Memahami Doa I'tidal Sesuai Tuntunan Muhammadiyah: Lebih dari Sekadar Berdiri Tegak
Shalat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan sarat dengan makna filosofis dan spiritual yang mendalam. Salah satu rukun shalat yang seringkali kurang mendapatkan perhatian penuh adalah I'tidal, yaitu gerakan bangkit dari ruku' dan berdiri tegak lurus sejenak sebelum turun untuk sujud. Dalam kerangka pemahaman keagamaan Muhammadiyah, yang senantiasa merujuk pada dalil-dalil otentik dari Al-Qur'an dan As-Sunnah al-Maqbulah, i'tidal memiliki posisi yang sangat penting, baik dari segi gerakan maupun doa yang dilantunkan di dalamnya.
Artikel ini akan mengupas secara tuntas mengenai doa i'tidal menurut tuntunan yang dipedomani oleh Muhammadiyah, sebagaimana termaktub dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Kita tidak hanya akan membahas bacaan-bacaannya, tetapi juga menyelami lautan makna yang terkandung di setiap kalimatnya, memahami kedudukannya sebagai rukun shalat, serta merenungi hikmah agung di balik gerakan yang tampak sederhana ini. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan kita dapat melaksanakan i'tidal dengan lebih khusyuk, sadar, dan penuh penghayatan, sehingga kualitas shalat kita pun meningkat di hadapan Allah SWT.
Makna I'tidal: Secara Bahasa dan Istilah
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam bacaan doanya, penting bagi kita untuk memahami esensi dari i'tidal itu sendiri. Secara etimologis atau kebahasaan, kata "I'tidal" (الاعتدال) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata 'adala (عدل) yang berarti lurus, tegak, seimbang, atau moderat. Dari akar kata ini, kita mengenal istilah adil ('adl), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara seimbang. Maka, i'tidal secara harfiah berarti "menegakkan diri" atau "menjadi lurus dan seimbang".
Dalam terminologi fiqih shalat, i'tidal adalah gerakan bangkit dari posisi ruku' hingga kembali ke posisi berdiri tegak sempurna, di mana setiap tulang punggung kembali ke tempatnya semula. Gerakan ini bukan sekadar transisi, melainkan sebuah rukun (pilar) yang mandiri. Ia adalah jeda antara dua gerakan membungkuk (ruku') dan bersujud (sujud), sebuah momen di mana seorang hamba berdiri tegak menghadap Tuhannya dengan penuh kesadaran dan kepasrahan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarh al-Mumti' menjelaskan bahwa i'tidal adalah kembalinya seorang mushalli (orang yang shalat) pada posisi seperti sebelum ia ruku'. Ini menegaskan bahwa tubuh harus benar-benar lurus, tidak condong ke depan atau ke belakang, tidak miring ke kiri atau ke kanan. Kesempurnaan posisi fisik ini merupakan cerminan dari keseimbangan spiritual yang sedang dibangun dalam shalat.
Kedudukan I'tidal dalam Shalat: Sebuah Rukun yang Krusial
Dalam pandangan mayoritas ulama, termasuk yang menjadi pegangan Muhammadiyah, i'tidal adalah salah satu rukun fi'li (rukun perbuatan) dalam shalat. Artinya, jika i'tidal ditinggalkan dengan sengaja, maka shalatnya batal dan tidak sah. Jika terlupakan, maka ia wajib mengulanginya atau melakukan sujud sahwi sesuai dengan kondisi yang ada. Statusnya sebagai rukun ini didasarkan pada hadis-hadis yang sangat kuat, di antaranya adalah hadis yang terkenal dengan sebutan "hadis orang yang buruk shalatnya" (al-musii'u shalatuhu).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa seseorang masuk masjid dan melaksanakan shalat, sementara Rasulullah SAW memperhatikannya. Setelah selesai, orang itu datang dan memberi salam kepada Nabi. Rasulullah SAW menjawab salamnya dan bersabda:
"Kembalilah dan ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau belum shalat."
Orang itu kembali mengulangi shalatnya seperti semula, lalu datang lagi kepada Nabi. Hal ini terjadi sampai tiga kali. Akhirnya, orang itu berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Maka, ajarilah aku." Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan tata cara shalat yang benar, di antaranya beliau bersabda:
"...kemudian ruku'lah hingga engkau thuma'ninah dalam ruku'. Kemudian bangkitlah (dari ruku') hingga engkau berdiri tegak lurus (ta'tadila qaaiman). Kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam sujud..." (HR. Bukhari dan Muslim).
Perintah Nabi SAW, "hingga engkau berdiri tegak lurus" (حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا), adalah dalil yang sangat jelas yang menunjukkan kewajiban i'tidal. Bukan hanya sekadar bangkit, tetapi bangkit hingga mencapai posisi berdiri yang sempurna dan tenang.
Pentingnya Thuma'ninah dalam I'tidal
Satu aspek yang tidak bisa dipisahkan dari i'tidal adalah thuma'ninah. Thuma'ninah secara bahasa berarti ketenangan, ketenteraman, atau diam sejenak. Dalam konteks shalat, thuma'ninah adalah berdiamnya anggota tubuh pada posisinya setelah bergerak, sekadar waktu yang cukup untuk membaca tasbih (subhanallah). Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW berulang kali menekankan kata thuma'ninah dalam setiap rukun perbuatan.
Tanpa thuma'ninah, i'tidal menjadi tidak sempurna. Banyak orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya, bangkit dari ruku' hanya setengah badan atau belum sempat lurus sempurna sudah langsung turun untuk sujud. Gerakan seperti ini diibaratkan oleh Nabi SAW seperti "patukan ayam" dan termasuk dalam kategori "pencuri yang paling buruk", yaitu orang yang mencuri dari shalatnya sendiri. Melaksanakan i'tidal dengan thuma'ninah berarti memberikan hak kepada rukun tersebut, menenangkan seluruh anggota badan, dan memberikan kesempatan bagi jiwa untuk meresapi bacaan yang dilantunkan.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sangat menekankan pentingnya thuma'ninah ini sebagai bagian integral dari rukun shalat, sejalan dengan pemahaman para ulama salaf. Dengan demikian, i'tidal bukan hanya tentang postur, tetapi juga tentang tempo dan ketenangan.
Bacaan I'tidal Sesuai Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
Setelah memahami posisi dan gerakannya, kita masuk ke inti pembahasan, yaitu bacaan-bacaan saat i'tidal. Terdapat dua bagian bacaan dalam i'tidal: bacaan saat bangkit dari ruku' (transisi) dan bacaan saat telah berdiri tegak sempurna.
1. Bacaan Saat Bangkit dari Ruku'
Ketika mengangkat kepala dan badan dari posisi ruku', bacaan yang dituntunkan adalah tasmi', yaitu:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Sami'allaahu liman hamidah.
"Allah Maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya."
Bacaan ini diucapkan oleh Imam maupun oleh orang yang shalat sendirian (munfarid). Dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
"Adalah Rasulullah SAW apabila hendak shalat, beliau bertakbir saat berdiri, kemudian bertakbir saat ruku', kemudian mengucapkan 'Sami'allaahu liman hamidah' ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku'..." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kalimat ini merupakan sebuah pernyataan agung. Ia bukan sekadar doa, melainkan sebuah proklamasi iman bahwa Allah SWT adalah As-Samii' (Maha Mendengar). Ketika seorang hamba membungkuk dalam ruku' sambil memuji-Nya (Subhaana Rabbiyal 'Azhiim), lalu ia bangkit, Allah mendengar pujian itu. Kalimat ini memberikan keyakinan dan harapan bahwa setiap pujian, setiap tasbih, dan setiap doa kita tidak akan pernah sia-sia. Semuanya didengar dan dicatat oleh Allah SWT.
Bagi makmum (orang yang shalat berjamaah di belakang imam), ketika imam mengucapkan "Sami'allaahu liman hamidah", maka makmum tidak mengikutinya, melainkan langsung menyambutnya dengan bacaan berikutnya saat ia berdiri tegak.
2. Bacaan Saat Berdiri Tegak (Setelah I'tidal Sempurna)
Setelah badan berdiri tegak lurus dengan thuma'ninah, inilah saatnya melantunkan doa pujian yang disebut tahmid. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah menyebutkan beberapa pilihan bacaan yang semuanya berasal dari hadis-hadis yang shahih. Membaca salah satunya sudah dianggap cukup, namun menghafal dan mengamalkannya secara bergantian adalah lebih utama untuk merasakan kekayaan makna dan menjaga kekhusyukan.
Berikut adalah beberapa bacaan yang dituntunkan:
Bacaan Pertama (Paling Ringkas)
Ini adalah bacaan yang paling umum dan paling singkat, namun maknanya sangat padat. Bacaan ini diucapkan baik oleh imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Rabbanaa wa lakal-hamd.
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji."
Terdapat beberapa variasi yang juga shahih dari hadis, seperti:
- Rabbanaa lakal-hamd (tanpa "wa").
- Allaahumma Rabbanaa lakal-hamd (dengan tambahan "Allaahumma").
- Allaahumma Rabbanaa wa lakal-hamd (dengan tambahan "Allaahumma" dan "wa").
Semua variasi ini dibenarkan dan dapat diamalkan. Perbedaan ini hanya bersifat variasi dalam riwayat (tanawwu') yang tidak saling bertentangan. Keberagaman ini menunjukkan fleksibilitas dan kemudahan dalam syariat Islam.
Bacaan Kedua (Dengan Tambahan)
Selain bacaan ringkas di atas, terdapat bacaan yang lebih panjang dan sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama saat shalat sendirian atau saat menjadi imam di mana makmumnya diketahui tidak keberatan. Bacaan ini mengandung pujian yang luar biasa agungnya kepada Allah SWT.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Rabbanaa wa lakal-hamd, mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi, wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du.
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji, (pujian) sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelahnya."
Dalil bacaan ini terdapat dalam hadis dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Adalah Rasulullah SAW apabila mengangkat kepalanya dari ruku', beliau mengucapkan: 'Sami'allaahu liman hamidah, Allaahumma Rabbanaa lakal-hamd, mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi, wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du'.” (HR. Muslim).
Bacaan Ketiga (Tambahan yang Lebih Panjang)
Terdapat riwayat lain yang menambahkan pujian yang lebih spesifik setelah bacaan kedua. Ini menunjukkan betapa dalamnya penghambaan dan pengagungan kepada Allah dalam momen i'tidal.
...أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
...Ahlats-tsanaa-i wal-majd, ahaqqu maa qaalal-'abdu, wa kullunaa laka 'abdun. Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzal-jaddi minkal-jadd.
"...(Engkaulah) Dzat yang berhak atas segala sanjungan dan kemuliaan. Itulah ucapan yang paling berhak diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi. Dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kedudukan seseorang di hadapan-Mu."
Doa ini adalah lanjutan dari doa kedua, seperti yang diriwayatkan dalam hadis Abu Sa'id al-Khudri di atas (HR. Muslim). Ini adalah puncak dari pengakuan seorang hamba akan kekuasaan mutlak Allah SWT.
Tadabbur Bacaan I'tidal: Menggali Lautan Makna
Membaca doa-doa di atas dengan lisan adalah satu hal, tetapi meresapinya dengan hati adalah tingkatan yang lebih tinggi. Mari kita coba menyelami makna yang terkandung dalam setiap frasa agung tersebut.
1. Analisis "Rabbanaa wa Lakal-Hamd"
Kalimat ini, meskipun singkat, mengandung tiga pilar utama dalam hubungan hamba-Tuhan.
- Rabbanaa (رَبَّنَا): "Wahai Tuhan kami". Ini adalah seruan, sebuah pengakuan akan Rububiyyah Allah. Kata "Rabb" mencakup makna Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki, dan Pendidik. Dengan menyebut "Rabbanaa", kita mengakui bahwa kita adalah milik-Nya, diatur oleh-Nya, dan sepenuhnya bergantung pada-Nya. Penggunaan kata "naa" (kami) juga menyiratkan rasa kebersamaan dalam penghambaan, bahwa kita tidak sendiri dalam beribadah.
- Wa (وَ): Huruf "wa" (dan) di sini, menurut sebagian ulama, memiliki makna penggabungan antara pengakuan kita dan pujian dari seluruh alam semesta.
- Lakal-Hamd (لَكَ الْحَمْدُ): "Hanya bagi-Mu segala puji". Penggunaan "laka" (bagi-Mu) yang didahulukan sebelum "al-hamd" (pujian) dalam tata bahasa Arab memberikan makna pengkhususan (ikhtishash). Artinya, segala bentuk pujian yang sempurna dan mutlak hanyalah milik Allah semata. Al-Hamd berbeda dengan asy-syukr (terima kasih). Syukur biasanya diberikan sebagai respons atas kebaikan yang diterima, sedangkan Al-Hamd adalah pujian yang diberikan kepada Dzat yang memang layak dipuji karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya, baik kita menerima nikmat dari-Nya ataupun tidak. Kita memuji Allah karena Dia adalah Al-Ghaniy (Maha Kaya), Al-'Aliim (Maha Mengetahui), Al-Hakiim (Maha Bijaksana), terlepas dari kondisi kita saat itu.
2. Analisis "Mil-as-Samaawaati wa Mil-al-Ardhi..."
Frasa ini membawa pujian kita ke tingkat kosmik, sebuah upaya untuk menggambarkan keagungan pujian yang tak terhingga.
"Mil-as-Samaawaati" (مِلْءَ السَّمَاوَاتِ) - Sepenuh Langit
Bayangkan alam semesta. Langit yang kita lihat hanyalah lapisan pertama. Di baliknya ada miliaran galaksi, triliunan bintang, nebula, dan ruang hampa yang tak terbayangkan luasnya. Mengucapkan "sepenuh langit" adalah sebuah pengakuan atas ketidakmampuan kita untuk mengukur pujian yang layak bagi Allah. Pujian kita, meskipun terucap dari lisan yang kecil di planet yang mungil, memiliki bobot spiritual yang kita harapkan bisa memenuhi seluruh cakrawala sebagai tanda pengagungan kita kepada Sang Pencipta kosmos ini.
"Wa Mil-al-Ardhi" (وَمِلْءَ الْأَرْضِ) - Dan Sepenuh Bumi
Setelah menjelajahi langit, kita kembali ke bumi. Pujian ini kita harapkan memenuhi setiap jengkal tanah, setiap lautan, setiap lembah, dan setiap gunung di planet ini. Ini adalah cara kita untuk menyatakan bahwa di mana pun kita berada di bumi Allah, pujian kita kepada-Nya selalu menyertai. Ini adalah bentuk syukur atas bumi yang menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan kita.
"Wa Mil-a Maa Syi'ta min Syai-in Ba'du" (وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ) - Dan Sepenuh Apa yang Engkau Kehendaki Setelahnya
Ini adalah frasa yang paling menunjukkan kepasrahan dan pengakuan atas keterbatasan ilmu manusia. Setelah menyebut langit dan bumi—dua ciptaan terbesar yang bisa kita amati—kita menyadari bahwa ciptaan Allah tidak terbatas pada itu saja. Ada 'Arsy, Kursi, Surga, Neraka, alam gaib, dan ciptaan-ciptaan lain yang tidak kita ketahui. Dengan kalimat ini, kita menyerahkan sepenuhnya ukuran pujian kita kepada kehendak Allah. Seakan-akan kita berkata, "Ya Allah, pujianku untuk-Mu bukan hanya sepenuh langit dan bumi, tetapi juga sepenuh segala sesuatu yang Engkau ciptakan dan Engkau kehendaki, yang aku tahu maupun yang tidak aku tahu." Ini adalah puncak dari kerendahan hati intelektual dan spiritual seorang hamba.
3. Analisis "Ahlats-Tsanaa-i wal-Majd..."
Bagian terakhir ini adalah penegasan tentang siapa yang kita puji dan bagaimana posisi kita di hadapan-Nya.
"Ahlats-Tsanaa-i wal-Majd" (أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ) - (Engkaulah) Dzat yang Berhak atas Sanjungan dan Kemuliaan
Ini adalah penegasan kembali bahwa Allah adalah satu-satunya yang layak menerima sanjungan (ats-tsana') dan kemuliaan (al-majd). Sanjungan adalah pujian yang diulang-ulang, sementara kemuliaan adalah keagungan yang melekat pada Dzat-Nya. Kita memuji-Nya bukan karena Dia butuh pujian kita, tetapi karena Dia memang pantas dan berhak atasnya.
"Ahaqqu Maa Qaalal-'Abdu, Wa Kullunaa Laka 'Abdun" (أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ) - Ucapan Paling Benar dari Seorang Hamba, dan Kami Semua Hamba-Mu
Kalimat ini adalah sebuah refleksi. Setelah memuji Allah dengan pujian setinggi langit, kita merenung dan berkata bahwa pujian tadi adalah ucapan yang paling benar dan paling pantas yang bisa keluar dari lisan seorang hamba. Kemudian, kita menegaskan identitas kita yang sejati: "dan kami semua adalah hamba-Mu". Pengakuan ini menanggalkan semua atribut duniawi—jabatan, kekayaan, status sosial—dan mengembalikan kita pada hakikat kita sebagai 'abdullah, hamba Allah.
"Allaahumma Laa Maani'a Limā A'ṭaita..." - Ya Allah, Tiada yang Dapat Menghalangi Apa yang Engkau Beri...
Ini adalah inti dari tauhid dalam hal takdir (qadar). Kita mengakui bahwa jika Allah berkehendak memberi sesuatu kepada kita—baik itu hidayah, rezeki, kesehatan, atau ilmu—maka tidak ada satu kekuatan pun di seluruh alam semesta yang dapat menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak menahan sesuatu dari kita, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya. Pengakuan ini menanamkan rasa tawakal yang mendalam, membebaskan hati dari ketergantungan kepada makhluk dan menyandarkannya hanya kepada Al-Khaliq.
"Wa Laa Yanfa'u Dzal-Jaddi Minkal-Jadd" (وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ) - Dan Kekayaan/Kedudukan Tak Bermanfaat di Hadapan-Mu
Kata "al-jadd" bisa berarti kekayaan, nasib baik, atau kedudukan tinggi. Ayat ini menegaskan bahwa semua keunggulan duniawi itu tidak akan ada artinya di hadapan Allah. Yang bermanfaat di sisi-Nya bukanlah seberapa kaya atau seberapa berkuasanya seseorang di dunia, melainkan seberapa besar ketakwaan dan amal shalihnya. Kalimat ini adalah pengingat keras di tengah shalat, di saat kita sedang berdialog dengan Raja segala raja, bahwa semua topeng dunia harus dilepaskan.
Hikmah dan Filosofi di Balik Gerakan I'tidal
I'tidal bukan sekadar jeda. Ia memiliki hikmah yang sangat dalam jika direnungi. Setelah kita membungkuk dalam ruku' sebagai simbol ketundukan, Allah memerintahkan kita untuk bangkit dan berdiri tegak. Ini adalah sebuah pelajaran filosofis:
- Simbol Kebangkitan dan Syukur: Gerakan bangkit dari ruku' adalah isyarat bahwa Allah-lah yang mengangkat kita dari keterpurukan. Saat kita tunduk mengakui keagungan-Nya, Dia mengangkat derajat kita. Oleh karena itu, bacaan pertama saat bangkit adalah "Sami'allaahu liman hamidah" (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), dan dilanjutkan dengan "Rabbanaa wa lakal-hamd" (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Kita memuji-Nya karena Dia telah mengangkat kita.
- Momentum untuk Memuji: Posisi berdiri tegak adalah posisi paling mulia bagi manusia. Dalam posisi inilah kita diberikan waktu khusus untuk melantunkan pujian-pujian terindah kepada Allah. Ini mengajarkan bahwa setelah mengakui kelemahan (saat ruku'), kita harus bangkit dengan optimisme sambil memuji Dzat yang memberi kita kekuatan untuk berdiri.
- Keseimbangan (Moderasi): Sebagaimana makna bahasanya, i'tidal adalah tentang keseimbangan. Dalam hidup, seorang muslim harus seimbang antara urusan dunia dan akhirat, antara harapan (raja') dan takut (khauf), antara hak dan kewajiban. Posisi berdiri tegak di antara dua posisi membungkuk (ruku' dan sujud) adalah simbol dari keseimbangan ini.
- Persiapan untuk Ketundukan Tertinggi: I'tidal adalah persiapan mental dan spiritual sebelum melakukan sujud, yang merupakan puncak ketundukan dan kerendahan seorang hamba. Dengan berdiri tegak dan memuji Allah sepenuh langit dan bumi, kita mengisi diri dengan kesadaran akan keagungan-Nya. Dengan kesadaran inilah kita akan turun bersujud, meletakkan bagian tubuh termulia (wajah) di tempat terendah, dengan perasaan yang jauh lebih mendalam.
Kesalahan Umum yang Sering Terjadi Saat I'tidal
Untuk menyempurnakan shalat, kita juga perlu mengetahui dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada rukun i'tidal:
- Tidak Thuma'ninah: Ini adalah kesalahan yang paling umum dan paling fatal. Bangkit dari ruku' tidak sampai lurus, lalu langsung turun sujud. Gerakan ini membatalkan rukun dan berpotensi membatalkan shalat.
- Mengangkat Tangan Kembali: Sebagian orang keliru mengangkat tangan seperti takbiratul ihram setelah i'tidal. Menurut tuntunan yang dipedomani Muhammadiyah berdasarkan dalil-dalil yang lebih kuat, mengangkat tangan hanya dilakukan pada empat tempat: takbiratul ihram, saat akan ruku', saat bangkit dari ruku' (i'tidal), dan saat bangkit dari tasyahud awal ke rakaat ketiga. Tidak ada tuntunan untuk mengangkat tangan lagi setelah membaca doa i'tidal.
- Posisi Tangan yang Keliru: Setelah bangkit dari ruku', posisi tangan yang dicontohkan oleh Nabi SAW adalah lurus di samping badan (irsāl), kembali ke posisi semula sebelum sedekap. Tidak ada dalil yang kuat untuk kembali bersedekap saat i'tidal.
- Membaca Doa yang Salah Tempat: Terkadang karena terburu-buru, bacaan "Sami'allaahu liman hamidah" masih dibaca saat sudah berdiri tegak, padahal seharusnya dibaca saat proses bangkit. Sebaliknya, "Rabbanaa wa lakal-hamd" dibaca saat masih proses bangkit, padahal seharusnya dibaca setelah posisi tubuh stabil dan lurus.
Penutup: I'tidal Sebagai Cermin Ketenangan Hamba
I'tidal, dengan gerakannya yang tegak dan doanya yang agung, adalah cerminan dari jiwa seorang mukmin. Ia mengajarkan kita untuk berdiri tegar dalam hidup, dengan tulang punggung yang lurus oleh prinsip-prinsip tauhid, sambil lisan dan hati kita tak henti-hentinya memuji Sang Pemberi kekuatan. Ia adalah momen hening di tengah dinamika gerakan shalat, sebuah kesempatan emas untuk mengumpulkan kembali kesadaran, melangitkan pujian, dan meneguhkan kepasrahan sebelum merendahkan diri dalam sujud.
Dengan memahami dan menghayati setiap detail i'tidal sesuai tuntunan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dirumuskan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, kita tidak lagi melihatnya sebagai sekadar formalitas. Ia berubah menjadi salah satu momen paling berharga dalam shalat kita, sebuah dialog penuh cinta di mana kita mengakui bahwa segala pujian di langit, di bumi, dan di mana pun jua, hanyalah untuk Dia, Tuhan semesta alam. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk dapat mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya.