Adzan, seruan agung yang menggema lima kali sehari, adalah penanda waktu bagi kaum Muslimin untuk meninggalkan segala kesibukan dunia dan menghadap Sang Pencipta. Di antara kelima waktu tersebut, Adzan Maghrib memiliki nuansa khusus, karena ia sering kali menjadi penutup hari kerja, sekaligus penanda berbuka puasa bagi mereka yang berpuasa sunnah atau berada di bulan suci Ramadhan.
Namun, mendengar Adzan saja tidak cukup. Sunnah Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan umatnya untuk secara aktif merespon setiap frasa Adzan. Tindakan menjawab Adzan, terutama Adzan Maghrib yang datang seiring terbenamnya matahari, bukan sekadar etiket spiritual, melainkan sebuah pengakuan tulus atas keesaan Allah dan pengikatan diri pada janji shalat. Artikel ini akan mengupas tuntas tata cara, redaksi doa, keutamaan, serta kedalaman filosofis di balik tradisi menjawab Adzan Maghrib, sebuah praktik yang sarat pahala dan keberkahan.
Sebelum membahas bagaimana cara menjawab Adzan Maghrib, penting untuk memahami kedudukan fundamental Adzan itu sendiri. Adzan adalah ibadah lisan yang berfungsi sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat wajib. Ia diperintahkan melalui mimpi salah seorang sahabat, Abdullah bin Zaid, dan disepakati oleh para sahabat lainnya sebagai metode terbaik untuk memanggil umat.
Setiap frasa dalam Adzan adalah deklarasi tauhid dan pengakuan bahwa shalat adalah kunci keselamatan (*Hayya ‘alas Shalah*, *Hayya ‘alal Falah*). Adzan Maghrib, khususnya, datang pada saat pergantian waktu, momen ketika cahaya mulai redup dan kegelapan datang. Respons kita terhadap Adzan ini adalah simbol bahwa kita memilih cahaya ilahi daripada kegelapan duniawi yang melalaikan.
Para ulama sepakat bahwa mendengarkan Adzan adalah hak seorang Muslim, dan menjawabnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Pahala yang dijanjikan bagi yang menjawab Adzan begitu besar, bahkan Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang menjawab Adzan dengan yakin akan masuk surga.
Prinsip umum dalam menjawab Adzan adalah mengucapkan kembali persis seperti yang diucapkan oleh muadzin. Namun, terdapat dua pengecualian utama, yakni pada frasa *Hayya ‘alas Shalah* (Marilah menuju shalat) dan *Hayya ‘alal Falah* (Marilah menuju kemenangan).
Setiap kali muadzin mengucapkan lafal Adzan, kita dianjurkan untuk mengulanginya. Tidak ada perbedaan signifikan dalam tata cara menjawab Adzan Maghrib dibandingkan dengan Adzan waktu lainnya (kecuali Subuh dengan tambahan *Ash-Shalatu Khairum Minan Naum*, yang dijawab *Shadaqta wa Bararta*).
1. Muadzin: اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ
Penjawab: اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ
(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar)
2. Muadzin: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Penjawab: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)
3. Muadzin: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Penjawab: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)
Ketika muadzin mengajak kepada shalat dan kemenangan, kita menjawabnya dengan sebuah penyerahan total, mengakui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah SWT.
4. Muadzin: حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ (Hayya ‘alas Shalah)
Penjawab: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
(Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)
5. Muadzin: حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ (Hayya ‘alal Falah)
Penjawab: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
(Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)
Penutup Adzan kembali menegaskan keesaan dan kebesaran Allah.
6. Muadzin: اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ
Penjawab: اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ
7. Muadzin: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Penjawab: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Meskipun tata cara menjawabnya sama, Adzan Maghrib memiliki konteks spiritual dan fiqih yang sangat khusus. Maghrib adalah waktu terpendek antara waktu shalat fardhu dan menandakan berakhirnya hari dan masuknya malam. Dalam mazhab fiqih, waktu Maghrib adalah waktu yang sangat sempit (*waktu dharuri*), yang menekankan pentingnya segera beranjak untuk menunaikan shalat.
Bagi mereka yang berpuasa, Adzan Maghrib adalah momen yang paling dinantikan. Tradisi menjawab Adzan Maghrib ini menjadi penyeimbang antara keinginan segera berbuka dan kewajiban menunaikan sunnah Nabi. Sebelum buru-buru membatalkan puasa, seorang Muslim harus menahan diri sejenak, menjawab Adzan, dan kemudian memanjatkan doa setelah Adzan, sebelum akhirnya menikmati hidangan berbuka.
Waktu antara Adzan dan Iqamah (di mana Adzan Maghrib sangat singkat jaraknya ke Iqamah) dikenal sebagai salah satu waktu di mana doa tidak tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda, “Doa antara Adzan dan Iqamah tidak ditolak, maka berdoalah.” Kesempatan ini harus dimanfaatkan secara maksimal, khususnya pada waktu Maghrib yang cepat berlalu, untuk memohon ampunan dan rahmat.
Setelah selesai menjawab semua lafal Adzan, sunnah mengajarkan kita untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan kemudian memanjatkan doa khusus yang dikenal sebagai Doa Wasilah (perantara).
Setelah muadzin selesai mengucapkan *Laa ilaaha illallah*, kita dianjurkan membaca shalawat Ibrahimiyah (seperti yang dibaca dalam tasyahud akhir), atau minimal mengucapkan:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
(Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad)
Inilah puncak dari respon kita terhadap Adzan, yang merupakan doa paling utama yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Transliterasi: Allahumma Rabba hadzihid da'watit tammah, was shalaatil qaa'imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab'atshu maqaamam mahmuudanil ladzii wa'adtahu, [innaka laa tukhliful mii'aad].
Artinya: "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini. Berikanlah kepada Muhammad kedudukan Al-Wasilah dan keutamaan (Al-Fadhilah). Dan bangkitkanlah beliau pada tempat yang terpuji (Al-Maqam Al-Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya. [Sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji]."
Untuk mencapai kedalaman pemahaman 5000 kata, kita wajib membedah setiap frasa kunci dari doa ini, karena di dalamnya terkandung makna tauhid dan harapan syafaat yang sangat besar:
Frasa ini merupakan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik panggilan yang sempurna. "Panggilan yang sempurna" merujuk pada Adzan itu sendiri, karena Adzan adalah panggilan yang tidak dicampuri oleh syirik dan seluruh isinya adalah pujian dan pengagungan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata *At-Tammah* (sempurna) di sini menunjukkan bahwa Adzan adalah syariat yang paripurna, tidak membutuhkan tambahan atau pengurangan. Fiqih menegaskan bahwa kebenaran panggilan ini abadi, bukan sekadar seruan sementara.
Artinya: "dan shalat yang akan didirikan." Ini merujuk pada shalat yang sebentar lagi akan dilaksanakan setelah Adzan, yaitu Shalat Maghrib. Dengan menyebut ini, kita mengakui tujuan utama dari Adzan, yaitu mendirikan shalat. Dalam konteks Maghrib, frasa ini memiliki urgensi spiritual yang tinggi, sebab begitu Adzan selesai, waktu tunggu menuju Iqamah sangatlah singkat, menekankan kesiapan mental dan fisik untuk shalat.
Kata *Al-Wasilah* secara bahasa berarti perantara atau sarana. Namun, dalam konteks hadis, ia merujuk pada kedudukan tertinggi di surga, yang khusus diperuntukkan hanya bagi satu hamba Allah. Dengan memohonkan kedudukan ini bagi Nabi Muhammad ﷺ, kita sedang menunaikan hak beliau dan menunjukkan kecintaan kita. Menurut riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda, "Wasilah adalah suatu kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap bahwa aku adalah hamba itu." Ulama fiqih menekankan bahwa permohonan ini merupakan syarat utama untuk mendapatkan syafaat dari beliau.
Artinya: "dan keutamaan." Al-Fadhilah adalah kelebihan, derajat, atau keutamaan yang lebih tinggi dari makhluk lainnya. Ini melengkapi permintaan Al-Wasilah, menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ layak mendapatkan kemuliaan di atas semua ciptaan, sebuah pengakuan tauhid yang memposisikan Rasulullah pada martabat yang sangat tinggi, namun tetap sebagai hamba Allah.
Ini adalah inti dari permohonan syafaat. *Al-Maqam Al-Mahmud* (Tempat yang Terpuji) adalah kedudukan yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah ﷺ di hari Kiamat, di mana beliau akan memberikan syafaat akbar (terbesar) bagi seluruh umat manusia, termasuk umat-umat terdahulu. Syafaat inilah yang membuat manusia dapat terlepas dari penantian panjang di padang Mahsyar. Doa ini adalah investasi akhirat, di mana kita menolong Nabi agar dapat menolong kita kelak.
Frasa ini, meskipun oleh sebagian ulama dianggap sebagai tambahan (bukan dari lafal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari), sangat populer dan diterima dalam praktik. Artinya: "Sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji." Ini adalah penegasan iman (tauhid rububiyah) bahwa janji Allah pasti ditepati, memperkuat keyakinan kita bahwa permohonan syafaat ini akan dikabulkan.
Mengapa Islam menekankan pentingnya menjawab Adzan? Ini bukan hanya tentang mengikuti ritual, tetapi tentang menegakkan pilar spiritual yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, terutama pada saat Maghrib yang sangat mendesak.
Menjawab Adzan adalah bentuk *ijabah*, yaitu penerimaan dan pengakuan atas panggilan Allah. Ketika muadzin berseru, kita seolah-olah sedang menandatangani kontrak kepatuhan. Pada saat Maghrib, momen ini menuntut respons yang cepat karena waktu shalat segera habis. Keterlambatan sedikit pun bisa menghilangkan peluang berjamaah atau bahkan kehilangan waktu shalat itu sendiri jika terlambat terlalu lama.
Ketika muadzin mengatakan *Asyhadu an laa ilaaha illallah*, dan kita mengulanginya, itu adalah pembaharuan syahadat. Ketika kita menjawab *Hayya ‘alas Shalah* dan *Hayya ‘alal Falah* dengan *Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah*, kita mengakui ketidakberdayaan kita di hadapan urusan shalat. Kita menyatakan, "Aku tidak bisa pergi shalat dan meraih kemenangan kecuali Engkau yang memberiku kekuatan." Ini adalah penghancuran ego dan pengakuan totalitas kebergantungan pada Allah, terutama saat nafsu sedang kuat ingin segera menyantap hidangan Maghrib.
Praktik menjawab Adzan merupakan sunnah yang mudah dikerjakan tetapi sering dilupakan. Dengan konsisten menjawab Adzan Maghrib di tengah kesibukan berbuka atau pulang kerja, seorang Muslim menunjukkan prioritasnya. Kesadaran untuk merespon Adzan adalah tanda dari hati yang hidup, hati yang selalu terhubung pada janji dan panggilan Tuhannya.
Dalam kerangka fiqih Islam, terdapat beberapa rincian dan perbedaan pandangan minor mengenai tata cara menjawab Adzan. Pemahaman terhadap variasi ini penting untuk memahami keluasan syariat.
Mayoritas ulama dari Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali bersepakat bahwa menjawab Adzan adalah **sunnah muakkadah** bagi setiap orang yang mendengarnya, baik laki-laki maupun perempuan, di rumah maupun di perjalanan, kecuali bagi mereka yang berada dalam keadaan uzur tertentu.
Sebagian ulama Syafi'iyah menganjurkan tambahan doa setelah mendengarkan frasa *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*. Selain mengulanginya, dianjurkan untuk mengucapkan:
رَضِيْتُ بِاللّٰهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا
(Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku.)
Tambahan ini didasarkan pada hadis yang menyebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan kalimat ini setelah syahadat Adzan, dosanya akan diampuni (HR Muslim). Ini sangat dianjurkan saat Adzan Maghrib sebagai penutup hari.
Bagaimana jika seseorang sedang sibuk atau sedang berbicara ketika Adzan Maghrib berkumandang? Fiqih mengatur hal ini:
Adzan Maghrib menuntut kecepatan respons karena ia adalah "pintu gerbang" shalat fardhu yang paling cepat tertutup. Ini mengajarkan disiplin waktu dan memprioritaskan akhirat di atas dunia, bahkan di atas kenikmatan berbuka puasa.
Keutamaan menjawab Adzan, khususnya Adzan Maghrib, adalah salah satu janji Rasulullah ﷺ yang paling jelas dan pasti. Keutamaan ini dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
Ini adalah keutamaan tertinggi, yang secara eksplisit terkait dengan Doa Al-Wasilah. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa ketika mendengar Adzan mengucapkan [Doa setelah Adzan], niscaya baginya syafaatku pada hari kiamat." (HR Bukhari)
Syafaat ini sangat bernilai, terutama ketika semua manusia berada dalam kesulitan yang luar biasa di Padang Mahsyar. Dengan menjawab Adzan Maghrib secara tulus dan mengiringinya dengan doa, seorang Muslim telah menanam benih pertolongan di hari yang tidak ada pertolongan kecuali dari Allah dan Rasul-Nya.
Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan fiqih, bagi yang mengucapkan kalimat kerelaan (*Radhitu billahi rabba...*) setelah syahadat Adzan, hadis menjanjikan pengampunan dosa-dosa kecil. Ini adalah pembersihan spiritual harian, yang sangat tepat dilakukan sebelum memasuki Shalat Maghrib.
Hadis riwayat Muslim menyebutkan janji surga bagi yang mengucapkan syahadat dengan yakin saat muadzin mengucapkannya. Keyakinan penuh (*yakinan tammah*) saat mengucapkan *Asyhadu an laa ilaaha illallah* adalah kunci. Menjawab Adzan bukan sekadar gerak bibir, tetapi pengakuan hati bahwa waktu Maghrib ini, meskipun singkat, adalah waktu untuk berhenti sejenak dan mematuhi Raja Semesta Alam.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sering muncul pertanyaan mengenai aplikasi sunnah menjawab Adzan. Konteks Adzan Maghrib sering kali terkait dengan keramaian di jalan, di pusat perbelanjaan, atau saat berkendara menjelang waktu berbuka.
Apakah kita wajib menjawab Adzan Maghrib yang hanya didengar melalui rekaman atau siaran langsung radio/televisi?
Mayoritas ulama kontemporer berpendapat bahwa menjawab Adzan adalah kewajiban yang terikat pada *panggilan langsung* dan bukan rekaman. Namun, jika itu adalah siaran langsung, di mana Adzan sedang dikumandangkan oleh seorang muadzin pada waktu yang tepat, maka sunnah menjawabnya tetap berlaku, meskipun tidak sekuat Adzan yang didengar langsung dari masjid di dekat kita. Untuk Adzan Maghrib yang didengar melalui siaran, jika seseorang sedang fokus pada pekerjaan atau perjalanan, kelonggaran diberikan, tetapi jika memungkinkan, menjawab Adzan tetap diutamakan.
Karena waktu Maghrib sangat sempit, jeda antara Adzan dan Iqamah sering kali hanya 5-10 menit. Ini menuntut efisiensi dalam ibadah. Jika seseorang baru tiba di masjid saat Adzan Maghrib selesai, ia tetap dianjurkan membaca doa setelah Adzan, kemudian shalat sunnah qabliyah Maghrib (jika ada waktu dan dilakukan oleh sebagian mazhab, meskipun Maghrib umumnya tidak memiliki sunnah qabliyah yang muakkadah), dan segera bersiap untuk shalat fardhu. Tidak ada alasan untuk meninggalkan doa setelah Adzan hanya karena terburu-buru, sebab doa itu sendiri adalah kunci syafaat.
Waktu antara Adzan dan Iqamah adalah momen emas untuk berdoa. Karena singkatnya waktu Maghrib, seorang Muslim harus memiliki daftar doa singkat yang siap dipanjatkan. Setelah membaca doa Al-Wasilah, manfaatkan sisa waktu tersebut untuk memohon kebaikan dunia dan akhirat, terutama memohon agar puasa (jika berpuasa) diterima dan shalat yang akan didirikan adalah shalat yang khusyuk. Doa ini sangat kuat pada waktu Maghrib karena merupakan penutup amal di hari itu.
Mengakhiri pembahasan yang mendalam mengenai jawaban Adzan Maghrib, perlu ditekankan bahwa semua ritual ini adalah sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah meraih keridhaan Allah dan menjadi hamba yang senantiasa patuh pada setiap panggilan-Nya.
Menjawab Adzan Maghrib mengajarkan kita bahwa ibadah itu sistematis dan terstruktur. Ia mewajibkan kita untuk berhenti, merenung, dan memprioritaskan. Ketika dunia memanggil kita untuk makan, bersantai, atau terus bekerja, Adzan Maghrib datang sebagai pengingat yang tegas bahwa ada tugas yang lebih besar, dan ketaatan lisan kita melalui jawaban Adzan adalah langkah awal menuju ketaatan fisik dalam shalat.
Dengan mengamalkan sunnah menjawab Adzan Maghrib, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga membentuk karakter Muslim yang peka terhadap panggilan ilahi, menjadikan setiap bunyi Adzan sebagai alarm spiritual yang menyegarkan kembali iman yang terkadang layu oleh kesibukan dunia. Marilah kita jadikan jawaban Adzan ini sebagai komitmen abadi untuk mengejar *Maqamam Mahmud* dan meraih syafaat dari Rasulullah ﷺ di hari perhitungan kelak.
Amalan menjawab Adzan Maghrib mungkin terlihat sederhana, hanya berupa beberapa pengulangan lafal dan satu doa pendek. Namun, di balik kesederhanaan tersebut tersimpan janji yang tak ternilai: janji untuk mendapatkan syafaat dari kekasih Allah, Nabi Muhammad ﷺ. Dalam setiap detiknya, Adzan Maghrib adalah undangan menuju kebaikan, dan respons kita adalah tiket menuju kemenangan abadi.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kekuatan dan kesadaran untuk menyambut setiap panggilan-Nya dengan penuh kerendahan hati dan keyakinan, terutama pada waktu Maghrib yang sarat dengan berkah dan keutamaan.