Khuluk: Mekanisme Keadilan untuk Istri dalam Ikatan Pernikahan
Dalam bingkai hukum keluarga Islam, konsep perceraian seringkali diasosiasikan dengan inisiatif dari pihak suami melalui talak. Namun, syariat Islam yang adil dan komprehensif juga menyediakan mekanisme bagi istri untuk mengakhiri pernikahan yang tidak lagi membawa maslahat atau justru menimbulkan kemudaratan. Mekanisme ini dikenal sebagai 'khuluk'. Khuluk, sebuah term yang secara harfiah berarti 'melepas pakaian' atau 'melepas ikatan', secara terminologi merujuk pada perceraian yang terjadi atas inisiatif istri dengan memberikan tebusan atau 'iwadh kepada suami. Ini adalah sebuah hak yang diberikan oleh Allah SWT untuk melindungi harkat dan martabat perempuan, memastikan bahwa mereka tidak terperangkap dalam pernikahan yang menyengsarakan tanpa jalan keluar yang syar'i.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk khuluk, mulai dari dasar hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, rukun dan syarat yang harus dipenuhi, prosedur pelaksanaannya, perbedaan esensialnya dengan talak biasa, hingga hikmah di balik pensyariatannya. Pembahasan juga akan mencakup pandangan mazhab-mazhab fikih yang berbeda, studi kasus historis dan kontemporer, serta implikasi hukum dan sosial dari khuluk. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai khuluk sebagai salah satu bentuk keadilan ilahi dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga.
1. Pengertian dan Kedudukan Khuluk dalam Islam
1.1 Definisi Khuluk Secara Bahasa dan Istilah
Secara etimologi, kata "khuluk" (الخلع) berasal dari bahasa Arab yang berarti "melepas" atau "mencabut". Dalam konteks pernikahan, ia diibaratkan seperti "melepas pakaian", sebagaimana Al-Qur'an menggambarkan hubungan suami istri sebagai "pakaian" satu sama lain (QS. Al-Baqarah: 187). Analogi ini mengisyaratkan kedekatan dan keterikatan yang sangat erat. Maka, "khuluk" berarti melepaskan ikatan pernikahan tersebut.
Secara terminologi syar'i, khuluk didefinisikan sebagai perceraian yang terjadi atas permintaan atau inisiatif istri dengan memberikan 'iwadh (ganti rugi atau tebusan) kepada suami, dan suami menerima tebusan tersebut serta melepaskan ikatan pernikahannya. Ini berbeda dengan talak yang murni inisiatif suami, dan berbeda pula dengan fasakh yang merupakan pembatalan pernikahan oleh hakim karena cacat atau alasan syar'i tertentu tanpa tebusan.
Para ulama fikih memiliki sedikit variasi dalam redaksi definisinya, namun esensinya tetap sama: istri membayar sesuatu kepada suami agar suami melepaskannya dari ikatan pernikahan. Imam Syafi'i mendefinisikan khuluk sebagai talak yang dilakukan oleh suami dengan imbalan ('iwadh) yang diserahkan oleh istri atau orang lain atas permintaannya. Sementara itu, ulama Hanafiyah melihat khuluk sebagai pencabutan hak suami untuk rujuk, bukan talak itu sendiri, namun pada akhirnya membawa efek yang sama dengan talak ba'in sughra.
1.2 Posisi Khuluk dalam Hukum Perceraian Islam
Khuluk adalah salah satu bentuk perceraian yang diakui dan dilegitimasi oleh syariat Islam. Ia bukanlah suatu tindakan yang dilarang atau dimakruhkan secara mutlak, melainkan sebuah solusi hukum yang disediakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Kedudukannya sangat penting karena ia melengkapi spektrum hukum perceraian dalam Islam, memastikan bahwa tidak ada pihak yang terpaksa bertahan dalam pernikahan yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan.
Dalam sistem hukum Islam, talak adalah hak suami. Namun, khuluk adalah hak istri untuk meminta pembebasan, yang pelaksanaannya bergantung pada persetujuan suami dan adanya 'iwadh. Jika suami tidak setuju, istri dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama (fasakh atau cerai gugat) dengan alasan syar'i yang sah, seperti kemudaratan (dharar) atau suami tidak menunaikan kewajibannya. Khuluk adalah jalan keluar ketika istri tidak dapat lagi hidup bersama suami karena kebencian yang mendalam, ketidakharmonisan yang permanen, atau ketakutan tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat, namun tidak ada alasan syar'i kuat untuk fasakh yang dapat dibuktikan di pengadilan secara mudah.
Kedudukan khuluk juga menunjukkan bahwa pernikahan dalam Islam bukanlah penjara bagi salah satu pihak. Jika hubungan telah mencapai titik di mana salah satu pihak merasa tidak dapat lagi mempertahankan ikatan dengan cara yang diridai Allah, syariat menyediakan jalan keluar yang bermartabat dan adil bagi kedua belah pihak.
2. Dasar Hukum Khuluk dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
2.1 Dalil dari Al-Qur'an
Dasar hukum utama pensyariatan khuluk terdapat dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Baqarah ayat 229. Ayat ini secara eksplisit menjelaskan tentang talak, rujuk, dan juga khuluk:
"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Baqarah: 229)
Ayat ini secara jelas menyebutkan frasa "فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ" (maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya). Frasa ini menjadi landasan kuat bagi pensyariatan khuluk. Kondisi yang melandasi kebolehan ini adalah "إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ" (kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah). Kekhawatiran ini bisa datang dari salah satu pihak atau keduanya, namun dalam konteks khuluk, seringkali berawal dari pihak istri yang merasa tidak mampu lagi memenuhi hak dan kewajiban sebagai istri karena kebencian atau ketidaksukaan yang mendalam terhadap suami, meskipun suami tidak melakukan kesalahan fatal.
Para mufasir menjelaskan bahwa 'khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah' berarti takut tidak mampu menunaikan hak dan kewajiban dalam pernikahan secara adil dan sesuai syariat, yang pada akhirnya akan menjerumuskan mereka ke dalam dosa. Ini bisa karena tidak adanya lagi rasa cinta, kasih sayang, atau bahkan munculnya kebencian yang sulit dihilangkan, sehingga dikhawatirkan salah satu pihak akan berbuat zalim atau mengabaikan kewajiban. Dalam kondisi demikian, Allah memberikan jalan keluar melalui khuluk.
2.2 Dalil dari As-Sunnah (Hadits Nabi SAW)
Dasar hukum khuluk diperkuat oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hadits yang paling masyhur mengenai khuluk adalah kisah Jamilah binti Abdullah (istri Tsabit bin Qais ra.). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
"Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais, aku tidak mencelanya pada agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak suka kekufuran (ingkar nikmat) dalam Islam.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya kepadanya?' Dia menjawab, 'Ya.' Lalu ia mengembalikan kebunnya kepada Tsabit. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (kepada Tsabit), 'Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia sekali talak.'"
(HR. Bukhari no. 5273 dan Muslim no. 1475)
Kisah ini menjadi fondasi historis dan praktis bagi khuluk. Beberapa poin penting dari hadits ini:
- Inisiatif Istri: Jamilah sendiri yang datang kepada Nabi SAW, menunjukkan bahwa inisiatif untuk berpisah berasal dari istri.
- Alasan Istri: Jamilah tidak mengeluhkan cacat fisik, akhlak, atau agama suaminya. Alasannya murni karena "aku tidak suka kekufuran (ingkar nikmat) dalam Islam." Kekufuran di sini ditafsirkan sebagai ketidaksukaan atau kebencian yang mendalam sehingga ia khawatir tidak dapat menunaikan hak suami, yang merupakan bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah dalam berumah tangga. Ini menunjukkan bahwa khuluk bisa terjadi bahkan tanpa adanya aib pada suami, murni karena ketidakcocokan psikologis istri.
- Tebusan ('Iwad): Nabi SAW menyarankan agar Jamilah mengembalikan kebun yang pernah diberikan Tsabit sebagai mahar. Ini adalah 'iwadh yang disepakati.
- Persetujuan Suami: Setelah Nabi SAW memerintahkan, Tsabit bin Qais menerimanya dan menceraikannya. Ini menunjukkan bahwa persetujuan suami adalah syarat penting.
- Jenis Talak: Nabi SAW bersabda, "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia sekali talak." Mayoritas ulama menafsirkan talak ini sebagai talak ba'in sughra (talak yang tidak dapat dirujuk kecuali dengan akad baru), karena adanya tebusan.
Hadits ini dengan sangat jelas menggarisbawahi bahwa khuluk adalah mekanisme yang sah dan dianjurkan ketika istri merasa tidak mampu lagi melanjutkan pernikahan dengan baik, asalkan ada tebusan yang diberikan kepada suami.
2.3 Ijma' Ulama dan Pandangan Mazhab Fikih
Selain Al-Qur'an dan Sunnah, pensyariatan khuluk juga didukung oleh ijma' (konsensus) para ulama sepanjang sejarah Islam. Tidak ada perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab besar fikih mengenai keabsahan khuluk sebagai bentuk perceraian. Namun, terdapat beberapa perbedaan detail mengenai beberapa aspek, seperti status hukumnya (apakah talak atau fasakh), bentuk 'iwadh, dan prosedur pelaksanaannya.
2.3.1 Mazhab Hanafi
Ulama Hanafiyah memandang khuluk sebagai pembatalan nikah (fasakh) dari sisi hak rujuk, namun memiliki efek talak dari sisi berakhirnya ikatan pernikahan. Mereka berpendapat bahwa khuluk menghapuskan hak rujuk suami dan istri wajib menjalani 'iddah. Jika redaksi khuluk tidak mengandung kata talak, maka ia dianggap fasakh, bukan talak. Jika mengandung kata talak, maka ia adalah talak ba'in. Meskipun demikian, secara umum mereka sepakat bahwa khuluk menghasilkan talak ba'in sughra.
2.3.2 Mazhab Maliki
Mazhab Maliki cenderung melihat khuluk sebagai talak ba'in, artinya tidak ada hak rujuk bagi suami kecuali dengan akad nikah baru. Mereka menekankan bahwa khuluk harus terjadi dengan adanya kerelaan dari kedua belah pihak dan adanya 'iwadh yang jelas.
2.3.3 Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i menganggap khuluk sebagai talak ba'in sughra, karena ia melepaskan ikatan pernikahan dengan adanya imbalan. Mereka berpendapat bahwa khuluk, meskipun diinisiasi oleh istri, secara formal tetap merupakan pernyataan talak dari suami. Oleh karena itu, ia dihitung sebagai satu kali talak ba'in.
2.3.4 Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa khuluk adalah talak ba'in sughra. Mereka menekankan pentingnya 'iwadh sebagai syarat sah khuluk. Dalam pandangan mereka, jika istri meminta khuluk tanpa ada alasan yang syar'i (misalnya suami tidak berlaku zalim), maka istri tersebut berdosa, meskipun khuluknya tetap sah jika disepakati.
Meskipun ada perbedaan dalam penamaan atau klasifikasi, semua mazhab sepakat bahwa khuluk adalah mekanisme syar'i yang valid untuk mengakhiri pernikahan atas inisiatif istri dengan tebusan, dan efeknya adalah putusnya ikatan pernikahan secara ba'in sughra, yang berarti tidak ada hak rujuk kecuali dengan akad baru.
3. Rukun dan Syarat Sah Khuluk
Agar suatu khuluk dianggap sah menurut syariat, terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun adalah pilar-pilar pokok yang tanpanya khuluk tidak akan terwujud, sedangkan syarat adalah hal-hal yang harus ada agar rukun tersebut menjadi valid.
3.1 Rukun Khuluk
- Adanya Suami yang Berhak Mentalak: Suami haruslah orang yang sah dan berakal sehat, serta tidak dalam keadaan dipaksa. Ia adalah pihak yang secara hukum memiliki hak untuk menjatuhkan talak atau melepaskan istrinya.
- Adanya Istri yang Berhak Ditalak/Dikhuluk: Istri adalah wanita yang masih terikat dalam pernikahan yang sah dengan suami. Khuluk tidak bisa terjadi pada wanita yang sudah bukan istrinya, misalnya karena sudah ditalak bain. Istri juga harus memiliki kehendak bebas untuk mengajukan khuluk.
- 'Iwad (Tebusan): Ini adalah bagian esensial dari khuluk. 'Iwad adalah ganti rugi atau tebusan yang diberikan oleh istri (atau pihak lain atas namanya) kepada suami sebagai imbalan untuk dibebaskan dari ikatan pernikahan. Tanpa 'iwadh, maka bukan disebut khuluk, melainkan talak biasa (jika suami yang mentalak) atau fasakh (jika diputuskan hakim tanpa tebusan).
- Shighah (Lafaz/Akad): Yaitu ijab dari istri yang mengajukan khuluk dan qabul dari suami yang menerimanya. Lafaz ini harus jelas menunjukkan maksud perceraian dengan imbalan. Contoh: Istri berkata, "Saya mengkhuluk diri saya dengan mengembalikan mahar kepada Anda," lalu suami menjawab, "Saya terima khulukmu" atau "Saya talak kamu dengan tebusan ini."
3.2 Syarat-Syarat Khuluk
3.2.1 Syarat Terkait Suami
- Berakal dan Baligh: Suami harus memiliki akal sehat dan telah mencapai usia baligh. Talak atau khuluk yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak sah.
- Tidak dalam Keadaan Dipaksa: Persetujuan suami untuk menerima khuluk dan melepaskan istrinya haruslah murni kehendaknya sendiri, tanpa paksaan yang sah secara syar'i. Jika dipaksa secara zalim, khuluknya bisa menjadi tidak sah menurut sebagian ulama.
- Memiliki Hak Talak: Suami haruslah pihak yang sah untuk mentalak.
3.2.2 Syarat Terkait Istri
- Berakal dan Baligh: Sama seperti suami, istri juga harus berakal sehat dan baligh untuk dapat mengajukan khuluk.
- Tidak dalam Keadaan Dipaksa: Inisiatif istri untuk khuluk haruslah muncul dari kehendak bebasnya, bukan karena tekanan atau paksaan.
- Mampu Memberikan 'Iwad: Istri atau walinya harus memiliki kemampuan untuk memberikan 'iwadh yang disepakati.
- Adanya Alasan Syar'i (Tidak Wajib Mutlak, tapi Dianjurkan): Meskipun khuluk bisa terjadi karena ketidaksukaan istri semata (seperti kasus Jamilah), beberapa ulama (terutama Hanbali) berpendapat bahwa istri yang meminta khuluk tanpa alasan syar'i yang kuat (misalnya suami tidak berbuat zalim) dianggap berdosa, meskipun khuluknya tetap sah. Ini sebagai bentuk peringatan agar khuluk tidak dijadikan main-main. Namun, alasan yang "khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah" sudah cukup sebagai alasan syar'i.
3.2.3 Syarat Terkait 'Iwad (Tebusan)
- Harta yang Bernilai dan Jelas: 'Iwad harus berupa harta yang memiliki nilai syar'i, halal, dan jumlahnya jelas. Bisa berupa mahar yang pernah diberikan, uang, emas, tanah, atau apapun yang memiliki nilai.
- Disepakati Kedua Belah Pihak: Jumlah dan jenis 'iwadh harus disepakati oleh suami dan istri. Jika ada perselisihan, pengadilan dapat menengahi.
- Tidak Boleh Berlebihan: Meskipun secara prinsip istri bisa menawarkan berapapun, syariat menganjurkan agar 'iwadh tidak terlalu memberatkan istri dan tidak melebihi mahar yang pernah diberikan, kecuali jika ada alasan kuat. Dalam kasus Jamilah, 'iwadhnya adalah pengembalian mahar berupa kebun. Jumhur ulama berpendapat bahwa suami tidak boleh meminta 'iwadh lebih dari mahar yang telah ia berikan jika alasan khuluk bukan karena nusyuz (kedurhakaan) istri yang jelas. Namun, jika ada kesepakatan dan kerelaan, boleh saja lebih.
3.2.4 Syarat Terkait Shighah (Lafaz)
- Jelas dan Tegas: Lafaz ijab qabul harus jelas menunjukkan maksud khuluk dan penerimaannya.
- Tidak Mengandung Syarat yang Merusak: Lafaz khuluk tidak boleh digantungkan pada syarat yang merusak akad, misalnya "Saya khuluk kamu jika besok hujan."
4. Prosedur Pelaksanaan Khuluk
Prosedur khuluk dapat bervariasi tergantung pada apakah ada kesepakatan langsung antara suami istri atau perlu campur tangan pengadilan.
4.1 Khuluk Melalui Kesepakatan Langsung
Ini adalah bentuk khuluk yang paling sederhana dan ideal, terjadi ketika suami dan istri sepakat untuk berpisah melalui khuluk tanpa perlu intervensi pihak ketiga yang berwenang. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
- Inisiatif Istri: Istri menyampaikan keinginannya untuk berpisah melalui khuluk kepada suami, dengan alasan yang mendasarinya (misalnya, ketidaksukaan yang mendalam, tidak dapat lagi menjalankan kewajiban).
- Penawaran 'Iwad: Istri menawarkan tebusan tertentu kepada suami. Tebusan ini bisa berupa pengembalian mahar, sebagian mahar, atau harta lain yang disepakati.
- Negosiasi (jika perlu): Suami dan istri dapat bernegosiasi mengenai jumlah atau jenis 'iwadh hingga mencapai kesepakatan.
- Ijab dan Qabul: Setelah kesepakatan tercapai, istri mengucapkan ijab khuluk, dan suami menerima (qabul).
- Contoh Ijab Istri: "Saya meminta khuluk dari Anda dengan mengembalikan mahar saya sebesar [jumlah/bentuk mahar] kepada Anda."
- Contoh Qabul Suami: "Saya terima khulukmu dan saya ceraikan kamu dengan tebusan tersebut," atau "Saya telah mengkhuluk kamu."
- Penyelesaian 'Iwad: Istri menyerahkan 'iwadh kepada suami sesuai kesepakatan.
- Pencatatan Resmi: Meskipun sah secara syar'i, sangat dianjurkan untuk mencatatkan khuluk ini di hadapan pengadilan agama atau lembaga resmi yang berwenang untuk mendapatkan akta cerai. Ini penting untuk kepastian hukum dan perlindungan hak-hak pasca-perceraian, terutama terkait anak dan harta.
4.2 Khuluk Melalui Pengadilan Agama (Cerai Gugat dengan 'Iwad)
Jika suami tidak bersedia menerima khuluk atau tidak ada kesepakatan mengenai 'iwadh, istri dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Di Indonesia, mekanisme ini diakomodasi melalui "cerai gugat" di mana istri dapat mengajukan permohonan cerai dengan alasan adanya ketidakcocokan yang tidak dapat diperbaiki dan bersedia membayar 'iwadh. Prosesnya kurang lebih sebagai berikut:
- Pengajuan Gugatan: Istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama yang berwenang, dengan menyatakan keinginannya untuk bercerai melalui khuluk dan kesediaannya untuk membayar 'iwadh.
- Mediasi: Pengadilan biasanya akan mengupayakan mediasi antara suami dan istri untuk mendamaikan keduanya atau mencapai kesepakatan. Jika dalam mediasi ini suami menyetujui khuluk dan jumlah 'iwadh, maka akan dibuatkan akta perdamaian (akte van dading) yang kemudian dikukuhkan oleh hakim.
- Sidang Pemeriksaan: Jika mediasi gagal, persidangan akan dilanjutkan. Hakim akan memeriksa alasan-alasan yang diajukan istri dan kesediaan istri membayar 'iwadh. Hakim juga akan mempertimbangkan apakah ada alasan syar'i yang mendukung permintaan khuluk ini.
- Penentuan 'Iwad: Jika suami bersikeras menolak khuluk atau menuntut 'iwadh yang tidak wajar, hakim memiliki peran untuk menentukan jumlah 'iwadh yang adil, biasanya tidak melebihi mahar yang pernah diberikan. Hakim dapat menunjuk dua orang hakam (juru damai) dari keluarga masing-masing pihak untuk membantu mencari solusi dan menentukan 'iwadh.
- Putusan Hakim: Jika hakim berpendapat bahwa pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan dan khuluk adalah solusi terbaik, hakim akan memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai istri dengan kewajiban membayar 'iwadh kepada suami. Putusan ini mengikat kedua belah pihak.
- Pembayaran 'Iwad dan Akta Cerai: Setelah putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap), istri membayar 'iwadh kepada suami melalui pengadilan, dan selanjutnya pengadilan akan menerbitkan akta cerai.
Peran pengadilan dalam khuluk adalah untuk memastikan bahwa prosesnya berjalan adil, melindungi hak-hak kedua belah pihak, dan mencegah penyalahgunaan. Ini juga memastikan bahwa perceraian tercatat secara resmi, memberikan kepastian hukum bagi status masing-masing pihak dan anak-anak.
5. Perbedaan Khuluk dengan Talak dan Fasakh
Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara khuluk, talak, dan fasakh karena masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
5.1 Perbedaan dengan Talak (Cerai Talak)
Talak adalah perceraian yang diinisiasi oleh suami tanpa adanya imbalan dari istri. Talak dapat terjadi secara lisan atau tertulis, dan bisa diajukan ke pengadilan sebagai "permohonan talak" oleh suami.
- Inisiator: Talak diinisiasi oleh suami, khuluk diinisiasi oleh istri (meskipun pelaksanaannya membutuhkan persetujuan suami).
- Adanya 'Iwad: Talak tidak melibatkan 'iwadh dari istri kepada suami. Khuluk mutlak harus dengan 'iwadh.
- Hak Rujuk:
- Talak Raj'i (talak 1 dan 2 sebelum habis iddah): Suami memiliki hak rujuk tanpa akad baru selama masa 'iddah.
- Khuluk (Talak Ba'in Sughra): Suami tidak memiliki hak rujuk. Jika ingin kembali, harus dengan akad nikah baru dan mahar baru, setelah istri selesai masa 'iddah.
- Jumlah Talak:
- Talak: Diperhitungkan sebagai bagian dari tiga jatah talak. Talak raj'i dapat diikuti oleh talak 1, 2, atau 3.
- Khuluk: Mayoritas ulama menganggap khuluk sebagai talak ba'in sughra, yang dihitung satu kali talak. Ini mengurangi jatah talak suami, tetapi karena sifatnya ba'in, tidak ada hak rujuk secara otomatis.
5.2 Perbedaan dengan Fasakh (Pembatalan Pernikahan)
Fasakh adalah pembatalan atau pencabutan ikatan pernikahan oleh hakim atas dasar adanya cacat atau pelanggaran syar'i tertentu yang menyebabkan pernikahan tidak dapat dilanjutkan atau tidak sah sejak awal. Fasakh tidak dihitung sebagai talak.
- Inisiator: Fasakh dapat diinisiasi oleh suami atau istri, namun keputusannya ada di tangan hakim/pengadilan. Khuluk diinisiasi istri dan disetujui suami (atau diputuskan hakim dengan 'iwadh).
- Adanya 'Iwad: Fasakh tidak melibatkan 'iwadh dari istri kepada suami. Khuluk mutlak harus dengan 'iwadh.
- Penyebab: Fasakh disebabkan oleh adanya cacat pernikahan (misalnya suami impoten, cacat mental berat, suami tidak menafkahi, suami hilang tanpa kabar), pelanggaran syar'i (misalnya suami murtad), atau syarat nikah yang tidak terpenuhi. Khuluk disebabkan oleh ketidaksukaan istri atau ketakutan tidak dapat menjalankan hukum Allah, meskipun suami tidak memiliki cacat atau aib.
- Jumlah Talak: Fasakh tidak mengurangi jumlah talak suami. Ikatan pernikahan dianggap putus tanpa dihitung sebagai talak. Khuluk dihitung sebagai satu talak ba'in sughra.
- Hak Rujuk: Fasakh tidak ada hak rujuk. Jika ingin kembali, harus dengan akad nikah baru. Ini mirip dengan khuluk, namun alasan putusnya berbeda.
Tabel Perbandingan Singkat:
| Aspek | Khuluk | Talak | Fasakh |
|---|---|---|---|
| Inisiator | Istri (dengan persetujuan suami) | Suami | Hakim (atas gugatan suami/istri) |
| Adanya 'Iwad | Wajib dari istri kepada suami | Tidak ada | Tidak ada |
| Jenis Perceraian | Talak Ba'in Sughra | Talak Raj'i atau Talak Ba'in | Pembatalan Nikah |
| Hak Rujuk | Tidak ada (kecuali akad baru) | Ada (untuk Talak Raj'i) atau tidak ada (untuk Talak Ba'in) | Tidak ada (kecuali akad baru) |
| Dihitung Jatah Talak | Ya, 1 kali talak ba'in | Ya | Tidak |
| Penyebab Umum | Ketidaksukaan istri, khawatir tidak jalankan hukum Allah | Berbagai alasan suami, masalah rumah tangga | Cacat nikah, pelanggaran syar'i berat oleh salah satu pihak |
6. Hikmah dan Tujuan Pensyariatan Khuluk
Pensyariatan khuluk oleh Allah SWT bukanlah tanpa alasan. Ada hikmah dan tujuan mulia yang terkandung di dalamnya, menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan syariat Islam.
6.1 Melindungi Hak dan Kesejahteraan Istri
Khuluk adalah mekanisme penting untuk melindungi istri dari pernikahan yang menyengsarakan atau tidak harmonis, di mana ia tidak dapat lagi menjalankan kewajiban sebagai istri atau merasa tertekan secara batin. Tanpa khuluk, seorang istri mungkin terpaksa bertahan dalam pernikahan yang merusak jiwa dan raga hanya karena suami enggan mentalak, meskipun sang istri sudah tidak mampu lagi hidup bersamanya. Ini adalah bentuk keadilan yang mencegah zalimnya suami menahan istri tanpa hubungan yang baik.
6.2 Mencegah Terjadinya Kemudaratan (Dharar)
Ketika pernikahan sudah tidak lagi diwarnai rasa cinta dan kasih sayang, bahkan muncul kebencian, maka kehidupan berumah tangga bisa berubah menjadi sumber kemudaratan. Kemudaratan ini tidak hanya menimpa suami istri, tetapi juga anak-anak dan lingkungan sekitar. Khuluk menyediakan jalan keluar untuk mengakhiri kemudaratan ini sebelum semakin parah.
6.3 Mewujudkan Keadilan dan Keseimbangan Hak
Islam menganugerahkan hak talak kepada suami karena tanggung jawab dan beban finansial yang lebih besar dalam keluarga. Namun, Islam juga menyadari bahwa istri bisa berada dalam posisi yang sulit. Oleh karena itu, khuluk hadir sebagai penyeimbang, memberikan hak kepada istri untuk melepaskan diri jika ia bersedia memberikan 'iwadh. Ini menunjukkan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
6.4 Menjaga Keutuhan Agama Kedua Belah Pihak
Kisah Jamilah binti Tsabit bin Qais menunjukkan bahwa alasan khuluk bisa jadi karena istri khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah jika terus bersama suami (karena tidak ada cinta, takut ingkar nikmat, dll.). Khuluk mencegah istri jatuh ke dalam dosa karena pengabaian hak suami atau perilaku buruk lainnya yang muncul akibat kebencian. Dengan berpisah, masing-masing dapat mencari kebahagiaan dan menjalankan agama dengan lebih baik.
6.5 Mencegah Perceraian yang Tergantung dan Berkepanjangan
Dalam kondisi suami tidak mau mentalak dan istri tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan, tanpa khuluk, situasi bisa menjadi "menggantung" tanpa penyelesaian. Khuluk memberikan penyelesaian yang tegas dan syar'i. Ini juga menghindari perselisihan berkepanjangan yang merusak.
7. Implikasi Hukum dan Sosial dari Khuluk
Khuluk memiliki beberapa implikasi hukum dan sosial yang penting untuk dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat.
7.1 Status Hukum Setelah Khuluk: Talak Ba'in Sughra
Mayoritas ulama berpendapat bahwa khuluk menghasilkan talak ba'in sughra (talak yang tidak dapat dirujuk). Ini berarti:
- Tidak Ada Hak Rujuk Otomatis: Suami tidak dapat merujuk istrinya kembali selama masa 'iddah.
- Akad Baru Jika Ingin Kembali: Jika mantan suami istri ingin menikah kembali setelah khuluk, mereka harus melakukan akad nikah baru dengan mahar baru, sama seperti pernikahan pertama.
- Mengurangi Jatah Talak: Khuluk dihitung sebagai satu kali talak ba'in sughra. Ini mengurangi jatah talak tiga bagi suami. Misalnya, jika ini khuluk pertama, suami hanya memiliki dua jatah talak lagi jika menikah kembali dengan wanita yang sama.
7.2 Kewajiban 'Iddah
Istri yang dikhuluk wajib menjalani masa 'iddah (masa tunggu) seperti halnya perceraian lainnya. Tujuan 'iddah adalah untuk memastikan rahim istri bersih dari kehamilan, memberikan kesempatan untuk berpikir, dan menjaga nasab anak. Lamanya 'iddah bagi wanita yang masih haid adalah tiga kali suci. Bagi yang tidak haid karena menopause atau belum haid adalah tiga bulan. Bagi yang sedang hamil, 'iddahnya berakhir setelah melahirkan.
7.3 Nafkah Selama 'Iddah
Mengenai nafkah 'iddah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Mayoritas Ulama (termasuk Syafi'i, Maliki, Hanbali): Istri yang dikhuluk (talak ba'in sughra) tidak berhak atas nafkah 'iddah maupun tempat tinggal selama masa 'iddah dari mantan suami. Alasannya karena ia sendiri yang meminta cerai dan memberikan tebusan. Ia sudah "membeli" kebebasannya.
- Sebagian Ulama (termasuk Hanafi): Mereka berpendapat bahwa istri tetap berhak atas tempat tinggal selama 'iddah, tetapi tidak atas nafkah makanan dan pakaian.
Namun, dalam praktiknya di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, undang-undang perkawinan dapat menentukan bahwa istri tetap berhak atas nafkah 'iddah, terutama jika khuluk terjadi melalui putusan pengadilan yang mempertimbangkan keadilan. Ini seringkali menjadi area negosiasi atau keputusan hakim.
7.4 Hak Asuh Anak (Hadhanah) dan Nafkah Anak
Khuluk tidak mempengaruhi hak asuh anak. Hak asuh (hadhanah) biasanya diberikan kepada ibu selama anak masih kecil, atau sampai anak baligh dan mampu memilih. Kewajiban nafkah anak sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab ayah, tanpa memandang siapa yang memulai perceraian. Anak tidak boleh menjadi korban dari perpisahan orang tuanya.
7.5 Harta Gono-Gini (Harta Bersama)
Pembagian harta gono-gini (harta bersama yang diperoleh selama pernikahan) juga tidak terpengaruh oleh khuluk. Pembagiannya tetap dilakukan sesuai dengan prinsip syariat Islam dan hukum positif yang berlaku di negara tersebut, biasanya dibagi dua atau sesuai kontribusi. 'Iwad dalam khuluk bukanlah pengganti bagian istri dari harta bersama.
8. Kontroversi dan Tantangan Kontemporer dalam Pelaksanaan Khuluk
Meskipun khuluk adalah mekanisme syar'i yang jelas, implementasinya di dunia modern tidak luput dari berbagai tantangan dan kontroversi.
8.1 Penyalahgunaan Khuluk
Salah satu kekhawatiran adalah potensi penyalahgunaan khuluk. Ada kasus di mana istri mungkin mengajukan khuluk tanpa alasan yang kuat, hanya karena ingin menghindari kewajiban atau ingin menikah dengan pria lain. Di sisi lain, suami juga bisa memanfaatkan khuluk untuk menekan istri agar membayar 'iwadh yang tidak wajar, terutama jika istri sangat ingin bercerai.
Islam sangat melarang istri meminta khuluk tanpa alasan yang syar'i. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Wanita mana saja yang meminta khuluk kepada suaminya tanpa alasan yang kuat, maka haram baginya bau surga." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini menjadi peringatan keras bagi istri agar tidak main-main dengan hak khuluk.
8.2 Penentuan Jumlah 'Iwad yang Adil
Permasalahan yang sering muncul adalah penentuan jumlah 'iwadh. Jika suami dan istri tidak mencapai kesepakatan, pengadilan agama akan menengahi. Namun, standar keadilan 'iwadh bisa menjadi perdebatan. Beberapa ulama berpendapat bahwa 'iwadh sebaiknya tidak melebihi jumlah mahar yang pernah diberikan, terutama jika tidak ada kesalahan dari suami. Namun, ada pula yang berpendapat boleh lebih dari mahar jika ada kesepakatan dan kerelaan, atau jika istri memiliki alasan yang sangat kuat untuk berpisah namun tidak dapat dibuktikan secara hukum sebagai 'aib suami.
8.3 Peran Pengadilan dalam Khuluk
Di banyak negara, khuluk tidak hanya sekadar kesepakatan pribadi, tetapi harus disahkan oleh pengadilan. Peran pengadilan menjadi krusial dalam memastikan keadilan, mencegah paksaan, dan menengahi perselisihan terkait 'iwadh. Namun, proses di pengadilan bisa panjang dan memakan biaya, yang bisa menjadi hambatan bagi beberapa pihak.
8.4 Khuluk di Negara Non-Muslim
Bagi Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim, pelaksanaan khuluk bisa lebih kompleks. Hukum keluarga Islam mungkin tidak diakui secara penuh oleh sistem hukum negara. Mereka mungkin perlu melakukan perceraian sipil terlebih dahulu, kemudian mencari penyelesaian khuluk melalui dewan syariah atau ulama lokal untuk memenuhi tuntutan agama.
8.5 Pandangan Feminis Modern terhadap Khuluk
Beberapa kalangan feminis modern mengkritik konsep 'iwadh dalam khuluk, menilainya sebagai beban bagi istri yang ingin bercerai. Namun, pendukung khuluk berargumen bahwa 'iwadh adalah kompensasi yang adil bagi suami yang melepaskan hak talaknya, terutama jika ia tidak memiliki kesalahan dan terpaksa berpisah karena ketidaksukaan istri. Tanpa 'iwadh, hak suami untuk menahan istri (jika istri tidak memiliki alasan syar'i yang kuat untuk fasakh) akan hilang tanpa kompensasi, yang juga bisa menjadi bentuk ketidakadilan. Ini adalah bentuk kompromi yang memungkinkan kedua belah pihak mendapatkan jalan keluar.
9. Studi Kasus dan Contoh Konkret
Untuk lebih memahami konsep khuluk, mari kita lihat beberapa contoh nyata atau skenario hipotetis.
9.1 Kasus Jamilah binti Tsabit bin Qais
Ini adalah kasus paling terkenal dan menjadi dalil utama khuluk. Jamilah datang kepada Nabi SAW dan menyatakan ketidaksukaannya terhadap Tsabit bin Qais, meskipun ia tidak mencela Tsabit dalam agama atau akhlaknya. Ia berkata, "Aku tidak suka kekufuran dalam Islam." Nabi SAW kemudian bertanya apakah ia bersedia mengembalikan kebun yang menjadi mahar Tsabit. Ketika Jamilah setuju, Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya dengan satu talak. Kisah ini menegaskan bahwa ketidaksukaan istri yang mendalam, yang membuatnya khawatir tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, adalah alasan yang sah untuk khuluk, bahkan jika suami tidak memiliki kesalahan yang jelas.
9.2 Skenario Kontemporer: Khuluk Karena Ketidakcocokan Permanen
Seorang istri, Ibu Ani, telah menikah selama 10 tahun dengan Bapak Budi. Selama ini, Bapak Budi adalah suami yang baik, tidak pernah melakukan kekerasan, dan menafkahi dengan layak. Namun, Ibu Ani merasa tidak ada lagi cinta dan kasih sayang. Mereka sering berbeda pendapat tentang hal-hal kecil, komunikasi terhambat, dan Ibu Ani merasa semakin tertekan dan tidak bahagia. Ia khawatir jika terus bersama, ia tidak akan bisa menjalankan hak dan kewajiban sebagai istri dengan ikhlas, dan ini bisa menjadi dosa.
Ibu Ani telah mencoba berbagai cara, termasuk konseling, namun tidak berhasil. Ia kemudian berdiskusi dengan Bapak Budi bahwa ia ingin berpisah melalui khuluk. Ia bersedia mengembalikan sebagian mahar yang pernah diberikan Bapak Budi atau memberikan sejumlah uang sebagai 'iwadh. Setelah berdiskusi panjang dan melihat kondisi rumah tangga yang memang tidak kondusif, Bapak Budi akhirnya setuju. Mereka kemudian bersama-sama datang ke Pengadilan Agama untuk mencatatkan khuluk tersebut agar memiliki kekuatan hukum. Pengadilan memediasi dan mengesahkan khuluk tersebut, dengan Ibu Ani memberikan 'iwadh yang disepakati.
9.3 Skenario Khuluk Melalui Pengadilan Karena Suami Menolak
Ibu Siti menikah dengan Bapak Amir. Setelah beberapa tahun, Bapak Amir menjadi sangat pasif, tidak lagi memberikan perhatian, dan menafkahi secukupnya namun tidak ada lagi kehangatan. Ibu Siti merasa tidak dihargai dan sangat kesepian. Ia telah berulang kali mencoba berbicara dengan Bapak Amir, tetapi Bapak Amir selalu mengabaikannya atau menolak untuk berubah. Ibu Siti merasa tidak sanggup lagi hidup dalam pernikahan seperti itu dan khawatir akan jatuh ke dalam kemaksiatan karena ketidakmampuannya memenuhi hak suami dengan ikhlas.
Ibu Siti mengajukan permohonan khuluk kepada Bapak Amir, bersedia mengembalikan seluruh mahar. Namun, Bapak Amir menolak dengan alasan ia masih mencintai Ibu Siti, meskipun perilakunya tidak menunjukkan demikian, dan ia tidak ingin bercerai. Karena tidak ada kesepakatan, Ibu Siti mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama dengan alasan adanya ketidakharmonisan yang permanen dan ia bersedia memberikan 'iwadh.
Di persidangan, hakim melihat bukti-bukti dan kesaksian yang menunjukkan bahwa memang ada ketidakharmonisan serius yang tidak dapat diperbaiki. Meskipun Bapak Amir menolak, hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai Ibu Siti dengan kewajiban Ibu Siti membayar 'iwadh sebesar nilai mahar yang pernah diterima. Setelah Ibu Siti menyerahkan 'iwadh, akta cerai diterbitkan.
10. Kesimpulan
Khuluk adalah sebuah konsep penting dalam hukum keluarga Islam yang menunjukkan kebijaksanaan dan keadilan syariat dalam mengatur hubungan suami istri. Ia memberikan hak kepada istri untuk mengajukan perceraian dengan memberikan tebusan ('iwadh) kepada suami, terutama ketika istri merasa tidak mampu lagi melanjutkan pernikahan secara syar'i karena ketidaksukaan atau ketakutan tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, bahkan jika suami tidak melakukan kesalahan fatal.
Dasar hukum khuluk sangat kuat, bersumber dari Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 229) dan As-Sunnah (hadits kisah Jamilah binti Tsabit bin Qais), serta didukung oleh ijma' para ulama. Meskipun ada sedikit perbedaan pandangan di antara mazhab-mazhab fikih mengenai detailnya, konsensus umum menyatakan bahwa khuluk adalah sah dan menghasilkan talak ba'in sughra, yang berarti tidak ada hak rujuk kecuali dengan akad nikah baru.
Prosedur khuluk dapat dilakukan melalui kesepakatan langsung antara suami istri atau melalui campur tangan pengadilan agama jika tidak ada kesepakatan. Peran pengadilan sangat vital untuk memastikan keadilan, mencegah paksaan, dan menentukan 'iwadh yang wajar. Hikmah di balik pensyariatan khuluk sangatlah besar, meliputi perlindungan hak dan kesejahteraan istri, pencegahan kemudaratan dalam rumah tangga, perwujudan keadilan, serta menjaga keutuhan agama kedua belah pihak.
Meskipun demikian, khuluk juga menghadapi tantangan kontemporer seperti potensi penyalahgunaan dan penentuan 'iwadh yang adil. Oleh karena itu, pemahaman yang benar dan pelaksanaan yang sesuai dengan syariat serta hukum positif yang berlaku sangatlah esensial. Khuluk bukanlah jalan mudah untuk berpisah, melainkan sebuah solusi terakhir yang bermartabat ketika semua upaya untuk menyelamatkan pernikahan telah gagal dan keberlangsungan pernikahan justru menimbulkan kemudaratan. Dengan khuluk, Islam menunjukkan bahwa ia adalah agama yang adil, yang selalu mencari jalan keluar terbaik untuk kebaikan umat manusia dalam setiap aspek kehidupannya.
Pertanyaan Umum Seputar Khuluk
Q: Apakah istri berdosa jika meminta khuluk?
A: Istri berdosa jika meminta khuluk tanpa alasan yang syar'i dan kuat, seperti tidak ada aib pada suami, suami menunaikan kewajiban, namun istri hanya ingin berganti suami atau alasan sepele lainnya. Namun, jika istri meminta khuluk karena ketidaksukaan yang mendalam, kekhawatiran tidak dapat menunaikan hak suami, atau tidak dapat lagi hidup bersama suami secara damai dan diridai Allah, maka itu adalah alasan yang sah dan tidak berdosa.
Q: Berapa jumlah 'iwadh (tebusan) yang harus diberikan istri?
A: Jumlah 'iwadh idealnya adalah mahar yang pernah diterima istri dari suami. Jika suami tidak melakukan kesalahan, sebagian ulama berpendapat tidak boleh melebihi mahar. Namun, jika ada kesepakatan dan kerelaan, jumlahnya bisa bervariasi. Jika melalui pengadilan, hakim akan menentukan jumlah yang adil, seringkali tidak lebih dari mahar atau sesuai kemampuan istri.
Q: Apakah suami wajib menerima khuluk jika istri mengajukannya?
A: Suami tidak wajib secara mutlak menerima khuluk. Namun, jika istri mengajukan khuluk dengan alasan yang syar'i (misalnya karena ketidaksukaan yang mendalam dan khawatir tidak bisa menjalankan hukum Allah) dan bersedia membayar 'iwadh yang wajar, serta upaya mediasi tidak berhasil, maka suami dianjurkan untuk menerimanya demi kebaikan bersama. Jika suami menolak tanpa alasan kuat, istri bisa mengajukan cerai gugat ke pengadilan agama yang pada akhirnya bisa diputuskan oleh hakim.
Q: Setelah khuluk, apakah saya bisa menikah lagi dengan mantan suami?
A: Ya, bisa. Karena khuluk menghasilkan talak ba'in sughra (talak satu yang tidak dapat dirujuk), Anda bisa menikah kembali dengan mantan suami setelah masa 'iddah selesai. Namun, harus dengan akad nikah baru dan mahar baru, sama seperti pernikahan pertama.
Q: Apakah anak-anak saya akan ikut saya setelah khuluk?
A: Hak asuh anak (hadhanah) biasanya diberikan kepada ibu selama anak masih kecil (hingga usia tertentu, misal 12 tahun di Indonesia, atau sampai baligh dan mampu memilih). Khuluk tidak mempengaruhi hal ini. Nafkah anak tetap menjadi kewajiban ayah sepenuhnya.