Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, dibagi menjadi 30 bagian yang dikenal sebagai 'juz' (jamak: ajza'). Pembagian ini, meskipun bukan pembagian wahyu, berfungsi sebagai panduan praktis untuk memudahkan pembacaan dan penyelesaian khatam dalam periode waktu tertentu, seperti selama bulan Ramadan. Setiap juz, secara ideal, memiliki panjang yang relatif sama.
Juz pertama Al-Qur'an memiliki peran fundamental. Ia bukan hanya permulaan tekstual dari keseluruhan mushaf, tetapi juga menjadi gerbang utama menuju pemahaman teologis, hukum, dan naratif ilahi. Pembahasan mengenai juz 1 berapa ayat adalah pertanyaan yang merujuk langsung pada batasan fisik teks dalam mushaf Utsmani yang diakui secara luas.
Juz 1 (Alif Lam Mim) dimulai dari ayat pertama Surah Al-Fatihah dan berakhir pada ayat ke-141 dari Surah Al-Baqarah. Dua surah ini adalah pilar utama yang menyusun substansi dari Juz pertama, memberikan landasan tentang tauhid, petunjuk, dan pengenalan terhadap berbagai tipe manusia di hadapan wahyu.
Jawaban Kunci: Juz 1 terdiri dari total 148 ayat. Jumlah ini didapatkan dari 7 ayat Surah Al-Fatihah ditambah 141 ayat dari Surah Al-Baqarah.
Surah Al-Fatihah, yang berarti 'Pembukaan', adalah surah pertama dalam Al-Qur'an. Meskipun pendek, surah ini menempati posisi yang sangat agung. Ia dikenal dengan berbagai nama, termasuk Ummul Kitab (Induk Kitab), As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang), dan Al-Kanz (Harta Karun).
Al-Fatihah sepenuhnya masuk dalam Juz 1. Jumlah ayatnya adalah tetap, yakni 7 ayat. Tidak ada perbedaan pendapat signifikan di kalangan ulama mengenai jumlah ayat ini, meskipun terdapat variasi pandangan apakah Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) dihitung sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah atau hanya sebagai pemisah antarsurah.
Al-Fatihah: 7 Ayat
Surah pembuka ini adalah rangkuman dari seluruh ajaran Al-Qur'an, mencakup konsep ketuhanan (Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah), pengakuan keesaan Allah, janji Hari Pembalasan, prinsip ibadah (Iyyaka Na'budu), dan permohonan petunjuk (Shiratal Mustaqim).
Struktur Al-Fatihah memberikan pola dasar: Tiga ayat pertama berfokus pada pujian kepada Allah (Rabbul 'Alamin, Ar-Rahman, Maliki Yaumiddin). Ayat tengah menjadi jembatan antara hamba dan Tuhan (Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in). Tiga ayat terakhir adalah permohonan hamba mengenai petunjuk yang lurus (Shiratal Mustaqim), yang kontras dengan jalan orang-orang yang dimurkai (Al-Maghdhubi 'alaihim) dan yang tersesat (Ad-Dhallin).
Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an (286 ayat), mendominasi sebagian besar kandungan Juz 1. Juz 1 hanya mencakup 141 ayat pertama dari Surah Al-Baqarah. Ini adalah inti tebal yang mendefinisikan petunjuk bagi umat Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan demikian, perhitungan total ayat dalam Juz 1 adalah sebagai berikut:
Surah Al-Baqarah adalah surah Madaniyah, yang diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad ke Madinah. Oleh karena itu, bagian awal surah ini mengandung aturan-aturan rinci yang diperlukan untuk membangun komunitas Islam yang terorganisir—sebuah kontras dari fokus teologis murni pada surah-surah Makkiyah.
Setelah pengenalan huruf muqatta'ah, Al-Baqarah segera membagi umat manusia menjadi tiga kategori fundamental, sebuah tema yang membutuhkan analisis mendalam untuk memahami landasan moral dan spiritual dalam Islam.
Ayat 2-5 mendefinisikan siapa yang berhak mendapatkan petunjuk Al-Qur'an. Petunjuk ini, sebagaimana dinyatakan, hanya diberikan kepada Al-Muttaqin. Ketakwaan (Taqwa) bukanlah sekadar perasaan, melainkan serangkaian tindakan dan keyakinan yang koheren. Lima ciri utama disebutkan:
Ini adalah pondasi intelektual keimanan. Percaya kepada Allah, hari akhir, malaikat, dan takdir, tanpa perlu melihat bukti fisik secara langsung. Keimanan kepada Al-Ghaib membebaskan akal dari batasan materialistik dan membuka cakrawala spiritual. Ayat ini menuntut agar manusia mengakui adanya realitas yang melampaui indra, sebuah konsep yang menantang epistemologi rasionalistik.
Shalat disebutkan sebagai pilar kedua. Kata yang digunakan adalah Iqamah (mendirikan), bukan sekadar Afa'ala (melakukan). Ini menyiratkan pelaksanaan shalat secara sempurna, baik dari segi syarat, rukun, khushu' (kekhusyukan), dan dampak sosialnya. Shalat adalah hubungan vertikal yang menjadi barometer keimanan seseorang.
Ini adalah dimensi horizontal keimanan. Orang bertakwa tidak hanya saleh secara ritualistik, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi. Infaq adalah lawan dari ketamakan, memastikan bahwa harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya saja. Konsep min ma razaqnahum (dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka) menekankan bahwa harta adalah amanah Tuhan.
Pengakuan terhadap wahyu terakhir sebagai kebenaran yang mutlak dan menyeluruh. Ini adalah pengakuan terhadap otoritas Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi.
Menghargai kesinambungan kenabian (Nabi Musa, Nabi Isa, dan lainnya) serta keyakinan teguh pada Hari Kebangkitan. Iman pada Hari Akhir berfungsi sebagai motivator moral tertinggi, karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Orang-orang inilah yang disebut berada di atas petunjuk (Huda) dari Tuhan mereka.
Ayat 6-7 menggambarkan golongan kedua, Al-Kuffar. Karakteristik utama mereka adalah penolakan total terhadap kebenaran setelah kebenaran itu jelas tersampaikan. Ayat ini menggunakan metafora kunci tentang hati yang telah dikunci (khatamallahu 'ala qulubihim) dan pendengaran yang ditutup, serta pandangan yang terhalang.
Kondisi ini bukan hukuman sewenang-wenang, melainkan akibat langsung dari pilihan mereka sendiri yang terus-menerus menolak petunjuk. Kekafiran ini adalah resistensi keras terhadap fakta-fakta keilahian yang menghalangi kemampuan mereka untuk menerima kebenaran bahkan ketika ia disajikan. Ini menunjukkan bahwa ada batas di mana kebebasan memilih manusia menghasilkan konsekuensi spiritual yang permanen.
Ayat 8-20 adalah segmen terpanjang dalam sub-bab ini, sebuah indikasi betapa berbahayanya kemunafikan bagi komunitas. Munafik adalah orang yang secara lisan mengaku beriman (secara eksternal) tetapi hatinya dipenuhi keraguan dan penolakan (secara internal).
Kemunafikan diklasifikasikan sebagai penyakit hati (fi qulubihim maradun). Mereka mencoba menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal sebenarnya mereka menipu diri sendiri. Ayat-ayat ini menggunakan dua perumpamaan yang kuat untuk menjelaskan kondisi mereka:
Analisis 13 ayat yang dikhususkan untuk Munafikin menekankan bahwa ancaman internal lebih destruktif daripada ancaman eksternal dari Kuffar. Karakteristik mereka termasuk dusta (kadzibu), menyebar fitnah (ifsad fil ardh), dan mencemooh orang beriman.
Setelah mengklasifikasikan manusia, Al-Baqarah beralih kepada perintah universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia: penyembahan kepada Allah (Tauhid). Ayat 21 memulai dengan panggilan, "Ya ayyuhan nasu'budu Rabbakum..." (Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhanmu...).
Ayat 22 memberikan bukti teologis (Dalil) yang mendukung perintah Tauhid, yaitu Allah-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, dan menurunkan air hujan untuk menumbuhkan buah-buahan sebagai rezeki. Jika Dialah Pencipta dan Pemberi Rezeki, maka tidak ada entitas lain yang layak disembah.
Al-Qur'an kemudian melontarkan tantangan (Tahaddi) bagi mereka yang meragukan keilahian wahyu: "Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal dengannya."
Tantangan ini adalah bukti kemukjizatan (I'jaz) linguistik Al-Qur'an. Meskipun Al-Baqarah adalah surah Madaniyah yang membahas hukum, ayat ini menegaskan bahwa keindahan dan kedalaman tata bahasa Al-Qur'an tidak tertandingi, melampaui kemampuan sastrawan Arab yang paling ulung sekalipun.
Ayat-ayat ini menyajikan janji surga (Jannah) bagi orang-orang beriman. Kemudian, Al-Qur'an membahas isu perumpamaan (Amtsal), membela penggunaan kiasan, bahkan menggunakan nyamuk atau serangga yang lebih kecil untuk menggambarkan kebesaran Allah. Para Mufasir menjelaskan bahwa perumpamaan ini dimaksudkan untuk membedakan antara Mu'min (yang memahami hikmahnya) dan Kafir (yang mempertanyakan mengapa Tuhan menggunakan perumpamaan sepele).
Puncak dari sub-bab ini adalah pertanyaan retoris: "Bagaimana kamu kafir kepada Allah, padahal kamu (asalnya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, kemudian Dia menghidupkan kamu (kembali), kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan?" (Ayat 28). Ini adalah ringkasan siklus kehidupan yang membuktikan kekuasaan mutlak Allah.
Bagian ini memberikan perspektif kosmologis tentang penciptaan manusia, menekankan statusnya sebagai khalifah di bumi dan asal-usul konflik spiritual antara manusia dan Iblis.
Ketika Allah mengumumkan kepada Malaikat bahwa Dia akan menempatkan seorang khalifah (wakil) di bumi, Malaikat mempertanyakan wisdom (hikmah) dari keputusan tersebut, mengingat potensi manusia untuk menumpahkan darah dan berbuat kerusakan (ifsad).
Ayat ini menetapkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah sebagai pengelola moral dan fisik alam semesta. Allah menjawab, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui," menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi tersembunyi yang melebihi kemampuan Malaikat: kapasitas untuk memilih, berkreasi, dan belajar.
Allah mengajari Adam nama-nama (al-asma’) segala sesuatu, sebuah pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para Malaikat. Ketika Adam diminta memperlihatkan nama-nama tersebut, para Malaikat mengakui keterbatasan mereka: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami."
Kisah ini menegaskan superioritas ilmu dan akal budi manusia dibandingkan ketaatan murni Malaikat, yang berfungsi sebagai pembuktian mengapa manusia layak menjadi khalifah.
Setelah Allah memerintahkan Malaikat untuk bersujud (sujud penghormatan) kepada Adam, Iblis menolak. Penolakan ini didasarkan pada kesombongan (kibir) yang berasal dari asumsi superioritas materi: "Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." (Ayat 34).
Kisah ini adalah pelajaran mendasar tentang bahaya kesombongan dan ketaatan. Iblis, yang dulunya makhluk yang beribadah, dikeluarkan dari surga karena menentang perintah ilahi, menetapkan konflik abadi antara pengikut Allah dan pengikut Syaitan.
Adam dan Hawa ditempatkan di surga dengan satu larangan: mendekati pohon tertentu. Mereka melanggar larangan itu karena godaan Iblis. Namun, yang membedakan Adam dari Iblis adalah responnya setelah berbuat salah: Adam segera bertaubat dan memohon ampunan (Ayat 37). Ini mengajarkan prinsip sentral dalam Islam: kesalahan adalah manusiawi, tetapi menolak bertaubat adalah dosa Iblis.
Penurunan Adam ke bumi adalah permulaan misi khalifah, bukan hukuman abadi. Bumi menjadi arena ujian di mana manusia harus memilih antara petunjuk (huda) dan kesesatan. Ayat 38 dan 39 menutup segmen ini dengan janji bahwa mereka yang mengikuti petunjuk tidak akan merasa takut dan tidak akan bersedih.
Juz 1 menghabiskan bagian substansial (lebih dari 60 ayat) untuk membahas kisah Bani Israil, mencakup sejarah mereka sejak zaman Nabi Musa hingga penyimpangan hukum yang mereka lakukan. Tujuan pembahasan ini adalah memberikan pelajaran sejarah bagi umat Islam (Umat Muhammad ﷺ) agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Allah mengingatkan Bani Israil akan nikmat yang telah diberikan kepada mereka (diselamatkan dari Firaun, diberi manna dan salwa), dan menuntut pemenuhan perjanjian (perjanjian ketaatan). Mereka diperintahkan untuk beriman kepada Al-Qur'an (yang membenarkan Taurat) dan menjauhi perilaku menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah.
Ayat 43 secara spesifik memerintahkan Bani Israil untuk "dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." Ini menunjukkan kesinambungan prinsip ibadah fundamental dalam syariat Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Peringatan ini menohok mereka yang memerintahkan kebaikan kepada orang lain, tetapi melupakan diri mereka sendiri (Ayat 44).
Rangkaian ayat ini merinci mukjizat dan ujian yang dialami Bani Israil:
Kisah inilah yang menjadi nama surah ini. Kisah ini adalah percontohan bagaimana Bani Israil menunjukkan sikap membantah, bertele-tele, dan memperumit perintah Allah. Ketika mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi untuk mengungkap pembunuh, mereka bukannya langsung taat, tetapi malah mengajukan pertanyaan rinci tentang warna, usia, dan ciri-ciri sapi tersebut.
Setiap pertanyaan yang mereka ajukan semakin mempersempit pilihan sapi yang sah, membuat mereka harus mencari sapi dengan kriteria yang sangat spesifik dan mahal. Tafsir dari kisah ini adalah peringatan terhadap fanatisme yang tidak perlu dan penundaan ketaatan (takhzir min at-ta'assuf). Akhirnya, setelah menyembelih sapi itu, sebagian dari sapi itu dipukulkan kepada mayat, dan mayat itu berbicara, mengungkap pembunuhnya.
Ayat 75 menggambarkan kekerasan hati mereka, yang dibandingkan dengan batu, atau bahkan lebih keras dari batu. Meskipun mereka mendengar firman Allah (Taurat), mereka mengubahnya (tahrif) setelah mereka memahaminya.
Bagian ini juga membahas isu sihir dan Bani Israil, khususnya kisah Harut dan Marut di Babilonia (Ayat 102). Allah menjelaskan bahwa mereka telah meninggalkan Taurat dan mengikuti ajaran sihir yang diajarkan oleh setan, meskipun Allah telah memperingatkan bahwa sihir hanya membawa kerusakan dan kekafiran.
Kisah-kisah ini berfungsi sebagai cermin untuk umat Islam: peringatan untuk tidak melakukan tahrif, tidak berdebat secara berlebihan mengenai hukum, dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi di atas janji ilahi.
Penutupan Juz 1 mempersiapkan landasan untuk salah satu perubahan hukum paling signifikan dalam Islam awal: Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka'bah (Mekkah). Meskipun perintah perubahan Kiblat itu sendiri terjadi pada ayat 144, ayat-ayat dalam Juz 1 berfungsi sebagai pengantar teologis.
Allah mulai menanggapi tantangan dan keraguan yang diajukan oleh Bani Israil dan kaum Musyrikin mengenai syariat Islam. Ayat 115 menyatakan bahwa Allah memiliki timur dan barat, dan ke mana pun kita menghadap, di situlah wajah Allah. Ini menegaskan bahwa arah shalat (kiblat) adalah masalah perintah syariat, bukan masalah esensi Allah. Tujuan utamanya adalah persatuan umat dan ketaatan kepada perintah ilahi.
Ayat 120-134 memfokuskan perdebatan tentang siapa pewaris sejati Nabi Ibrahim (Abraham). Baik Yahudi maupun Nasrani mengklaim Ibrahim sebagai milik mereka. Al-Qur'an menjelaskan bahwa Ibrahim adalah seorang Muslim yang lurus (Hanif) dan bukan termasuk Yahudi atau Nasrani. Ia adalah arsitek Ka'bah, dan ia berdoa agar keturunannya menjadi umat Muslim yang patuh.
Pentingnya narasi Ibrahim dalam Juz 1 adalah untuk membangun kembali Ka'bah sebagai pusat spiritual monoteisme, membersihkannya dari ikatan lokal Yerusalem (Baitul Maqdis) yang sudah menjadi fokus Bani Israil.
Ketika Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah, mereka berdoa memohon agar Allah menerima pekerjaan mereka dan mengutus seorang Rasul dari keturunan mereka yang akan membacakan ayat-ayat Allah dan mengajarkan Kitab dan Hikmah. Doa ini diyakini sebagai referensi nubuat mengenai kedatangan Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat 141, ayat terakhir dari Juz 1, menutup diskusi panjang mengenai sejarah kenabian dengan pernyataan tegas mengenai pertanggungjawaban individu. Ayat ini menyatakan:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang dahulu mereka kerjakan." (Al-Baqarah: 141)
Ayat penutup ini berfungsi sebagai penekanan bahwa pertalian darah atau sejarah masa lalu tidak menjamin keselamatan. Umat Muhammad harus fokus pada amal mereka sendiri, terlepas dari dosa atau pahala umat-umat sebelumnya. Ini adalah pemutus historis yang mempersiapkan umat Islam untuk menerima identitas spiritual dan hukum yang baru—yang akan dibahas secara detail di Juz 2, dimulai dengan perintah perubahan Kiblat.
Juz 1 merupakan fondasi teologis dan syariat yang luar biasa padat. Dengan total 148 ayat (7 di Al-Fatihah dan 141 di Al-Baqarah), ia memperkenalkan pembaca pada inti ajaran Islam:
Analisis setiap blok tematik dalam Juz 1 mengungkapkan bahwa surah ini berupaya membangun komunitas yang teguh di atas petunjuk, mampu membedakan antara orang bertakwa, orang kafir, dan yang paling berbahaya, orang munafik. Jumlah ayatnya yang mencapai 148, mencakup Surah Al-Fatihah secara keseluruhan dan sebagian besar Surah Al-Baqarah, adalah titik awal yang kokoh bagi penjelajahan seluruh Kitabullah.
Pembagian menjadi juz sangat membantu dalam pembacaan rutin, namun pemahaman juz 1 berapa ayat harus diikuti dengan pemahaman akan kesatuan tematik. Ayat 1 hingga 141 dari Al-Baqarah membentuk satu kesatuan logis yang menuntut komitmen spiritual, moral, dan historis. Mereka yang berhasil melewati ujian dalam Juz 1 ini, memahami sifat petunjuk, bahaya kesombongan Iblis, dan pelajaran dari Bani Israil, telah siap untuk menerima aturan-aturan rinci yang disajikan di sisa Surah Al-Baqarah dan surah-surah berikutnya.
Juz pertama ini bukan sekadar koleksi ayat, tetapi sebuah kurikulum terpadu mengenai fondasi peradaban Islam yang berlandaskan Tauhid dan Ketaatan, yang menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk tanpa keraguan (Dzalikal Kitabu la raiba fih) bagi mereka yang memilih jalan ketakwaan.
Kedalaman hukum dan bahasa Arab dalam Juz 1 menggarisbawahi fungsinya sebagai landasan legislatif. Bahkan dalam 141 ayat pertama Al-Baqarah, sudah terkandung banyak perintah (amr) dan larangan (nahy) yang membentuk Fiqh Islami awal.
Meskipun Al-Baqarah dikenal sebagai surah Fiqh utama, Juz 1 sudah memuat perintah-perintah yang bersifat hukum:
Juz 1 juga secara implisit memperkenalkan kaidah usul (prinsip dasar) hukum Islam:
A. Prinsip Kemudahan (Taysir): Dalam konteks kisah Nabi Adam, Allah memberikan jalan taubat setelah kesalahan, menunjukkan bahwa pintu rahmat selalu terbuka. Ini adalah prinsip yang mendasari taysir dalam Fiqh.
B. Larangan Ta'assuf (Memperumit): Kisah penyembelihan sapi betina (Al-Baqarah) adalah kaidah usul yang melarang umat bertanya terlalu banyak atau memperumit hukum yang sudah jelas (Ayat 67-74). Intinya, jika perintah datang, ketaatan harus segera dan sederhana.
C. Prinsip Kesinambungan (Istishab): Ayat yang membahas Nabi Ibrahim (Ayat 130) menegaskan bahwa syariat adalah berkelanjutan dan Ibrahim adalah bapak spiritual monoteisme, yang memberikan legitimasi sejarah bagi ajaran Nabi Muhammad.
Analisis bahasa Arab di awal Al-Baqarah menunjukkan kejeniusan struktural yang mendukung total 148 ayat dalam Juz 1:
A. Al-Huruf Al-Muqatta'ah: (Alif Lam Mim - Ayat 1). Ahli bahasa dan tafsir telah membahas tanpa henti mengenai makna huruf-huruf ini. Meskipun maknanya hanya Allah yang tahu, penempatan mereka di awal surah menantang para ahli bahasa untuk mengakui bahwa meskipun Al-Qur'an terdiri dari huruf-huruf yang mereka kenal, rangkaian kata yang dihasilkan adalah mukjizat yang tak tertandingi.
B. Koherensi Teks (Nazm): Transisi antara Surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah sangat mulus. Al-Fatihah memohon petunjuk (Ihdinas Siratal Mustaqim), dan Al-Baqarah dibuka dengan jawaban: "Dzalikal Kitabu La Raiba Fih, Hudal lil Muttaqin" (Inilah Kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang bertakwa). Ini menunjukkan koherensi sempurna yang mencakup 148 ayat pertama ini.
C. Penggunaan Kontras (Tabaqa): Penggunaan perbandingan yang tajam, seperti cahaya dan kegelapan (perumpamaan Munafikin), atau kehidupan dan kematian (bukti kekuasaan Allah), menciptakan efek retoris yang kuat. Kata-kata seperti 'Al-Haqq' (kebenaran) selalu dikontraskan dengan 'Al-Bathil' (kebatilan) secara efektif dalam ayat-ayat yang menegur Bani Israil.
Di luar hukum dan sejarah, Juz 1 memberikan peta jalan spiritual yang mendalam, berfokus pada pemurnian hati dari penyakit-penyakit yang menghalangi petunjuk ilahi. Tema ini sangat relevan dalam ayat-ayat mengenai Munafikin.
Ayat 10 Al-Baqarah secara eksplisit menyatakan: "Fii qulubihim maradun fa zadahumullahu maradhan" (Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya). Penyakit ini bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit moral dan spiritual, yang meliputi:
Solusi untuk penyakit-penyakit hati ini adalah Takwa, yang merupakan fokus dari Ayat 2 hingga 5. Takwa berfungsi sebagai perisai spiritual. Dengan memenuhi lima kriteria Takwa (iman pada yang ghaib, shalat, infaq, iman pada wahyu), hati menjadi kuat dan resisten terhadap bisikan Iblis.
Juz 1 mengajarkan bahwa perjalanan menuju keimanan sejati dimulai dengan kejujuran hati (sidqul qulub). Jika hati jujur mencari kebenaran, maka Al-Qur'an (148 ayat pertama) akan berfungsi sebagai petunjuk; jika hati penuh tipu daya dan kesombongan, Al-Qur'an akan menjadi kegelapan yang menambah kesesatan mereka.
Al-Baqarah dalam Juz 1 menuntut keseimbangan antara hak Allah (Haqqullah) dan hak manusia (Haqqul Ibad). Shalat adalah hak Allah (vertikal), sementara infaq (zakat) adalah hak manusia (horizontal). Keseimbangan ini adalah ciri khas umat pertengahan (Ummatan Wasata), meskipun definisi lengkapnya baru muncul di Juz 2, fondasinya sudah diletakkan dalam konteks sejarah Bani Israil yang gagal menjaga keseimbangan ini.
Sebagai penutup dari analisis mendalam ini, penting ditekankan kembali bahwa meskipun pertanyaan awal adalah mengenai juz 1 berapa ayat (yaitu 148 ayat), nilai sesungguhnya terletak pada pemahaman bahwa setiap ayat dari 148 ayat tersebut mengandung tuntunan yang terstruktur sempurna, menjadikannya gerbang wajib bagi setiap Muslim yang ingin menyelami samudra hukum, sejarah, dan spiritualitas Al-Qur'an.