Adzan Jenazah: Hukum, Filosofi, dan Tradisi di Nusantara

Simbol Panggilan dan Ketenangan

Ilustrasi Simbol Panggilan dan Ketenangan

Praktik mengumandangkan adzan ketika mengiringi jenazah atau saat jenazah baru diletakkan di liang lahat merupakan tradisi yang mengakar kuat di berbagai wilayah, khususnya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Fenomena ini bukanlah suatu hal yang ditemukan dalam ritual utama yang diajarkan secara eksplisit oleh Rasulullah ﷺ dalam konteks pengurusan jenazah. Ia berdiri di persimpangan antara ibadah yang bersifat *mahdlah* (murni ritual yang tata caranya ditetapkan) dan praktik yang didorong oleh pertimbangan filosofis, spiritual, atau bahkan kebutuhan lokal untuk memberikan ketenangan batin kepada yang ditinggalkan. Memahami praktik ini memerlukan telaah yang mendalam terhadap sumber-sumber hukum Islam, psikologi keagamaan masyarakat, dan evolusi tradisi keislaman di Nusantara.

Diskusi mengenai ‘Adzan Jenazah’ seringkali memicu perdebatan sengit dalam ranah fiqh kontemporer. Sebagian ulama menganggapnya sebagai praktik yang baik (*hasanah*) karena mengandung dzikir dan panggilan kepada Allah, yang sangat relevan di saat kematian. Sementara itu, kelompok ulama lain berpendapat bahwa karena tidak adanya dasar hukum yang kuat dan jelas dari Al-Qur’an maupun Sunnah Shahih yang secara spesifik memerintahkan adzan di momen tersebut, praktik ini berpotensi jatuh dalam kategori *bid’ah* (inovasi dalam agama) yang harus dihindari. Kompleksitas ini mendorong kita untuk mengupas tuntas akar permasalahan, dalil-dalil yang digunakan oleh kedua belah pihak, serta bagaimana masyarakat Islam di Indonesia menyikapi perbedaan pandangan ini dengan kearifan lokal yang khas.

I. Adzan: Makna Fundamental dan Fungsi Teologis

Sebelum membahas adzan jenazah, kita harus kembali kepada makna dasar dan tujuan utama dari adzan itu sendiri. Adzan secara etimologi berarti pemberitahuan atau panggilan. Dalam terminologi syariat, adzan adalah seruan yang dikumandangkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat fardhu dan mengajak kaum mukminin untuk segera menunaikannya secara berjamaah. Lafal-lafal adzan yang agung, mulai dari takbir (*Allahu Akbar*) hingga syahadat dan seruan untuk meraih kemenangan (*Hayya ‘alal Falah*), merupakan rangkuman akidah Islam yang paling mendasar.

Namun, fungsi adzan tidak hanya terbatas pada penanda waktu shalat. Secara teologis, adzan memiliki peran krusial sebagai penolak bala dan pengusir syaitan. Terdapat hadis shahih yang diriwayatkan bahwa ketika adzan dikumandangkan, syaitan akan lari terbirit-birit sambil terkentut-kentut hingga tidak lagi mendengar suara adzan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kekuatan lafal adzan mampu menciptakan benteng spiritual di suatu wilayah, mengusir energi negatif dan gangguan dari makhluk halus yang ingin menyesatkan manusia. Pemahaman inilah yang sering dijadikan pijakan oleh mereka yang mendukung adzan jenazah, yaitu bahwa saat kematian, syaitan sangat gencar menggoda manusia, baik yang wafat maupun yang ditinggalkan, sehingga adzan dianggap perlu sebagai perisai spiritual di momen genting tersebut.

Kekuatan spiritual adzan ini juga terlihat dalam praktik yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu mengadzan bayikanak yang baru lahir. Meskipun hadis mengenai adzan pada bayi baru lahir ini sering diperdebatkan derajat kesahihannya (sebagian ulama mendhaifkannya, sebagian menghasankannya), praktik ini diterima luas dalam tradisi Islam dengan filosofi yang jelas: bahwa adzan adalah kalimat pertama yang harus didengar oleh seorang manusia di dunia, sebagai perkenalan terhadap tauhid dan sebagai pelindung dari godaan syaitan yang selalu mengintai sejak awal kehidupan. Konsep Qiyas (analogi) antara awal kehidupan (bayi) dan akhir kehidupan (jenazah) seringkali menjadi landasan utama argumen bagi pelaksanaan adzan jenazah, menyamakan proses kelahiran kembali spiritual di alam barzakh dengan kelahiran fisik di dunia.

II. Analisis Fiqh Adzan Jenazah: Pro dan Kontra

Hukum asal dalam ibadah adalah *tauqifi*, artinya ibadah harus dilakukan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Jika tidak ada contoh spesifik, maka praktik tersebut cenderung dianggap sebagai tambahan yang tidak disyariatkan. Inilah inti dari perbedaan pendapat mengenai Adzan Jenazah.

A. Argumentasi Pihak yang Mendukung (Qiyas dan Manfaat Spiritual)

Pihak yang mendukung praktik adzan jenazah, yang banyak dianut oleh mazhab Syafi’i di Nusantara dan beberapa ulama sufi, mendasarkan pandangan mereka pada beberapa poin utama yang bersifat analogis dan filosofis:

1. Qiyas dengan Bayi Baru Lahir (Awal vs. Akhir)

Ini adalah dalil non-tekstual yang paling sering digunakan. Jika adzan disunnahkan untuk yang baru lahir (awal kehidupan), maka logis jika adzan juga dilakukan untuk yang baru meninggal (awal kehidupan di alam barzakh). Keduanya adalah momen transisi penting. Bayi perlu diperkenalkan tauhid, dan jenazah pun perlu diperkuat tauhidnya saat malaikat Munkar dan Nakir datang bertanya. Adzan dianggap sebagai pengingat tauhid terakhir sebelum jenazah ditinggal sendiri.

Para ulama pendukung menekankan bahwa adzan di liang lahat adalah upaya maksimal dalam membentengi jenazah dari syaitan. Mereka berpandangan bahwa syaitan tidak akan pernah berhenti menggoda, bahkan ketika ruh telah berpisah dari jasad. Dalam hadits disebutkan bagaimana syaitan lari dari adzan, sehingga mengumandangkannya di kuburan adalah upaya perlindungan terakhir bagi mayat dari segala jenis gangguan syaitan yang berusaha memalingkan mayat dari kalimat tauhid.

2. Mengambil Prinsip Umum Dzikir dan Perlindungan

Meskipun tidak ada hadis spesifik tentang adzan jenazah, para pendukung berdalil bahwa adzan adalah bentuk dzikir yang paling mulia. Mengingat bahwa dzikir dianjurkan dalam setiap keadaan, terutama dalam keadaan sulit dan penuh ujian seperti saat menghadapi kematian, maka adzan adalah manifestasi dzikir yang sangat tepat. Mereka melihat praktik ini bukan sebagai ibadah ritual wajib (*Ibadah Mahdhah*) yang memerlukan dalil khusus, tetapi sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui lafaz-lafaz suci di momen yang sakral.

Lebih jauh lagi, kelompok pendukung sering menyandingkan adzan jenazah dengan praktik *talqin* (menuntun mayit mengucapkan syahadat setelah dikuburkan). Walaupun status hukum *talqin* juga diperdebatkan, mayoritas ulama Syafi’iyyah menganggapnya sunnah. Jika *talqin* yang berisi ucapan syahadat adalah anjuran untuk mengingatkan mayit, maka adzan yang juga berisi syahadat dianggap memiliki fungsi yang serupa, yaitu penguatan iman bagi mayit yang sedang menghadapi masa-masa awal di alam barzakh.

Poin Kunci Pendukung: Adzan Jenazah dianggap sebagai qiyas yang kuat dari adzan bayi baru lahir, sebagai perisai spiritual dari syaitan, dan sebagai bentuk dzikir yang mulia di momen transisi.

B. Argumentasi Pihak yang Menolak (Ketiadaan Dalil Shahih)

Mayoritas ulama dari mazhab Hanbali, Maliki, dan sebagian ulama Syafi’iyyah serta ulama Salaf kontemporer, menolak praktik adzan jenazah. Mereka berpegang teguh pada prinsip bahwa ibadah adalah *tauqifi*, dan ketiadaan dalil yang jelas adalah bukti bahwa praktik tersebut tidak disyariatkan. Mereka mengkhawatirkan praktik ini dapat mengarah pada penambahan (bid'ah) dalam agama.

1. Ketiadaan Contoh dari Nabi dan Sahabat

Argumen utama penolakan adalah: Jika praktik ini baik dan bermanfaat, mengapa Rasulullah ﷺ, yang telah mengajarkan secara rinci segala hal tentang pengurusan jenazah (mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, hingga menguburkan), tidak pernah memerintahkannya atau melakukannya? Jika adzan jenazah disyariatkan, pasti ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan hal tersebut ketika menguburkan kerabat atau orang terdekat mereka.

Mereka menekankan bahwa prosesi pengurusan jenazah adalah ibadah yang sangat spesifik (*Ibadah Mahdhah*). Setiap langkah, mulai dari tata cara shalat jenazah yang tanpa rukuk dan sujud, hingga posisi meletakkan jenazah di liang lahat, telah diatur sedemikian rupa. Memasukkan ritual baru seperti adzan tanpa dasar *nash* (teks) yang kuat dianggap menyalahi prinsip dasar syariat.

2. Adzan Hanya untuk Panggilan Shalat

Ulama penolak berpendapat bahwa adzan secara tegas dan spesifik ditetapkan dalam syariat sebagai panggilan untuk shalat fardhu. Melaksanakannya di luar konteks shalat (kecuali dalam kasus yang disepakati, seperti adzan di telinga bayi, yang juga memiliki perbedaan pendapat) adalah penyimpangan dari fungsi aslinya. Jenazah tidak memerlukan shalat lagi; yang dibutuhkan adalah doa dan amal jariyah yang mengiringinya.

Menanggapi *qiyas* dengan bayi, ulama penolak menyatakan bahwa *qiyas* tersebut lemah (*qiyas ma'al fariq*). Perbedaan antara bayi baru lahir dan jenazah sangat mendasar. Bayi baru memulai hidup dan perlu perlindungan dari gangguan syaitan saat pertama kali menyentuh dunia. Jenazah telah menyelesaikan kehidupannya dan kini berada dalam yurisdiksi Allah di alam barzakh. Ritual yang disyariatkan untuk jenazah adalah doa, shalat, dan amal shalih yang telah dikerjakan, bukan seruan yang ditujukan untuk orang hidup yang akan shalat.

3. Kekhawatiran Terhadap Bid’ah I’tiqadiyah

Bagi ulama penentang, masalah terbesar bukanlah pada lafal adzan itu sendiri (yang merupakan dzikir), melainkan pada keyakinan (*i’tiqad*) yang melekat pada praktiknya. Ketika suatu amalan dikerjakan secara rutin, seragam, dan diyakini sebagai bagian dari sunnah padahal tidak ada dalilnya, maka ia berubah dari sekadar kebiasaan baik menjadi *bid’ah i’tiqadiyah* (inovasi dalam keyakinan). Ini dikhawatirkan akan membebani umat dengan ritual yang tidak pernah diperintahkan oleh agama.

Poin Kunci Penolak: Tidak adanya dalil shahih dari Nabi atau praktik para sahabat; Adzan adalah spesifik untuk shalat; Kekhawatiran praktik ini menjadi bid’ah yang menyimpang dari ritual utama pengurusan jenazah.

III. Integrasi Adzan Jenazah dalam Tradisi Nusantara

Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam literatur fiqh klasik, Adzan Jenazah menjadi praktik yang sangat umum dan diterima luas di Indonesia, Malaysia, dan beberapa wilayah Asia Tenggara lainnya. Fenomena ini tidak terlepas dari karakteristik penyebaran Islam yang berintegrasi dengan budaya lokal dan pengaruh kuat dari madzhab Syafi’i serta tasawuf.

A. Konteks Syafi’iyyah dan Talqin

Indonesia mayoritas menganut Mazhab Syafi’i, yang cenderung lebih terbuka terhadap praktik *talqin* (mengajarkan kembali kalimat tauhid kepada jenazah setelah dikubur). Karena praktik *talqin* telah diterima sebagai sunnah dalam mazhab ini, maka Adzan Jenazah sering dipandang sebagai pelengkap atau pendahuluan yang berfungsi serupa, yakni penguatan tauhid dan pengusiran syaitan sebelum mayat ditinggalkan sendiri menghadapi dua malaikat di kubur. Praktik ini sering dilakukan tepat ketika jenazah diletakkan menghadap kiblat di liang lahat, atau sesaat sebelum tanah mulai ditimbun.

B. Fungsi Sosial dan Psikologis

Di luar pertimbangan hukum, Adzan Jenazah memiliki nilai fungsi sosial dan psikologis yang besar bagi masyarakat Indonesia. Kematian adalah momen yang penuh kesedihan, kegelisahan, dan ketakutan. Suara adzan yang lantang, syahdu, dan familier memberikan rasa ketenangan dan kepastian. Bagi keluarga yang berduka, kumandang adzan di kuburan adalah pengingat bahwa meskipun kehidupan dunia telah berakhir, janji Allah dan syahadat tetap abadi. Hal ini memberikan penghiburan spiritual yang sangat dibutuhkan di saat-saat paling rapuh.

Selain itu, adzan seringkali berfungsi sebagai penanda ritual yang tegas. Ia menandai batas antara duniawi dan alam barzakh. Begitu adzan selesai, prosesi dianggap selesai, dan keluarga dapat beranjak pulang dengan keyakinan bahwa mereka telah melakukan segala upaya terbaik untuk mengantar kepergian almarhum, termasuk memberikan bekal spiritual berupa kalimat tauhid.

C. Sinkretisme dan Kearifan Lokal

Penyebaran Islam di Nusantara seringkali melalui pendekatan budaya yang tidak radikal. Praktik-praktik lokal yang tidak bertentangan secara frontal dengan syariat sering diakomodasi. Adzan jenazah, meskipun asalnya tidak dari teks syariat utama, tidak mengandung unsur kemusyrikan atau hal-hal yang haram. Karena ia berisi lafal-lafal mulia dan murni tauhid, ia mudah diterima dan dipertahankan sebagai bagian dari *urf* (adat) yang baik. Dalam konteks ini, praktik tersebut diposisikan sebagai *sunnah ghairu muakkadah* (sunnah yang tidak ditekankan) atau sekadar *bid’ah hasanah* (inovasi yang baik) oleh sebagian ulama lokal yang moderat, demi menjaga kesatuan umat dan memberikan ketenangan batin.

IV. Perbandingan Praktik dengan Rukun Pengurusan Jenazah yang Disepakati

Penting untuk diingat bahwa adzan jenazah adalah praktik tambahan. Rukun dan sunnah utama dalam pengurusan jenazah telah ditetapkan secara jelas dan disepakati oleh seluruh mazhab. Pemahaman tentang rukun ini membantu kita menempatkan adzan jenazah dalam perspektif yang benar. Rukun pengurusan jenazah meliputi empat hal pokok:

A. Mandi (Al-Ghusl)

Memandikan jenazah adalah kewajiban kolektif (*fardhu kifayah*) yang bertujuan mensucikan jenazah secara fisik sebelum menghadap Allah. Tata caranya sangat rinci, memastikan tubuh bersih dari najis dan disucikan dengan air yang dicampur daun bidara atau sabun, dan diakhiri dengan air campur kapur barus. Kesempurnaan mandi ini adalah simbol kesiapan jenazah untuk memasuki alam keabadian dalam keadaan suci.

B. Mengkafani (Al-Kafan)

Jenazah wajib dikafani dengan kain putih. Minimal satu lapis, namun dianjurkan tiga lapis untuk laki-laki dan lima lapis (termasuk kerudung dan baju kurung) untuk perempuan. Kain kafan adalah pakaian terakhir yang menandakan bahwa status sosial dan harta benda duniawi telah ditinggalkan. Ia menekankan kesetaraan mutlak di hadapan Tuhan.

C. Shalat Jenazah (Shalatul Jana'iz)

Shalat jenazah adalah inti dari penghormatan terakhir dan merupakan doa utama bagi mayit. Ia memiliki rukun yang khas: empat takbir, tanpa rukuk dan sujud. Pada takbir kedua dibacakan shalawat kepada Nabi, pada takbir ketiga dibacakan doa khusus untuk jenazah (memohon ampunan, rahmat, dan melapangkan kuburnya), dan takbir keempat diikuti salam. Inilah bentuk ibadah ritual *mahdlah* yang paling utama bagi mayit, di mana seluruh umat Islam diwajibkan mendoakan saudaranya yang wafat. Kehadiran dan kesungguhan dalam shalat jenazah jauh lebih penting daripada ritual tambahan lainnya.

D. Menguburkan (Ad-Dafin)

Menguburkan jenazah harus segera dilakukan. Jenazah diletakkan di liang lahat, dimiringkan ke kanan, dan wajahnya menghadap kiblat. Saat menurunkan jenazah, disunnahkan mengucapkan doa: *Bismillahi wa 'ala millati Rasulillah* (Dengan nama Allah dan di atas millah Rasulullah). Proses ini adalah penyerahan total jenazah kepada bumi dan kepada Penciptanya. Setelah jenazah dikubur, disunnahkan untuk berdiam sebentar, memohonkan ampunan dan keteguhan bagi jenazah saat menjawab pertanyaan malaikat.

Jika kita meninjau seluruh tahapan yang disyariatkan di atas, praktik adzan jenazah tidak termasuk dalam salah satu rukun atau sunnah *muakkadah* (yang ditekankan) yang termaktub dalam hadis-hadis shahih yang mengatur tata cara penguburan. Oleh karena itu, bagi mereka yang berhati-hati dalam beribadah, ketiadaan praktik ini tidak mengurangi kesempurnaan pengurusan jenazah sedikitpun. Sedangkan bagi yang mengamalkannya, ia didasarkan pada harapan pahala dari dzikir dan *qiyas* spiritual semata.

V. Mendalami Makna Spiritual Kematian dalam Islam

Terlepas dari perbedaan fiqh, fokus utama dalam setiap prosesi kematian haruslah pada peningkatan kesadaran spiritual dan persiapan menghadapi akhirat. Kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju alam barzakh. Adzan jenazah, jika dilihat dari sudut pandang filosofis, mencoba menghubungkan jenazah dengan momen yang paling suci dalam kehidupan seorang Muslim—panggilan shalat.

A. Transisi Ruh dan Panggilan Ilahi

Adzan, dengan seruan tauhidnya, mengingatkan bahwa tujuan hidup adalah mengesakan Allah. Ketika ruh dicabut, terjadi gejolak spiritual yang sangat besar. Pada titik ini, bagi pendukung adzan jenazah, adzan berfungsi sebagai penenang universal, mengumumkan kepada alam semesta dan kepada ruh yang baru berpindah bahwa Allah Maha Besar dan tiada Tuhan selain Dia. Ia adalah pengukuhan tauhid yang terakhir, sebagai bekal saat ruh bertemu dengan Rabbnya.

Praktik ini juga seringkali dianggap sebagai pengumuman terakhir. Sebagaimana adzan mengumumkan masuknya waktu shalat, adzan jenazah secara simbolis mengumumkan bahwa ‘shalat’ jenazah telah selesai dan kini jenazah masuk ke dalam ‘waktu’ yang baru, yaitu masa penantian di kubur. Kumandang adzan yang menggema di tempat penguburan seolah-olah menjadi saksi dari hamba yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia.

B. Pertarungan Melawan Syaitan di Ambang Kematian

Syaitan sangat aktif menggoda manusia pada akhir hayat. Hadis-hadis menyebutkan bagaimana syaitan berusaha memalingkan seseorang dari kalimat syahadat saat sakaratul maut. Meskipun jenazah telah wafat, keyakinan spiritual yang kuat mengajarkan bahwa pengaruh syaitan masih ada di sekitar lokasi kematian dan kuburan. Adzan dipercaya memiliki efek metafisik untuk membersihkan area tersebut dari gangguan syaitan, memungkinkan jenazah beristirahat dengan tenang. Ini adalah interpretasi yang sangat kuat dalam tradisi Sufistik di Indonesia, yang sangat menekankan aspek perlindungan spiritual dan penolakan bala.

Syaitan tidak hanya mengganggu jenazah, tetapi juga yang masih hidup. Keluarga yang berduka rentan terhadap bisikan putus asa, keberatan terhadap takdir, atau bahkan kekafiran. Kumandang adzan adalah pengingat keras bagi yang hidup bahwa takdir Allah adalah pasti, dan jalan terbaik adalah kembali kepada panggilan ibadah. Adzan adalah terapi spiritual kolektif yang mengembalikan fokus kepada Allah di tengah kepedihan.

VI. Hukum Talqin dan Relevansinya dengan Adzan Jenazah

Untuk memahami sepenuhnya legalitas adzan jenazah dalam konteks lokal, kita harus mengaitkannya dengan hukum *Talqin*. Talqin adalah praktik mengingatkan mayit yang baru dikuburkan dengan kalimat tauhid dan jawaban yang harus ia sampaikan kepada Malaikat Munkar dan Nakir. Mayoritas ulama Mazhab Syafi’i dan Hanafi menganggap *talqin* sebagai sunnah. Imam An-Nawawi, ulama besar Syafi’i, menyatakan dalam kitabnya bahwa talqin adalah sunnah karena telah diamalkan oleh banyak ulama Salaf.

Praktik Adzan Jenazah seringkali dilakukan sebagai bagian tak terpisahkan dari *Talqin*. Adzan dikumandangkan, kemudian diikuti dengan *talqin* itu sendiri. Dalam pandangan ulama yang membolehkan, adzan berfungsi sebagai pembuka dan pemurni suasana sebelum inti *talqin* disampaikan. Mereka melihat adzan dan *talqin* sebagai satu kesatuan ritual yang tujuannya sama: memastikan jenazah memasuki alam barzakh dengan teguh dalam tauhid.

Namun, ulama yang menolak Talqin (terutama dari mazhab Hanbali dan beberapa ulama Salaf), juga otomatis menolak Adzan Jenazah. Mereka berpendapat bahwa begitu ruh meninggalkan jasad, mayit tidak lagi dapat mendengar atau mendapatkan manfaat dari instruksi seperti itu. Amal telah terputus, kecuali tiga hal. Mereka bersandar pada hadis shahih yang menyatakan bahwa setelah mati, manusia tidak lagi mampu beramal, dan tidak ada dalil kuat yang menunjukkan jenazah dapat mendengar *talqin* atau adzan, kecuali hadis yang menyebutkan jenazah dapat mendengar suara sandal orang-orang yang meninggalkannya.

Perbedaan pandangan ini mengajarkan kita pentingnya toleransi dalam hal *furu’* (cabang) dalam fiqh. Bagi masyarakat yang telah terbiasa dengan Adzan Jenazah dan *Talqin*, menganggapnya sebagai *bid’ah dhalalah* (sesat) akan menimbulkan perpecahan yang tidak perlu. Sebaliknya, bagi mereka yang berpegang pada Sunnah yang paling jelas, mereka tidak perlu mengamalkannya, namun tetap harus menghormati mereka yang melaksanakannya dengan niat baik dan didasarkan pada interpretasi *qiyas* ulama yang kredibel.

VII. Panduan Etika dan Ibadah Ketika Mengiringi Jenazah

Terlepas dari perdebatan mengenai adzan, setiap Muslim wajib memastikan bahwa mereka menjalankan semua sunnah dan etika yang disepakati saat mengiringi jenazah. Etika-etika ini jauh lebih krusial daripada praktik tambahan yang masih diperdebatkan.

A. Menjaga Keheningan dan Keseriusan

Saat mengiringi jenazah, disunnahkan untuk menjaga keheningan dan merenung. Tujuan dari kehadiran di pemakaman adalah untuk mengambil pelajaran dari kematian (*i’tibar*), mengingat akhirat, dan mendoakan jenazah. Oleh karena itu, dilarang keras bercanda, tertawa keras, atau membicarakan hal-hal duniawi yang tidak relevan. Meskipun beberapa tradisi lokal memasukkan adzan atau dzikir yang lantang, mayoritas ulama menganjurkan dzikir dilakukan di dalam hati atau dengan suara pelan, untuk menghindari riya' dan menjaga keseriusan prosesi.

B. Menyegerakan Penguburan

Salah satu sunnah terpenting adalah menyegerakan pengurusan dan penguburan jenazah. Tidak boleh menunda-nunda prosesi tanpa alasan syar'i yang jelas. Penundaan hanya akan menambah kesulitan bagi keluarga dan menunda jenazah mencapai tempat peristirahatannya. Kecepatan dalam pengurusan jenazah menunjukkan penghormatan terhadap mayit.

C. Kesabaran dan Penerimaan Takdir

Momen kematian adalah ujian bagi keluarga dan kerabat. Sikap yang diajarkan dalam Islam adalah kesabaran (*sabr*) dan penerimaan total terhadap takdir Allah (*ridha*). Menangis diperbolehkan selama tidak disertai ratapan, teriakan histeris, atau tindakan merusak diri. Ketika adzan atau dzikir dikumandangkan, ia seharusnya menjadi katalisator bagi kesabaran, mengingatkan yang hidup bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Maka, jika praktik Adzan Jenazah dilaksanakan, ia harus ditempatkan dalam kerangka etika yang lebih besar: ia adalah alat untuk menenangkan hati yang berduka dan menguatkan tauhid, bukan ritual wajib yang harus diperselisihkan secara tajam di tengah suasana duka.

VIII. Analisis Mendalam Mengenai Dalil Qiyas (Analogi) dalam Adzan

Karena argumen terkuat pendukung Adzan Jenazah terletak pada *Qiyas* (analogi) antara kelahiran dan kematian, penting untuk menganalisis validitas *Qiyas* ini lebih jauh dalam perspektif Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam). Dalam Ushul Fiqh, *Qiyas* adalah metode hukum yang digunakan ketika tidak ada teks spesifik (nash) mengenai suatu masalah. *Qiyas* harus memiliki empat rukun:

  1. Al-Ashl (Pokok): Hukum asal yang sudah ditetapkan (*Contoh: Adzan untuk bayi*).
  2. Al-Far'u (Cabang): Kasus baru yang dicari hukumnya (*Contoh: Adzan untuk jenazah*).
  3. Al-Hukm (Hukum): Hukum yang diterapkan pada pokok (*Contoh: Hukum Sunnah*).
  4. Al-'Illah (Penyebab Hukum): Alasan yang sama antara Pokok dan Cabang.

Dalam kasus Adzan Jenazah, *Illah* yang diklaim sama adalah ‘momen transisi kehidupan yang genting, memerlukan perlindungan spiritual dari syaitan, dan penanaman tauhid.’ Pihak pendukung berargumen bahwa *Illah* ini valid dan kuat. Jenazah menghadapi transisi dari dunia ke barzakh, sama gentingnya dengan bayi yang berpindah dari rahim ke dunia.

Namun, ulama yang menolak *Qiyas* ini menyatakan bahwa *Illah* tersebut tidak akurat. Mereka berargumen bahwa *Illah* yang sebenarnya dari Adzan, sebagaimana disepakati ulama, adalah ‘panggilan untuk shalat fardhu’ atau dalam konteks bayi, ‘perlindungan saat ruh pertama kali menyentuh dunia.’ Jenazah sudah tidak lagi memiliki kewajiban shalat dan ruhnya telah meninggalkan dunia. Dengan demikian, *Illah* tersebut dianggap *mulghat* (dibatalkan) atau *ghairu mutha'abbad* (tidak sesuai dengan tujuan ibadah spesifik).

Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas fiqh dan mengapa praktik Adzan Jenazah tetap menjadi *khilafiyah* (perbedaan pendapat) yang sah. Di satu sisi, ada prinsip kehati-hatian terhadap *bid’ah*; di sisi lain, ada keinginan untuk mengaplikasikan prinsip spiritual umum (dzikir, perlindungan) melalui analogi yang dianggap kuat oleh sebagian ulama besar.

IX. Kesimpulan: Kearifan dalam Menyikapi Perbedaan

Adzan jenazah adalah sebuah praktik yang berakar dari interpretasi *qiyas* dan tradisi spiritual yang mendalam, terutama di lingkungan Mazhab Syafi’i dan masyarakat Nusantara. Ia bukanlah bagian dari rukun atau sunnah *muakkadah* yang diwajibkan dalam pengurusan jenazah, tetapi juga bukan praktik yang mengandung kemaksiatan, karena isinya murni lafal tauhid yang agung.

Bagi seorang Muslim di Indonesia, kearifan dalam menyikapi isu ini adalah kunci. Jika seseorang meyakini dan mengamalkan adzan jenazah dengan niat baik sebagai dzikir, sebagai pengingat tauhid bagi yang hidup, dan sebagai permohonan perlindungan spiritual bagi yang wafat, maka ia berada dalam lingkup pendapat ulama yang membolehkan. Ini adalah cerminan dari keluasan fiqh Islam.

Sebaliknya, jika seseorang memilih untuk tidak mengamalkannya karena berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam ibadah (*Ibadah Mahdhah*) dan ketiadaan dalil spesifik dari Nabi ﷺ, maka ia pun berada dalam posisi yang kuat dan sesuai dengan pandangan sebagian besar ulama penolak. Kedua pihak harus saling menghormati, menyadari bahwa titik temu terbesar dalam urusan jenazah adalah memastikan semua rukun (mandi, kafan, shalat, kubur) dilakukan dengan benar, serta mendoakan mayit dengan tulus agar mendapatkan ampunan dan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala. Fokus harus selalu kembali pada persiapan diri sendiri menghadapi kematian, karena panggilan adzan terakhir pada hakikatnya adalah ketika ruh kita sendiri dipanggil pulang ke hadirat-Nya.

Penyikapan yang dewasa terhadap *khilafiyah* seperti adzan jenazah adalah dengan meningkatkan kualitas amal ibadah utama, memperbanyak doa dan sedekah atas nama almarhum, serta menjaga tali silaturahmi dengan keluarga yang ditinggalkan. Inilah esensi sejati dari ibadah yang berkenaan dengan jenazah, yang dampaknya terasa nyata dan disepakati oleh seluruh umat.

***

Tambahan Elaborasi Fiqh: Mengurai Konsep Bid'ah

Diskusi mengenai adzan jenazah seringkali didominasi oleh kekhawatiran bid'ah. Dalam ilmu ushul fiqh, bid'ah dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Sebagian ulama, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i, membagi bid'ah menjadi lima: wajibah, mandubah (sunnah), mubahah (boleh), makruhah, dan muharramah (haram). Pembagian ini merujuk pada kaidah yang diperkenalkan oleh Imam Asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa "Setiap hal yang baru yang menyelisihi Al-Qur'an, Sunnah, Atsar, atau Ijma' adalah bid'ah yang sesat. Namun, inovasi yang membawa kebaikan dan tidak menyelisihi salah satu di antara itu, maka itu adalah bid'ah hasanah."

Para ulama yang memandang adzan jenazah sebagai 'bid'ah hasanah' berpendapat bahwa meskipun praktik ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, ia tidak bertentangan dengan Al-Qur'an maupun Sunnah. Adzan adalah dzikir, dan dzikir dianjurkan kapan saja. Mereka melihat bahwa manfaat spiritual yang diberikan (ketenangan, perlindungan dari syaitan) menjadikannya inovasi yang positif (*mandubah* atau *mubahah*).

Sebaliknya, ulama yang menolak konsep bid'ah hasanah berpegang pada definisi yang lebih ketat: Bid'ah adalah setiap penambahan ritual dalam ibadah yang tidak ada dalilnya sama sekali. Mereka berpendapat bahwa jika Nabi ﷺ tidak melakukannya dalam sebuah ritual spesifik, maka tidak boleh ditambahkan. Bagi mereka, meskipun lafal adzan itu baik, memasukkannya ke dalam rangkaian ritual jenazah yang spesifik merupakan penyerupaan dengan syariat, sehingga masuk kategori *bid'ah dhalalah* (sesat) karena melanggar prinsip *ittiba'* (mengikuti contoh Nabi secara persis).

Pentingnya memahami kedua sudut pandang ini adalah untuk menghindari takfir (pengkafiran) atau tuduhan fasik hanya karena perbedaan dalam masalah cabang fiqh yang sudah lama diperdebatkan. Adzan jenazah, pada dasarnya, mencerminkan adanya ruang tafsir yang berbeda dalam menerapkan prinsip-prinsip umum syariat (seperti anjuran dzikir) pada ritual yang spesifik (pengurusan jenazah).

Analisis Historis dan Geografis Adzan Jenazah

Diperkirakan, praktik adzan jenazah mulai populer di kalangan Muslim belakangan, kemungkinan besar setelah abad pertengahan, seiring dengan perkembangan mazhab-mazhab fiqh dan semakin meluasnya pengaruh tasawuf yang menonjolkan ritual-ritual zikir tambahan. Di Timur Tengah, praktik ini hampir tidak dikenal dan secara umum ditolak di pusat-pusat keilmuan seperti Saudi Arabia atau Mesir (Al-Azhar seringkali mengeluarkan fatwa yang menganjurkan meninggalkan praktik ini). Namun, popularitasnya di Indonesia dan beberapa bagian India serta Afrika Utara (seperti Maroko) menunjukkan bahwa ia merupakan hasil dari adaptasi lokal yang mengutamakan kenyamanan spiritual dan kesinambungan tradisi.

Dalam konteks Indonesia, yang sarat dengan keyakinan terhadap hal-hal gaib dan pengaruh syaitan, adzan jenazah berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam murni dan kebutuhan psikologis masyarakat akan perlindungan metafisik. Masyarakat meyakini bahwa kuburan adalah tempat berkumpulnya syaitan sebelum dan setelah jenazah dimakamkan. Oleh karena itu, adzan—yang secara eksplisit disabdakan Nabi dapat mengusir syaitan—dianggap sebagai solusi spiritual yang paling efektif.

Keberlanjutan praktik ini di tengah gelombang reformasi Islam modern di Indonesia menunjukkan betapa kuatnya akar tradisi ini. Masyarakat cenderung mempertahankan praktik yang memberikan mereka rasa aman dan ketenangan, terutama jika praktik tersebut didukung oleh ulama lokal yang dihormati dan tidak bertentangan dengan ajaran tauhid. Dalam hal ini, Adzan Jenazah menjadi contoh unik bagaimana fiqh bertemu dengan sosiologi dan antropologi keagamaan.

***

Urgensi Doa untuk Jenazah Melampaui Ritual Adzan

Apabila fokus utama dari adzan jenazah adalah untuk memberikan manfaat spiritual kepada mayit, maka harus ditekankan bahwa bentuk ibadah yang manfaatnya paling pasti dan disepakati untuk mayit adalah doa yang ikhlas. Hadis-hadis mengenai Shalat Jenazah menunjukkan bahwa tujuan utama ritual tersebut adalah memohon ampunan yang spesifik bagi jenazah, meliputi permohonan agar kuburnya dilapangkan, kesalahannya diampuni, dan derajatnya ditingkatkan di sisi Allah.

Doa-doa yang dibaca saat Shalat Jenazah, seperti: "Allahummaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi' madkhalahu..." (Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, berikanlah keselamatan padanya, maafkanlah dia, muliakanlah tempatnya, dan luaskanlah kuburnya), memiliki dampak spiritual yang jauh lebih besar dan merupakan perintah syar'i yang jelas.

Oleh karena itu, jika seorang Muslim memiliki energi untuk beramal, sebaiknya energi tersebut diarahkan pada memastikan shalat jenazah dilakukan dengan khusyuk, mendoakan jenazah setelah penguburan (sebagaimana sunnah Nabi ﷺ), dan melaksanakan amal jariyah atas nama almarhum (seperti wakaf, pembangunan sumur, atau sumbangan untuk anak yatim). Amal-amal ini, yang termasuk dalam "tiga perkara yang tidak terputus amalnya setelah mati," memiliki keutamaan yang mutlak dan disepakati. Adzan jenazah, dengan segala perdebatan fiqihnya, harus dipandang sebagai tambahan yang opsional, bukan pengganti dari rukun dan sunnah utama tersebut.

Pemahaman ini mendorong umat Islam untuk mengedepankan ibadah yang sudah pasti dalilnya. Ketika praktik ibadah didasarkan pada *nash* (teks) yang kuat, maka keabsahan dan pahalanya tidak lagi menjadi sumber perselisihan. Dalam kerangka ini, adzan jenazah seharusnya hanya dipandang sebagai pengantar spiritual lokal, yang tidak boleh menggantikan atau bahkan mengurangi perhatian terhadap amalan utama bagi jenazah.

***

Analisis Mendalam tentang Kalimat Tauhid dalam Adzan

Inti dari adzan adalah penegasan tauhid: *Allahu Akbar* (Allah Maha Besar), *Asyhadu an laa ilaaha illallah* (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah), dan *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah* (Aku bersaksi Muhammad utusan Allah). Ketika kalimat-kalimat ini dikumandangkan di liang lahat, ia mengandung pesan yang mendalam bagi semua yang hadir, baik yang hidup maupun yang berpulang.

1. **Penegasan Kekuasaan Mutlak:** Kumandang takbir mengingatkan bahwa kematian adalah manifestasi dari kekuasaan mutlak Allah. Manusia tidak dapat melawan takdir ini. Takbir pada momen penguburan menegaskan bahwa Allah tetap Maha Besar, bahkan di hadapan kelemahan dan keputusasaan manusia.

2. **Janji dan Persaksian Abadi:** Syahadat adalah janji yang diucapkan saat kita lahir dan janji yang harus diingat saat kita kembali. Mengulang syahadat di kuburan adalah upaya maksimal untuk memastikan janji itu tetap teguh di hati mayit, seolah-olah mayit diminta untuk mengingat kembali persaksiannya di dunia.

3. **Seruan pada Kemenangan (Falah):** Meskipun bagian *Hayya ‘alas Shalah* dan *Hayya ‘alal Falah* (Mari menuju shalat, mari menuju kemenangan) secara harfiah merujuk pada shalat duniawi, dalam konteks kuburan, ia diinterpretasikan secara spiritual. Kemenangan sejati (*falah*) bagi seorang Muslim adalah ketika ia lolos dari fitnah kubur dan mendapatkan rahmat Allah. Adzan menjadi harapan agar mayit meraih kemenangan abadi tersebut.

Pemaknaan filosofis yang kaya ini menjadi alasan utama mengapa Adzan Jenazah tetap hidup dan dipertahankan dalam tradisi keagamaan masyarakat yang mengedepankan dimensi spiritualitas. Mereka melihat adanya keindahan dan keserasian dalam mengakhiri perjalanan fisik dengan panggilan suci yang sama, yang mengawali setiap kehidupan spiritual seorang Muslim—yaitu Adzan.

***

Tinjauan Etika Berpakaian dan Berbicara di Pemakaman

Etika di pemakaman melengkapi dimensi ritual. Walaupun Adzan Jenazah fokus pada aspek suara dan spiritualitas, perilaku fisik para pengiring juga sangat penting. Sunnah menganjurkan pakaian yang sederhana dan sopan, jauh dari kesan berlebihan atau pamer. Suasana duka menuntut kerendahan hati. Rasulullah ﷺ bersabda agar para pengiring jenazah berjalan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, kecuali jika jenazah tersebut adalah orang saleh, maka menyegerakannya adalah kebaikan.

Sikap berdiam diri dan merenung sangat diutamakan. Penggunaan ponsel, pengambilan foto, atau kegiatan duniawi lainnya yang mengalihkan fokus dari kematian seharusnya dihindari. Tujuan dari ziarah kubur adalah *tadabbur* (perenungan) dan *tazakkur* (mengingat). Jika adzan jenazah dikumandangkan, ia seharusnya memperkuat *tadabbur* ini, bukan menjadi sekadar tontonan ritual yang kosong makna. Kehadiran fisik kita harus dibarengi dengan kehadiran hati, memohonkan ampunan bagi yang wafat, dan memohon hidayah bagi diri sendiri agar bisa bersiap menghadapi giliran yang pasti datang.

Mengakhiri perbincangan tentang adzan jenazah, kita diingatkan bahwa pada akhirnya, yang menentukan keselamatan di akhirat bukanlah ritual tambahan yang kita adakan, melainkan kualitas iman, ketakwaan, dan amal shalih yang telah dikumpulkan semasa hidup. Adzan jenazah adalah bingkai, namun isi dari bingkai itu haruslah kebaikan yang telah dipersembahkan kepada Allah SWT.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang mengatur kehidupan dan kematian, dan kepada-Nya lah semua kembali. Wallahu a’lam bish-shawab.

🏠 Kembali ke Homepage