Al Lahab dan Artinya: Tafsir, Sejarah, dan Pelajaran Abadi dari Surah Al-Masad
I. Pengantar: Siapakah Abu Lahab dan Mengapa Ia Diabadikan dalam Al-Qur'an?
Nama Abu Lahab, yang artinya 'Bapak Api yang Menyala', telah diabadikan dalam Surah ke-111 dari Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Masad (atau dikenal juga sebagai Surah Tabbat). Bukan diabadikan sebagai pahlawan atau figur teladan, melainkan sebagai peringatan abadi tentang konsekuensi dari permusuhan yang melampaui batas terhadap kebenaran ilahi dan utusan-Nya.
Abu Lahab memiliki nama asli Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. Ia adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, bersaudara dengan ayah Nabi, Abdullah, dan paman-paman Nabi lainnya seperti Hamzah dan Abbas. Keterikatan darah ini seharusnya menjadi ikatan pelindung, namun sejarah mencatatnya sebagai musuh paling gigih, keras, dan keji dalam barisan keluarga dekat Nabi di awal dakwah Islam. Surah Al-Masad merupakan satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara spesifik menyebut nama seseorang dari kalangan musuh, memberikan vonis ilahi atas kehancuran dirinya di dunia maupun akhirat, bahkan sebelum ia wafat.
Pelajaran mengenai Al Lahab jauh melampaui biografi seorang individu; ini adalah studi mendalam tentang sifat kekafiran yang paling murni, pembuktian kebenaran nubuwah (kenabian), dan ketetapan hukum kausalitas spiritual. Untuk memahami kedalaman makna ini, kita harus menyelami konteks sejarah Mekah, analisis linguistik nama tersebut, dan tafsir mendalam terhadap setiap ayat Surah Al-Masad.
1.1. Makna Linguistik "Al Lahab"
Secara harfiah, kata Lahab (لهب) berarti lidah api yang menyala, bara api murni, atau jilatan api yang sangat panas tanpa asap. Abu Lahab menggunakan nama panggilan ini karena wajahnya yang konon tampan dan cerah kemerah-merahan. Ironisnya, nama panggilannya yang indah di dunia ini menjadi deskripsi yang tepat untuk takdirnya di akhirat—yaitu api neraka yang menyala-nyala.
Penggunaan nama ini oleh Allah dalam Surah Al-Masad adalah sebuah mukjizat kebahasaan. Allah tidak memanggilnya dengan nama aslinya, Abdul Uzza (hamba Uzza, Uzza adalah berhala), karena itu merupakan nama yang buruk dan menunjukkan penyembahan kepada selain Allah. Namun, Allah menggunakan kunyah-nya (nama panggilan), Abu Lahab, yang kemudian berfungsi ganda: ia merujuk pada pribadinya dan sekaligus menubuatkan azab yang akan menimpanya. Ini adalah contoh penggunaan bahasa yang sangat presisi dan profetik dalam Al-Qur'an.
II. Tafsir Mendalam Surah Al-Masad (Tabbat)
Surah Al-Masad, surah pendek yang terdiri dari lima ayat, mengandung vonis yang definitif. Surah ini diturunkan di Mekah, pada masa-masa awal dakwah, dan merupakan respons langsung terhadap tindakan permusuhan Abu Lahab di hadapan publik. Membedah setiap ayat memberikan pemahaman komprehensif tentang sifat permusuhannya dan konsekuensi ilahi yang tak terhindarkan.
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۙ
2.1. Ayat 1: Tabbat Yada Abi Lahabin Wa Tabb (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan binasalah dia!)
Kata kunci di sini adalah Tabbat (تَبَّتْ). Ini berasal dari kata dasar *T-B-B* yang memiliki arti kerugian, kehancuran, kegagalan, dan kebinasaan. Ini bukan sekadar kutukan, tetapi penegasan takdir yang pasti.
- "Yada Abi Lahab" (Kedua tangan Abu Lahab): Dalam bahasa Arab, penyebutan "tangan" sering kali mewakili upaya, usaha, atau daya upaya seseorang. Artinya, segala usaha dan rencana yang dilakukan Abu Lahab untuk memadamkan cahaya Islam akan sia-sia, gagal, dan binasa. Tindakannya di dunia akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
- "Wa Tabb" (dan sungguh dia telah binasa): Setelah menyebut kehancuran usahanya (tangan), Allah mengukuhkan bahwa kehancuran itu tidak hanya terbatas pada upayanya di dunia, tetapi juga meliputi dirinya secara keseluruhan. Ini adalah kehancuran mutlak, baik di dunia (gagal melihat kemenangan Islam) maupun di akhirat (masuk neraka).
Para mufassir menekankan bahwa kalimat kedua ini adalah penekanan yang memperkuat hukuman. Ini adalah vonis ganda: binasa usahanya dan binasa dirinya sendiri. Vonis ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup, merupakan salah satu bukti terbesar kenabian, karena ia tidak pernah beriman seumur hidupnya—memastikan kebenaran nubuat Al-Qur'an.
2.2. Ayat 2: Ma Aghna 'anhu maluhu wa ma kasab (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.)
Abu Lahab adalah orang yang kaya raya dan terpandang di kalangan Quraisy. Di Mekah, harta dan kedudukan adalah segalanya. Ayat ini menghancurkan dua pondasi utama yang dibanggakan Abu Lahab: kekayaan materi (Maluhu) dan hasil upayanya (Ma Kasab).
Terdapat dua penafsiran utama tentang "Ma Kasab":
- Anak-anaknya: Banyak ulama, termasuk Ibn Abbas, menafsirkan 'apa yang dia usahakan' sebagai anak-anaknya. Anak-anak laki-laki adalah sumber kekuatan, kehormatan, dan pelindung di masyarakat jahiliyah. Namun, ayat ini menegaskan bahwa bahkan anak-anaknya tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab Allah.
- Perbuatan Baiknya: Penafsiran lain menyebutkan bahwa segala amal baik atau kehormatan sosial yang ia kumpulkan di dunia (seperti memberi makan peziarah, menjamu tamu) akan sia-sia di hadapan kekafirannya yang mendalam terhadap risalah tauhid.
Intinya, ayat ini meniadakan seluruh sumber daya duniawi yang dimiliki Abu Lahab sebagai alat penyelamat di akhirat. Kepemilikan materi tidak memiliki nilai apa pun di hadapan murka ilahi.
2.3. Ayat 3: Sayasla naran dzata lahab (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak/berkobar.)
Ayat ini adalah pemenuhan profetik dari nama panggilannya. "Sayasla" menunjukkan masa depan yang pasti. "Naran dzata lahab" berarti api yang memiliki jilatan atau nyala murni (lahab). Ini adalah sebuah permainan kata yang luar biasa: Bapak Jilatan Api di dunia, akan dimasukkan ke dalam Api Jilatan di akhirat.
Mufassir Qatadah menyatakan bahwa ini adalah penegasan tegas bahwa takdir Abu Lahab adalah kekal di dalam Neraka. Penggunaan kata "Lahab" di sini mengintensifkan gambaran azab, menekankan bahwa api neraka bukanlah api biasa, melainkan api yang murni membakar tanpa ampun.
2.4. Ayat 4: Wamra'atuhu hammalatal-hatab (Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.)
Azab ini tidak hanya menimpa Abu Lahab sendiri, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil, Arwa binti Harb, yang merupakan saudara perempuan Abu Sufyan. Kejahatan Ummu Jamil sama besarnya dengan kejahatan suaminya, dan ia memainkan peran aktif dalam permusuhan.
Dia dijuluki "Hammalatal-Hatab" (pembawa kayu bakar). Ini memiliki dua interpretasi mendasar:
- Makna Harfiah: Beberapa riwayat menyatakan bahwa Ummu Jamil biasa mengumpulkan ranting-ranting berduri (atau kayu bakar) dan menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad ﷺ agar beliau terluka.
- Makna Metaforis (Penyebar Fitnah): Makna yang lebih kuat dan disepakati banyak ulama adalah bahwa ia adalah pembawa fitnah (pencela/provokator). Ia menyalakan api permusuhan dan kebencian antar suku, serta menyebarkan kebohongan dan gosip buruk tentang Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran Islam. Dalam budaya Arab, orang yang menyalakan api pertikaian disebut pembawa kayu bakar.
Ayat ini mengajarkan bahwa kekafiran seringkali merupakan kemitraan kejahatan. Istri Abu Lahab adalah pendukung aktif kekafiran suaminya, sehingga ia pantas berbagi azab yang sama.
2.5. Ayat 5: Fi jidiha hablum mim masad (Di lehernya ada tali dari sabut.)
Ayat penutup ini menggambarkan azab yang spesifik bagi Ummu Jamil sebagai hukuman atas kejahatannya membawa kayu bakar (fitnah) di dunia.
- "Jiidiha" (Lehernya): Tempat di mana tali akan dililitkan.
- "Hablum mim Masad" (Tali dari Masad/Sabut): Masad adalah tali yang dipilin dengan kuat dari serat pohon kurma yang kasar atau dari besi. Tali ini di akhirat akan menjadi rantai yang membelenggu lehernya, digunakan untuk menyeretnya ke dalam api neraka.
Tafsir menghubungkan: di dunia, ia membawa kayu bakar (fitnah) di atas pundaknya. Di akhirat, tali yang akan menyeretnya adalah hasil dari tindakannya sendiri. Beberapa mufassir juga melihatnya sebagai simbol perbudakan dan penghinaan—ia yang dahulu terhormat di dunia, kini menjadi hina dan terikat di akhirat.
III. Konteks Sejarah Permusuhan: Bani Hasyim dan Bukit Safa
Untuk memahami mengapa permusuhan Abu Lahab begitu menonjol hingga diabadikan dalam Qur'an, kita perlu menempatkannya dalam konteks struktural masyarakat Mekah dan tahapan awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
3.1. Posisi Abu Lahab dalam Quraisy
Abu Lahab bukan orang sembarangan. Ia adalah anggota Bani Hasyim, klan yang sama dengan Nabi Muhammad ﷺ. Dalam tradisi Arab, klan adalah segalanya; klan melindungi anggotanya dari suku lain. Pamanda Nabi, Abu Thalib, adalah kepala Bani Hasyim dan meskipun ia tidak memeluk Islam, ia memberikan perlindungan klan yang krusial kepada Nabi. Sebaliknya, Abu Lahab memilih memutus ikatan darah dan perlindungan klan demi permusuhan ideologis, bergabung dengan klan-klan musuh seperti Bani Makhzum.
Keputusan Abu Lahab ini sangat berbahaya bagi Nabi. Ketika perlindungan klan dicabut oleh salah satu anggota terkemuka, hal itu memberikan legitimasi kepada musuh luar untuk menyerang Nabi. Dengan kata lain, permusuhan Abu Lahab bukan sekadar caci maki pribadi, tetapi pengkhianatan terhadap perlindungan klan dan keluarga, yang merongrong keselamatan fisik Nabi.
3.2. Peristiwa Bukit Safa: Titik Balik
Peristiwa yang memicu turunnya Surah Al-Masad terjadi setelah turunnya perintah Allah untuk berdakwah secara terang-terangan (QS Asy-Syu'ara: 214). Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa, mengumpulkan seluruh klan Quraisy—Bani Hasyim, Bani Muththalib, Bani Zuhrah, dll.—untuk menyampaikan risalahnya.
Nabi ﷺ bertanya kepada mereka: "Bagaimana pendapat kalian jika aku mengatakan bahwa ada pasukan berkuda di balik lembah ini yang akan menyerang kalian di pagi hari atau malam hari, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak: "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Setelah mendapatkan pengakuan kebenaran ini, Nabi ﷺ berkata: "Maka sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang azab yang pedih di hadapan kalian."
Tepat pada momen yang paling krusial ini, ketika Nabi berusaha membangun jembatan kepercayaan berdasarkan sejarah kebenaran beliau, Abu Lahab melompat dan berteriak: "Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Caci maki ini sangat merusak upaya dakwah publik Nabi. Ia tidak hanya menolak risalah, tetapi ia juga memprovokasi kerumunan, memalukan Nabi di hadapan publik klan-klan besar Mekah. Ini adalah permusuhan yang tidak dapat ditoleransi oleh Langit, yang kemudian direspon dengan firman ilahi yang abadi, membalikkan kutukan Abu Lahab kepada dirinya sendiri: Tabbat Yada Abi Lahabin Wa Tabb.
3.3. Upaya Istri Abu Lahab (Ummu Jamil)
Ummu Jamil, saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam), adalah mitra sempurna dalam kejahatan ini. Ia menggunakan kekayaan dan kedudukannya untuk memusuhi Nabi dan keluarga beliau. Riwayat mencatat:
- Ia aktif menyebarkan puisi-puisi satir dan fitnah terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
- Ia berusaha membuat Nabi celaka dengan menaburkan duri di jalan beliau.
- Ia menggunakan lidahnya sebagai "kayu bakar" untuk menyalakan api perselisihan antara klan.
Keterlibatan aktif Ummu Jamil inilah yang memastikan ia menerima hukuman yang sama seperti suaminya, sebagaimana diabadikan dalam ayat 4 dan 5 Surah Al-Masad.
IV. Implikasi Teologis dan Mukjizat Surah Al-Masad
Surah Al-Masad adalah salah satu surah yang paling banyak dibahas dalam kajian teologi Islam, karena ia memberikan bukti nyata mengenai tiga pilar penting akidah: kenabian, kepastian janji (atau ancaman) Allah, dan kemahatahuan-Nya.
4.1. Pembuktian Kenabian (Nubuwah)
Mukjizat terbesar dari surah ini adalah bahwa ia memberikan vonis akhir terhadap Abu Lahab saat dia masih hidup. Allah berfirman bahwa dia akan binasa dan pasti masuk Neraka (Sayasla Naran). Jika saja Abu Lahab ingin membuktikan bahwa Al-Qur'an itu dusta, yang harus ia lakukan hanyalah berpura-pura masuk Islam, bahkan hanya sehari sebelum kematiannya.
Namun, Abu Lahab tidak pernah beriman. Dia tetap kafir hingga kematiannya. Tindakan ini membuktikan bahwa nubuat Al-Qur'an adalah kebenaran mutlak yang berasal dari Dzat Yang Mahatahu, yang mengetahui masa depan dan nasib akhir seseorang. Ayat tersebut telah membatasi kehendak bebas Abu Lahab untuk memilih iman, bukan karena Allah memaksanya kufur, tetapi karena Allah mengetahui secara pasti bahwa dengan segala keangkuhan dan permusuhannya, dia tidak akan pernah memilih iman.
Para ulama tafsir menekankan bahwa inilah yang membedakan Al-Qur'an dari buku sejarah biasa. Al-Qur'an tidak hanya mencatat masa lalu, tetapi juga menubuatkan masa depan individu tertentu dengan kepastian 100%. Tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan Abu Lahab pernah mengucapkan syahadat, bahkan dalam keadaan sekarat.
4.2. Makna Harta dan Anak (Ma Aghna 'Anhu Maluhu wa ma Kasab)
Ayat kedua memberikan pelajaran teologis mendalam mengenai nilai materi dan keturunan di hadapan Allah. Masyarakat Arab Jahiliyah sangat menjunjung tinggi harta dan jumlah anak laki-laki. Mereka percaya bahwa kekuatan dan kehormatan mereka akan melindungi mereka dari malapetaka, baik di dunia maupun setelahnya.
Surah Al-Masad membalikkan paradigma ini. Ketika Abu Lahab dan istrinya menghadapi azab yang ditentukan Allah, harta yang mereka kumpulkan dan anak-anak yang mereka banggakan tidak dapat membantu sedikit pun. Ini adalah penegasan fundamental Tauhid: satu-satunya yang bermanfaat pada Hari Perhitungan adalah iman dan amal saleh.
Hal ini juga terwujud secara faktual di dunia. Ketika Islam menang di Mekah, kekuatan dan pengaruh Bani Hasyim yang mendukung Nabi tetap kokoh, sementara pengaruh Abu Lahab dan keluarganya hilang sepenuhnya. Ia meninggal dalam keadaan terhina, terjangkit wabah yang membuat orang-orang menjauhinya (wabah 'Adasah, sejenis cacar), sehingga tidak ada yang berani mendekati jenazahnya karena takut tertular, hingga ia dikuburkan dengan cara didorong menggunakan kayu dari jarak jauh.
4.3. Konsep Kemitraan dalam Kekafiran
Vonis ilahi tidak hanya ditujukan kepada Abu Lahab, tetapi juga kepada istrinya. Secara teologis, ini menegaskan prinsip keadilan Allah. Hukuman diberikan berdasarkan kontribusi individu terhadap kejahatan. Istri Abu Lahab adalah penyebar fitnah (pembawa kayu bakar), sebuah peran yang merusak tatanan sosial dan memusuhi kenabian. Dengan mencantumkan keduanya, Al-Qur'an mengajarkan bahwa tanggung jawab dosa dan pahala adalah individual, dan dukungan aktif terhadap kebatilan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
V. Analisis Karakter Abu Lahab: Psikologi Permusuhan Keluarga
Mengapa seorang paman, yang secara tradisi seharusnya menjadi pelindung, menjadi musuh utama keponakannya? Analisis ini harus melampaui sekadar penolakan agama dan menyentuh aspek-aspek psikologi dan sosiologi Quraisy.
5.1. Konflik Status dan Kepemimpinan
Ketika Abdul Muththalib (kakek Nabi) meninggal, kepemimpinan Bani Hasyim beralih ke Abu Thalib. Nabi Muhammad ﷺ, yatim piatu, juga berada di bawah perlindungan Abu Thalib. Abu Lahab, sebagai paman yang kaya dan terpandang, mungkin merasa iri atau terancam oleh potensi munculnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai figur spiritual dan sosial. Islam, dengan ajarannya tentang kesetaraan di hadapan Tuhan, mengancam sistem hierarki berbasis darah dan kekayaan yang dinikmati Abu Lahab.
Permusuhannya dapat diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan status quo. Jika Muhammad berhasil, Abu Lahab akan kehilangan bukan hanya agamanya, tetapi juga pengaruh dan kedudukannya di Mekah. Keputusan untuk memusuhi Nabi adalah upaya politik untuk memastikan bahwa kepemimpinan sosial tetap berada di tangan elit Quraisy lama.
5.2. Keangkuhan dan Materialisme
Ciri khas musuh-musuh awal Islam adalah keangkuhan (takabbur) dan materialisme. Abu Lahab tidak bisa menerima bahwa seorang yatim piatu yang dibesarkan oleh pamannya bisa menjadi Utusan Allah. Ayat kedua Surah Al-Masad secara langsung menargetkan keangkuhan materialnya: “Tidaklah berguna baginya hartanya.” Ini menunjukkan bahwa keterikatan kuat Abu Lahab pada kekayaan duniawi adalah penghalang utama imannya. Ia percaya kekayaanlah yang akan menyelamatkannya, bukan Tuhan Yang Maha Esa.
5.3. Pemutusan Hubungan Darah (Qathi’ur Rahm)
Dalam Islam, menjaga silaturahmi (silaturahmi) adalah perintah utama. Abu Lahab tidak hanya gagal menjaga silaturahmi; dia secara aktif berusaha menghancurkan keponakannya sendiri. Sikap ini menempatkannya pada tingkat kejahatan yang sangat serius, karena melanggar norma sosial dan perintah spiritual tentang hubungan kekerabatan.
Bahkan, permusuhan ini dipertegas dengan tindakan praktis. Dua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah, menikahi putri-putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Setelah Surah Al-Masad turun, Abu Lahab dan Ummu Jamil memaksa putra-putra mereka untuk menceraikan putri-putri Nabi ﷺ. Tindakan ini merupakan puncak dari penghinaan dan pemutusan hubungan keluarga, menunjukkan intensitas kebencian yang didorong oleh kedua orang tua tersebut.
Kehancuran yang diucapkan dalam Tabbat Yada adalah konsekuensi logis dari kegagalan totalnya memenuhi tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual sebagai seorang paman dan anggota klan yang terhormat. Ini adalah pelajaran bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang jika ia menentang kebenaran secara sadar dan aktif.
***
VI. Analisis Mendalam Lanjutan: Dimensi Etimologis dan Morfologis
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan, kita harus menganalisis struktur kebahasaan yang dipilih oleh Al-Qur'an secara mikroskopis. Pemilihan kata dalam Surah Al-Masad bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi mukjizat linguistik.
6.1. Eksplorasi Morfologi Kata "Tabbat" (تَبَّتْ)
Kata Tabbat adalah bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi) yang dikaitkan dengan 'tangan' (yada). Dalam Al-Qur'an, kata yang sama digunakan dalam bentuk lain, seperti Tababa. Kata ini, ketika digunakan dua kali (Tabbat... wa Tabb), memberikan dimensi penekanan yang luar biasa.
Dalam ilmu Balaghah (Retorika Arab), pengulangan ini (Tabbat... wa Tabb) disebut Ithnab atau Taukid (penguatan). Hal ini menegaskan bahwa kehancuran itu terjadi dalam dua fase atau dua aspek:
- Kehancuran Tindakan (Tabbat Yada): Seluruh usaha duniawinya, upaya menghalangi dakwah, dan kekayaan yang ia andalkan.
- Kehancuran Diri (Wa Tabb): Kehancuran jiwa dan nasib abadinya di akhirat.
Pilihan fi’il madhi (kata kerja lampau) untuk vonis masa depan (Tabbat—dia telah binasa) mengindikasikan kepastian yang absolut. Meskipun secara waktu Abu Lahab masih hidup, takdirnya sudah ditetapkan dan dianggap sebagai fakta yang sudah terjadi dalam pandangan Allah. Ini memperkuat mukjizat kenabian yang telah dibahas sebelumnya.
6.2. Dualisme "Lahab" dalam Ayat 3
Ayat 3, سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ, adalah puncak dari keindahan retorika. Di sini, nama panggilan duniawi Abu Lahab (Bapak Jilatan Api) dihubungkan langsung dengan takdirnya (api yang memiliki jilatan api). Jika Abu Lahab dipanggil dengan nama aslinya, Abdul Uzza, korelasi puitis dan peringatan ini akan hilang.
Penggunaan kata Lahab dalam konteks Neraka memberikan gambaran api yang berbeda. Api Neraka (Nar) adalah api hukuman. Penambahan dzata lahab mengisyaratkan api yang intensif, murni, dan tanpa belas kasihan. Ini adalah contoh di mana nama seseorang secara harfiah menjadi deskripsi azabnya, sebuah kesatuan antara identitas duniawi yang angkuh dan hukuman ukhrawi yang definitif.
6.3. Analisis "Masad" (Sabut Keras)
Kata Masad (مَسَدٍ) adalah istilah yang sangat spesifik untuk tali yang kasar dan kuat yang terbuat dari serat pohon kurma atau bahan keras lainnya. Mengapa Allah memilih tali masad, bukan rantai besi biasa (yang juga disebutkan di Qur'an)?
Beberapa mufassir kontemporer dan ahli bahasa menekankan bahwa Masad secara historis digunakan oleh masyarakat miskin atau budak untuk membawa beban berat. Ummu Jamil adalah wanita kaya dan terhormat yang biasanya menggunakan tali yang halus dan mahal. Dengan dihukum menggunakan tali masad di akhirat, hal itu merupakan penghinaan ganda: ia dihukum dengan benda yang melambangkan penderitaan orang miskin yang ia pandang rendah, dan tali itu digunakan untuk membelenggu dirinya—wanita bebas yang bangga—seperti seorang budak, menyeretnya ke dalam api.
Ini melengkapi narasi keadilan ilahi: ia yang menyebar fitnah (kayu bakar) dan merasa superior di dunia, akan diseret sebagai budak oleh tali yang terbuat dari bahan paling kasar yang dulunya ia pandang sebelah mata.
***
VII. Pelajaran Abadi dari Kisah Abu Lahab
Meskipun Surah Al-Masad berbicara tentang individu tertentu di masa lalu, ajaran dan peringatannya bersifat universal dan abadi. Kisah Abu Lahab memberikan pelajaran kritis bagi setiap Muslim, terutama di era modern.
7.1. Kekuatan Iman Melawan Ikatan Darah
Pelajaran utama adalah bahwa ikatan darah (nasab) tidak memberikan kekebalan dari azab Allah. Abu Lahab adalah paman Nabi, tetapi kekafiran aktifnya memutus ikatan spiritual dan menjadikannya musuh. Sebaliknya, figur seperti Salman Al-Farisi (dari Persia) atau Bilal bin Rabah (dari Abyssinia), meskipun bukan dari Bani Hasyim, diangkat statusnya karena iman mereka.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda: "Barangsiapa yang lambat amalnya, maka keturunannya tidak akan mempercepatnya." Kisah Abu Lahab adalah bukti Qura'nik terhadap prinsip ini. Keberhasilan atau kehancuran seseorang sepenuhnya bergantung pada amal dan imannya, bukan pada silsilah keluarganya.
7.2. Bahaya Kekayaan dan Kekuasaan Tanpa Tuhan
Abu Lahab adalah simbol kapitalisme dan kekuasaan jahiliyah yang menempatkan harta di atas moralitas. Surah ini merupakan peringatan bagi mereka yang menggunakan kekayaan dan pengaruh sosial untuk menindas kebenaran. Pada akhirnya, semua kekuasaan duniawi akan musnah di hadapan keadilan Tuhan.
Kisah ini relevan bagi pemimpin, orang kaya, dan figur publik saat ini. Ketika kekayaan digunakan untuk menyebarkan permusuhan, fitnah, dan menghalangi ajaran kebaikan (seperti Ummu Jamil yang membawa kayu bakar fitnah), maka kekayaan itu akan menjadi sumber kehancuran, bukan keselamatan.
7.3. Keharusan Berhati-hati Terhadap Fitnah (Kayu Bakar)
Peran Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" memiliki resonansi kuat di era informasi dan media sosial. Hari ini, fitnah tidak disebarkan melalui ranting berduri di jalan, tetapi melalui kata-kata, berita palsu, dan narasi kebencian yang tersebar dengan kecepatan tinggi. Setiap orang yang secara sadar menyebarkan kebohongan (fitnah) untuk menyalakan api perselisihan atau merusak reputasi orang lain berada dalam kategori 'Hammalatal-Hatab'.
Surah ini mengajarkan bahwa fitnah adalah kejahatan serius yang memiliki hukuman spesifik di akhirat. Lidah yang digunakan untuk merusak akan dibalas dengan tali (Masad) yang melilit leher.
7.4. Ketegasan Allah dalam Menetapkan Azab
Surah Al-Masad adalah surah yang berbicara tentang kemarahan ilahi. Ini mengingatkan umat manusia bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun, tetapi juga Dzat yang Maha Keras Azab-Nya. Ketika kebenaran ditolak dengan keangkuhan, dan permusuhan dilakukan secara terbuka dan agresif (seperti yang dilakukan Abu Lahab di Bukit Safa), maka azab yang definitif akan ditetapkan. Ini adalah dorongan bagi mukmin untuk tidak pernah meremehkan konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran yang jelas.
Penolakan Abu Lahab adalah penolakan terhadap kesatuan Allah (Tauhid) dan risalah Nabi-Nya, yang mana merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika dibawa hingga mati. Surah ini berfungsi sebagai barometer: di mana pun kebenaran didakwahkan, akan selalu ada ‘Abu Lahab’ modern yang menentang, dan konsekuensi bagi mereka akan selalu sama.
***
VIII. Perluasan Tafsir Lintas Mazhab dan Abad
Kisah Abu Lahab telah dianalisis oleh para ulama besar sepanjang sejarah, dari era sahabat hingga kontemporer. Masing-masing memberikan nuansa pemahaman yang memperkaya konteks surah ini.
8.1. Perspektif Ibn Kathir
Imam Ibn Kathir, dalam tafsirnya, sangat menekankan aspek vonis kenabian. Ia mengumpulkan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Surah Al-Masad turun segera setelah insiden Bukit Safa. Menurutnya, keberanian Al-Qur'an untuk menamai musuh secara spesifik dan menubuatkan takdirnya yang pasti adalah bukti mutlak kebenaran wahyu. Ibn Kathir juga memperkuat penafsiran bahwa 'Ma Kasab' mencakup anak-anak Abu Lahab, menyoroti bagaimana perlindungan sosialnya runtuh total.
8.2. Perspektif Al-Zamakhsyari (Linguistik)
Al-Zamakhsyari, seorang ahli balaghah, sangat menyoroti keindahan sastra dalam surah ini. Ia menjelaskan bahwa struktur "Tabbat Yada... wa Tabb" adalah contoh puncak dari I'jaz Al-Qur'an (mukjizat linguistik). Ia menjelaskan bahwa penyebutan tangan mendahului penyebutan diri memberikan gradasi hukuman, dari kehancuran upaya hingga kehancuran eksistensi. Ini bukan hanya sebuah kutukan, tetapi sebuah arsitektur kebahasaan yang sempurna untuk mengumumkan hukuman.
8.3. Tafsir Modern dan Relevansi Kontemporer
Dalam tafsir kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, fokus beralih pada pertempuran abadi antara iman dan materialisme. Abu Lahab dipandang sebagai arketipe musuh risalah yang paling berbahaya: musuh internal, yang berasal dari lingkaran dalam. Ini mengajarkan bahwa ancaman terhadap dakwah seringkali tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari mereka yang secara lahiriah seharusnya mendukung, namun secara spiritual menentang karena kepentingan duniawi.
Qutb menekankan bahwa Surah Al-Masad berfungsi sebagai pemisah tajam. Ia memaksa masyarakat untuk memilih kubu: antara mengikuti Nabi meskipun menghadapi kesulitan, atau tetap terikat pada kekayaan dan tradisi lama yang diwakili oleh Abu Lahab.
***
IX. Rincian Historis Tambahan dan Kematian Abu Lahab
Untuk melengkapi studi ini, penting untuk mencatat bagaimana vonis yang diucapkan Al-Qur'an terwujud di dunia.
9.1. Kematian yang Terisolasi
Kematian Abu Lahab terjadi tak lama setelah Pertempuran Badar, meskipun ia sendiri tidak ikut serta dalam pertempuran tersebut. Ia tertinggal di Mekah. Ketika berita kekalahan Quraisy di Badar sampai padanya—termasuk kekalahan memalukan para pemimpin yang ia dukung—ia diliputi kesedihan dan kemarahan.
Tak lama kemudian, ia terjangkit penyakit menular yang sangat buruk, yang disebut Al-'Adasah (sejenis wabah atau bisul parah). Penyakit ini sedemikian rupa sehingga orang-orang Arab pada masa itu percaya bahwa penyakit tersebut membawa sial dan sangat menular, sehingga mereka tidak mau mendekatinya.
Vonis "Wa Tabb" (dan binasalah dia) terwujud dalam kematian yang hina dan terisolasi. Ia meninggal dunia dalam kesendirian, terabaikan bahkan oleh keluarganya sendiri yang takut tertular penyakitnya. Jasadnya dibiarkan selama dua atau tiga hari hingga mulai membusuk.
9.2. Penguburan yang Merendahkan
Akhirnya, putra-putranya (yang diasingkan karena ancaman penyakit) menyewa orang untuk menguburkannya. Mereka tidak menyentuh jenazahnya. Menurut riwayat, mereka mendorong jenazahnya ke dalam lubang kubur menggunakan kayu panjang dan kemudian menutupnya dengan batu dan tanah dari jarak jauh. Tidak ada upacara, tidak ada penghormatan, hanya pembuangan jasad. Kematian dan penguburan yang penuh kehinaan ini adalah realisasi duniawi dari kehancuran total yang diucapkan oleh Surah Al-Masad.
Ini adalah kontras yang mencolok dengan statusnya yang dahulu sebagai bangsawan Quraisy, menegaskan bahwa kekayaan (Maluhu) dan anak-anak (Ma Kasab) tidak berguna baginya sama sekali di saat-saat terakhirnya. Dia pergi ke Neraka (Naran Dzata Lahab) setelah dipermalukan dan diisolasi di dunia.
***
X. Kesimpulan: Peringatan yang Kekal
Kisah Al Lahab dan artinya, sebagaimana diuraikan dalam Surah Al-Masad, adalah salah satu dokumen kenabian yang paling definitif dan kuat dalam Al-Qur'an. Ini melayani beberapa tujuan:
- Pembuktian Kenabian: Menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang mengetahui masa depan individu.
- Prinsip Keadilan: Menunjukkan bahwa permusuhan aktif terhadap kebenaran, terutama dari orang-orang terdekat, akan mendapatkan hukuman yang setimpal, baik bagi pelaku maupun pasangannya dalam kejahatan.
- Peringatan Universal: Menyampaikan kepada semua generasi bahwa ikatan materi, kekayaan, atau keturunan tidak dapat menyelamatkan seseorang dari vonis Allah jika ia memilih jalan kesesatan, keangkuhan, dan fitnah.
Abu Lahab bukan hanya nama seorang paman Nabi; ia adalah istilah yang melambangkan manifestasi permusuhan paling sombong dan tercela terhadap kebenaran. Dan vonis yang mengikutinya—kehancuran total atas upaya, harta, dan dirinya sendiri—adalah peringatan kekal yang bergema melintasi waktu: Tabbat Yada Abi Lahabin Wa Tabb.
(Akhir dari Kajian)