap relevan dan berhasil di tengah pusaran ekonomi global yang semakin kompleks dan kompetitif.
Implikasi dari kebijakan menasionalisasi terhadap iklim investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) merupakan area yang sensitif dan memerlukan tinjauan hukum serta politik yang sangat hati-hati. Meskipun nasionalisasi bertujuan meningkatkan kontrol domestik, risiko yang ditimbulkannya adalah mengirimkan sinyal negatif kepada calon investor internasional mengenai stabilitas regulasi dan keamanan modal mereka. Negara-negara, termasuk Indonesia, harus menavigasi batas tipis antara penegasan kedaulatan (yang mungkin memerlukan nasionalisasi) dan kebutuhan untuk menarik investasi jangka panjang. Proses ini seringkali diatur melalui Perjanjian Investasi Bilateral (BITs) atau perjanjian multilateral lainnya.
BITs umumnya mencakup klausul perlindungan investasi yang menjamin perlakuan adil dan setara (Fair and Equitable Treatment/FET) serta larangan ekspropriasi tanpa kompensasi yang cepat, memadai, dan efektif. Dalam kasus Indonesia, banyak BITs yang ditandatangani di masa lalu kini dievaluasi ulang atau diakhiri (denunciation) untuk memberikan ruang gerak kebijakan yang lebih besar. Keputusan untuk mengakhiri BITs tertentu mencerminkan upaya strategis untuk mengurangi kerentanan terhadap gugatan arbitrase internasional ketika negara mengambil tindakan yang bersifat ekspropriasi atau quasi-ekspropriasi (seperti perubahan regulasi mendadak yang merugikan investor asing secara substansial).
Namun, penggantian BITs dengan kerangka hukum domestik yang kuat dan transparan, seperti yang terlihat dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), diharapkan dapat memberikan kepastian hukum domestik tanpa mengikat negara pada ketentuan arbitrase internasional yang terlalu membatasi kedaulatan. Dalam hal ini, nasionalisasi modern tidak lagi hanya tentang pengambilalihan paksa, melainkan tentang penataan ulang kerangka hukum dan kontrak sedemikian rupa sehingga kepentingan nasional terlindungi sejak awal, meminimalisir kebutuhan akan pengambilalihan yang konfrontatif di kemudian hari.
Di luar sektor riil, nasionalisasi juga terjadi dalam domain moneter. Pengambilalihan De Javasche Bank dari kontrol Belanda pasca-kemerdekaan dan transformasinya menjadi Bank Indonesia (BI) adalah nasionalisasi yang sangat fundamental. Tindakan ini memberikan negara kedaulatan penuh atas kebijakan moneter dan sistem pembayaran, yang krusial untuk stabilisasi ekonomi makro. Tanpa nasionalisasi moneter, Indonesia tidak mungkin dapat mengelola inflasi, suku bunga, dan nilai tukar secara independen.
Penguatan peran BI sebagai bank sentral yang independen, meskipun sempat terkikis di masa Orde Lama dan Orde Baru, adalah hasil dari kesadaran bahwa kontrol atas uang adalah kedaulatan tertinggi. Undang-Undang Bank Indonesia yang memberikan independensi operasional merupakan pengakuan bahwa pengelolaan moneter harus terbebas dari kepentingan politik jangka pendek, meskipun pada dasarnya lembaga tersebut adalah milik dan dikontrol oleh negara.