Memahami Makna dan Ragam Bacaan I'tidal dalam Sholat

Sebuah pilar sholat yang sering terlewatkan maknanya, I'tidal adalah jembatan antara ketundukan ruku' dan kepasrahan sujud.

Ikon Gerakan I'tidal Ikon siluet seseorang yang sedang berdiri tegak dalam posisi I'tidal sholat. Ilustrasi gerakan I'tidal dalam sholat

Definisi dan Kedudukan I'tidal dalam Sholat

Sholat adalah tiang agama, sebuah ibadah yang tersusun dari serangkaian gerakan dan bacaan yang telah ditetapkan. Setiap gerakannya memiliki makna filosofis yang mendalam, dan setiap bacaannya adalah untaian doa dan pujian kepada Sang Pencipta. Salah satu rukun fi'li (rukun berupa perbuatan) yang krusial namun seringkali dilakukan dengan tergesa-gesa adalah I'tidal. I'tidal secara harfiah berarti 'tegak lurus' atau 'kembali ke posisi semula'. Dalam terminologi fiqih sholat, I'tidal adalah gerakan bangkit dari ruku' untuk kembali berdiri tegak lurus sebelum turun untuk sujud.

Kedudukan I'tidal dalam sholat sangatlah fundamental. Ia termasuk dalam rukun sholat, yang berarti jika ditinggalkan dengan sengaja atau karena lupa dan tidak diganti, maka sholatnya menjadi tidak sah. Pentingnya I'tidal ini ditegaskan dalam banyak hadits, terutama hadits yang dikenal sebagai "Al-Musi'u Shalatuhu" atau "orang yang buruk sholatnya". Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan seorang sahabat yang sholatnya dinilai keliru. Beliau bersabda, "...kemudian bangkitlah (dari ruku') hingga engkau berdiri tegak (I'tidal)." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah yang jelas ini menunjukkan bahwa I'tidal bukanlah sekadar gerakan transisi, melainkan sebuah pilar yang harus ditegakkan dengan sempurna.

Tuma'ninah: Jiwa dari Gerakan I'tidal

Pembahasan mengenai I'tidal tidak akan lengkap tanpa membicarakan Tuma'ninah. Tuma'ninah adalah keadaan tenang dan diam sejenak setelah setiap gerakan sholat, di mana seluruh anggota badan berada pada posisinya dengan sempurna sebelum beralih ke gerakan berikutnya. Durasi minimal Tuma'ninah adalah sekadar cukup untuk membaca "Subhanallah". Dalam konteks I'tidal, Tuma'ninah berarti setelah bangkit dari ruku', seseorang harus berdiri benar-benar tegak dan tenang, hingga tulang-tulang punggungnya kembali ke posisinya semula. Ia tidak boleh langsung turun sujud dalam keadaan tubuh yang masih bergerak atau belum lurus sempurna.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras terhadap orang yang tidak Tuma'ninah dalam sholatnya. Beliau menyebutnya sebagai "pencuri yang paling buruk", yaitu orang yang mencuri dari sholatnya sendiri. Ketika ditanya bagaimana seseorang mencuri dari sholatnya, beliau menjawab, "Ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya." (HR. Ahmad). I'tidal yang dilakukan tanpa Tuma'ninah, seperti gerakan mematuk ayam, dapat membatalkan sholat menurut jumhur (mayoritas) ulama. Oleh karena itu, menyempurnakan I'tidal dengan Tuma'ninah adalah manifestasi dari kekhusyu'an dan penghormatan kita terhadap ibadah yang sedang kita lakukan. Ini adalah momen untuk merasakan ketenangan, mengumpulkan konsentrasi, dan menghayati bacaan yang diucapkan.

Bacaan Saat Bangkit dari Ruku' (Tasmi')

Proses I'tidal dimulai dengan sebuah kalimat agung yang disebut Tasmi'. Kalimat ini diucapkan saat tubuh mulai bergerak bangkit dari posisi ruku'. Bacaan ini adalah:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami'allāhu liman hamidah.

Artinya: "Allah Maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya."

Kalimat ini memiliki makna yang luar biasa. Kata "Sami'a" bukan sekadar berarti mendengar secara pasif, tetapi mendengar dengan penuh perhatian, penerimaan, dan balasan. Ini adalah sebuah deklarasi bahwa setiap pujian (hamd) yang kita ucapkan tidaklah sia-sia. Allah Ta'ala mendengarnya, menerimanya, dan akan membalasnya dengan pahala dan kebaikan. Ini memberikan kesadaran mendalam bagi orang yang sholat bahwa ia sedang berdialog langsung dengan Rabb-nya. Pujiannya didengar dan dihargai. Bacaan Tasmi' ini disunnahkan untuk diucapkan oleh Imam dan orang yang sholat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, mereka tidak mengucapkan kalimat ini, melainkan langsung menyambutnya dengan bacaan Tahmid setelah imam selesai mengucapkannya.

Ragam Bacaan Saat Berdiri Tegak I'tidal (Tahmid)

Setelah tubuh berdiri tegak sempurna dalam posisi I'tidal, ada beberapa variasi bacaan pujian (disebut Tahmid) yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengamalkan bacaan-bacaan ini secara bergantian dapat membantu meningkatkan kekhusyu'an dan menghindarkan dari rutinitas yang monoton. Berikut adalah beberapa di antaranya, dari yang paling umum hingga yang paling lengkap.

Variasi Pertama: Bacaan Paling Ringkas dan Umum

Ini adalah bacaan yang paling sering kita dengar dan amalkan. Bacaan ini shahih dan mencukupi sebagai bacaan I'tidal.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā wa lakal-hamd.

Artinya: "Wahai Rabb kami, dan bagi-Mu lah segala puji."

Penjelasan Makna: Kalimat ini adalah respon langsung terhadap "Sami'allahu liman hamidah". Seolah-olah kita berkata, "Ya Allah, Engkau telah mendengar pujian hamba-Mu, maka inilah pujian kami untuk-Mu." Kata "Rabbana" adalah panggilan mesra yang menunjukkan pengakuan kita atas rububiyah Allah (sifat-Nya sebagai Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta). Frasa "wa lakal-hamd" menegaskan bahwa segala bentuk pujian yang sempurna, baik yang kita ketahui maupun tidak, hanyalah milik Allah semata. Huruf 'wa' (dan) di sini, menurut sebagian ulama, berfungsi untuk menghubungkan pujian kita dengan pujian makhluk-makhluk lain di seluruh alam semesta.

Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika imam mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah', maka ucapkanlah 'Rabbana wa lakal hamd'. Barangsiapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)

Variasi Kedua: Tanpa Huruf 'Wa'

Variasi ini juga sangat umum dan memiliki dasar yang kuat dalam sunnah. Perbedaannya hanya pada ketiadaan huruf 'wa' (dan) di awal.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā lakal-hamd.

Artinya: "Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji."

Penjelasan Makna: Maknanya hampir identik dengan variasi pertama. Ketiadaan 'wa' membuatnya menjadi kalimat yang lebih langsung dan fokus. "Wahai Rabb kami, (hanya) untuk-Mu segala pujian." Ini adalah pengkhususan pujian yang total kepada Allah Ta'ala. Kedua versi (dengan atau tanpa 'wa') sama-sama shahih dan boleh diamalkan.

Hadits yang menjadi dasar untuk versi ini juga banyak, di antaranya riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang menjelaskan tata cara sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Bukhari)

Variasi Ketiga: Dengan Tambahan 'Allahumma'

Variasi ini menambahkan seruan "Allahumma" di awal, yang merupakan bentuk lain dari panggilan kepada Allah.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Allāhumma rabbanā lakal-hamd.

Artinya: "Ya Allah, wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji."

Penjelasan Makna: Penambahan "Allahumma" (Ya Allah) memperkuat seruan dan permohonan kita. Ini seolah-olah menggabungkan dua panggilan agung, yaitu "Allahumma" dan "Rabbana", yang menunjukkan tingkat kebutuhan dan kepasrahan yang lebih tinggi dari seorang hamba. Ini adalah pengakuan ganda terhadap keesaan Allah dalam nama-Nya (Allah) dan dalam sifat-Nya sebagai Rabb.

Dalilnya adalah hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku', beliau mengucapkan, "Sami'allahu liman hamidah, Allahumma Rabbana lakal hamd." (HR. Muslim)

Variasi Keempat: Pujian yang Banyak, Baik, dan Penuh Berkah

Ini adalah salah satu bacaan I'tidal yang sangat dianjurkan karena keutamaannya yang luar biasa. Bacaan ini lebih panjang dan mengandung pujian yang lebih kaya.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Rabbanā wa lakal hamd, hamdan kathīran tayyiban mubārakan fīh.

Artinya: "Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."

Penjelasan Makna: Bacaan ini tidak hanya menyatakan bahwa pujian itu milik Allah, tetapi juga menjelaskan kualitas pujian yang kita persembahkan:

Kisah di balik bacaan ini sangat indah. Diriwayatkan dari Rifa'ah bin Rafi' radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Suatu hari kami sholat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku', beliau mengucapkan, "Sami'allahu liman hamidah". Lalu seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan, "Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih". Setelah selesai sholat, Nabi bertanya, "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?". Laki-laki itu menjawab, "Saya, wahai Rasulullah." Maka Nabi bersabda, "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang pertama kali akan mencatatnya." (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan betapa agungnya kalimat pujian ini di sisi Allah Ta'ala.

Variasi Kelima: Pujian Sepenuh Langit dan Bumi

Ini adalah pengembangan dari bacaan-bacaan sebelumnya, menambahkan ungkapan yang menggambarkan keluasan dan keagungan pujian yang kita panjatkan kepada Allah.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Rabbanā lakal hamdu mil’as-samāwāti wa mil-al ardhi, wa mil’a mā shi’ta min shai’in ba‘du.

Artinya: "Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya."

Penjelasan Makna: Bacaan ini adalah sebuah kiasan yang luar biasa untuk menggambarkan pujian yang tak terbatas. Kita mengakui ketidakmampuan kita untuk menghitung pujian bagi Allah. Oleh karena itu, kita memuji-Nya dengan pujian yang sebanding dengan ciptaan-Nya yang paling besar yang kita ketahui: langit dan bumi.

Bacaan ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mengangkat kepalanya dari ruku' beliau membaca doa tersebut. (HR. Muslim)

Variasi Keenam: Bacaan Paling Lengkap

Variasi ini menggabungkan pujian sepenuh langit dan bumi dengan sanjungan terhadap sifat-sifat Allah yang agung. Ini adalah bacaan yang sangat komprehensif dan mendalam.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Rabbanā lakal hamdu mil’as-samāwāti wa mil-al ardhi, wa mil’a mā shi’ta min shai’in ba‘du. Ahlath-thanā’i wal-majd, ahaqqu mā qālal-‘abdu, wa kullunā laka ‘abdun. Allāhumma lā māni‘a limā a‘thaita, wa lā mu‘thiya limā mana‘ta, wa lā yanfa‘u dhal-jaddi minkal-jaddu.

Artinya: "Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya. Wahai Dzat yang paling berhak atas sanjungan dan kemuliaan. Inilah ucapan yang paling pantas diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kedudukan dari seseorang di hadapan-Mu."

Penjelasan Makna Mendalam:

Doa yang agung ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, sebagai salah satu bacaan yang dibaca oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam saat I'tidal.

Posisi Tangan Saat I'tidal: Sebuah Khilafiyah

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengenai posisi tangan setelah bangkit dari ruku'. Apakah kembali bersedekap seperti saat berdiri sebelum ruku', atau melepaskannya lurus ke bawah (irsal)? Masalah ini termasuk dalam ranah khilafiyah (perbedaan pendapat di kalangan ulama) yang sama-sama memiliki dasar.

  1. Pendapat Pertama: Melepaskan Tangan (Irsal). Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i. Argumentasi mereka adalah bahwa sedekap hanya disyariatkan saat qiyam (berdiri) untuk membaca Al-Fatihah dan surah. I'tidal adalah berdiri yang singkat dan merupakan transisi, sehingga kembali ke posisi asal (tangan lurus di samping badan). Hadits-hadits yang menjelaskan tata cara sholat Nabi secara umum lebih banyak menggambarkan posisi tangan lurus di samping badan, dan tidak ada riwayat yang secara eksplisit menyebutkan sedekap saat I'tidal.
  2. Pendapat Kedua: Kembali Bersedekap. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanbali dan beberapa ulama lainnya. Argumentasi mereka didasarkan pada keumuman hadits dari Wa'il bin Hujr dan Sahl bin Sa'd yang menyebutkan bahwa Nabi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat berdiri dalam sholat. Mereka memahami kata 'berdiri' ini secara umum, mencakup berdiri sebelum ruku' dan berdiri setelah ruku' (I'tidal).

Kedua pendapat ini memiliki argumen yang kuat dan dipegang oleh para ulama besar. Oleh karena itu, ini adalah masalah ijtihadiyah yang luas. Seorang muslim hendaknya memilih pendapat yang ia yakini lebih kuat dalilnya atau mengikuti mazhab yang dianutnya, tanpa menyalahkan atau merendahkan mereka yang mengamalkan pendapat berbeda. Sikap saling menghormati dalam perbedaan fiqih adalah cerminan dari kedalaman ilmu dan kelapangan dada.

Hikmah dan Filosofi Gerakan I'tidal

Setiap gerakan sholat memiliki hikmahnya tersendiri, tak terkecuali I'tidal. I'tidal bukan sekadar jeda antara ruku' dan sujud. Ia adalah momen refleksi yang penting.

Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari dalam I'tidal

Karena sering dianggap sebagai gerakan transisi, banyak kesalahan yang terjadi saat I'tidal. Menghindarinya akan meningkatkan kualitas sholat kita.

  1. Tidak Tuma'ninah: Ini adalah kesalahan paling fatal. Bangkit dari ruku' dan langsung turun sujud tanpa berhenti sejenak dan berdiri tegak sempurna. Gerakan ini dapat membatalkan sholat.
  2. Punggung Belum Lurus Sempurna: Sebagian orang bangkit dari ruku' namun posisi punggungnya masih agak membungkuk, belum tegak 100%, lalu ia langsung turun untuk sujud. Ini mengurangi kesempurnaan rukun I'tidal.
  3. Mengucapkan Bacaan yang Salah: Misalnya, makmum ikut mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" bersama imam, padahal yang disunnahkan bagi makmum adalah langsung mengucapkan "Rabbana lakal hamd".
  4. Membaca Terlalu Cepat: Mengucapkan bacaan I'tidal dengan sangat cepat sehingga makhraj (artikulasi huruf) dan tajwidnya tidak jelas. Setiap huruf dalam bacaan sholat adalah doa, maka ucapkanlah dengan tartil (perlahan dan jelas).

Kesimpulan: Menghidupkan Kembali Makna I'tidal

I'tidal adalah rukun sholat yang agung, sebuah pemberhentian singkat yang sarat dengan makna pujian, syukur, dan pengakuan atas kebesaran Allah. Ia adalah jeda spiritual yang menghubungkan dua bentuk ketundukan yang berbeda. Dengan memahami kedudukannya, menghayati setiap kata dalam bacaannya, dan melaksanakannya dengan Tuma'ninah yang sempurna, kita dapat meningkatkan kualitas sholat kita dari sekadar rutinitas fisik menjadi sebuah dialog yang khusyu' dengan Sang Pencipta.

Mempelajari dan mengamalkan berbagai variasi bacaan I'tidal yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah cara yang efektif untuk menjaga hati agar tetap hadir dan terhubung selama sholat. Semoga Allah Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk dapat menyempurnakan setiap rukun sholat kita, termasuk I'tidal, sehingga sholat kita menjadi penyejuk mata dan penenang jiwa, serta diterima di sisi-Nya sebagai amalan terbaik.

🏠 Kembali ke Homepage