Memaknai Hidangan: Kupas Tuntas Doa Sebelum Makan dan Artinya
Makan adalah salah satu aktivitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Ini adalah kebutuhan biologis yang kita lakukan beberapa kali setiap hari. Namun, dalam pandangan Islam, aktivitas yang tampak rutin ini dapat diubah menjadi sebuah ibadah yang bernilai pahala, sebuah momen untuk terkoneksi dengan Sang Pencipta. Kuncinya terletak pada sebuah amalan sederhana yang seringkali kita ucapkan secara otomatis: doa sebelum makan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam bacaan doa sebelum makan, menelusuri setiap kata dan maknanya, serta mengungkap hikmah agung di baliknya.
Ilustrasi hidangan sebagai rezeki yang patut disyukuri.
Bacaan Doa Sebelum Makan yang Paling Umum
Doa yang paling dikenal dan diajarkan sejak kecil adalah sebuah untaian kalimat singkat namun padat makna. Doa ini diriwayatkan dalam berbagai kitab hadis dan menjadi pegangan umat Islam di seluruh dunia. Mari kita cermati bacaan lengkapnya.
اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ "Allahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa 'adzaa ban-naar." Artinya: "Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka."
Sekilas, doa ini tampak sederhana. Namun, jika kita menyelami setiap frasanya, kita akan menemukan lautan hikmah yang mengubah cara kita memandang sepiring nasi di hadapan kita. Ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah dialog penuh kesadaran antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Menyelami Makna Mendalam di Setiap Kata
Untuk benar-benar menghayati doa ini, mari kita bedah setiap bagiannya dan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.
1. "Allahumma" (Ya Allah)
Doa ini diawali dengan panggilan agung, "Allahumma". Ini adalah bentuk seruan langsung yang paling intim kepada Allah SWT. Dengan mengucapkannya, kita secara sadar mengarahkan seluruh perhatian, harapan, dan permohonan kita hanya kepada-Nya. Ini adalah penegasan pertama dan utama dari konsep Tauhid, yaitu mengesakan Allah sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu.
Sebelum lidah kita menyentuh makanan, hati kita terlebih dahulu menyentuh keagungan Allah. Kita mengakui bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan fakir, yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya. Panggilan "Ya Allah" ini adalah gerbang pembuka kesadaran, mengingatkan kita bahwa aktivitas makan yang akan kita lakukan bukanlah semata-mata karena kita lapar, mampu membeli, atau pandai memasak, melainkan karena izin dan karunia dari Allah SWT semata.
2. "Baarik Lanaa" (Berkahilah Kami)
Ini adalah inti permohonan dalam doa makan. Kata kuncinya adalah "Baarik" yang berasal dari kata "Barakah" atau berkah. Apa sebenarnya makna berkah? Berkah bukanlah sekadar berarti "banyak" atau "enak". Makna berkah jauh lebih luas dan dalam.
Barakah (keberkahan) adalah ziyadatul khair, yaitu bertambahnya kebaikan. Ketika kita memohon berkah atas makanan, kita sedang meminta agar makanan tersebut:
- Menjadi Sumber Energi untuk Kebaikan: Kita memohon agar makanan ini memberikan kekuatan pada tubuh kita untuk melakukan ibadah, bekerja mencari rezeki yang halal, menolong sesama, dan melakukan amal saleh lainnya. Bukan sebaliknya, menjadi energi untuk kemaksiatan.
- Menjadi Sebab Kesehatan: Kita berharap makanan ini membawa kesehatan dan menyembuhkan penyakit, bukan justru mendatangkan mudarat atau penyakit bagi tubuh kita.
- Mencukupi dan Memberi Kepuasan: Makanan yang berkah, meskipun sedikit, akan terasa cukup dan mengenyangkan. Ia memberikan rasa puas dan qana'ah (merasa cukup) di dalam hati, menjauhkan kita dari sifat serakah dan tidak pernah puas.
- Mendatangkan Ketenangan Jiwa: Makanan yang diberkahi akan membawa dampak positif tidak hanya pada fisik, tetapi juga pada jiwa. Ia menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan membuat kita lebih mudah untuk bersyukur.
Dengan memohon keberkahan, kita mengubah fungsi makanan dari sekadar pengisi perut menjadi bahan bakar spiritual. Kita tidak ingin makanan ini hanya lewat di kerongkongan lalu menjadi kotoran, tetapi kita ingin setiap partikelnya menjadi saksi kebaikan dan sumber kekuatan untuk taat kepada Allah.
3. "Fiimaa Razaqtanaa" (Dalam Rezeki yang Telah Engkau Berikan Kepada Kami)
Frasa ini adalah wujud pengakuan dan rasa syukur yang tulus. Kata "Razaqtanaa" (Engkau telah memberikan rezeki kepada kami) adalah sebuah pernyataan tegas bahwa makanan yang tersaji di hadapan kita, entah itu nasi, lauk pauk, sayuran, atau bahkan seteguk air, adalah murni pemberian dari Allah.
Kalimat ini melatih kita untuk menanggalkan kesombongan. Mungkin kita merasa telah bekerja keras membanting tulang untuk mendapatkan uang, lalu pergi ke pasar, memilih bahan-bahan terbaik, dan memasaknya dengan keahlian kita. Namun, doa ini mengingatkan kita:
- Siapa yang memberikan kita kekuatan untuk bekerja?
- Siapa yang menumbuhkan padi di sawah dan sayuran di kebun?
- Siapa yang memberikan kita akal untuk mengolah bahan mentah menjadi hidangan lezat?
- Siapa yang memberikan kita kesehatan untuk bisa merasakan nikmatnya makanan?
Jawabannya hanya satu: Allah SWT. Pengakuan ini melahirkan rasa syukur yang mendalam. Kita sadar bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Semua ini hanyalah titipan dan karunia. Kesadaran ini akan menjauhkan kita dari sifat kufur nikmat, yaitu mengingkari atau melupakan sumber nikmat yang sebenarnya.
Lebih jauh lagi, kata "Rizqi" (rezeki) tidak terbatas pada makanan saja. Ia mencakup segala hal: kesehatan, waktu luang, keluarga yang menemani saat makan, keamanan, dan iman itu sendiri. Jadi, saat mengucapkan frasa ini, kita sebenarnya sedang mensyukuri paket nikmat yang lengkap, yang memungkinkan kita untuk bisa menikmati hidangan tersebut.
4. "Wa Qinaa 'Adzaa ban-Naar" (Dan Peliharalah Kami dari Siksa Api Neraka)
Pada awalnya, bagian akhir dari doa ini mungkin terasa tidak berhubungan. Kita sedang membicarakan makanan, mengapa tiba-tiba melompat ke permohonan perlindungan dari siksa neraka? Inilah letak keagungan dan visi jangka panjang dari doa ini. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan di dunia ini memiliki konsekuensi di akhirat.
Permohonan ini menghubungkan aktivitas duniawi (makan) dengan tujuan akhirat (selamat dari neraka). Bagaimana makanan bisa menjerumuskan kita ke dalam neraka?
- Dari Sumber yang Haram: Jika makanan itu didapat dari hasil mencuri, korupsi, menipu, atau cara-cara batil lainnya, maka setiap suapannya adalah bahan bakar yang mendekatkan diri pada api neraka. Doa ini adalah permohonan agar Allah menjauhkan kita dari rezeki haram.
- Menyebabkan Kelalaian: Kenyang yang berlebihan seringkali membuat seseorang malas beribadah. Mata menjadi berat untuk terjaga di malam hari, badan terasa enggan untuk bangkit shalat, dan hati menjadi keras. Kelalaian inilah yang bisa menjadi jalan menuju siksa.
- Menimbulkan Kesombongan dan Pemborosan: Makan secara berlebihan, membuang-buang makanan (mubazir), dan pamer dengan hidangan mewah adalah perbuatan yang dibenci Allah. Perilaku ini adalah manifestasi dari kesombongan dan tidak adanya rasa syukur, yang merupakan sifat penghuni neraka.
- Menjadi Sebab Sakit dan Merusak Diri: Tubuh adalah amanah dari Allah. Memasukkan makanan yang jelas-jelas merusak kesehatan secara sengaja dan berlebihan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Jadi, dengan mengucapkan "wa qinaa 'adzaa ban-naar", kita sedang memohon agar makanan ini menjadi sarana kita menuju surga, bukan sebaliknya. Kita meminta agar setiap suapan menjadi pemberat timbangan amal baik kita, memberikan kita kekuatan untuk taat, dan menjauhkan kita dari segala hal yang dapat menyebabkan murka Allah SWT.
Bagaimana Jika Lupa Berdoa di Awal Makan?
Manusia adalah tempatnya lupa. Terkadang karena terlalu lapar atau terburu-buru, kita langsung menyantap makanan tanpa sempat membaca doa. Islam, sebagai agama yang penuh rahmat dan kemudahan, memberikan solusi untuk hal ini. Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa singkat jika kita teringat di tengah-tengah makan.
بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ "Bismillahi awwalahu wa akhirahu." Artinya: "Dengan nama Allah pada awal dan akhirnya."
Doa ini menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah. Kesempatan untuk mengingat-Nya tidak pernah tertutup. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu 'anha menyebutkan bahwa ketika seseorang mengucapkan doa ini, setan yang telah ikut makan bersamanya akan memuntahkan kembali apa yang telah ia makan. Ini secara simbolis mengajarkan bahwa dengan menyebut nama Allah, keberkahan yang sempat hilang karena kelalaian kita dapat diraih kembali, dan pengaruh buruk dari setan dapat diusir, baik di awal maupun di akhir proses makan.
Adab-adab Makan Sesuai Sunnah Rasulullah SAW
Membaca doa adalah bagian terpenting, namun ia akan lebih sempurna jika diiringi dengan adab atau etiket makan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Adab ini bukan sekadar aturan formal, melainkan praktik yang mengandung banyak hikmah, baik dari sisi kesehatan, sosial, maupun spiritual.
1. Mencuci Tangan Sebelum Makan
Ini adalah sunnah yang sangat relevan dengan ilmu kesehatan modern. Mencuci tangan sebelum makan adalah tindakan preventif untuk mencegah kuman dan kotoran masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Dari sisi spiritual, ini adalah bentuk persiapan diri, membersihkan bagian tubuh yang akan bersentuhan langsung dengan nikmat Allah, menunjukkan bahwa kita siap menerima rezeki tersebut dalam keadaan suci.
2. Menggunakan Tangan Kanan
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia makan dengan tangan kanannya. Dan apabila ia minum, maka hendaknya ia minum dengan tangan kanannya. Karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya." (HR. Muslim). Menggunakan tangan kanan adalah bentuk ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi dan membedakan diri kita dari perbuatan setan. Ini adalah cara sederhana untuk mendapatkan pahala dalam setiap suapan.
3. Makan Sambil Duduk
Makan sambil berdiri atau berjalan adalah kebiasaan yang kurang baik. Rasulullah SAW menganjurkan untuk makan dalam posisi duduk. Secara medis, makan sambil duduk memberikan posisi yang lebih baik bagi lambung untuk mencerna makanan. Secara etika, ini menunjukkan ketenangan, penghormatan terhadap makanan, dan tidak terkesan tergesa-gesa seperti hewan.
4. Mengambil Makanan yang Terdekat
Dalam sebuah jamuan, adab yang baik adalah mengambil makanan yang berada paling dekat dengan kita, bukan menjangkau makanan yang berada di depan orang lain. Ini mengajarkan tentang kesopanan, tenggang rasa, dan tidak serakah. Hal ini juga melatih kita untuk ridha dengan apa yang ada di hadapan kita.
5. Tidak Mencela Makanan
Sebuah adab yang mulia adalah tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan. Jika suka, makanlah. Jika tidak suka, tinggalkan tanpa perlu memberikan komentar negatif. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau berselera (menyukai makanan), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau meninggalkannya." (HR. Bukhari & Muslim). Mencela makanan sama dengan mencela rezeki dari Allah dan dapat menyakiti hati orang yang telah menyiapkannya.
6. Makan Secukupnya dan Tidak Berlebihan
Prinsip moderasi adalah inti dari gaya hidup seorang muslim. Allah berfirman, "...makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31). Makan berlebihan (israf) dapat menyebabkan berbagai penyakit fisik, membuat jiwa malas beribadah, dan mengeraskan hati. Rasulullah SAW memberikan panduan praktis: sepertiga perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas.
7. Menutup dengan Doa Sesudah Makan
Sebagaimana kita memulai dengan doa, kita juga seharusnya menutupnya dengan doa. Ini adalah ungkapan syukur yang sempurna atas nikmat yang baru saja kita terima. Doa sesudah makan yang populer adalah:
اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مُسْلِمِيْنَ "Alhamdulillahilladzi ath-amanaa wa saqoonaa wa ja'alanaa minal muslimiin." Artinya: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum, serta menjadikan kami termasuk golongan orang-orang muslim."
Doa penutup ini mengikat nikmat fisik (makan dan minum) dengan nikmat terbesar, yaitu nikmat iman dan Islam ("menjadikan kami muslim"). Kita bersyukur bukan hanya karena perut kita kenyang, tetapi karena kita diberi hidayah untuk menjadi seorang muslim yang dapat menikmati rezeki-Nya dalam bingkai ketaatan.
Kesimpulan: Transformasi Sebuah Rutinitas
Doa sebelum makan, jika dihayati dan diamalkan dengan kesadaran penuh, memiliki kekuatan untuk mengubah sebuah rutinitas biologis menjadi sebuah pengalaman spiritual yang mendalam. Ia bukan sekadar hafalan kosong, melainkan sebuah deklarasi iman, permohonan berkah, ungkapan syukur, dan pengingat akan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Dengan memulainya dengan "Allahumma", kita mengakui sumbernya. Dengan memohon "Baarik lanaa", kita mencari kualitas ilahi di dalamnya. Dengan menyatakan "fiimaa razaqtanaa", kita menanamkan rasa syukur. Dan dengan berdoa "wa qinaa 'adzaa ban-naar", kita menyelaraskan tindakan kita dengan tujuan akhirat.
Mari kita jadikan setiap waktu makan sebagai momen untuk berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan menghubungkan hati kita kepada Sang Pemberi Rezeki. Dengan begitu, setiap butir nasi yang kita makan tidak hanya akan mengenyangkan perut, tetapi juga akan menyehatkan jiwa, memberkahi hidup, dan insya Allah, menjadi pemberat timbangan kebaikan kita di yaumul hisab kelak.