*Ilustrasi dinamika harga dan biaya produksi ayam potong.
Harga ayam potong saat ini merupakan titik temu yang kompleks antara permintaan konsumen yang stabil, biaya produksi yang fluktuatif, dan intervensi regulasi pemerintah. Dalam konteks ekonomi nasional, ayam broiler (pedaging) adalah sumber protein hewani paling terjangkau dan paling banyak dikonsumsi. Oleh karena itu, setiap pergeseran kecil pada harganya memiliki dampak signifikan, baik terhadap daya beli masyarakat maupun profitabilitas sektor peternakan yang melibatkan jutaan pelaku usaha, dari peternak kecil hingga integrator besar.
Menganalisis harga ayam potong sekarang memerlukan pemahaman holistik terhadap seluruh rantai pasok, mulai dari pengadaan bibit ayam umur sehari (DOC), formulasi pakan, proses budidaya, hingga distribusi akhir ke pasar tradisional, pasar modern, dan sektor Horeka (Hotel, Restoran, Katering). Fluktuasi harian yang sering terjadi bukan sekadar angka acak, melainkan cerminan dari keseimbangan yang rapuh antara ketersediaan dan kebutuhan pasar domestik.
Untuk memahami mengapa harga ayam potong dapat melonjak drastis menjelang hari besar atau anjlok tak terduga saat panen raya, kita harus mengurai lima komponen biaya utama yang membentuk Harga Pokok Penjualan (HPP) di tingkat peternak, ditambah dua faktor eksternal yang bersifat non-moneter.
Biaya pakan adalah komponen terbesar dalam HPP, sering kali menyumbang antara 65% hingga 75% dari total biaya operasional peternakan. Kenaikan harga pakan secara otomatis menaikkan harga jual ayam. Ketergantungan industri pakan dalam negeri terhadap bahan baku impor menjadikan sektor ini sangat rentan terhadap dinamika global.
Mayoritas pakan ternak di Indonesia berbahan dasar jagung dan bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM). Meskipun produksi jagung lokal cukup besar, kualitas dan kuantitasnya sering tidak stabil, memaksa pabrik pakan mengimpor SBM dan sebagian jagung, terutama saat panen raya jagung lokal terlambat atau gagal. Harga SBM ditentukan oleh pasar komoditas Chicago Board of Trade (CBOT) dan pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS (USD). Ketika Rupiah melemah, biaya impor bahan baku melambung tinggi, dan kenaikan ini segera ditransmisikan ke harga pakan, yang pada akhirnya menekan peternak.
Harga tidak hanya ditentukan oleh bahan baku, tetapi juga oleh formulasi nutrisi yang kompleks. Ayam broiler modern memerlukan pakan berprotein tinggi untuk mencapai bobot ideal dalam waktu singkat (sekitar 30-40 hari). Formulasi ini melibatkan vitamin, mineral, dan aditif yang mayoritas juga harus diimpor. Perubahan regulasi impor atau kenaikan tarif logistik internasional dapat langsung mengganggu ketersediaan dan menaikkan harga pakan jadi secara signifikan, menciptakan tekanan harga ayam potong yang instan di tingkat konsumen.
DOC adalah input kedua terpenting setelah pakan. Harga DOC sangat dipengaruhi oleh kebijakan populasi yang diatur oleh pemerintah dan kemampuan perusahaan pembibitan (hatchery) untuk memenuhi standar kesehatan dan genetika. Jika pasokan DOC berlebih, peternak cenderung membelinya dengan harga murah, yang berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan ayam potong beberapa minggu kemudian, menekan harga jual. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan pemotongan populasi (culling) untuk menstabilkan harga, pasokan DOC berkurang, harganya naik, dan ini diproyeksikan menaikkan harga ayam potong di masa mendatang.
Industri pembibitan sangat terintegrasi. Sebagian besar DOC diproduksi oleh perusahaan integrator besar yang juga memiliki pabrik pakan dan rumah potong. Struktur pasar ini memastikan kualitas genetik ayam terjaga, tetapi juga memberikan kontrol yang besar terhadap pasokan awal, yang secara tidak langsung menentukan besaran populasi ayam yang akan dipanen dan memengaruhi harga pasar saat ini.
Budidaya ayam potong modern menuntut investasi besar, terutama untuk kandang tertutup (closed house) yang menjamin suhu, kelembaban, dan ventilasi optimal. Biaya operasional meliputi:
Peternak harus memasukkan semua biaya overhead ini ke dalam perhitungan HPP. Margin keuntungan yang tipis membuat mereka sangat sensitif terhadap perubahan biaya input tunggal, yang kemudian diterjemahkan menjadi perubahan harga ayam potong di pasar saat ini.
Logistik adalah penghubung antara produsen (peternak/rumah potong) dan konsumen (pasar). Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan logistik yang unik. Biaya transportasi antar-pulau atau dari sentra produksi (misalnya Jawa) ke daerah defisit (misalnya wilayah timur) sangat tinggi.
Meskipun pemerintah telah mengembangkan infrastruktur seperti jalan tol dan program Tol Laut, biaya pengiriman ayam hidup atau karkas beku tetap signifikan. Biaya ini mencakup: biaya BBM, biaya tol, biaya penyeberangan kapal, dan biaya penanganan khusus (pendinginan). Semakin jauh lokasi pasar dari sentra produksi, semakin tinggi disparitas harga ayam potong, sebuah fenomena yang jelas terlihat saat membandingkan harga di Jawa dengan harga di Papua atau Maluku.
Permintaan adalah kekuatan pendorong di sisi pasar. Permintaan ayam potong tidaklah merata sepanjang waktu. Terdapat siklus permintaan puncak yang selalu berulang:
Saat permintaan melampaui kemampuan pasokan yang sudah direncanakan (berdasarkan DOC tiga puluh hari sebelumnya), harga ayam potong sekarang akan meroket secara spontan. Sebaliknya, di luar periode puncak, jika terjadi kelebihan panen, harga dapat jatuh di bawah HPP, merugikan peternak.
***
Struktur rantai pasok menentukan efisiensi dan transparansi harga. Di Indonesia, terdapat dua model utama: sistem kemitraan (integrasi) dan peternak mandiri (mandiri).
Dalam model ini, perusahaan integrator menyediakan DOC, pakan, obat-obatan, dan panduan teknis kepada peternak. Peternak hanya menyediakan kandang dan tenaga kerja. Setelah panen, integrator membeli kembali ayam sesuai kesepakatan harga. Model ini menawarkan kepastian pasokan bagi integrator dan kepastian pasar bagi peternak, namun, peternak kemitraan sering kali menghadapi risiko harga beli yang ditentukan sepihak oleh integrator, terutama saat harga pasar sedang anjlok.
Pengaruh model kemitraan terhadap harga ayam potong sekarang sangat besar, sebab integrator memiliki data akurat mengenai potensi panen nasional, yang memungkinkan mereka melakukan kalkulasi produksi yang lebih terukur, meskipun terkadang kalkulasi tersebut tidak sepenuhnya linier dengan permintaan pasar lokal.
Peternak mandiri membeli semua input (DOC, pakan) sendiri dan bertanggung jawab penuh atas risiko pasar. Mereka memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menjual produknya kepada pengepul, broker, atau langsung ke pasar. Kelemahan utamanya adalah paparan risiko yang tinggi, terutama volatilitas harga pakan dan fluktuasi harga jual di pasar bebas.
Harga yang ditetapkan oleh peternak mandiri sering kali menjadi barometer harga di pasar tradisional. Ketika peternak mandiri terdesak untuk menjual rugi (fire sale), harga di tingkat konsumen cenderung turun, menciptakan tekanan deflasi sesaat yang dinikmati konsumen namun memberatkan sektor produksi.
RPA modern memainkan peran krusial dalam menentukan kualitas dan bentuk produk akhir (karkas, potongan tertentu). Ketersediaan RPA yang memadai dan bersertifikasi (Halal dan NKV) memastikan efisiensi pemotongan dan distribusi yang higienis. Di daerah yang RPA-nya terbatas, distribusi ayam seringkali masih berupa ayam hidup, yang menambah biaya transportasi dan penanganan di pasar akhir. Biaya pemotongan dan pengemasan di RPA, termasuk biaya rantai dingin (cold chain), adalah komponen biaya yang dimasukkan sebelum ayam dijual ke retail, yang turut memengaruhi harga ayam potong sekarang.
Harga ayam potong tidaklah tunggal. Terdapat disparitas harga yang signifikan antar wilayah, bahkan antar kota dalam satu provinsi. Disparitas ini bukan semata-mata margin keuntungan berlebihan, tetapi cerminan nyata dari tingginya biaya distribusi dan tingkat risiko pasar regional.
Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, adalah sentra produksi ayam broiler terbesar di Indonesia. Karena kedekatan antara sumber bahan baku pakan, fasilitas pabrik pakan, peternakan, dan RPA, harga ayam potong di Jawa cenderung menjadi harga acuan nasional dan relatif lebih rendah dibandingkan wilayah lain.
Di wilayah ini, persaingan sangat ketat, dan rantai pasoknya sangat efisien. Volatilitas harga di Jawa lebih cepat dipengaruhi oleh kebijakan populasi DOC dan harga pakan global. Harga di pasar Jawa seringkali hanya mencerminkan margin keuntungan tipis, yang berdampak positif bagi konsumen di perkotaan padat.
Di pulau-pulau di Indonesia Timur (Maluku, Papua, Nusa Tenggara), harga ayam potong bisa 50% hingga 100% lebih mahal daripada di Jawa. Hal ini disebabkan oleh:
Pemerintah berupaya menekan disparitas ini melalui program Tol Laut dan subsidi logistik, tetapi tantangan geografis dan ketersediaan cold storage lokal masih menjadi kendala utama dalam menstabilkan harga ayam potong di wilayah defisit.
Selain logistik, inflasi umum di daerah juga memengaruhi. Ketika biaya hidup dan upah di suatu daerah meningkat, biaya penanganan (handling cost) dan biaya operasional pedagang lokal juga meningkat, yang pada akhirnya dibebankan ke harga jual ayam potong sekarang, memperparah disparitas regional yang sudah ada.
Pemerintah memiliki peran vital dalam menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen. Dua instrumen kebijakan utama yang digunakan adalah pengaturan populasi dan penetapan Harga Acuan Pembelian/Penjualan (HAP/HAPJ).
Ketika harga anjlok drastis di bawah HPP (merugikan peternak), pemerintah seringkali memerintahkan pemangkasan populasi DOC atau penundaan penetasan (hatching). Tujuannya adalah mengurangi pasokan 30 hari kemudian agar harga kembali naik. Sebaliknya, jika harga melonjak terlalu tinggi (merugikan konsumen dan memicu inflasi pangan), pemerintah dapat mendorong penambahan populasi atau membebaskan impor bahan baku pakan.
Implementasi kebijakan populasi ini sangat sensitif dan memerlukan koordinasi presisi. Kesalahan dalam proyeksi kebutuhan 30-40 hari ke depan dapat menyebabkan over-supply atau under-supply yang ekstrem, yang berujung pada volatilitas harga ayam potong sekarang di pasar.
HAP atau Harga Acuan Pembelian di tingkat peternak dan HAPJ atau Harga Acuan Penjualan di tingkat konsumen ditetapkan untuk melindungi kedua belah pihak. HAP berfungsi sebagai harga dasar yang harus dibayarkan pengepul/integrator kepada peternak, memastikan peternak tidak merugi total.
Namun, dalam praktiknya, HAP seringkali sulit ditegakkan di pasar bebas, terutama saat pasokan melimpah ruah. Pedagang sering bertransaksi di bawah HAP (atau di atas HAPJ saat permintaan puncak), menunjukkan bahwa meskipun intervensi harga ada, dinamika permintaan dan penawaran riil di lapangan lebih kuat menentukan harga ayam potong sekarang.
Karena tingginya ketergantungan pada SBM, kebijakan bea masuk, kuota impor, dan kemudahan akses terhadap Dolar AS sangat memengaruhi biaya input. Kebijakan yang mendukung stabilitas impor bahan baku pakan cenderung menjaga kestabilan HPP, yang pada gilirannya menahan harga ayam potong sekarang agar tidak melonjak tajam akibat faktor eksternal mata uang dan komoditas global.
Ayam adalah penyumbang penting dalam perhitungan inflasi pangan. Oleh karena itu, kestabilan harga ayam potong merupakan indikator penting bagi kesehatan ekonomi nasional.
Kenaikan harga ayam potong yang terus-menerus memberikan tekanan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) dan menyebabkan inflasi pangan. Ini secara langsung mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang sangat bergantung pada ayam sebagai sumber protein utama yang terjangkau. Pemerintah selalu berusaha menjaga harga ayam agar tetap terjangkau untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Volatilitas harga yang ekstrem, terutama harga yang jatuh di bawah HPP, mengancam kelangsungan hidup peternak mandiri. Kegagalan usaha peternak dapat mengurangi pasokan jangka panjang dan meningkatkan konsentrasi pasar pada integrator besar. Jika peternak merugi terlalu lama, mereka berhenti berproduksi, dan pasokan nasional akan terganggu, menyebabkan kenaikan harga ayam potong sekarang secara signifikan di periode berikutnya karena kelangkaan.
Sebaliknya, harga yang terlalu tinggi, meskipun menguntungkan peternak, dapat memicu protes konsumen dan intervensi pemerintah yang lebih ketat, seperti operasi pasar atau impor darurat (meskipun impor ayam jarang terjadi di Indonesia). Keseimbangan harga yang stabil dan berkelanjutan adalah kunci bagi kesehatan sektor ini.
***
Upaya untuk menstabilkan harga ayam potong sekarang tidak hanya terletak pada kebijakan, tetapi juga pada peningkatan efisiensi budidaya.
Kandang tertutup menawarkan lingkungan yang terkontrol, meminimalkan risiko penyakit, dan memungkinkan ayam mencapai bobot ideal lebih cepat dengan rasio konversi pakan (FCR) yang lebih rendah (lebih efisien). FCR yang lebih baik berarti peternak membutuhkan pakan lebih sedikit untuk menghasilkan satu kilogram daging, secara fundamental menurunkan HPP.
Meskipun investasi awal kandang tertutup tinggi, adopsi teknologi ini oleh peternak skala besar dan menengah adalah kunci untuk mengurangi ketergantungan pada faktor cuaca dan penyakit, yang sering menjadi penyebab utama lonjakan harga mendadak akibat gagal panen.
Digitalisasi rantai pasok memungkinkan transparansi harga dan meminimalkan peran spekulan. Dengan sistem traceability yang baik, konsumen dapat mengetahui asal-usul ayam dan biaya produksi aktual, sehingga margin keuntungan yang tidak wajar di tingkat pengecer dapat dikurangi.
Platform digital yang menghubungkan langsung peternak dengan pembeli B2B (bisnis ke bisnis) juga memotong jalur distribusi yang panjang, mengurangi biaya logistik dan perantara, yang secara langsung berkontribusi pada harga ayam potong sekarang yang lebih stabil dan adil bagi semua pihak.
Mengingat harga ayam potong sekarang yang sangat dinamis, konsumen dan pedagang perlu memiliki strategi adaptasi.
***
Harga ayam potong sekarang adalah refleksi dari keseimbangan kompleks antara tuntutan efisiensi global (biaya pakan impor) dan tantangan struktural domestik (logistik, infrastruktur). Stabilitas harga adalah tujuan bersama; peternak memerlukan harga yang di atas HPP agar usahanya berkelanjutan, sementara konsumen membutuhkan harga yang terjangkau sebagai jaminan akses protein.
Upaya menekan fluktuasi memerlukan kolaborasi erat antara industri (untuk efisiensi), pemerintah (untuk regulasi pasokan dan logistik), serta masyarakat (untuk adaptasi konsumsi). Dengan peningkatan investasi pada teknologi budidaya, perbaikan tata niaga, dan pengelolaan data populasi yang akurat, diharapkan volatilitas harga ayam potong dapat ditekan, menjamin ketersediaan pangan yang stabil dan terjangkau di seluruh pelosok Indonesia, kini dan di masa mendatang.
Kesinambungan pasokan dan keterjangkauan harga ayam potong merupakan pilar penting dalam ketahanan pangan nasional, dan setiap pihak dalam rantai pasok memikul tanggung jawab untuk menjaga dinamika harga tetap wajar dan berkelanjutan.
***
Untuk benar-benar memahami harga ayam potong sekarang, kita harus membongkar struktur biaya pakan, yang menjadi tulang punggung dari HPP. Kenaikan 1% pada harga pakan dapat langsung memicu kenaikan yang signifikan pada harga jual ayam hidup. Struktur pakan modern dirancang untuk memaksimalkan pertumbuhan dalam waktu minimum, dan ini memerlukan bahan baku berkualitas tinggi yang harganya tidak fleksibel.
Jagung menyumbang sekitar 50-60% dari formulasi pakan broiler. Meskipun Indonesia adalah produsen jagung, kualitas dan ketersediaan jagung lokal seringkali tidak memenuhi standar nutrisi konsisten yang dibutuhkan industri pakan sepanjang tahun. Fluktuasi panen jagung lokal, yang dipengaruhi oleh cuaca (El Niño atau La Niña), secara langsung memaksa pabrik pakan untuk beralih ke jagung impor atau mencari substitusi yang mahal. Isu utama di sini adalah kadar air dan aflatoksin; jagung lokal yang dipanen terburu-buru seringkali memiliki kadar air tinggi, yang menurunkan nilai nutrisi dan meningkatkan risiko jamur, sehingga pabrik pakan sering lebih memilih jagung dengan standar impor untuk menjaga konsistensi pakan. Kebijakan pemerintah terkait impor jagung pakan, yang sering berubah-ubah sesuai kondisi stok nasional, juga menjadi faktor penentu harga jagung yang akhirnya membebani harga ayam potong.
SBM adalah sumber protein kritis, dan hampir 100% SBM yang digunakan dalam pakan diimpor. Ketergantungan ini membuat harga pakan sangat sensitif terhadap dua hal: harga kedelai global (terutama dari Amerika Serikat dan Brazil) dan kurs Rupiah terhadap USD. Ketika terjadi konflik dagang global atau cuaca buruk di negara produsen kedelai utama, harga SBM melambung. Jika pada saat yang sama Rupiah melemah, biaya impor menjadi berlipat ganda. Ini adalah risiko valuta asing yang harus ditanggung oleh pabrik pakan dan diteruskan ke peternak. Sebagai contoh, pergerakan kurs Rp100 per Dolar dapat mengubah biaya produksi pakan hingga ratusan Rupiah per kilogram, yang jika dikalikan dengan jutaan ton pakan yang dibutuhkan industri, dampaknya terhadap harga ayam potong sekarang sangat masif.
Selain makro nutrisi (jagung dan SBM), pakan memerlukan asam amino sintetis (seperti Lysine dan Methionine), vitamin, mineral, dan aditif seperti premix dan enzim. Bahan-bahan ini hampir seluruhnya diimpor. Biaya impor komponen mikro ini, meskipun persentasenya kecil dalam formulasi, memiliki dampak besar pada kualitas dan efisiensi pertumbuhan ayam (FCR). Kenaikan biaya logistik kontainer (freight cost) global, seperti yang terjadi pasca pandemi atau konflik geopolitik, dapat menaikkan harga aditif ini, membuat HPP ayam potong ikut terkerek naik.
Biaya transportasi bahan baku dari pelabuhan ke pabrik pakan, dan dari pabrik pakan ke peternak, juga menambah biaya yang signifikan. Lokasi pabrik pakan yang terkonsentrasi di wilayah tertentu (misalnya Jawa dan Sumatera) membuat peternak di luar pulau harus menanggung biaya pengiriman pakan yang jauh lebih tinggi. Efisiensi transportasi internal ini merupakan area kunci yang jika ditingkatkan, dapat memberikan tekanan deflasi pada harga ayam potong sekarang.
Harga ayam potong yang dilaporkan di pasar sering kali mengacu pada ayam hidup atau karkas utuh dengan bobot standar. Namun, kualitas dan bobot karkas yang dijual ke konsumen akhir bervariasi, dan variasi ini memengaruhi harga per kilogram yang dirasakan oleh pembeli.
Peternak umumnya menargetkan panen pada bobot hidup antara 1.8 hingga 2.2 kilogram per ekor. Ayam dengan bobot ini dianggap paling efisien secara FCR dan paling diminati oleh pasar tradisional maupun retail. Ayam yang dipanen terlalu kecil (di bawah 1.5 kg) atau terlalu besar (di atas 2.5 kg) seringkali dijual dengan harga yang kurang optimal, karena tidak sesuai dengan preferensi konsumen rumah tangga.
Harga ayam potong sekarang di pasar tradisional biasanya adalah harga ayam hidup yang dijual ke pengecer, yang kemudian memotongnya di tempat. Sementara itu, harga di retail modern (supermarket) adalah harga karkas atau ayam yang sudah dipotong (dressed chicken), yang telah melalui proses pemotongan higienis di RPA. Harga karkas selalu lebih tinggi daripada harga ayam hidup, karena sudah termasuk biaya pemotongan, pendinginan, pengemasan, dan margin retail.
Dalam rantai distribusi, terjadi penyusutan bobot (shrinkage), terutama pada ayam hidup yang diangkut jarak jauh. Ayam kehilangan bobot karena stres, dehidrasi, dan pengeluaran kotoran. Penyusutan ini menjadi risiko yang ditanggung oleh pedagang atau pengepul. Untuk menutup kerugian bobot ini, pedagang seringkali menaikkan harga jual per kilogram, yang menjadi salah satu faktor mengapa harga di tingkat konsumen akhir terasa lebih mahal dibandingkan harga yang dilaporkan di tingkat peternak (live bird price).
Meskipun fundamental (supply dan demand) adalah penentu utama, perilaku pasar dan spekulasi juga dapat memengaruhi harga ayam potong sekarang, terutama dalam jangka pendek.
Pengepul dan broker adalah perantara yang membeli ayam hidup dari peternak dan menjualnya ke RPA atau pasar. Karena mereka memiliki informasi mengenai ketersediaan stok di berbagai peternakan dan tingkat permintaan pasar harian, mereka berada di posisi yang sangat berpengaruh. Pada saat pasokan ketat, pengepul dapat menahan stok sementara (jika memungkinkan) atau menaikkan margin keuntungan mereka, yang secara cepat mendorong kenaikan harga ayam potong di pasar.
Peternak, terutama peternak mandiri, sering kali berada pada posisi yang lemah karena mereka tidak memiliki data pasar yang selengkap pengepul atau integrator. Mereka sering harus menerima harga yang ditawarkan oleh pembeli, bahkan jika harga tersebut berada di bawah HPP, karena ayam harus segera dipanen untuk menghindari kerugian bobot dan penyakit. Ketidakseimbangan informasi ini adalah celah pasar yang memungkinkan terjadinya penetapan harga yang tidak adil di tingkat produsen.
Pemerintah berupaya mengatasi hal ini dengan menyediakan informasi harga acuan secara transparan melalui berbagai platform, namun kecepatan pergerakan harga di pasar tradisional seringkali lebih cepat daripada pembaruan data resmi.
Wabah penyakit unggas, seperti Avian Influenza (AI) atau penyakit pernapasan lainnya, memiliki dampak dramatis dan mendadak pada harga ayam potong.
Ketika terjadi wabah, angka kematian ayam (mortalitas) di peternakan melonjak. Ini berarti pasokan yang seharusnya tersedia di pasar 30-40 hari kemudian hilang. Akibatnya, pasokan anjlok, dan harga ayam potong sekarang melonjak tinggi. Selain kerugian karena kematian, peternak juga menghadapi biaya biosekuriti dan pengobatan yang mahal, yang semuanya harus ditambahkan ke dalam perhitungan HPP ayam yang tersisa.
Selain dampak pada pasokan, isu penyakit juga memengaruhi permintaan. Ketika berita mengenai penyakit unggas meluas, konsumen cenderung menahan pembelian, menyebabkan penurunan permintaan sementara. Namun, dampak pada pasokan (gagal panen) biasanya jauh lebih besar daripada penurunan permintaan sesaat, sehingga efek bersihnya adalah kenaikan harga yang didorong oleh kelangkaan produk yang aman dan sehat.
Melihat struktur biaya input yang didominasi oleh pakan impor, harga ayam potong di Indonesia cenderung mengikuti tren global, dimediasi oleh nilai tukar Rupiah. Dalam jangka panjang, kestabilan harga hanya dapat dicapai melalui upaya domestikasi bahan baku dan peningkatan efisiensi budidaya.
Investasi besar dalam penelitian dan pengembangan substitusi pakan lokal (misalnya, penggunaan singkong, ampas sawit, atau serangga/maggot sebagai sumber protein alternatif) adalah kunci untuk mengurangi ketergantungan pada jagung dan SBM impor. Keberhasilan dalam diversifikasi ini akan mengisolasi industri dari volatilitas pasar komoditas global dan kurs USD, menghasilkan harga ayam potong yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Meningkatkan akses peternak mandiri terhadap modal, teknologi kandang tertutup, dan informasi pasar yang akurat akan mengurangi kesenjangan dengan integrator besar. Dengan peternak mandiri yang kuat, pasokan dapat didistribusikan lebih merata, dan risiko pasar tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir pemain besar. Ini akan menciptakan ekosistem pasar yang lebih sehat dan kompetitif, yang menguntungkan konsumen dengan harga yang lebih stabil.
Singkatnya, harga ayam potong sekarang bukan sekadar angka, melainkan indikator kompleks dari kesehatan rantai nilai pangan Indonesia, yang memerlukan perhatian dan investasi berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan untuk mencapai stabilitas yang diidamkan.