Panggilan Agung Lima Waktu
Adzan, seruan suci yang dilantunkan lima kali dalam sehari, bukanlah sekadar pengumuman waktu shalat. Ia adalah pengingat akan perjanjian abadi antara hamba dan Penciptanya. Ketika suara adzan berkumandang membelah langit, seluruh aktivitas duniawi disarankan untuk dihentikan sejenak. Mendengar adzan adalah momen spiritual yang menuntut respons aktif, bukan sekadar pasif. Respons ini—yang mencakup pengulangan lafaz, bersaksi, dan berdoa—merupakan salah satu sunnah muakkadah yang memiliki keutamaan luar biasa, bahkan menentukan kesempatan kita mendapatkan syafaat di Hari Kiamat kelak.
Sejak pertama kali disyariatkan di Madinah, adzan telah menjadi ciri khas dan identitas umat Islam. Ia mengandung intisari tauhid (keesaan Allah) dan risalah (kenabian Muhammad SAW). Fiqh Islam menetapkan bahwa menjawab adzan adalah tindakan mulia yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para ulama sepakat, meninggalkan sunnah menjawab adzan tanpa alasan yang sah, meskipun tidak sampai dosa besar, dapat mengurangi keberkahan waktu dan kesempatan meraih pahala yang besar.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena sesungguhnya, barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonlah kepada Allah untukku Al-Wasilah, sesungguhnya ia adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap bahwa hamba itu adalah aku. Maka, barangsiapa memintakan untukku Al-Wasilah, maka ia berhak mendapatkan syafaatku." (HR. Muslim)
Hadits ini menjadi dasar utama tata cara menjawab adzan, yang terdiri dari tiga tahapan penting: mengikuti lafaz muadzin, bershalawat, dan memohon Al-Wasilah.
Menjawab adzan dilakukan secara bertahap, mengikuti setiap jeda lafaz yang diucapkan oleh muadzin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jawaban tersebut adalah pengulangan persis dari lafaz muadzin, kecuali pada dua frasa spesifik.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pendengar mengulangi lafaz yang sama. Pengulangan ini adalah penegasan kembali keyakinan tauhid yang merupakan fondasi Islam.
Refleksi Spiritual: Mengakui kebesaran Allah (Allahu Akbar) sebelum memulai ibadah adalah pengakuan bahwa tidak ada yang lebih besar dari-Nya, sehingga segala urusan dunia harus dikesampingkan.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pendengar mengulangi lafaz yang sama. Setelah lafaz ini diucapkan, disunnahkan untuk menambahkan doa pengampunan.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pendengar mengulangi lafaz yang sama. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa mengucapkan lafaz ini dengan penuh keikhlasan setelah adzan dapat menjamin pengampunan dosa.
Terkait Syahadat, diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash, dari Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa ketika mendengar adzan, mengucapkan: ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Radhitu billahi Rabba, wa bil Islami dina, wa bi Muhammadin nabiyya’ (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku), niscaya dosa-dosanya diampuni.” (HR. Muslim).
Sunnah ini dilakukan segera setelah muadzin menyelesaikan kedua kalimat syahadat (setelah jeda *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah* yang kedua).
Pada bagian ini, respons pendengar berbeda dari lafaz muadzin.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pendengar tidak mengulangi, melainkan mengucapkan pengakuan akan daya dan kekuatan Allah.
Makna Mendalam: Respons ini adalah pengakuan bahwa kita tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk memenuhi panggilan shalat kecuali dengan pertolongan dan daya dari Allah SWT. Ini adalah wujud kerendahan hati dan tawakal.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Sama seperti sebelumnya, pendengar merespons dengan kalimat penolakan daya dan upaya diri.
Refleksi Spiritual: Kemenangan (*Al-Falah*) sejati—baik di dunia maupun akhirat—hanya dapat dicapai melalui shalat. Dengan mengucapkan *La hawla...*, kita menegaskan bahwa ketaatan dan kemenangan spiritual adalah murni karunia ilahi.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pengulangan yang sama, mengakhiri seruan sebagaimana ia dimulai.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pengulangan yang sama. Ini adalah klimaks adzan, penegasan final tauhid.
Adzan Subuh memiliki satu lafaz tambahan yang disebut *At-Tatswib*, yaitu penegasan bahwa shalat lebih baik daripada tidur. Lafaz ini hanya diucapkan pada adzan Subuh setelah *Hayya 'Alal Falah*.
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Meskipun terdapat perbedaan pandangan, sunnah yang kuat mengajarkan untuk merespons dengan penegasan dan penerimaan keutamaan shalat tersebut.
Terjemah: "Engkau benar dan engkau telah berbuat baik (berbakti)."
Sebagian ulama (terutama dari mazhab Syafi'i) membolehkan pengulangan lafaz muadzin (Ash-shalatu khairum minan naum) sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah umum untuk mengulangi lafaz muadzin. Namun, respons *Shadaqta wa bararta* dianggap lebih kuat dalam konteks penerimaan pesan Tatswib.
Setelah muadzin menyelesaikan seluruh lafaz adzan dan kita telah meresponsnya sesuai sunnah, momen selanjutnya adalah memanjatkan doa khusus. Ini adalah puncak amalan yang dijanjikan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW.
Sebelum membaca doa Al-Wasilah, pendengar diwajibkan (atau sangat dianjurkan) membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Shalawat yang paling utama adalah Shalawat Ibrahimiyah atau minimal shalawat singkat seperti:
Shalawat ini merupakan pemenuhan dari perintah dalam hadits riwayat Muslim yang menyatakan: "Kemudian bershalawatlah untukku."
Doa ini dikenal sebagai doa yang memintakan Rasulullah SAW mendapatkan kedudukan tertinggi di surga, yang merupakan wasilah kita menuju surga-Nya.
Terjemah: "Ya Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat (lima waktu) yang didirikan ini. Berikanlah kepada Nabi Muhammad Al-Wasilah (kedudukan yang tinggi) dan Al-Fadhilah (keutamaan). Dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji (Maqam Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya. [Sesungguhnya Engkau tidak akan pernah mengingkari janji]."
Tambahan lafaz *Innaka lā tukhliful-mī‘ād* (Sesungguhnya Engkau tidak akan pernah mengingkari janji) terdapat dalam beberapa riwayat, seperti Baihaqi, dan dianggap sunnah oleh sebagian ulama Syafi'iyah, meskipun tidak terdapat dalam riwayat Bukhari yang paling sahih.
Kata kunci dalam doa ini adalah *Al-Wasilah* dan *Maqam Mahmud*. Al-Wasilah adalah tingkatan tertinggi di surga yang hanya akan dihuni oleh satu hamba Allah. Sedangkan Maqam Mahmud adalah kedudukan mulia tempat Nabi Muhammad SAW berdiri sebagai pemberi syafaat terbesar bagi seluruh umat manusia pada Hari Kiamat. Dengan memohon kedudukan ini bagi Rasulullah, kita secara langsung berhak mendapatkan syafaat beliau, sebagaimana janji Rasulullah SAW.
Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai status hukum menjawab adzan, namun mereka sepakat akan keutamaan yang luar biasa.
Penting: Menjawab adzan harus segera dan berurutan. Jika seseorang sibuk dengan suatu urusan, ia harus menghentikannya sebentar untuk merespons adzan. Mengabaikan adzan tanpa ada penghalang syar'i (seperti sedang buang hajat atau shalat) adalah tindakan yang mengurangi pahala dan menunjukkan kurangnya perhatian terhadap panggilan Ilahi.
Salah satu keistimewaan mendengarkan adzan adalah bahwa waktu antara adzan dan iqamah merupakan salah satu waktu paling mustajab untuk berdoa. Nabi SAW bersabda:
“Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Oleh karena itu, setelah selesai membaca doa Al-Wasilah, seorang Muslim harus memanfaatkan waktu jeda sebelum iqamah untuk memanjatkan permohonan pribadinya, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.
Dalam Mazhab Syafi'i, disunnahkan agar jawaban adzan dilakukan dengan suara yang tidak terlalu keras, cukup didengar oleh diri sendiri, sebagai bentuk ketaatan pribadi. Sementara itu, dalam Mazhab Maliki, perhatian utama diberikan pada kewajiban berhenti dari berbicara yang tidak penting saat adzan berlangsung. Perbedaan ini menunjukkan betapa pentingnya konsentrasi dan pengagungan terhadap adzan di semua mazhab.
Tuntunan Islam tidak hanya mengatur lafaz jawaban, tetapi juga etika perilaku (adab) saat adzan dikumandangkan. Adab ini mencerminkan penghormatan kita terhadap panggilan shalat.
Para ulama sangat menganjurkan untuk menghentikan segala bentuk perbincangan, baik itu pekerjaan, tawar-menawar, atau obrolan ringan, kecuali jika ada urusan yang sangat mendesak (seperti memberi tahu bahaya). Berbicara saat adzan berlangsung dianggap mengurangi keberkahan dan dapat menghilangkan pahala menjawab adzan.
Jika seseorang sedang membaca Al-Quran atau berzikir, sunnahnya adalah menghentikan sementara bacaannya dan fokus menjawab lafaz adzan. Ini menunjukkan bahwa panggilan shalat (yang merupakan panggilan wajib) memiliki prioritas spiritual di atas ibadah sunnah lainnya.
Bagi mereka yang berada di dalam masjid ketika adzan dikumandangkan, haram hukumnya keluar dari masjid kecuali karena alasan yang sangat mendesak atau setelah meminta izin dari muadzin (jika muadzin dianggap mewakili imam) atau imam. Meninggalkan masjid setelah adzan dikumandangkan sebelum shalat dilaksanakan dianggap sebagai perbuatan tercela yang dikhawatirkan menyerupai perilaku munafik.
Abu Hurairah RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berada di masjid kemudian adzan dikumandangkan, maka janganlah ia keluar sehingga ia shalat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Meskipun tidak ada larangan mutlak, sangat tidak dianjurkan untuk terus makan atau minum tanpa jeda saat adzan berkumandang, kecuali saat sahur di bulan Ramadhan yang masih memungkinkan untuk menghabiskan makanan sebelum imsak (yang biasanya disamakan dengan akhir adzan Subuh).
Jika seseorang sedang melaksanakan shalat (baik fardhu maupun sunnah) ketika adzan berkumandang, ia tidak perlu membatalkan atau mengganggu shalatnya untuk menjawab adzan. Ia harus menyelesaikan shalatnya. Namun, para ulama menganjurkan agar ia merespons adzan segera setelah shalatnya selesai, jika jedanya tidak terlalu lama.
Untuk memahami keutamaan menjawab adzan, kita perlu merenungi makna esensial dari setiap frasa yang kita ulangi dan kita tanggapi.
Pengulangan empat kali ini adalah deklarasi kedaulatan Tuhan. Ini berfungsi sebagai pemutus total dari kekhawatiran dunia. Ketika seorang hamba mengucapkannya, ia seharusnya merasakan bahwa semua masalah, kekayaan, dan ambisi duniawinya menjadi kecil di hadapan keagungan Allah.
Ini adalah pengulangan sumpah keimanan. Ketika muadzin bersaksi, kita menguatkan penyaksian kita. Dalam momen ini, keimanan diperbarui. Ulama tasawuf mengajarkan bahwa saat mengucapkan syahadat adzan, hati harus benar-benar hadir, merasakan bahwa setiap organ tubuh bersaksi atas keesaan Allah dan risalah Muhammad SAW.
Ini adalah ajakan fisik dan spiritual. Shalat disebut sebagai *mi’rajul mukminin* (tangga naik orang beriman). Ketika kita menjawab dengan *Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh*, kita menyatakan bahwa keberhasilan dalam memenuhi panggilan shalat bukanlah hasil dari kekuatan fisik atau kemauan semata, tetapi murni anugerah dari Allah.
Kemenangan di sini adalah makna yang komprehensif: sukses duniawi dan keselamatan abadi. Islam menegaskan bahwa jalan utama menuju keselamatan adalah melalui shalat. Jawaban kita dengan *Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh* mengingatkan bahwa bahkan upaya kita menuju surga pun hanya mungkin dengan pertolongan-Nya.
Penutupan ini adalah ringkasan seluruh adzan. Ini adalah penekanan terakhir bahwa segala sesuatu berpusat pada tauhid. Dengan mengulanginya, kita menyegel komitmen kita untuk menaati dan menyembah hanya kepada-Nya.
Iqamah adalah seruan kedua yang menandakan dimulainya shalat berjamaah. Lafaz iqamah mirip dengan adzan, namun memiliki satu lafaz tambahan yang penting untuk direspons secara berbeda.
Di antara lafaz *Hayya ‘alal-falāḥ* dan *Allāhu Akbar* (penutup), muadzin mengucapkan:
Lafaz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Terdapat dua riwayat jawaban. Yang paling umum dan kuat adalah:
Terjemah: "Semoga Allah mendirikan shalat itu dan mengekalkannya."
Alternatif Jawaban (Mazhab Syafi'i): Sebagian ulama Syafi'i berpendapat cukup dengan mengulangi lafaz iqamah itu sendiri, yaitu *Qad qāmatish-ṣalāh*, karena hukum umumnya adalah mengulangi. Namun, jawaban *Aqāmahāllāhu wa adāmahā* lebih spesifik diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Untuk semua lafaz iqamah lainnya (Takbir, Syahadat, dan *Lā ilāha illallāh*), sunnahnya sama dengan adzan, yaitu mengulangi lafaz tersebut secara persis.
Tidak ada doa spesifik yang panjang seperti doa Al-Wasilah setelah adzan. Namun, waktu setelah iqamah (sebelum takbiratul ihram) tetap merupakan waktu mustajab, sehingga dianjurkan memperbanyak istighfar dan permohonan agar shalat yang akan dilakukan diterima.
Amalan menjawab adzan memiliki dampak nyata dalam kehidupan seorang Muslim, melatih disiplin waktu, dan memperkuat hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Adzan berfungsi sebagai pengatur waktu ilahi. Muslim yang disiplin menjawab adzan belajar memprioritaskan akhirat di atas duniawi. Kemampuan untuk menghentikan pekerjaan yang menguntungkan atau obrolan yang menyenangkan demi mengikuti seruan adzan adalah indikator kualitas keimanan seseorang.
Dalam konteks modern, di mana kebisingan informasi dan teknologi mendominasi, menjawab adzan adalah tindakan perlawanan spiritual. Ia memaksa kita untuk mengambil jeda (*pause*) dari layar dan notifikasi digital untuk kembali pada inti kehidupan: ibadah.
Nabi SAW mengajarkan bahwa setan akan lari terbirit-birit saat adzan dikumandangkan. Ketika adzan selesai, setan kembali untuk mengganggu shalat. Dengan merespons adzan secara penuh, seorang Muslim turut mengusir setan dan mempersiapkan dirinya memasuki shalat dalam keadaan suci dan fokus.
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila adzan dikumandangkan untuk shalat, setan lari sambil mengeluarkan kentut sehingga tidak mendengar adzan. Apabila adzan telah selesai, setan kembali lagi. Apabila iqamah dikumandangkan, setan lari lagi. Apabila iqamah telah selesai, setan kembali lagi dan membisikkan dalam hati seseorang…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jawaban kita terhadap adzan adalah upaya sadar untuk mengambil alih kendali spiritual sebelum setan mengambil kendali atas pikiran kita dalam shalat.
Mengajarkan anak-anak untuk menghentikan permainan mereka dan merespons adzan adalah pelajaran pertama dalam tauhid dan disiplin. Ketika orang tua menunjukkan rasa hormat yang tinggi terhadap adzan, anak-anak akan meniru dan menginternalisasi pentingnya shalat sebagai tiang agama.
Meskipun tata cara utama telah disepakati, ada beberapa detail minor dalam riwayat hadits yang memicu diskusi di kalangan fuqaha, terutama mengenai penambahan kalimat dalam doa Al-Wasilah.
Riwayat yang paling sahih dan paling umum digunakan (Shahih Bukhari) untuk doa setelah adzan tidak mencantumkan lafaz tambahan, *Innaka lā tukhliful-mī‘ād*. Namun, riwayat dari Baihaqi dan lain-lain memasukkan frasa ini.
Dalam praktiknya, seorang Muslim bebas memilih, namun umumnya di Indonesia mengikuti anjuran untuk menyertakan tambahan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan doa.
Lafaz syahadat tambahan yang menjamin pengampunan dosa (*Radhitu billāhi Rabbā...*) adalah sunnah yang sangat kuat berdasarkan Hadits Sa’d bin Abi Waqqash. Meskipun posisi pastinya dalam tata urutan peresponsan adzan menjadi perdebatan kecil, disepakati bahwa ia harus diucapkan setelah Syahadat Risalah (Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah) yang kedua.
Keutamaan ini sedemikian besar sehingga sebagian ulama menyatakan bahwa jika seseorang tidak sempat menjawab lafaz adzan secara berurutan, ia setidaknya harus memanfaatkan momen setelah Syahadat untuk mengucapkan doa ini, karena janji pengampunan dosanya begitu eksplisit dalam riwayat.
Muadzin memiliki peran ganda: sebagai pengumandang dan sebagai penutup ibadah adzan. Sunnah bagi muadzin setelah adzan adalah berdoa secara pribadi, sebagaimana yang dilakukan oleh pendengar. Tidak ada tuntunan syar’i bahwa muadzin harus memimpin doa atau bahwa pendengar harus menjawab doa muadzin. Ibadah menjawab adzan bersifat pribadi antara hamba dan Allah, meskipun dilakukan dalam konteks komunal.
Ini membedakan adzan dari amalan komunal lainnya; responsnya menguji kesadaran spiritual individu bahkan ketika ia berada di tengah keramaian. Keseriusan dalam menjawab adzan adalah refleksi keseriusan dalam mempersiapkan diri menuju shalat.
Adzan adalah hadiah spiritual yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Dengan durasi yang singkat namun makna yang mendalam, ia menawarkan kesempatan emas untuk meraih pengampunan dosa, mendapatkan syafaat Nabi, dan mempersiapkan diri untuk momen sakral shalat.
Mematuhi tuntunan sunnah dalam merespons adzan—mengulangi lafaznya, mengucapkan *Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh*, bersaksi tambahan, bershalawat, dan memanjatkan doa Al-Wasilah—bukan hanya sekadar formalitas. Itu adalah ikrar total kepatuhan, pengakuan kelemahan diri, dan harapan untuk mendapatkan kedudukan tertinggi di sisi Allah SWT.
Oleh karena itu, setiap kali adzan berkumandang, mari kita jadikan itu sebagai jeda wajib untuk merefleksikan iman, meninggalkan kesibukan dunia, dan menyambut panggilan kemenangan yang sesungguhnya.
Bagaimana jika adzan dikumandangkan oleh beberapa muadzin dalam waktu berdekatan (misalnya, di kota besar)? Para ulama menganjurkan agar kita menjawab adzan yang pertama didengar. Jika adzan kedua dimulai sebelum kita selesai menjawab adzan pertama, kita harus memilih salah satu yang paling jelas dan fokus menyelesaikannya. Tujuan utama bukanlah menghitung jumlah adzan yang dijawab, melainkan mencapai kesempurnaan sunnah dalam satu respons.
Hukum dan sunnah menjawab adzan berlaku sama bagi laki-laki maupun wanita. Wanita yang berada di rumah, di pasar, atau di tempat kerja, wajib menghentikan aktivitas dan merespons adzan. Tidak ada dispensasi bagi wanita untuk tidak menjawab, karena keutamaan syafaat dan pengampunan dosa berlaku universal bagi seluruh umat Muslim yang taat.
Jika seseorang terhalang menjawab adzan (misalnya, sedang buang hajat) dan telah selesai mendengarnya, apakah ia wajib mengqadha' (mengganti) jawaban tersebut? Mayoritas ulama Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa sunnah menjawab adzan bersifat segera (*fawri*). Jika waktu adzan telah lama berlalu, sunnah tersebut dianggap gugur. Namun, jika ia terhalang sebentar, seperti saat makan, dan ia dapat merespons adzan di pertengahan jeda, itu lebih baik daripada meninggalkannya sama sekali.
Bagaimana dengan adzan yang dikumandangkan bukan untuk shalat fardhu, seperti adzan pada telinga bayi atau adzan saat kebakaran? Dalam kasus ini, hanya adzan untuk shalat fardhu lah yang diwajibkan untuk dijawab sesuai sunnah. Adzan yang dikumandangkan dalam konteks lain dianggap sebagai zikir biasa, dan tidak membawa sunnah respons *Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh* atau doa Al-Wasilah.
Setelah selesai doa Al-Wasilah, disunnahkan untuk memperbanyak zikir dan doa karena kita berada di ambang waktu mustajab. Salah satu zikir yang dianjurkan adalah istighfar (memohon ampunan), karena saat itu kita sedang menanti pengampunan yang dijanjikan dalam hadits Sa'd bin Abi Waqqash.
Ini adalah persiapan spiritual terakhir sebelum menghadapi shalat, memastikan hati dalam keadaan tawadhu dan bersih.
Keseluruhan proses respons adzan, dari pengulangan lafaz hingga doa Al-Wasilah dan zikir di antara adzan dan iqamah, adalah sebuah paket ibadah integral yang seharusnya tidak terpisahkan dalam rutinitas harian Muslim yang mencari kesempurnaan dalam ketaatan.
Adzan pertama kali disyariatkan setelah hijrah Nabi ke Madinah. Sebelum adzan, para sahabat berdiskusi tentang cara terbaik memanggil kaum Muslimin shalat. Beberapa mengusulkan menggunakan lonceng (seperti Nasrani), yang lain mengusulkan terompet (seperti Yahudi), tetapi Umar bin Khattab dan Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih mendapat mimpi yang sama tentang lafaz adzan. Rasulullah SAW membenarkan mimpi tersebut dan memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkannya.
Tujuan syariat adzan bukan hanya pengumuman waktu, melainkan juga:
Oleh karena itu, respons kita terhadap adzan adalah partisipasi aktif dalam tujuan syariat ini. Ketika kita mengulangi lafaz muadzin, kita tidak hanya menaati sunnah, tetapi juga secara sadar memperkuat fondasi tauhid masyarakat.
Keutamaan mengikuti muadzin sangat spesifik. Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa saja yang menjawab adzan dengan jujur dari hatinya akan masuk surga. Ini bukan hanya janji umum, tetapi janji khusus yang diberikan bagi respons lisan terhadap panggilan. Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa maksud 'jujur dari hatinya' adalah menghadirkan makna dari setiap lafaz, bukan sekadar pengulangan mekanis tanpa perenungan.
Meskipun sunnah menjawab adzan sangat ditekankan, Islam adalah agama yang memudahkan. Ada beberapa situasi di mana seseorang dibolehkan (bahkan dianjurkan) untuk tidak merespons adzan saat itu juga:
Namun, aktivitas sehari-hari seperti bekerja, memasak, atau menonton televisi, tidak termasuk dalam kategori penghalang syar’i. Dalam kondisi normal, seorang Muslim harus menghentikan kegiatannya dan fokus pada panggilan adzan.
Kesimpulan dari tinjauan Fiqh ini adalah bahwa menjawab adzan adalah ibadah lisan yang terstruktur, menuntut perhatian segera, dan menjanjikan pahala serta perlindungan dari api neraka. Keutamaan yang melekat pada respons ini menjadikan adzan sebagai salah satu penanda spiritual paling berharga dalam hidup sehari-hari seorang mukmin.
Frasa *Lā Ḥawla Wa Lā Quwwata Illā Billāh* adalah kunci utama dalam merespons ajakan shalat dan kemenangan (*Hayya ‘alaṣ-ṣalāh* dan *Ḥayya ‘alal-falāḥ*). Frasa ini, yang dikenal sebagai Hauqalah, memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam zikir Islam, bahkan disebut sebagai harta karun dari surga. Ketika kita mengucapkannya sebagai respons adzan, kita sedang menyatakan kebergantungan total kepada Allah SWT untuk bisa menunaikan kewajiban-Nya.
Analisis Linguistik Hauqalah:
Mengapa respon ini hanya digunakan pada *Hayya ‘alaṣ-ṣalāh* dan *Ḥayya ‘alal-falāḥ* dan tidak pada Takbir atau Syahadat? Karena Takbir dan Syahadat adalah pernyataan keyakinan teologis yang harus diulangi secara langsung, sedangkan ajakan menuju shalat dan kemenangan adalah ajakan aksi yang membutuhkan energi dan perubahan perilaku. Untuk aksi perubahan yang monumental ini, seorang hamba membutuhkan pernyataan tawakal yang paling dalam.
Dengan demikian, respons ini menjadikan seluruh proses menjawab adzan sebagai pelajaran intensif tentang tauhid rububiyyah (ketuhanan Allah dalam mengurus alam semesta) dan tawakal (penyerahan diri).
Kualitas shalat sangat bergantung pada persiapan mental dan spiritual yang dilakukan sebelum shalat. Menjawab adzan secara sempurna adalah fondasi pertama menuju khushu'. Seseorang yang terburu-buru, berbicara selama adzan, atau mengabaikan doa Al-Wasilah, kemungkinan besar akan membawa kekacauan mental tersebut ke dalam shalatnya.
Sebaliknya, seseorang yang mengikuti setiap lafaz adzan dengan penuh perenungan, memohon Al-Wasilah bagi Nabinya, dan memanfaatkan waktu mustajab antara adzan dan iqamah untuk berdoa, telah membersihkan pikirannya dari urusan dunia. Ia telah menetapkan prioritasnya, mengakui kelemahan dirinya (*Lā ḥawla...*), dan memohon tempat tertinggi bagi Nabi Muhammad SAW (doa Al-Wasilah). Seluruh proses ini adalah meditasi spiritual lima kali sehari yang mengkondisikan hati dan pikiran untuk kekhusyukan sejati dalam shalat.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang mendambakan shalat yang diterima dan khusyuk, investasi waktu dan perhatian selama beberapa menit ketika adzan berkumandang bukanlah pilihan, melainkan keharusan spiritual yang akan membuahkan hasil di dunia dan di akhirat. Momen adzan adalah gerbang yang memisahkan kehidupan duniawi dari hadirat Ilahi, dan cara kita merespons gerbang tersebut menentukan kualitas perjalanan kita di dalamnya.
"Sesungguhnya, shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)