Surah Al-Mulk: Kekuasaan dan Rahmat Allah
Surah Al-Mulk (Kerajaan) adalah surah ke-67 dalam Al-Qur'an dan terdiri dari 30 ayat. Surah ini tergolong dalam surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama "Al-Mulk" sendiri secara langsung merujuk pada tema utama surah ini, yaitu penegasan kekuasaan absolut dan kepemilikan mutlak Allah SWT atas seluruh alam semesta. Surah ini juga dikenal dengan nama lain seperti At-Tabaarak (Maha Suci), Al-Mani'ah (Pencegah), dan Al-Munjiya (Penyelamat), yang merujuk pada keutamaannya sebagai pelindung dari siksa kubur bagi siapa pun yang membacanya secara rutin.
Secara keseluruhan, Surah Al-Mulk menyajikan sebuah argumen yang kuat dan komprehensif tentang keesaan dan kekuasaan Allah. Argumen ini dibangun melalui ajakan untuk merenungkan kesempurnaan ciptaan-Nya, mulai dari langit yang berlapis-lapis tanpa cela, bumi yang terhampar sebagai tempat tinggal, hingga burung-burung yang terbang dengan sayapnya. Surah ini menantang manusia untuk menemukan cacat dalam ciptaan Allah, sebuah tantangan yang mustahil dipenuhi, sebagai bukti keagungan-Nya. Selain itu, surah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai nasib orang-orang yang beriman dan orang-orang yang ingkar, serta dialog penyesalan para penghuni neraka yang menegaskan datangnya peringatan kepada mereka di dunia.
Bacaan Lengkap Surah Al-Mulk: Arab, Latin, dan Terjemahan
Berikut adalah bacaan lengkap 30 ayat Surah Al-Mulk, disajikan dalam teks Arab, transliterasi latin untuk membantu pembacaan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia agar maknanya dapat dipahami secara mendalam.
Ayat 1
تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ
tabārakallażī biyadihil-mulk(u), wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr(un).
Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ayat 2
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā(n), wa huwal-‘azīzul-gafūr(u).
Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.
Ayat 3
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
allażī khalaqa sab‘a samāwātin ṭibāqā(n), mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut(in), farji‘il-baṣara hal tarā min fuṭūr(in).
Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?
Ayat 4
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ
ṡummarji‘il-baṣara karrataini yanqalib ilaikal-baṣaru khāsi'aw wa huwa ḥasīr(un).
Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi (dan) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan dalam keadaan letih.
Ayat 5
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ
wa laqad zayyannas-samā'ad-dun-yā bimaṣābīḥa wa ja‘alnāhā rujūmal lisy-syayāṭīni wa a‘tadnā lahum ‘ażābas-sa‘īr(i).
Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala.
Ayat 6
وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
wa lillażīna kafarū birabbihim ‘ażābu jahannam(a), wa bi'sal-maṣīr(u).
Dan bagi orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya akan mendapat azab Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat 7
اِذَآ اُلْقُوْا فِيْهَا سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا وَّهِيَ تَفُوْرُۙ
iżā ulqū fīhā sami‘ū lahā syahīqaw wa hiya tafūr(u).
Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suaranya yang mengerikan saat ia (neraka) membara.
Ayat 8
تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ
takādu tamayyazu minal-gaiẓ(i), kullamā ulqiya fīhā faujun sa'alahum khazanatuhā alam ya'tikum nażīr(un).
Hampir saja (neraka) itu meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?"
Ayat 9
قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ
qālū balā qad jā'anā nażīr(un), fa każżabnā wa qulnā mā nazzalallāhu min syai'(in), in antum illā fī ḍalālin kabīr(in).
Mereka menjawab, "Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakan(nya) dan kami katakan, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu sebenarnya dalam kesesatan yang besar.'"
Ayat 10
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ
wa qālū lau kunnā nasma‘u au na‘qilu mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr(i).
Dan mereka berkata, "Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala."
Ayat 11
فَاعْتَرَفُوْا بِذَنْۢبِهِمْۚ فَسُحْقًا لِّاَصْحٰبِ السَّعِيْرِ
fa‘tarafū biżambihim, fasuḥqal li'aṣḥābis-sa‘īr(i).
Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi, jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu.
Ayat 12
اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ
innal-lażīna yakhsyauna rabbahum bil-gaibi lahum magfiratuw wa ajrun kabīr(un).
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Ayat 13
وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
wa asirrū qaulakum awijharū bih(ī), innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr(i).
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.
Ayat 14
اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ࣖ
alā ya‘lamu man khalaq(a), wa huwal-laṭīful-khabīr(u).
Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.
Ayat 15
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ
huwal-lażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih(ī), wa ilaihin-nusyūr(u).
Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Ayat 16
ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ
a amintum man fis-samā'i ay yakhsifa bikumul-arḍa fa'iżā hiya tamūr(u).
Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?
Ayat 17
اَمْ اَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يُّرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ
am amintum man fis-samā'i ay yursila ‘alaikum ḥāṣibā(n), fa sata‘lamūna kaifa nażīr(i).
Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku.
Ayat 18
وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ
wa laqad każżabal-lażīna min qablihim fakaifa kāna nakīr(i).
Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku!
Ayat 19
اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيْرٌ
awalam yarau ilaṭ-ṭairi fauqahum ṣāffātiw wa yaqbiḍn(a), mā yumsikuhunna illar-raḥmān(u), innahū bikulli syai'im baṣīr(un).
Dan tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.
Ayat 20
اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِۗ اِنِ الْكٰفِرُوْنَ اِلَّا فِيْ غُرُوْرٍۚ
am man hāżal-lażī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-raḥmān(i), inil-kāfirūna illā fī gurūr(in).
Atau siapakah yang akan menjadi bala tentara bagimu yang dapat menolongmu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir itu hanyalah dalam (keadaan) tertipu.
Ayat 21
اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ اِنْ اَمْسَكَ رِزْقَهٗ ۚ بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَّنُفُوْرٍ
am man hāżal-lażī yarzuqukum in amsaka rizqah(ū), bal lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr(in).
Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri (dari kebenaran).
Ayat 22
اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
afamay yamsyī mukibban ‘alā wajhihī ahdā ammay yamsyī sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm(in).
Maka apakah orang yang berjalan merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin, ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?
Ayat 23
قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
qul huwal-lażī ansya'akum wa ja‘ala lakumus-sam‘a wal-abṣāra wal-af'idah, qalīlam mā tasykurūn(a).
Katakanlah, "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur."
Ayat 24
قُلْ هُوَ الَّذِيْ ذَرَاَكُمْ فِى الْاَرْضِ وَاِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
qul huwal-lażī żara'akum fil-arḍi wa ilaihi tuḥsyarūn(a).
Katakanlah, "Dialah yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."
Ayat 25
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).
Dan mereka berkata, "Kapankah (datangnya) ancaman itu jika kamu orang yang benar?"
Ayat 26
قُلْ اِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللّٰهِ ۖوَاِنَّمَآ اَنَا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ
qul innamal-‘ilmu ‘indallāh(i), wa innamā ana nażīrum mubīn(un).
Katakanlah, "Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) itu hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
Ayat 27
فَلَمَّا رَاَوْهُ زُلْفَةً سِيْۤـَٔتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَقِيْلَ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَدَّعُوْنَ
falammā ra'auhu zulfatan sī'at wujūhul-lażīna kafarū wa qīla hāżal-lażī kuntum bihī tadda‘ūn(a).
Maka ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat) sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), "Inilah (azab) yang dahulu kamu memintanya."
Ayat 28
قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَهْلَكَنِيَ اللّٰهُ وَمَنْ مَّعِيَ اَوْ رَحِمَنَاۙ فَمَنْ يُّجِيْرُ الْكٰفِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ
qul ara'aitum in ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā, famay yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm(in).
Katakanlah (Muhammad), "Tahukah kamu, jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami, (itu adalah urusan-Nya). Tetapi siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?"
Ayat 29
قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۚ فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
qul huwar-raḥmānu āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā, fasata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn(in).
Katakanlah, "Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata."
Ayat 30
قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَصْبَحَ مَاۤؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَّأْتِيْكُمْ بِمَاۤءٍ مَّعِيْنٍ ࣖ
qul ara'aitum in aṣbaḥa mā'ukum gauran famay ya'tīkum bimā'im ma‘īn(in).
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?"
Tadabbur dan Tafsir Mendalam Surah Al-Mulk
Memahami Surah Al-Mulk tidak cukup hanya dengan membaca terjemahannya. Merenungkan makna yang terkandung dalam setiap ayat akan membuka wawasan kita tentang keagungan Allah SWT. Surah ini dibagi menjadi beberapa bagian tematik yang saling menguatkan.
Bagian 1: Kekuasaan Mutlak dan Kesempurnaan Ciptaan (Ayat 1-5)
Ayat pertama langsung menegaskan konsep sentral: "Tabaarakal-lazii biyadihil-mulk" (Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan). Kata "Tabaarak" berasal dari akar kata barakah, yang berarti kebaikan yang melimpah, tetap, dan terus-menerus. Ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan Allah bukan hanya mutlak, tetapi juga sumber dari segala kebaikan di alam semesta. Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, tanpa terkecuali, sebagaimana ditegaskan oleh frasa "wa huwa 'alaa kulli syai'in qadiir" (dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu).
Ayat kedua menjelaskan tujuan dari adanya kehidupan dan kematian, yaitu sebagai sebuah ujian (liyabluwakum). Ujian ini bukan untuk mengukur kuantitas amal, melainkan kualitasnya: "ayyukum ahsanu 'amalaa" (siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya). Amal yang baik adalah amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat. Di akhir ayat, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-'Aziiz (Mahaperkasa) dan Al-Ghafuur (Maha Pengampun). Sifat Mahaperkasa menunjukkan bahwa Dia mampu memberikan balasan setimpal atas setiap perbuatan, sementara sifat Maha Pengampun membuka pintu harapan bagi mereka yang bertaubat.
"Kehidupan dan kematian adalah arena ujian. Hasilnya bukan diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa baik kualitas amal yang kita persembahkan."
Ayat 3 hingga 5 mengajak manusia untuk menggunakan indra penglihatannya sebagai sarana refleksi. Allah menantang kita untuk mengamati ciptaan-Nya, khususnya tujuh langit yang berlapis-lapis (sab'a samaawaatin thibaaqaa). Tantangan ini sangat tegas: "Maa taraa fii khalqir-rahmaan min tafaawut" (Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih). Tidak ada cacat, retak, atau ketidakselarasan. Allah bahkan memerintahkan kita untuk melihat berulang kali (karratain), dan hasilnya tetap sama: pandangan kita akan kembali dalam keadaan lelah dan takjub (khaasi'aw wa huwa hasiir), tanpa pernah menemukan satu pun kekurangan. Ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan atas keesaan dan kesempurnaan Sang Pencipta. Langit dunia yang kita lihat dihiasi dengan bintang-bintang (mashabiih) yang memiliki dua fungsi: sebagai keindahan dan sebagai pelempar setan (rujuuman lisy-syayaathiin), sebuah konsep yang menunjukkan adanya dimensi gaib dalam ciptaan-Nya.
Bagian 2: Ancaman dan Penyesalan Orang Kafir (Ayat 6-11)
Setelah memaparkan bukti keagungan-Nya, surah ini beralih pada konsekuensi bagi mereka yang mengingkarinya. Orang-orang kafir diancam dengan azab Jahanam, seburuk-buruknya tempat kembali (bi'sal-mashiir). Penggambaran neraka di sini sangat hidup dan menakutkan. Ketika dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara gemuruh yang mengerikan (syahiiqan) saat neraka itu mendidih dan bergejolak (tafuur). Saking marahnya, neraka itu digambarkan seolah-olah hampir meledak (takaadu tamayyazu minal-ghaizh).
Di tengah kengerian itu, terjadi dialog antara para penghuni neraka dan penjaganya. Penjaga neraka bertanya, "Alam ya'tikum nadziir?" (Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?). Pertanyaan ini bukan untuk mencari informasi, melainkan untuk menegaskan keadilan Allah dan kesalahan para penghuni neraka itu sendiri. Mereka pun mengakuinya dengan penuh penyesalan, "Balaa qad jaa'anaa nadziir, fakadzdzabnaa" (Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakannya). Pengakuan ini adalah puncak dari penyesalan. Mereka bahkan menyadari akar masalahnya: ketidakmauan untuk menggunakan akal dan pendengaran mereka. "Lau kunnaa nasma'u au na'qilu maa kunnaa fii ash-haabis-sa'iir" (Sekiranya dahulu kami mendengarkan atau memikirkan, niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka). Ini adalah pelajaran berharga bahwa akal dan pendengaran adalah nikmat besar yang harus digunakan untuk mencari kebenaran, bukan untuk menolaknya. Namun, pengakuan di akhirat sudah tidak berguna lagi.
Bagian 3: Janji Indah dan Ilmu Allah yang Meliputi (Ayat 12-14)
Sebagai antitesis dari nasib orang kafir, ayat 12 menyajikan balasan bagi orang-orang beriman. Ciri utama mereka adalah "yakhsyauna rabbahum bil-ghaib" (takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka). Rasa takut ini bukanlah ketakutan negatif, melainkan rasa takjub, hormat, dan kesadaran akan pengawasan Allah meskipun mereka tidak melihat-Nya. Inilah puncak keikhlasan. Balasan bagi mereka adalah ampunan (maghfirah) dan pahala yang besar (ajrun kabiir).
Ayat 13 dan 14 memperkuat konsep pengawasan Allah yang mutlak. Baik kita merahasiakan ucapan maupun menyatakannya, Allah Maha Mengetahui segala isi hati ('aliimun bidzaatish-shuduur). Pengetahuan-Nya menembus lapisan terdalam dari niat dan perasaan manusia. Kemudian, Allah memberikan sebuah argumen logis yang sangat kuat: "Alaa ya'lamu man khalaq?" (Apakah pantas Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui?). Tentu saja, Sang Pencipta pasti mengetahui setiap detail dari ciptaan-Nya. Dia adalah Al-Lathiif (Mahahalus), yang ilmunya menjangkau hal-hal terkecil dan tersembunyi, dan Al-Khabiir (Maha Mengetahui), yang pengetahuannya meliputi aspek lahir dan batin dari segala urusan.
Bagian 4: Bukti Kekuasaan di Alam Sekitar (Ayat 15-22)
Allah kembali mengajak manusia untuk melihat bukti-bukti nyata di sekeliling mereka. Ayat 15 menyebutkan bahwa bumi ini dijadikan mudah untuk dijelajahi (dzaluulan). Manusia diperintahkan untuk berjalan di segala penjurunya (famsyuu fii manaakibihaa) dan menikmati rezeki-Nya. Namun, kenikmatan dunia ini hanyalah sementara, karena pada akhirnya semua akan kembali kepada-Nya (wa ilaihin-nusyuur).
Ayat 16 dan 17 memberikan peringatan keras melalui pertanyaan retoris. Apakah kita merasa aman dari kekuasaan Allah "yang di langit" (man fis-samaa') yang bisa saja menelan kita ke dalam bumi (yakhsifa bikumul-ardh) atau mengirimkan badai batu (haashiban)? Ini adalah pengingat bahwa bencana alam bukanlah kejadian acak, melainkan berada dalam kendali mutlak Allah. Manusia tidak memiliki jaminan keamanan sedikit pun kecuali atas izin-Nya.
Ayat 19 mengalihkan perhatian kita ke langit sekali lagi, kepada burung-burung yang terbang dengan mengepakkan dan mengatupkan sayapnya. Siapa yang menahan mereka di udara? "Maa yumsikuhunna illar-rahmaan" (Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih). Fenomena aerodinamika yang kita kenal dalam sains adalah manifestasi dari hukum alam yang diciptakan dan dijaga oleh Ar-Rahman. Ini adalah bukti kasih sayang-Nya yang terlihat setiap hari.
Selanjutnya, Allah menantang manusia untuk menunjukkan siapa yang bisa menjadi pelindung atau pemberi rezeki selain Diri-Nya. Adakah "bala tentara" (jundun) yang bisa menolong dari azab-Nya? Adakah yang bisa memberi rezeki jika Allah menahannya? Jawabannya tentu tidak ada. Orang-orang kafir yang mengandalkan selain Allah hanyalah berada dalam tipu daya (ghuruur).
Ayat 22 memberikan perumpamaan yang sangat indah dan mendalam. Allah membandingkan dua tipe manusia. Pertama, orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup (mukibban 'alaa wajhihi), yang melambangkan orang kafir yang buta arah, tersesat, dan hidup tanpa petunjuk. Kedua, orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus (sawiyyan 'alaa shiraathim mustaqiim), yang melambangkan seorang mukmin yang hidup dengan petunjuk Al-Qur'an, jelas tujuannya, dan lurus jalannya. Tentu saja, yang kedua inilah yang lebih terpimpin (ahdaa).
Bagian 5: Peringatan Hari Kebangkitan dan Tauhid (Ayat 23-30)
Pada bagian akhir, surah ini kembali mengingatkan manusia akan asal-usul dan nikmat yang sering dilupakan. Allah-lah yang menciptakan manusia dari ketiadaan dan memberinya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani (as-sam'a wal-abshaara wal-af'idah). Namun, ironisnya, sangat sedikit manusia yang bersyukur (qaliilan maa tasykuruun). Manusia juga diingatkan bahwa mereka disebarkan di muka bumi ini dan pada akhirnya akan dikumpulkan kembali di hadapan-Nya (ilaihi tuhsyaruun).
Menghadapi peringatan ini, orang-orang kafir seringkali bertanya dengan nada mengejek, "Mataa haadzal-wa'du?" (Kapan janji itu akan datang?). Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah jawaban yang menunjukkan adab dan batas pengetahuan manusia: "Innamal-'ilmu 'indallah" (Sesungguhnya ilmu tentang itu hanya ada di sisi Allah). Tugas seorang rasul hanyalah sebagai pemberi peringatan yang jelas (nadziirum mubiin).
Ayat-ayat terakhir melukiskan akhir dari perdebatan ini. Ketika azab itu datang dan mereka melihatnya dari dekat, wajah orang-orang kafir akan menjadi muram dan penuh penyesalan. Lalu, sebagai penutup, Allah mengajukan dua pertanyaan final yang mengukuhkan tauhid. Pertama, tentang hidup dan mati. Jika Allah mematikan Nabi dan para pengikutnya, siapa yang bisa melindungi orang kafir dari azab? Sebaliknya, jika Allah memberi rahmat, itu adalah kehendak-Nya. Intinya, semua urusan berada di tangan Allah, dan satu-satunya sikap yang benar adalah beriman dan bertawakal kepada-Nya. Kedua, sebuah pertanyaan tentang nikmat paling vital: air. "Qul ara'aitum in ashbaha maa'ukum ghauran famay ya'tiikum bimaa'in ma'iin?" (Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?’). Pertanyaan ini membungkam semua kesombongan dan memaksa kita untuk mengakui ketergantungan total kita kepada Allah, Sang Sumber Kehidupan.
Keutamaan dan Fadhilah Surah Al-Mulk
Surah Al-Mulk memiliki kedudukan istimewa dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Keutamaannya yang paling masyhur adalah sebagai pelindung dan penyelamat dari siksa kubur. Banyak riwayat yang menganjurkan umat Islam untuk membaca surah ini secara rutin, terutama pada malam hari sebelum tidur.
Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ada suatu surah dari Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafaat bagi yang membacanya, sampai dia diampuni. Surah itu adalah Tabaarakal-lazii biyadihil-mulk." Hadis ini menunjukkan bahwa Surah Al-Mulk akan menjadi pembela bagi pembacanya di hari kiamat, memohonkan ampunan untuknya hingga Allah mengampuninya.
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas'ud, beliau berkata, "Barangsiapa membaca Tabaarakal-lazii biyadihil-mulk setiap malam, maka Allah akan mencegahnya dari siksa kubur." Karena keutamaan inilah, para sahabat pada zaman dahulu menamainya Al-Mani'ah, atau sang pencegah. Surah ini, dengan izin Allah, akan menjadi perisai yang melindungi jasad seorang hamba di alam barzakh.
Bagaimana surah ini bisa melindungi? Para ulama menjelaskan bahwa kandungan surah ini, yang penuh dengan pengagungan terhadap kekuasaan Allah, pengakuan atas keesaan-Nya, serta kesadaran akan hari akhir, akan meresap ke dalam hati pembacanya. Keyakinan yang kuat inilah yang menjadi amal saleh dan hujah (argumen) baginya di hadapan malaikat. Ketika seseorang menghayati makna Surah Al-Mulk, ia akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, memperbaiki amalnya, dan takut berbuat maksiat. Inilah esensi dari perlindungan itu.
Oleh karena itu, menjadikan pembacaan latin al mulk dan perenungan maknanya sebagai amalan harian adalah investasi akhirat yang sangat berharga. Ia bukan sekadar bacaan ritual, melainkan sebuah dialog jiwa dengan ayat-ayat Allah yang menguatkan iman dan meneguhkan langkah di atas jalan yang lurus.
Sebagai kesimpulan, Surah Al-Mulk adalah sebuah permata dalam Al-Qur'an. Ia membuka mata kita terhadap realitas kekuasaan Allah yang tak terbatas, mengajak kita merenungi kesempurnaan ciptaan-Nya sebagai bukti keberadaan dan keesaan-Nya, serta memberikan gambaran jelas tentang konsekuensi iman dan kufur. Dengan membacanya secara istiqamah, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga perlindungan di dunia dan akhirat, serta panduan hidup yang kokoh yang berlandaskan pada tauhid dan tawakal kepada Allah SWT.