Panduan Lengkap Jawaban Saat Adzan dan Keutamaannya

Menyelami Makna dan Sunnah Merespon Panggilan Agung

Menara Masjid dan Panggilan Adzan Ilustrasi menara masjid minimalis dengan gelombang suara yang melambangkan panggilan adzan yang agung.

Gambar: Menara masjid dengan lafaz adzan

Pengantar: Keagungan Panggilan Ilahi

Adzan, panggilan suci yang berkumandang lima kali sehari, bukan sekadar pemberitahuan waktu salat. Ia adalah manifestasi spiritual yang menghubungkan bumi dan langit, sebuah seruan universal yang mengajak manusia menuju keberuntungan abadi. Respon kita terhadap Adzan, yang dalam terminologi fikih dikenal sebagai ijabah atau takhfif, adalah sebuah ibadah sunnah yang memiliki bobot pahala yang luar biasa dan merupakan bukti ketaatan seorang hamba terhadap Rabb-nya.

Tindakan merespon Adzan, meskipun terlihat sederhana, adalah bagian integral dari Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan mengulangi lafaz yang diucapkan oleh muadzin, kita seolah-olah mengikrarkan kembali syahadat dan janji untuk bergegas menuju keselamatan dan kejayaan yang ditawarkan oleh salat. Merespon Adzan bukan hanya sekadar menggerakkan lisan, melainkan juga harus disertai dengan kehadiran hati, pemahaman akan makna agung dari setiap kalimatnya, dan persiapan mental untuk menyambut kewajiban salat.

Dalam tulisan yang mendalam ini, kita akan mengupas tuntas seluruh aspek yang berkaitan dengan tata cara menjawab Adzan. Mulai dari hukum dasar, panduan lafaz per lafaz, pengecualian khusus dalam merespon, hingga rangkaian doa penutup yang mengunci keberkahan. Tujuan utama dari kajian ini adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sunnah ini, sehingga setiap kumandang Adzan menjadi momen transformasi spiritual dan peningkatan kualitas ibadah kita sehari-hari.

Landasan Hukum dan Keutamaan Menjawab Adzan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menjawab Adzan adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) bagi siapa pun yang mendengarnya, kecuali dalam kondisi tertentu yang akan dijelaskan nanti. Landasan utama dari sunnah ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kalian mendengar Adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzin."

Keutamaan dari sunnah ini sangatlah besar. Keutamaan pertama adalah mendapatkan syafaat Nabi Muhammad SAW pada Hari Kiamat. Keutamaan kedua adalah dibukanya pintu-pintu ampunan dan doa. Ketika seorang Muslim selesai menjawab Adzan dan memanjatkan doa setelahnya, ia berada pada posisi di mana doanya sangat mustajab.

Imam An-Nawawi, dalam pandangannya, menekankan bahwa kewajiban menjawab Adzan bersifat umum. Itu berlaku bagi yang sedang suci, yang sedang berhadats, yang sedang membaca Al-Qur'an, yang sedang berzikir, bahkan yang sedang makan, meskipun bagi yang makan atau buang hajat, disunnahkan untuk menunda jawaban hingga selesai dari urusan tersebut, kemudian mengqadhanya jika memungkinkan, meskipun mengqadha jawaban Adzan bukanlah hal yang diwajibkan secara mutlak.

Penting untuk dipahami bahwa jawaban Adzan adalah sebuah etika interaksi antara hamba dengan panggilan Tuhannya. Mengabaikan panggilan ini secara sengaja dapat mengurangi kesempurnaan ibadah seseorang, meskipun tidak sampai membatalkannya. Namun, bagi seorang mukmin sejati, setiap kesempatan pahala adalah mutiara yang harus diraih.

Panduan Lengkap Merespon Lafaz Adzan (Lafaz Per Lafaz)

Prinsip dasar dalam menjawab Adzan adalah mengulangi lafaz yang sama persis seperti yang diucapkan oleh muadzin. Namun, ada dua frasa pengecualian yang memerlukan respons yang berbeda dan spesifik.

1. Empat Takbir Pembuka dan Penutup

Lafaz pertama yang dikumandangkan oleh muadzin adalah takbir, yang diucapkan sebanyak empat kali pada awal Adzan, dan sekali lagi pada penutup Adzan (menurut mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama, meskipun ada perbedaan pada jumlahnya pada mazhab lain seperti Hanafi).

Lafaz Muadzin:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

(Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Lafaz Jawaban:

Kita menjawab dengan mengulangi lafaz yang sama:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Mengapa kita mengulangi takbir? Takbir adalah deklarasi keesaan dan kebesaran Allah, yang merupakan fondasi Iman. Dengan mengulanginya, kita meneguhkan hati bahwa tidak ada yang lebih besar dan lebih penting dari Allah, bahkan panggilan Adzan itu sendiri adalah panggilan dari Dzat Yang Maha Besar.

Proses pengulangan takbir ini harus dilakukan dengan penuh penghayatan. Takbir yang pertama kali dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah RA adalah cerminan dari hati yang sepenuhnya tunduk. Oleh karena itu, kita disunnahkan untuk merenungkan makna bahwa segala urusan duniawi, segala kesibukan, dan segala hawa nafsu adalah kecil di hadapan keagungan Allah SWT.

2. Persaksian Tauhid (Syahadat Pertama)

Setelah takbir, muadzin mengajak kita untuk bersaksi atas keesaan Allah.

Lafaz Muadzin:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

(Asyhadu an laa ilaaha illallah)

Lafaz Jawaban:

Kita menjawab dengan mengulangi lafaz yang sama:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Persaksian ini adalah inti dari seluruh ajaran Islam. Ketika kita merespon dengan mengulanginya, kita memperbaharui janji kita kepada Allah. Menurut beberapa riwayat, mengulang persaksian ini dengan niat yang tulus dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang telah dilakukan, terutama jika diikuti dengan doa yang tepat setelahnya.

Rangkaian pengulangan syahadat ini juga berfungsi sebagai pendidikan iman. Lima kali sehari, seorang Muslim diingatkan kembali tentang pondasi agamanya, sehingga iman tersebut tidak mudah goyah oleh godaan dan kesenangan dunia. Ini adalah proses pembiasaan lisan dan hati untuk selalu terikat pada kalimat tauhid.

3. Persaksian Kerasulan (Syahadat Kedua)

Selanjutnya, muadzin mengajak kita bersaksi atas kerasulan Muhammad SAW.

Lafaz Muadzin:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

(Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah)

Lafaz Jawaban:

Kita menjawab dengan mengulangi lafaz yang sama:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Setelah merespon persaksian kerasulan, disunnahkan bagi kita untuk menambah bacaan yang menunjukkan keridhaan. Meskipun pengulangan lafaz di atas sudah mencukupi, beberapa riwayat menganjurkan penambahan: "Aku bersaksi, dan aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Rasulku." Penambahan ini memperkuat ikatan emosional dan spiritual terhadap syahadat yang baru saja diikrarkan.

Ijabah dan Doa Setelah Adzan Ilustrasi sepasang tangan menengadah dalam posisi berdoa, melambangkan respons dan doa setelah mendengarkan adzan. LA HAWLA WA LA QUWWATA ILLA BILLAH

Gambar: Tangan merespon panggilan adzan

4. Panggilan Menuju Salat (Pengecualian Kunci)

Inilah lafaz pertama yang responsnya berbeda dari ucapan muadzin. Perbedaan ini menyimpan hikmah yang sangat mendalam.

Lafaz Muadzin:

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ

(Hayya ‘ala s-salah)

Artinya: Marilah melaksanakan salat.

Lafaz Jawaban:

Saat muadzin mengucapkan 'Hayya ‘ala s-salah', kita tidak mengulangi seruannya, melainkan merespon dengan:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

(Laa hawla wa laa quwwata illa billah)

Artinya: Tidak ada daya upaya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah.

Pengecualian ini sangat signifikan. Ketika kita dipanggil menuju kebaikan (salat), kita mengakui kelemahan diri kita sebagai manusia. Kita menyadari bahwa tanpa kekuatan dari Allah, kita tidak akan mampu bangkit dan melaksanakan perintah tersebut. Respon ini adalah pengakuan total akan ketergantungan kita pada pertolongan Ilahi. Ini mengajarkan kerendahan hati dan tauhid, bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa taufiq (bimbingan dan kemudahan) dari Allah.

Para ulama menjelaskan, frasa ini diucapkan setelah selesai muadzin mengucapkan ‘Hayya ‘ala s-salah’ secara lengkap. Tidak boleh dijawab di tengah-tengah atau dipotong. Respon ini menunjukkan kepasrahan seorang hamba, sekaligus memohon bantuan agar ia dimampukan untuk segera memenuhi panggilan tersebut.

5. Panggilan Menuju Keberuntungan (Pengecualian Kedua)

Lafaz kedua yang memiliki respons pengecualian adalah panggilan menuju keberuntungan.

Lafaz Muadzin:

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

(Hayya ‘ala l-falah)

Artinya: Marilah menuju kemenangan/keberuntungan.

Lafaz Jawaban:

Sama seperti sebelumnya, kita merespon dengan:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

(Laa hawla wa laa quwwata illa billah)

Keberuntungan (al-falah) di sini mencakup keberhasilan dunia dan akhirat, yang puncaknya adalah surga. Respon kita menegaskan bahwa untuk mencapai keberuntungan sebesar itu, dibutuhkan daya dan kekuatan yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk. Hanya Allah, Pemilik segala kekuatan, yang dapat mengantarkan kita pada al-falah sejati. Dengan mengucapkan ‘Laa hawla wa laa quwwata illa billah’, kita sedang memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung melalui salat yang akan didirikan.

6. Penutup Adzan

Muadzin menutup Adzan dengan mengulangi takbir dan syahadat penutup.

Lafaz Muadzin:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ (satu kali atau dua kali, tergantung madzhab)

Jawaban: Ulangi lafaz yang sama.

Lafaz Muadzin (Terakhir):

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Jawaban: Ulangi lafaz yang sama. Setelah lafaz terakhir ini, proses ijabah lisan selesai, dan kita memasuki fase doa setelah Adzan.

Kajian Mendalam Tentang Pengecualian ‘La Haula Wa La Quwwata Illa Billah’

Mengapa respon terhadap 'Hayya 'ala s-salah' dan 'Hayya 'ala l-falah' begitu spesifik dan berbeda? Jawaban ini tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga mengandung hikmah teologis dan psikologis yang mendalam bagi seorang Muslim yang taat.

Filosofi Pengakuan Kelemahan

Ketika muadzin memanggil kita, itu adalah sebuah perintah yang mulia. Namun, perintah itu juga menuntut perjuangan melawan kemalasan (hawa nafsu) dan godaan syaitan. Dalam kondisi ini, seorang hamba yang sadar akan keterbatasannya memilih untuk tidak berbangga dengan kemampuannya sendiri untuk memenuhi panggilan tersebut. Sebaliknya, ia langsung bersandar kepada Allah.

Laa hawla wa laa quwwata illa billah adalah kalimah istirja’ (permohonan pertolongan) yang menunjukkan bahwa transformasi dari kondisi tidak salat (diam, sibuk) menuju kondisi salat (berdiri, fokus) hanya mungkin terjadi karena anugerah dan kekuatan yang diberikan oleh Allah. Jika kita mengulangi "Hayya 'ala s-salah", seolah-olah kita menjawab "Ya, aku akan datang", yang bisa terkesan mengandalkan kemampuan diri. Namun, dengan menjawab Laa hawla, kita mengatakan, "Aku ingin datang, tetapi aku hanya bisa datang jika Engkau memberiku kekuatan."

Kalimat ini juga dikenal sebagai salah satu ‘harta karun di bawah Arsy’. Nabi SAW pernah bersabda bahwa kalimat ini adalah obat dari 99 penyakit, yang paling ringannya adalah kegundahan. Dengan mengucapkannya saat Adzan, kita meminta obat atas segala penyakit yang menghalangi kita dari ketaatan, terutama penyakit hati seperti kemalasan dan kelalaian.

Perbandingan Antara Takbir dan Hayya

Perhatikan perbedaan pada lafaz-lafaz lainnya. Ketika muadzin mengucapkan Takbir atau Syahadat, kita mengulangi lafaz yang sama. Hal ini karena Takbir dan Syahadat adalah pernyataan tauhid yang bersifat informatif dan deklaratif (pengakuan). Kita mengulangi pengakuan itu.

Namun, ketika muadzin mengucapkan ‘Hayya’ (Mari), ini adalah seruan yang bersifat instruktif dan imperatif (perintah ajakan). Menanggapi sebuah ajakan untuk bertindak (salat) dengan pengakuan kelemahan adalah cara paling sempurna untuk menunjukkan bahwa tindakan tersebut, meskipun merupakan tanggung jawab kita, hanya bisa terlaksana melalui bantuan Yang Maha Kuasa.

Ini adalah pelajaran fundamental dalam akidah: segala gerakan dan diam, segala kebaikan dan keburukan, terjadi dengan izin dan kehendak Allah. Salat adalah ibadah yang paling utama, dan kesiapan untuk mengerjakannya harus diiringi dengan penafian daya dan upaya pribadi.

Doa Setelah Adzan: Puncak Ijabah dan Permohonan Syafaat

Setelah muadzin menyelesaikan seluruh rangkaian Adzan dan kita telah selesai merespon semua lafaznya, tahap berikutnya adalah membaca doa setelah Adzan. Doa ini merupakan inti dari keutamaan merespon Adzan, karena di sinilah kita memohon kepada Allah agar Nabi Muhammad SAW mendapatkan wasilah dan fadhilah, serta dikabulkannya permohonan syafaat beliau.

Lafaz Doa Setelah Adzan (Doa Wasilah)

Doa ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang ketika mendengar seruan Adzan mengucapkan:"

اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا ِالْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، [إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ]

Transliterasi:

Allaahumma Rabba haadzihid-da'watit-taammah, wash-shalaatil qaa'imah, aati Muhammadanil-wasiilata wal-fadhiilah, wab’atshu maqoomam-mahmuudaa alladzii wa'adtah, [Innaka laa tukhliful mii'aad].

Artinya:

Ya Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna ini, dan salat yang akan didirikan (sesungguhnya), berikanlah kepada Muhammad al-wasilah dan al-fadhilah. Dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya. [Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji].

Catatan: Frasa tambahan ‘Innaka laa tukhliful mii’aad’ (Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji) terdapat dalam sebagian riwayat, namun tidak termasuk dalam lafaz yang diriwayatkan oleh Bukhari. Meskipun demikian, membacanya diperbolehkan karena memiliki makna yang baik.

Makna Mendalam 'Al-Wasilah' dan 'Al-Fadhilah'

Dua istilah kunci dalam doa ini adalah Al-Wasilah dan Al-Fadhilah.

Al-Wasilah:

Nabi SAW menjelaskan bahwa Al-Wasilah adalah sebuah kedudukan tertinggi di Surga yang hanya layak ditempati oleh satu orang, dan Nabi SAW berharap kedudukan itu adalah miliknya. Ketika kita memohon Al-Wasilah bagi beliau, kita sedang menunaikan hak beliau sebagai Rasulullah SAW, dan sebagai balasannya, kita berhak mendapatkan syafaat beliau.

Al-Fadhilah:

Al-Fadhilah adalah keutamaan dan kelebihan Nabi Muhammad SAW atas seluruh makhluk lainnya. Permintaan ini menegaskan kemuliaan dan derajat beliau yang tak tertandingi di sisi Allah.

Maqamam Mahmuudaa (Kedudukan yang Terpuji):

Ini merujuk pada kedudukan mulia di Hari Kiamat, yaitu kedudukan tempat Nabi SAW akan memberikan syafaat agung (Syafa’atul ‘Uzhma) kepada seluruh umat manusia ketika mereka sangat membutuhkan pertolongan. Dengan membaca doa ini, kita secara aktif berpartisipasi dalam permohonan agar Allah menetapkan Rasulullah pada kedudukan tersebut, dan imbalannya adalah jaminan syafaat beliau bagi kita.

Keutamaan Doa Setelah Adzan

Keutamaan utama bagi yang membaca doa ini adalah: Ia akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW pada Hari Kiamat. Ini adalah janji yang pasti dan terukir dalam hadis sahih, menunjukkan betapa besarnya nilai dari amalan sunnah yang singkat ini. Ini adalah investasi akhirat yang paling mudah dilakukan.

Tata Cara dan Etika Tambahan dalam Merespon Adzan

Selain lafaz-lafaz inti, ada beberapa etika dan sunnah tambahan yang melengkapi ibadah merespon Adzan.

1. Membaca Selawat kepada Nabi SAW

Setelah selesai menjawab semua lafaz Adzan (sebelum membaca Doa Wasilah), sangat dianjurkan untuk membaca selawat kepada Nabi SAW. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, bahwa Nabi SAW bersabda: "Apabila kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan, kemudian berselawatlah kepadaku. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang berselawat kepadaku satu kali, Allah akan berselawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali."

Selawat yang paling utama dibaca adalah selawat Ibrahimiyah, namun selawat ringkas seperti "Allahumma shalli ‘ala Muhammad" juga sah dan dianjurkan.

2. Membaca Kalimat Keridhaan Setelah Syahadat

Seperti yang disinggung sebelumnya, beberapa ulama menganjurkan penambahan kalimat keridhaan setelah merespon Syahadatain (persaksian tauhid dan kerasulan), yaitu:

وَاَنَا اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنًا.

Keutamaan penambahan ini adalah diampuninya dosa-dosa kecil bagi yang mengucapkannya dengan penuh keikhlasan.

3. Berdoa di Antara Adzan dan Iqamah (Waktu Mustajab)

Salah satu keutamaan besar yang menyertai respon Adzan adalah bahwa waktu di antara Adzan dan Iqamah adalah waktu dikabulkannya doa. Nabi SAW bersabda: "Doa di antara Adzan dan Iqamah tidak akan ditolak."

Oleh karena itu, setelah selesai membaca Doa Wasilah, seorang Muslim disunnahkan untuk mempergunakan sisa waktu sebelum Iqamah untuk memanjatkan permohonan pribadinya, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat.

Kondisi-Kondisi Khusus dan Pengecualian Ijabah

Meskipun merespon Adzan sangat ditekankan, terdapat beberapa kondisi di mana kewajiban atau anjuran merespon gugur atau ditangguhkan.

1. Saat Sedang Salat

Jika Adzan berkumandang saat seseorang sedang melaksanakan salat wajib (fardhu) atau salat sunnah, ia tidak boleh menghentikan salatnya untuk merespon Adzan. Fokus dan kekhusyukan dalam salat harus diutamakan. Ijabah lisan harus ditinggalkan dalam kondisi ini.

2. Saat Sedang Membaca Al-Qur'an atau Berzikir

Para ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa disunnahkan menghentikan bacaan Al-Qur'an atau zikir untuk merespon Adzan. Sebab, ibadah merespon Adzan waktunya terbatas, sementara membaca Al-Qur'an bisa dilanjutkan kapan saja. Prioritas diberikan pada ibadah yang terikat waktu.

3. Saat Sedang Buang Hajat atau Berhubungan Suami Istri

Dalam kondisi buang hajat (di toilet) atau sedang berhubungan intim, menjawab Adzan adalah makruh (dibenci) atau bahkan haram (tergantung madzhab) karena Adzan adalah dzikir yang mulia. Dalam kondisi ini, seseorang harus menahan diri dan tidak merespon Adzan. Setelah keluar dari kondisi tersebut, tidak ada kewajiban untuk mengqadha jawaban Adzan.

4. Saat Sedang Khutbah Jumat

Jika Adzan (Adzan kedua) berkumandang ketika khatib sudah berada di mimbar dan memulai khutbah, para hadirin wajib diam dan mendengarkan khutbah. Dalam kondisi ini, hadirin tidak disunnahkan merespon Adzan karena mendengarkan khutbah lebih utama dan wajib bagi yang mendengarnya.

5. Saat Adzan Berulang Kali

Jika seseorang berada di tempat di mana Adzan berkumandang dari beberapa masjid secara berurutan, disunnahkan untuk merespon Adzan yang pertama saja. Namun, jika ingin merespon setiap Adzan yang didengar, hal itu diperbolehkan dan mengandung pahala. Yang paling penting adalah merespon Adzan dari masjid terdekat yang ia niatkan untuk salat di sana.

Analisis Fikih Mendalam: Status Hukum Ijabah Adzan

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengkaji pandangan empat madzhab besar dalam Islam mengenai status hukum merespon Adzan.

Madzhab Hanafi

Ulama Hanafi memandang bahwa merespon Adzan adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Mereka berpendapat bahwa meskipun tidak wajib secara mutlak, meninggalkannya tanpa uzur syar'i adalah perbuatan yang tidak disukai (makruh tanzih). Mereka juga menekankan bahwa respon lisan harus segera dilakukan begitu muadzin selesai mengucapkan setiap frasa, tidak boleh ditunda-tunda terlalu lama.

Madzhab Maliki

Dalam pandangan Maliki, merespon Adzan adalah mandub (dianjurkan) atau sunnah. Mereka memberikan kelonggaran yang lebih besar dibandingkan madzhab lain, terutama bagi orang yang sibuk dengan pekerjaan yang sulit ditinggalkan. Namun, mereka tetap menekankan keutamaan besar bagi yang meluangkan waktu untuk merespon.

Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’i berpegangan teguh pada sunnah muakkadah. Mereka menekankan bahwa respon haruslah sesuai dengan urutan lafaz Adzan dan tidak boleh didahului atau diucapkan bersamaan dengan muadzin. Mereka juga yang paling ketat dalam menganjurkan penghentian ibadah sunnah (seperti zikir atau tilawah) demi memberikan prioritas pada ijabah Adzan karena sifatnya yang terikat waktu.

Madzhab Hanbali

Ulama Hanbali juga menganggap ijabah Adzan sebagai sunnah muakkadah. Mereka menambahkan bahwa respon adalah hak bagi setiap pendengar, termasuk wanita dan musafir. Pandangan Hanbali sangat menekankan pentingnya membaca doa wasilah setelah Adzan sebagai penutup yang wajib dipertahankan untuk meraih syafaat.

Kesimpulan Hukum

Konsensus mayoritas ulama menetapkan bahwa merespon Adzan adalah sunnah muakkadah, yang berarti seorang Muslim yang meninggalkannya tidak berdosa, namun ia kehilangan pahala yang sangat besar dan keutamaan mendapatkan syafaat Nabi SAW.

Hubungan Spiritual Antara Adzan, Ijabah, dan Salat

Adzan, Ijabah (respon), dan Salat adalah tiga elemen yang saling terikat dalam siklus spiritual harian seorang Muslim. Ijabah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan panggilan eksternal (Adzan) dengan kesiapan internal (Salat).

Ijabah sebagai Pengkondisian Hati

Ketika seorang Muslim merespon lafaz Adzan, ia tidak hanya melakukan tugas ritual, tetapi sedang mengkondisikan hatinya. Dengan mengulangi Syahadat, ia menegaskan kembali pondasi tauhid. Dengan mengucapkan ‘Laa hawla wa laa quwwata illa billah’, ia melepaskan beban ketergantungan pada dirinya sendiri dan menyerahkannya kepada Allah.

Kondisi hati yang pasrah, tawadhu' (rendah hati), dan mengakui kelemahan ini adalah fondasi yang ideal untuk memasuki salat. Salat yang diawali dengan kerendahan hati seperti ini lebih cenderung mencapai tingkat khusyuk yang tinggi. Ijabah adalah persiapan batin, pembersihan niat, dan penegasan tujuan.

Adzan sebagai Manifestasi Rahmat

Adzan sendiri adalah rahmat. Jika Allah hanya memerintahkan salat tanpa memberikan panggilan yang indah dan sistematis, mungkin banyak manusia akan lalai. Adzan adalah mekanisme peringatan yang lembut namun tegas. Ia menembus kesibukan dunia, mengingatkan bahwa tujuan akhir hidup adalah ibadah.

Dengan merespon Adzan, kita menunjukkan penghargaan terhadap rahmat tersebut. Kita menyatakan, "Aku mendengar panggilan-Mu, dan aku menerima undangan-Mu." Respon ini adalah tindakan terima kasih (syukur) atas kesempatan yang diberikan untuk kembali menghadap Sang Pencipta.

Detail Tambahan Mengenai Adzan Subuh

Terdapat satu perbedaan spesifik dalam Adzan Subuh yang memerlukan perhatian khusus dalam hal merespon.

Lafaz Tambahan di Adzan Subuh (Taswib)

Dalam Adzan Subuh, setelah lafaz ‘Hayya ‘ala l-falah’, muadzin akan menambahkan:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

(Ash-shalaatu khairum minan-naum)

Artinya: Salat itu lebih baik daripada tidur.

Lafaz Jawaban (Taswib):

Ketika muadzin mengucapkan Taswib ini, kita disunnahkan untuk merespon dengan:

صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ

(Shadaqta wa bararta)

Artinya: Engkau benar dan engkau telah berbuat kebajikan.

Atau boleh juga dengan mengulangi lafaz Taswib itu sendiri, meskipun respons 'Shadaqta wa bararta' lebih masyhur dan diutamakan oleh sebagian ulama karena merupakan pengakuan dan pembenaran akan pernyataan muadzin, sekaligus pengakuan akan keutamaan salat Subuh dibandingkan istirahat.

Siklus Lengkap: Dari Adzan hingga Iqamah

Untuk memahami seluruh rangkaian sunnah yang terkait dengan panggilan salat, kita perlu melihat seluruh siklus dari awal Adzan hingga Iqamah.

  1. Merespon Lafaz Adzan (Ijabah): Mengulangi setiap frasa, kecuali 'Hayya 'ala s-salah' dan 'Hayya 'ala l-falah' yang dijawab dengan 'Laa hawla wa laa quwwata illa billah', dan Taswib Subuh dijawab 'Shadaqta wa bararta'.
  2. Membaca Selawat: Setelah Adzan selesai.
  3. Membaca Doa Wasilah: Memohon kepada Allah kedudukan mulia bagi Nabi Muhammad SAW.
  4. Membaca Doa Keridhaan (Opsional Sunnah): Setelah Syahadatain.
  5. Berdoa Pribadi: Mengambil manfaat dari waktu mustajab antara Adzan dan Iqamah.
  6. Merespon Iqamah: Meskipun Iqamah lebih singkat, merespon Iqamah juga disunnahkan, dan lafaznya hampir sama dengan Adzan, namun perlu diperhatikan lafaz 'Qad Qamatis Shalah'.

Merespon Lafaz Iqamah

Ketika muadzin mengucapkan Iqamah (seruan berdiri untuk salat), kita juga disunnahkan untuk merespon. Seluruh lafaz dijawab sama dengan Adzan, kecuali lafaz penegasan salat:

Lafaz Muadzin (Iqamah):

قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ

(Qad qaamatis shalah)

Artinya: Salat telah didirikan.

Lafaz Jawaban (Iqamah):

Kita merespon dengan:

أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا

(Aqaamahallahu wa adaamahaa)

Artinya: Semoga Allah mendirikannya (salat) dan mengekalkannya.

Atau cukup dengan mengulangi lafaz yang sama. Namun, respons ‘Aqaamahallahu wa adaamahaa’ lebih banyak diriwayatkan dalam konteks merespon Iqamah.

Penutup dan Penguatan Niat

Mengamalkan sunnah ijabah Adzan adalah sebuah langkah kecil yang memiliki dampak spiritual dan pahala yang masif. Lima kali sehari, seorang Muslim memiliki peluang untuk memperbaharui syahadatnya, mengakui kelemahannya, memohon pertolongan Allah, dan memastikan dirinya mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW.

Janganlah kita membiarkan panggilan agung ini berlalu begitu saja tanpa adanya respon lisan dan penghayatan hati. Jadikanlah setiap kumandang Adzan sebagai waktu khusus untuk berhenti sejenak dari kesibukan, mengambil jeda spiritual, dan mempersiapkan diri untuk puncak ibadah, yaitu salat.

Dengan memelihara sunnah ijabah Adzan, kita sesungguhnya sedang memelihara komitmen kita sebagai hamba Allah. Kita sedang menunjukkan bahwa ketaatan adalah prioritas utama, dan bahwa setiap langkah menuju kebaikan hanya dapat terlaksana melalui kekuatan dan pertolongan dari Allah SWT.

Maka, mari kita tingkatkan kualitas respons kita, pelihara doa wasilah, dan sambutlah salat dengan hati yang bersih, penuh harap akan rahmat dan ampunan-Nya.

Elaborasi Fikih dan Tafsir Lisan Mengenai Setiap Frasa Adzan (Ekspansi Bab Ijabah)

Agar pemahaman kita mengenai ijabah menjadi paripurna, perlu dilakukan analisis lisan yang sangat terperinci, melihat bagaimana setiap lafaz Adzan berfungsi sebagai dakwah (seruan) dan bagaimana respons kita (ijabah) berfungsi sebagai penegasan akidah.

Analisis Mendalam Lafaz Takbir (Allahu Akbar)

Ketika muadzin mengulanginya sebanyak empat kali di awal Adzan, ini bukanlah sekadar ucapan basa-basi, melainkan deklarasi teologis yang memisahkan Islam dari semua ideologi dan kepercayaan lain. Lafaz ini diulang empat kali untuk menembus tembok hati pendengar, memastikan bahwa pesan keesaan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam.

Kita merespon dengan mengulanginya karena kita tidak hanya mengakui kebesaran Allah secara pasif, tetapi juga secara aktif menyertai muadzin dalam pengumuman tersebut. Ijabah kita adalah partisipasi dalam tauhid. Tanpa pengulangan ini, deklarasi tersebut hanya menjadi suara yang didengar; dengan pengulangan, ia menjadi sumpah yang diikrarkan. Setiap pengulangan Takbir mengharuskan kita untuk mengukur kembali prioritas kita: Apakah urusan yang sedang kita lakukan lebih besar dari Allah? Jika tidak, maka kita harus berhenti dan merespon.

Pentingnya ritme dan repetisi dalam Adzan tidak dapat diremehkan. Repetisi yang teratur ini memastikan bahwa pesan itu didengar oleh setiap lapisan masyarakat, dari pedagang yang sibuk hingga yang sedang beristirahat. Respon kita harus mencerminkan kesadaran penuh bahwa kita adalah bagian dari komunitas yang tunduk pada kebesaran ini.

Menurut beberapa ahli bahasa Arab, kata 'Akbar' (lebih besar) dalam konteks tauhid tidak berarti ada sesuatu yang besar selain Allah, melainkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Besar Mutlak. Pengulangan ini adalah penegasan atas kemutlakan keesaan-Nya.

Analisis Mendalam Lafaz Syahadat Tauhid (Asyhadu an laa ilaaha illallah)

Syahadat ini diulang dua kali oleh muadzin. Kita juga mengulanginya. Dalam momen ijabah Syahadat, kita seharusnya merasakan bahwa kita sedang memperbaharui kontrak keimanan kita. Kontrak ini mencakup penolakan terhadap segala bentuk sesembahan selain Allah, baik itu berhala fisik, hawa nafsu, harta, atau kekuasaan.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Syahadat yang diucapkan oleh lisan saat Adzan harus diikuti oleh pembenaran yang kuat di dalam hati. Ketika muadzin bersaksi, ia memanggil kita untuk bergabung dalam persaksian itu. Keutamaan diampuninya dosa kecil yang terkait dengan ijabah Syahadat menunjukkan bahwa tindakan ini berfungsi sebagai pembersih (istighfar) yang cepat sebelum kita melangkah menuju salat.

Analisis Mendalam Lafaz Syahadat Kerasulan (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah)

Merespon syahadat kedua ini adalah pengakuan bahwa cara terbaik dan satu-satunya yang diakui oleh Allah untuk mencapai ketaatan adalah melalui jalur yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Pengulangan ini menegaskan bahwa kita hanya mengikuti sunnah beliau.

Ketika kita merespon lafaz ini, kita secara implisit menerima seluruh ajaran dan tuntunan Nabi, termasuk tuntunan mengenai Adzan itu sendiri. Tambahan kalimat keridhaan ('radhiitu billahi rabban...'), yang disunnahkan setelah merespon Syahadatain, adalah penegasan afektif dari penerimaan akidah tersebut. Ini meningkatkan ijabah dari sekadar pengulangan lisan menjadi pengakuan hati yang utuh.

Analisis Mendalam Lafaz Panggilan Salat (Hayya 'ala s-salah)

Frasa ‘Hayya’ adalah kata ajakan yang penuh energi dan urgensi. Ia adalah panggilan untuk bergerak. Jika kita menjawab dengan ‘Laa hawla wa laa quwwata illa billah’, kita sedang mempraktikkan akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengenai kehendak dan takdir (qadar).

Syaikh Ibn Utsaimin menjelaskan, ini adalah momen untuk memohon taufiq (kemudahan melaksanakan amal). Setiap langkah menuju masjid, setiap gerakan dalam salat, adalah anugerah murni dari Allah. Jika kita tidak memohon pertolongan-Nya pada momen panggilan itu sendiri, bagaimana mungkin kita bisa berharap khusyuk dalam pelaksanaannya? Respon ini adalah perisai melawan keangkuhan dan kepongahan spiritual.

Filosofi ini juga meluas pada kondisi fisik. Seseorang mungkin sedang sakit, letih, atau menghadapi halangan. Dengan mengucapkan 'Laa hawla', ia meminta agar Allah menghilangkan hambatan tersebut, baik hambatan fisik maupun spiritual.

Analisis Mendalam Lafaz Panggilan Keberuntungan (Hayya ‘ala l-falah)

Falah adalah kata yang sangat luas, meliputi segala jenis kejayaan: kemenangan spiritual, kesuksesan duniawi yang halal, dan Surga di akhirat. Falah adalah tujuan akhir semua Muslim.

Pentingnya menjawab panggilan Falah dengan ‘Laa hawla’ adalah pengakuan bahwa Falah bukanlah hasil dari kecerdasan atau usaha manusia semata. Kita mungkin bekerja keras, beribadah, dan berusaha, tetapi keberuntungan sejati datang dari rahmat Allah. Salat disebut sebagai jalan menuju falah karena salat itu sendiri adalah sarana untuk meraih rahmat Ilahi.

Peran Muadzin dan Ijabah dalam Perspektif Komunitas

Ijabah Adzan tidak hanya merupakan ibadah individu, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan komunitas yang kuat.

Hubungan Muadzin dan Pendengar

Muadzin berfungsi sebagai perantara suara yang mulia. Ia menjalankan tugas yang pernah diemban oleh para Nabi dan orang-orang saleh. Nabi SAW bersabda bahwa para muadzin akan memiliki leher yang paling panjang di Hari Kiamat, sebuah simbol kehormatan dan keutamaan. Ketika kita merespon Adzan, kita menghormati muadzin dan tugasnya. Kita bersaksi bahwa kita menerima seruan yang ia sampaikan atas nama Allah.

Menciptakan Kesadaran Kolektif

Jika setiap Muslim yang mendengar Adzan berhenti dan merespon, ini menciptakan gelombang kesadaran spiritual kolektif di seluruh lingkungan. Respon yang serentak, meskipun dilakukan di dalam hati atau dengan suara pelan, menegaskan identitas Islami di wilayah tersebut. Ini adalah demonstrasi Tauhid yang berulang kali terjadi setiap hari.

Bagi anak-anak dan generasi muda, melihat orang dewasa berhenti dan merespon Adzan merupakan pendidikan praktis tentang prioritas dalam hidup. Ijabah adalah warisan spiritual yang diturunkan melalui praktik yang terlihat dan terdengar.

Detail Historis dan Asal Muasal Ijabah

Sunnah ijabah Adzan sudah ada sejak masa permulaan Islam, segera setelah penetapan Adzan itu sendiri sebagai penanda waktu salat. Ketika Adzan pertama kali disyariatkan melalui mimpi seorang sahabat, Abdullah bin Zaid, dan kemudian dikonfirmasi oleh Umar bin Khattab, Nabi SAW langsung mengajarkan bagaimana cara meresponnya.

Instruksi Nabi SAW untuk mengulangi lafaz muadzin (kecuali ‘Hayya’ yang dijawab dengan ‘Laa hawla’) memastikan bahwa respons tersebut tidak dibuat-buat, melainkan merupakan bagian integral dari sistem ibadah. Ini menunjukkan bahwa ibadah merespon Adzan bukanlah amalan sekunder, melainkan disyariatkan langsung bersamaan dengan disyariatkannya Adzan.

Kisah Bilal bin Rabah, muadzin pertama, adalah bukti bahwa Adzan selalu diiringi oleh rasa hormat dan pemenuhan segera oleh para sahabat. Respons mereka tidak hanya lisan, tetapi juga tindakan fisik segera untuk bersuci dan pergi ke masjid.

Konsekuensi Meninggalkan Ijabah Adzan

Meskipun tidak sampai haram, meninggalkan ijabah Adzan secara rutin tanpa uzur syar'i memiliki beberapa konsekuensi spiritual:

  1. Kehilangan Syafaat: Konsekuensi terbesar adalah kehilangan janji syafaat Nabi SAW yang eksplisit bagi yang membaca Doa Wasilah setelah ijabah.
  2. Pengurangan Berkah Waktu: Waktu antara Adzan dan Iqamah adalah waktu mustajab. Dengan tidak merespon, seseorang melewatkan kesempatan emas untuk berdoa pada momen tersebut.
  3. Indikasi Kelalaian Hati: Mengabaikan panggilan ini secara berulang dapat menjadi tanda bahwa hati mulai lalai terhadap perintah-perintah ilahi, yang dapat memengaruhi kualitas salat itu sendiri.
  4. Tidak Terpenuhinya Hak Muadzin: Muadzin telah melaksanakan tugasnya. Respon kita adalah penegasan dan penghormatan atas tugas tersebut. Tanpa respon, hak mereka seolah tidak dipenuhi.

Ijabah bagi Wanita dan Mereka yang Sedang Haid

Hukum ijabah Adzan berlaku umum bagi semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk bagi wanita yang sedang dalam kondisi haid atau nifas.

Ijabah Adzan adalah bentuk zikir dan doa, bukan salat. Oleh karena itu, kondisi hadats besar (seperti haid) tidak menghalangi mereka untuk merespon Adzan. Mereka tetap disunnahkan untuk mengulangi lafaz Adzan dan membaca selawat serta Doa Wasilah. Hal ini menunjukkan universalitas dan kemudahan dalam meraih pahala dari sunnah ini, tanpa dibatasi oleh kondisi ritual tertentu.

Penghayatan Lafaz Adzan di Tengah Kesibukan Duniawi

Tantangan terbesar dalam mengamalkan sunnah ijabah Adzan di era modern adalah kesibukan yang terus-menerus. Pekerjaan, media sosial, dan berbagai interaksi duniawi seringkali membuat Adzan hanya menjadi latar suara yang terabaikan.

Oleh karena itu, ijabah Adzan harus dilihat sebagai latihan kedisiplinan (mujahadah). Saat mendengar Adzan, seorang Muslim harus secara sadar menghentikan aktivitasnya, bahkan hanya untuk 3-4 menit, demi merespon. Latihan ini mengajarkan kita bahwa Allah selalu lebih utama daripada segala urusan duniawi.

Jika kita berhasil menguasai diri kita untuk memprioritaskan ijabah Adzan, maka kita telah berhasil memenangkan pertempuran kecil melawan hawa nafsu lima kali sehari. Kemenangan kecil inilah yang pada akhirnya akan menguatkan kita dalam menghadapi ujian ketaatan yang lebih besar.

Secara keseluruhan, sunnah merespon Adzan adalah harta karun ibadah yang sering terlewatkan. Ia adalah amalan ringan di lisan namun berat di timbangan amal. Dengan memahami detail lafaz, hukum, dan keutamaannya, kita memastikan bahwa setiap panggilan salat tidak hanya membawa kita menuju masjid, tetapi juga mendekatkan kita pada maqam (kedudukan) yang terpuji di sisi Allah SWT.

Setiap huruf yang diucapkan oleh muadzin dan setiap respons yang kita berikan membawa bobot spiritual. Mari kita telaah kembali betapa luar biasanya janji syafaat yang ditawarkan hanya melalui kesediaan lisan untuk berinteraksi dengan panggilan ini. Hadis tentang syafaat tersebut tidak mensyaratkan kondisi sulit atau amalan berat, tetapi hanya mensyaratkan respons lisan dan doa yang spesifik, menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada umat ini.

Pengulangan dan penghayatan yang mendalam terhadap setiap elemen ini — dari Takbir yang menyatakan kedaulatan, Syahadat yang memperbaharui ikrar, hingga ‘Laa hawla’ yang mengakui ketergantungan — adalah sebuah meditasi yang sempurna sebelum ibadah. Ini adalah langkah-langkah menuju kesempurnaan ibadah salat, yang merupakan tiang agama. Tanpa fondasi yang kuat yang dibangun oleh ijabah yang tulus, bangunan salat kita mungkin berdiri rapuh.

Demikianlah kajian mendalam ini menutup pembahasan mengenai ijabah Adzan. Semoga setiap Muslim yang membaca ini tergerak hatinya untuk senantiasa menyambut panggilan agung tersebut dengan penuh hormat dan kesadaran, demi meraih keridhaan Ilahi dan syafaat kekasih kita, Nabi Muhammad SAW.

🏠 Kembali ke Homepage