Mempersoalkan: Mesin Kemajuan Peradaban Manusia

Sebuah Tinjauan Mendalam atas Sifat Kritis, Skeptisisme, dan Inovasi

Ilustrasi pemikiran kritis dan tindakan mempersoalkan SCIENTIA QUAESTIONIS

Ilustrasi pemikiran kritis dan tindakan mempersoalkan.

Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, tiada mesin yang bekerja lebih fundamental, lebih esensial, dan lebih revolusioner daripada kapasitas kita untuk mempersoalkan. Tindakan mempersoalkan bukanlah sekadar ekspresi rasa penasaran yang ringan; ia adalah sebuah sikap radikal, sebuah penolakan untuk menerima status quo tanpa melalui saringan akal budi, dan fondasi bagi setiap kemajuan, baik di bidang ilmiah, sosial, maupun politik. Mempersoalkan adalah awal dari filosofi, titik tolak dari ilmu pengetahuan, dan denyut nadi dari gerakan keadilan sosial.

Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif spektrum makna dan implikasi dari tindakan mempersoalkan, mengupas lapisan-lapisan historis, filosofis, psikologis, dan sosiologis yang membingkai kebutuhan mendasar manusia untuk meragukan, menantang, dan mencari kebenaran yang lebih dalam, meskipun pencarian itu sering kali membawa kita pada ketidaknyamanan dan konflik yang tak terhindarkan.

I. Fondasi Filosofis Mempersoalkan: Skeptisisme dan Kritisitas

Akar terdalam dari tindakan mempersoalkan terletak pada tradisi filosofis skeptisisme dan pemikiran kritis. Jauh sebelum metode ilmiah modern terumuskan, para pemikir di berbagai belahan dunia telah menyadari bahwa pengetahuan yang diterima secara turun-temurun, atau yang didiktekan oleh otoritas, mungkin saja cacat atau tidak lengkap. Inilah yang mendorong lahirnya kerangka kerja intelektual yang kita kenal hari ini.

1. Keraguan Metodis Socrates dan Descartes

Salah satu figur paling ikonik yang mendefinisikan esensi mempersoalkan adalah Socrates. Melalui metode dialektikanya, yang dikenal sebagai elenchus, Socrates tidak mengajarkan jawaban, melainkan mengajukan serangkaian pertanyaan yang bertujuan untuk mengungkap kontradiksi dalam keyakinan lawan bicaranya. Tujuan mempersoalkan ala Socrates bukanlah untuk memenangkan perdebatan, melainkan untuk mencapai kesadaran diri tentang kebodohan—sebuah pengakuan bahwa "saya tahu bahwa saya tidak tahu." Kesadaran ini adalah prasyarat mutlak untuk pembelajaran sejati. Tanpa mempersoalkan definisi keadilan, kebajikan, atau kebenaran, masyarakat akan terperangkap dalam ilusi pemahaman yang stagnan.

Pada era yang jauh berbeda, René Descartes membawa skeptisisme metodis ini ke puncak rasionalisme modern. Descartes secara sistematis mulai meragukan segala sesuatu: indra, dunia luar, bahkan keberadaan dirinya sendiri, dalam upaya untuk menemukan satu kebenaran yang mutlak dan tak tergoyahkan. Proses radikal ini—mempersoalkan secara total—menghasilkan diktum terkenalnya: Cogito, ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada). Ini menunjukkan bahwa tindakan mempersoalkan itu sendiri, proses berpikir kritis, adalah bukti paling otentik dari eksistensi manusia. Oleh karena itu, mempersoalkan bukan hanya alat, melainkan sebuah identitas ontologis.

2. Peran Keraguan Epistemik

Epistemologi, cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan, menempatkan keraguan sebagai elemen sentral. Keraguan epistemik memaksa kita untuk mempersoalkan validitas sumber, konsistensi bukti, dan keterbatasan metodologi yang kita gunakan untuk mengklaim ‘tahu’. Tanpa mekanisme mempersoalkan ini, ilmu pengetahuan akan runtuh menjadi dogma. Setiap teori ilmiah, dari gravitasi Newton hingga relativitas Einstein, hanya dipertahankan karena ia secara terus-menerus diuji dan dipersoalkan oleh komunitas ilmiah. Ketika model yang ada gagal menjelaskan fenomena baru, tindakan mempersoalkan memicu pergeseran paradigma, seperti yang digambarkan oleh Thomas Kuhn.

Keraguan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan intelektual yang membebaskan pikiran dari belenggu asumsi. Mempersoalkan adalah cara peradaban bernapas dan berevolusi.

II. Mempersoalkan dalam Transformasi Sosial dan Politik

Tindakan mempersoalkan tidak hanya terbatas pada ruang akademik atau laboratorium; ia adalah motor utama di balik setiap perubahan sosial dan politik yang signifikan. Setiap kali struktur kekuasaan, hukum yang tidak adil, atau norma yang menindas dipertanyakan, kita menyaksikan kebangkitan masyarakat menuju keadilan dan kesetaraan yang lebih besar.

1. Mempersoalkan Otoritas dan Legitimasi

Dalam ranah politik, mempersoalkan seringkali identik dengan menantang otoritas. Filsuf seperti Immanuel Kant, dalam esainya tentang Pencerahan, menekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk menggunakan akalnya sendiri tanpa bimbingan orang lain adalah tanda ketidakdewasaan. Pencerahan menuntut keberanian untuk Sapere Aude—berani tahu—yang pada intinya adalah berani mempersoalkan tatanan yang ada.

Setiap revolusi politik, dari Revolusi Prancis yang mempersoalkan hak ilahi raja hingga gerakan dekolonisasi yang mempersoalkan legitimasi kekuasaan kolonial, bermula dari pertanyaan fundamental: Mengapa kita harus diatur dengan cara ini? Siapa yang berhak membuat keputusan ini? Ketika warga negara mulai mempersoalkan kontrak sosial yang tidak lagi adil atau representatif, maka munculah tuntutan reformasi, atau bahkan pembentukan ulang sistem secara menyeluruh. Tindakan ini memerlukan risiko besar, karena mempersoalkan kekuasaan selalu dihadapkan pada resistensi dari pihak yang diuntungkan oleh status quo.

2. Mempersoalkan Norma dan Keadilan Sosial

Gerakan hak-hak sipil, perjuangan feminisme, dan gerakan LGBTQIA+ semuanya berakar pada tindakan kolektif untuk mempersoalkan norma-norma sosial yang sudah lama diterima. Mereka mempersoalkan anggapan bahwa perbedaan ras, gender, atau orientasi seksual dapat membenarkan ketidaksetaraan sistemik. Ini adalah contoh di mana mempersoalkan berfungsi sebagai alat moral.

Misalnya, ketika Rosa Parks menolak menyerahkan kursinya, ia mempersoalkan legalitas dan moralitas segregasi yang terinstitusionalisasi. Tindakan individu tersebut, yang diikuti oleh jutaan lainnya, menunjukkan bahwa mempersoalkan dapat memicu kesadaran massa. Mempersoalkan dalam konteks sosial ini menuntut bukan hanya analisis logis, tetapi juga empati dan keberanian untuk melihat dunia dari perspektif yang termarjinalkan. Tanpa kemampuan untuk mempersoalkan warisan prasangka, masyarakat akan terus mengabadikan ketidakadilan dari generasi ke generasi.

3. Bahaya Tidak Mempersoalkan

Sejarah juga memberi kita peringatan keras tentang bahaya ketika masyarakat secara kolektif berhenti mempersoalkan. Ketika dogma politik atau ideologi totaliter mengambil alih, skeptisisme dianggap sebagai pengkhianatan. Pada rezim yang menindas, tindakan mempersoalkan ditekan, dan pemikiran kritis digantikan oleh kepatuhan buta. Hilangnya kemampuan untuk menanyakan 'mengapa' dan 'bagaimana jika' akan melumpuhkan imajinasi moral dan intelektual, membuka jalan bagi horor sosial dan stagnasi intelektual. Mempersoalkan, dalam pengertian ini, adalah barometer kebebasan sebuah masyarakat.

III. Dimensi Psikologis dan Etika Mempersoalkan

Mengapa mempersoalkan terasa begitu sulit bagi banyak orang? Jawaban ini terletak pada psikologi individu dan kebutuhan sosial akan kohesi. Mempersoalkan membutuhkan keberanian, mengatasi kecemasan sosial, dan menerima ketidakpastian.

1. Kenyamanan Konformitas dan Biaya Kognitif

Manusia secara naluriah cenderung mencari konformitas. Konformitas menawarkan rasa aman dan penerimaan sosial. Ketika kita menerima keyakinan kelompok tanpa mempersoalkannya, kita menghindari konflik, baik internal (disonansi kognitif) maupun eksternal (penolakan sosial). Mempersoalkan, di sisi lain, membutuhkan upaya kognitif yang besar; ia memaksa otak untuk memproses informasi yang bertentangan dengan skema yang sudah mapan. Oleh karena itu, secara psikologis, menerima jawaban yang sudah tersedia lebih mudah daripada menggali dan menemukan jawaban baru.

Lebih lanjut, teori psikologi sosial menunjukkan bahwa kita sering menggunakan heuristik (jalan pintas mental) untuk memproses dunia. Mempersoalkan berarti menghentikan jalur pintas ini dan memeriksa setiap langkah secara manual. Keberanian untuk mempersoalkan adalah keberanian untuk menjadi "berbeda", untuk menanggung label sebagai pengganggu, atau bahkan paria, demi kebenaran yang lebih tinggi. Keengganan untuk mempersoalkan status quo sering kali menjadi alasan mengapa kesalahan besar, baik dalam organisasi maupun pemerintahan, bisa bertahan begitu lama.

2. Etika Tanggung Jawab dalam Mempersoalkan

Mempersoalkan harus dilakukan dengan tanggung jawab etis. Skeptisisme yang sehat berbeda dari sinisme destruktif. Skeptisisme yang bertanggung jawab bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan sistem yang ada, sementara sinisme hanya bertujuan untuk merobohkan tanpa menawarkan alternatif atau melakukan penyelidikan yang jujur. Etika mempersoalkan menuntut kejujuran intelektual: kesiapan untuk mengubah pikiran ketika bukti baru muncul, dan kesediaan untuk mengakui batas-batas pengetahuan diri sendiri.

Ketika kita mempersoalkan, kita memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pertanyaan kita didasarkan pada keinginan untuk kebenaran, bukan hanya karena dorongan emosional atau bias pribadi. Tindakan mempersoalkan yang etis adalah tindakan yang berakar pada keterbukaan dialog dan komitmen bersama terhadap realitas yang dapat diverifikasi. Tanpa etika ini, tindakan mempersoalkan bisa tergelincir menjadi relativisme ekstrem, di mana semua klaim dianggap sama validnya, yang pada akhirnya melumpuhkan kemampuan kita untuk bertindak berdasarkan pengetahuan yang kokoh.

IV. Mempersoalkan dalam Era Teknologi dan Informasi

Abad ke-21 ditandai dengan ledakan informasi. Paradoksnya, meskipun kita memiliki akses tak terbatas ke data, kemampuan untuk mempersoalkan dan memverifikasi data tersebut menjadi semakin sulit dan penting. Tantangan modern menuntut bentuk kritisitas yang baru.

1. Melawan Dogma Algoritma

Di era digital, kita tidak hanya dihadapkan pada otoritas manusia atau tradisi, tetapi juga pada "otoritas algoritma." Algoritma media sosial dan mesin pencari menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita ajak bicara, dan bahkan bagaimana kita memahami dunia. Kecenderungan ini menciptakan 'gelembung filter' (filter bubbles) di mana keyakinan kita diperkuat, dan ide-ide yang menantang dihilangkan.

Tindakan mempersoalkan di sini berarti menantang asumsi bahwa sistem yang dirancang secara teknokratis adalah netral atau objektif. Kita harus mempersoalkan bias yang tertanam dalam kecerdasan buatan, mempersoalkan bagaimana data pribadi kita digunakan untuk memanipulasi persepsi, dan mempersoalkan dampak sosial dari otomatisasi yang luas. Mempersoalkan algoritma menuntut literasi digital tingkat tinggi, kemampuan untuk melihat di balik antarmuka yang mulus, dan memahami struktur kekuasaan yang dibangun di atas data.

2. Mempersoalkan Kebenaran di Tengah Disinformasi

Fenomena disinformasi (berita palsu) dan teori konspirasi telah menggarisbawahi kegagalan kolektif dalam mempersoalkan. Ketika kebenaran menjadi subjektif dan fakta dianggap sebagai opini, dasar-dasar masyarakat sipil yang rasional mulai terurai. Dalam konteks ini, mempersoalkan bukan lagi kemewahan akademis, melainkan keterampilan bertahan hidup sipil.

Mempersoalkan harus diarahkan pada sumber, motivasi penyebar informasi, dan konsistensi internal dari narasi yang disajikan. Ini melibatkan tindakan-tindakan praktis seperti verifikasi silang (cross-checking), penyelidikan latar belakang penerbit, dan pemahaman tentang taktik retoris yang digunakan untuk memicu emosi daripada akal. Komunitas yang gagal mengajarkan anggotanya cara mempersoalkan informasi yang meragukan akan menjadi rentan terhadap polarisasi dan manipulasi eksternal.

V. Mempersoalkan sebagai Katalis Inovasi Ilmu Pengetahuan

Tidak ada bidang yang lebih bergantung pada tindakan mempersoalkan selain ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmiah bukan dihasilkan dari pengulangan, tetapi dari penolakan yang gigih terhadap penjelasan yang tidak memadai.

1. Dari Geosentrisme ke Heliocentrisme

Contoh klasik dari kekuatan mempersoalkan adalah revolusi ilmiah yang terjadi pada abad ke-16 dan ke-17. Selama lebih dari seribu tahun, model geosentris (Bumi adalah pusat alam semesta) yang dipromosikan oleh Ptolemy dan didukung oleh gereja Kristen, adalah dogma yang tak tertantang. Dibutuhkan keuletan dan keberanian luar biasa dari individu seperti Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei untuk mempersoalkan model ini.

Mereka tidak hanya mempersoalkan pengamatan, tetapi juga seluruh kerangka teologis dan kosmologis yang menopangnya. Tindakan mempersoalkan ini—yang bagi Galileo berujung pada pengadilan Inkuisisi—membuka jalan bagi pemahaman modern tentang tata surya. Ini menunjukkan bahwa mempersoalkan seringkali berarti menghadapi institusi yang paling kuat dan keyakinan yang paling dicintai, demi mengejar akurasi empiris.

2. Siklus Hipotesis dan Falsifikasi

Karl Popper memberikan kerangka filosofis modern untuk memahami peran mempersoalkan dalam sains melalui konsep falsifikasi. Sebuah teori ilmiah sejati harus dapat difalsifikasi (dibuktikan salah). Jika sebuah teori tidak dapat dipersoalkan atau diuji, ia bukanlah sains, melainkan metafisika atau dogma.

Oleh karena itu, tindakan mempersoalkan (berusaha membuktikan salah) adalah metodologi inti dari setiap disiplin ilmu. Para ilmuwan harus secara aktif mencari data yang akan menantang hipotesis mereka, bukan hanya mencari data yang mendukungnya. Proses internal mempersoalkan ini memastikan bahwa hanya ide-ide yang paling kuat dan paling dapat dibuktikanlah yang bertahan, yang secara terus-menerus mendorong batas-batas pengetahuan ke depan. Tanpa skeptisisme internal ini, sains akan terjebak dalam lingkaran konfirmasi bias.

VI. Elaborasi Ekstensif: Nuansa dan Kompleksitas Mempersoalkan

Setelah meninjau dasar-dasar dan implikasi historis, penting untuk mendalami nuansa yang lebih kompleks mengenai bagaimana tindakan mempersoalkan berinteraksi dengan struktur sosial yang berbeda, serta bagaimana ia harus dipelihara dalam kehidupan sehari-hari dan kelembagaan.

1. Mempersoalkan dalam Organisasi dan Kepemimpinan

Dalam konteks korporat atau organisasi, budaya yang melarang mempersoalkan sering kali menjadi penyebab utama kegagalan struktural. Fenomena groupthink—di mana kelompok yang kohesif memilih untuk meminimalkan konflik dengan mencapai konsensus tanpa evaluasi kritis—adalah musuh terbesar inovasi dan manajemen risiko yang efektif. Kepemimpinan yang bijaksana harus secara aktif mendorong dan menghargai ‘pembela iblis’ (devil’s advocates)—individu yang ditugaskan untuk mempersoalkan setiap keputusan, asumsi, dan rencana strategis, meskipun hal itu tidak populer.

Organisasi yang stagnan adalah organisasi di mana bawahan takut mempersoalkan arahan atasan, atau di mana proses yang sudah usang tidak pernah ditinjau ulang. Mempersoalkan dalam konteks ini adalah mekanisme kualitas; ia memastikan bahwa efisiensi, etika, dan relevansi organisasi diuji secara berkala terhadap perubahan lingkungan eksternal. Jika tindakan mempersoalkan hanya diizinkan secara token, atau jika kritik secara rutin disambut dengan hukuman, maka sistem akan gagal mendeteksi kesalahannya sendiri sampai terlambat.

2. Mempersoalkan Diri Sendiri (Self-Scrutiny)

Mungkin bentuk mempersoalkan yang paling sulit adalah introspeksi. Mempersoalkan diri sendiri berarti menantang motivasi, bias implisit, dan prasangka yang kita miliki. Dalam filsafat eksistensial, tindakan mempersoalkan diri adalah kunci untuk hidup otentik.

Ini adalah proses tanpa akhir yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan sulit: Apakah saya bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang saya yakini? Apakah kemarahan atau keyakinan saya didasarkan pada fakta atau emosi belaka? Mengapa saya bereaksi seperti ini? Psikoterapi, pada intinya, adalah proses mempersoalkan narasi diri yang telah kita bangun, yang mungkin telah membatasi atau merusak. Mempersoalkan diri membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita mungkin salah, dan ini adalah langkah awal menuju pertumbuhan pribadi dan empati yang lebih mendalam terhadap kerentanan orang lain.

3. Perbedaan Antara Mengkritik dan Mempersoalkan

Seringkali, 'mempersoalkan' disamakan dengan 'mengkritik'. Meskipun keduanya saling terkait, ada perbedaan penting. Mengkritik bisa menjadi tindakan penghakiman atau penilaian akhir, seringkali dengan nada negatif. Mempersoalkan, sebaliknya, adalah tindakan penyelidikan. Itu adalah pembukaan dialog, sebuah undangan untuk memeriksa premis dasar. Fokus mempersoalkan adalah pada pemahaman, bukan pada penghukuman.

Ketika dialog publik didominasi oleh kritik tanpa mempersoalkan, hasilnya adalah perpecahan tanpa solusi. Namun, ketika para pihak setuju untuk mempersoalkan premis-premis yang mendasari perselisihan mereka, potensi untuk sintesis dan resolusi muncul. Kualitas mempersoalkan kita menentukan kualitas jawaban yang kita temukan.

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang substansial, kita harus mengakui bahwa praktik mempersoalkan harus dilakukan secara berlapis. Ini bukan aktivitas yang terjadi sesekali, tetapi sebuah modus vivendi—cara hidup—yang terintegrasi dalam setiap aspek pengambilan keputusan, mulai dari pemilihan bahan makanan yang kita konsumsi hingga dukungan kita terhadap kebijakan global. Kemampuan untuk secara konsisten mempertanyakan, menganalisis, dan membandingkan berbagai sudut pandang adalah indikator tertinggi dari fungsi kognitif yang matang, yang melampaui sekadar kepatuhan atau penerimaan pasif.

4. Institusionalisasi Tindakan Mempersoalkan (Pendidikan dan Hukum)

Bagaimana masyarakat memastikan bahwa tindakan mempersoalkan tetap menjadi kekuatan yang produktif, dan bukan hanya sumber kekacauan? Jawabannya terletak pada institusionalisasi skeptisisme yang sehat, terutama melalui sistem pendidikan dan kerangka hukum.

Pendidikan sejati bukanlah tentang mengisi wadah dengan fakta, tetapi tentang menyalakan api keingintahuan, yang merupakan sinonim lain dari mempersoalkan. Sekolah dan universitas harus didesain untuk menjadi inkubator pertanyaan, tempat di mana ide-ide yang paling mapan pun harus dibongkar dan diuji oleh generasi baru. Ketika kurikulum memprioritaskan hafalan di atas penalaran, kita gagal mempersiapkan warga negara untuk menghadapi kompleksitas dunia modern yang berubah cepat. Tugas pendidikan adalah mengajarkan cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan—sebuah proses yang sepenuhnya berakar pada tindakan mempersoalkan.

Di ranah hukum, prinsip-prinsip seperti habeas corpus, hak terdakwa untuk konfrontasi, dan sistem banding adalah manifestasi kelembagaan dari kebutuhan untuk mempersoalkan. Sistem hukum mengasumsikan bahwa kekuasaan (negara) dapat salah, dan oleh karena itu, setiap klaim harus diuji secara ketat. Proses persidangan yang adil, dengan pembuktian yang dipersoalkan oleh pihak lawan, adalah jaminan bahwa keputusan hidup dan mati tidak didasarkan pada asumsi atau kesewenang-wenangan otoritas. Tanpa mekanisme hukum yang mengizinkan pihak yang lemah mempersoalkan klaim pihak yang kuat, keadilan akan menjadi fasad belaka.

5. Mempersoalkan Narasi Dominan dan Hegemoni Budaya

Menurut pemikir seperti Antonio Gramsci dan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui paksaan fisik, tetapi juga melalui hegemoni—pengarusutamaan ideologi yang membuat tatanan sosial yang ada tampak alami, tak terhindarkan, dan benar. Tindakan kritis tertinggi dalam konteks ini adalah mempersoalkan narasi dominan yang telah kita internalisasi.

Ini mencakup pertanyaan tentang siapa yang menulis sejarah, mengapa tokoh-tokoh tertentu dihormati, dan mengapa masalah-masalah tertentu diabaikan atau dianggap sebagai ‘normal’. Mempersoalkan hegemoni berarti menggali lapisan-lapisan kekuasaan yang tersembunyi dalam bahasa, tradisi, dan praktik sehari-hari. Contohnya adalah mempersoalkan konsep pembangunan yang hanya mengukur pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan atau pemerataan sosial, atau mempersoalkan citra ideal kecantikan yang secara tidak sadar menindas sebagian besar populasi.

Proses ini bersifat melelahkan karena narasi dominan tertanam sangat dalam dalam kesadaran kolektif. Namun, hanya melalui tindakan radikal mempersoalkan inilah, masyarakat dapat menemukan ruang untuk membayangkan dan membangun alternatif yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

VII. Menjaga Api Skeptisisme yang Konstruktif

Tantangan terbesar di masa depan bukanlah kurangnya informasi, melainkan kurangnya keterampilan dan kemauan untuk mempersoalkan informasi tersebut dengan cara yang konstruktif. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, di mana mempersoalkan sering kali disalahartikan sebagai serangan pribadi atau ideologis.

1. Mempersoalkan sebagai Bentuk Empati Intelektual

Untuk memastikan bahwa mempersoalkan tetap menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah-belah, kita harus membingkainya sebagai bentuk empati intelektual. Ketika kita mempersoalkan keyakinan seseorang, kita tidak secara otomatis menolak orang tersebut. Sebaliknya, kita menunjukkan bahwa kita menghargai kecerdasan dan integritasnya cukup untuk terlibat dalam dialog yang serius dan menantang.

Empati intelektual menuntut kita untuk mempersoalkan dengan niat baik—yaitu, dengan asumsi bahwa pihak lain juga mencari kebenaran, meskipun jalannya berbeda. Ini melibatkan kemampuan untuk mendengarkan jawaban dengan pikiran terbuka, bahkan ketika jawaban itu mengancam kerangka berpikir kita sendiri. Mempersoalkan yang sehat selalu dilakukan dalam semangat kolaborasi pencarian kebenaran, bukan dalam semangat konfrontasi untuk kemenangan. Kesediaan untuk mempersoalkan dengan penuh rasa hormat adalah ciri khas peradaban yang matang.

2. Mempersoalkan dan Masa Depan Eksistensial

Di ambang tantangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya—perubahan iklim, pandemi global, risiko teknologi baru—kemampuan kolektif kita untuk mempersoalkan menjadi sangat vital. Kita harus mempersoalkan model ekonomi yang tidak berkelanjutan, mempersoalkan prioritas alokasi sumber daya, dan mempersoalkan etika di balik kemajuan teknologi yang sangat cepat, seperti bioteknologi dan persenjataan otonom.

Jika kita gagal mempersoalkan lintasan saat ini, kita berisiko menuju masa depan yang dipenuhi oleh konsekuensi yang tidak diinginkan dan bencana yang dapat dicegah. Tindakan mempersoalkan berfungsi sebagai sistem peringatan dini, memaksa kita untuk menghentikan laju, mengevaluasi potensi bahaya, dan memetakan jalur yang lebih bertanggung jawab menuju masa depan yang kita inginkan. Hal ini menuntut generasi saat ini untuk memiliki visi kritis, menolak kepuasan jangka pendek demi keberlanjutan jangka panjang.

Mempersoalkan adalah kunci untuk manajemen risiko eksistensial. Ketika para ilmuwan mempersoalkan keamanan reaktor nuklir, ketika para ahli etika mempersoalkan batas-batas rekayasa genetik, mereka tidak sedang menghambat kemajuan; mereka sedang memastikan bahwa kemajuan tersebut tidak menghancurkan fondasi eksistensi kita sendiri. Tugas mempersoalkan di masa depan adalah tugas yang bersifat kolektif, interdisipliner, dan harus berani menentang optimisme teknologi yang tidak kritis.

Lalu, bagaimana kita menumbuhkan kebiasaan mempersoalkan ini di tingkat akar rumput? Hal ini dimulai dari penghormatan terhadap pertanyaan anak-anak yang polos, yang secara naluriah mempersoalkan tatanan yang mereka temui. Mempersoalkan harus diajarkan di rumah dan di sekolah sebagai keterampilan hidup yang penting, bukan sebagai tindakan pembangkangan. Ketika kita memberi ruang bagi anak muda untuk menantang ide-ide kita, kita sedang menanam benih inovasi dan resiliensi di masa depan.

3. Mempersoalkan Kebisuan dan Ketidakpedulian

Dalam masyarakat yang semakin hiruk pikuk, salah satu ancaman terbesar adalah keheningan yang pasif—ketidakpedulian yang muncul dari kelelahan atau rasa tidak berdaya. Ketika menghadapi masalah besar, banyak orang memilih untuk diam atau mundur, meyakini bahwa suara mereka tidak akan membuat perbedaan. Mempersoalkan harus menjadi antidot terhadap kebisuan ini.

Setiap orang memiliki hak dan tanggung jawab untuk mempersoalkan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, dari kebijakan lokal hingga perjanjian internasional. Mempersoalkan adalah afirmasi bahwa kita adalah agen moral, bukan hanya penerima pasif dari takdir yang ditentukan. Ini adalah pengingat bahwa demokrasi tidak berfungsi berdasarkan penerimaan diam-diam, melainkan melalui partisipasi yang kritis dan aktif.

Tindakan mempersoalkan, dalam manifestasi terbesarnya, adalah pengakuan bahwa dunia ini belum selesai. Ia belum sempurna. Ia masih membutuhkan perhatian, perbaikan, dan terutama, pertanyaan-pertanyaan sulit yang terus-menerus. Selama manusia masih berinteraksi, menciptakan sistem, dan berjuang untuk pemahaman, maka tindakan mempersoalkan akan tetap menjadi fungsi terpenting dari akal budi kita.

Mempersoalkan adalah tentang mencari celah, melihat di balik tirai, dan menolak kenyamanan jawaban yang mudah. Ketika kita melihat struktur yang telah berdiri kokoh selama berabad-abad, tugas kita bukanlah untuk memujanya, melainkan untuk bertanya: Apakah fondasinya masih relevan? Apakah ia masih melayani semua? Dan bagaimana kita bisa membangunnya menjadi lebih baik?

Inilah siklus abadi kemajuan: penerimaan menghasilkan stabilitas, tetapi mempersoalkan memicu evolusi. Mereka yang berani mengajukan pertanyaan yang tidak terucapkan adalah pahlawan sejati peradaban, karena mereka adalah arsitek dari realitas yang akan datang. Kita harus senantiasa waspada terhadap kepuasan diri, karena kepuasan adalah awal dari kemunduran intelektual. Hanya melalui ketidakpuasan yang konstruktif—yang lahir dari tindakan mempersoalkan—kita dapat terus berusaha mencapai potensi tertinggi kita sebagai individu dan sebagai spesies yang memiliki akal budi.

Oleh karena itu, tindakan mempersoalkan bukanlah sekadar sebuah pilihan metodologis atau kegiatan intelektual yang santai; ia adalah sebuah keharusan eksistensial, sebuah prasyarat bagi kebebasan, keadilan, dan kemajuan yang berkelanjutan. Mari kita teruskan warisan skeptisisme yang produktif ini, memastikan bahwa setiap dogma, setiap asumsi, dan setiap klaim kekuasaan harus melewati ujian keras dari pertanyaan yang tajam dan tak kenal lelah.

Mempersoalkan adalah janji bahwa hari esok akan lebih cerah dan lebih adil daripada hari ini, karena kita menolak untuk menerima keterbatasan yang dikenakan oleh masa lalu. Ini adalah warisan kita yang paling berharga.

Kita harus mempersoalkan, dan mempersoalkan lagi, hingga cahaya pemahaman menembus kegelapan ketidaktahuan dan penerimaan yang tidak kritis. Inilah peran dan tanggung jawab abadi setiap manusia yang berpikir.

Setiap era membawa tantangan unik yang menuntut respons kritis yang disesuaikan. Di masa lalu, perjuangan berpusat pada dogma agama atau politik yang eksplisit. Hari ini, ancaman seringkali lebih terselubung, terbungkus dalam bahasa teknis, statistik yang menyesatkan, dan efisiensi birokrasi yang dingin. Oleh karena itu, kemampuan kita untuk 'membaca' sistem, bukan hanya konten permukaannya, adalah inti dari tindakan mempersoalkan di abad ini. Kita perlu mempersoalkan arsitektur sistem keuangan global, yang seringkali dirancang agar tidak dapat dipahami oleh warga negara biasa. Kita perlu mempersoalkan sistem kesehatan yang memprioritaskan keuntungan di atas kesejahteraan publik. Mempersoalkan di sini adalah upaya untuk mendemokratisasi pengetahuan dan kekuasaan, menarik kembali kendali dari tangan segelintir ahli yang tidak akuntabel.

Lebih jauh lagi, dalam bidang seni dan budaya, mempersoalkan mengambil bentuk dekonstruksi. Seniman, kritikus, dan kurator terus mempersoalkan apa yang dianggap 'seni tinggi', menantang kanon estetika yang secara historis didominasi oleh kelompok tertentu. Tindakan mempersoalkan ini membuka ruang bagi suara-suara minoritas, perspektif yang terabaikan, dan bentuk-bentuk ekspresi baru yang sebelumnya dianggap marjinal. Dengan mempersoalkan batasan-batasan artistik, kita memperkaya pemahaman kolektif tentang pengalaman manusia dalam seluruh kompleksitasnya. Seniman yang revolusioner adalah mereka yang berani mempersoalkan konvensi yang ada, mendorong batas-batas imajinasi dan rasa nyaman audiens mereka.

Kesimpulan yang tak terhindarkan adalah bahwa peradaban yang berhenti mempersoalkan dirinya sendiri adalah peradaban yang mulai sekarat. Stagnasi adalah hukuman bagi penerimaan buta. Sebaliknya, peradaban yang menumbuhkan budaya bertanya, di mana setiap individu merasa diberdayakan untuk menantang, adalah peradaban yang berada dalam keadaan pertumbuhan abadi, menyesuaikan diri, dan berevolusi. Mempersoalkan bukan hanya tentang mencari jawaban yang lebih baik; seringkali, ini tentang menemukan pertanyaan yang lebih baik—pertanyaan yang membuka dimensi realitas yang sebelumnya tidak kita sadari ada. Ini adalah warisan terpenting yang dapat kita tinggalkan untuk generasi mendatang: bukan jawaban yang pasti, tetapi keberanian untuk terus bertanya.

Kekuatan mempersoalkan terletak pada sifatnya yang tanpa akhir. Tidak ada puncak pengetahuan yang absolut, tidak ada sistem politik yang sempurna, dan tidak ada norma sosial yang tidak dapat ditingkatkan. Kesadaran akan ketidaksempurnaan abadi ini adalah apa yang mendorong upaya manusia, siklus tak berujung antara tesis, antitesis, dan sintesis. Mempersoalkan adalah antitesis yang tak terhindarkan yang menjamin bahwa kita tidak pernah puas dengan kemajuan yang sudah dicapai, melainkan selalu berjuang menuju cakrawala keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan yang lebih besar.

Dengan demikian, mempersoalkan adalah etos, sebuah komitmen spiritual dan intelektual. Ia adalah sumpah untuk tidak pernah menerima tirani kebiasaan atau kenyamanan ilusi. Ini adalah panggilan untuk bertindak, bukan hanya berpikir. Ketika kita mempersoalkan, kita menegaskan hak kita untuk mendefinisikan realitas kita sendiri, daripada menerima definisi yang diwariskan atau dipaksakan oleh orang lain. Inilah, pada akhirnya, arti sebenarnya dari kebebasan intelektual: kebebasan untuk selalu, dan tanpa henti, mempersoalkan.

🏠 Kembali ke Homepage