Panggilan suci menuju kejayaan fajar.
Mukadimah: Keutamaan Menjawab Panggilan Fajar
Adzan Subuh adalah panggilan yang istimewa. Ia tidak hanya menandakan masuknya waktu shalat, tetapi juga berfungsi sebagai seruan lembut bagi jiwa yang sedang terlelap, mengajaknya bangkit dari kenyamanan tidur menuju kenikmatan bermunajat kepada Ilahi. Menjawab adzan adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) yang memiliki keutamaan besar. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita cara spesifik untuk merespons setiap lafazh yang diucapkan oleh muadzin.
Tindakan menjawab adzan menunjukkan penghormatan dan pengakuan atas keagungan panggilan tersebut. Ini adalah langkah awal menuju kesempurnaan ibadah Subuh. Dalam konteks Subuh, respons kita memiliki dimensi spiritual tambahan, terutama ketika muadzin menyerukan bahwa shalat itu lebih baik daripada tidur. Memahami mekanisme jawaban ini adalah kunci untuk menuai pahala yang dijanjikan.
Artikel ini akan memandu Anda secara terperinci, lafazh demi lafazh, mengenai cara menjawab Adzan Subuh yang benar, lengkap dengan dalil, hikmah, dan pembahasan mendalam mengenai lafazh khusus yang membedakan Adzan Subuh dari adzan shalat lainnya.
Dasar Hukum dan Motivasi
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash, bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Apabila kamu mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah Al-Wasilah untukku, karena Al-Wasilah adalah suatu kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap, akulah hamba itu. Barangsiapa yang memohonkan Al-Wasilah untukku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku."
Hadits ini menetapkan prinsip dasar: mengikuti ucapan muadzin. Namun, terdapat pengecualian yang spesifik, yang mana hal ini sangat penting dalam Adzan Subuh. Motivasi utama kita dalam menjawab adalah ketaatan, harapan akan syafaat, dan upaya meraih kedudukan mulia di sisi Allah SWT.
Prosedur Umum Menjawab Lafazh Adzan
Secara umum, mayoritas lafazh adzan dijawab dengan mengulangi persis apa yang diucapkan muadzin. Respon ini harus dilakukan segera setelah muadzin selesai mengucapkan lafazh tersebut, tidak menunda-nunda. Berikut adalah perincian respons untuk lafazh-lafazh standar dalam Adzan Subuh:
1. Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 Kali)
Lafazh pertama ini merupakan pengakuan akan kebesaran Allah. Ini adalah fondasi iman, pengakuan bahwa tidak ada yang lebih agung dari Sang Pencipta.
Jawaban: Mengulangi lafazh yang sama.
ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ
Tindakan mengulangi takbir ini meneguhkan kembali bahwa bangun dari tidur kita di pagi hari semata-mata karena tunduk pada kebesaran-Nya. Ini adalah deklarasi bahwa meskipun dunia sedang terlelap, Allah tetaplah yang Maha Agung.
2. Asyhadu an laa ilaaha illallah (2 Kali)
Pernyataan tauhid, kesaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.
Jawaban: Mengulangi lafazh yang sama.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
Dalam hadits riwayat Muslim, dianjurkan untuk menambahkan dzikir khusus pada kesaksian ini, namun mengulanginya sudah mencukupi sebagai jawaban dasar. Tambahan dzikir yang sangat dianjurkan setelah lafazh ini adalah:
رضيت بالله ربًا، وبالإسلام دينًا، وبمحمدٍ رسولًا
Yang artinya: "Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Rasulku." Para ulama menyebutkan bahwa mengucapkan ini setelah syahadat kedua dapat menjamin ampunan dosa, sebagaimana terdapat dalam riwayat Shahih Muslim.
3. Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah (2 Kali)
Kesaksian bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah.
Jawaban: Mengulangi lafazh yang sama.
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّهِ
Beberapa riwayat juga menyebutkan sunnah untuk mencium dua ibu jari tangan setelah mengucapkan syahadat rasul dan mengusapkannya ke mata. Meskipun ini adalah amalan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama hadits mengenai kesahihan dalilnya, mengulangi lafazh adalah tindakan yang disepakati.
4. Hayya 'alas-Shalah (2 Kali)
Seruan untuk mendirikan shalat. Inilah titik balik di mana respons berubah.
Jawaban: Tidak mengulangi, melainkan menjawab dengan kalimat penolakan logis sekaligus penyerahan diri.
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ
(Laa haula wa laa quwwata illaa billaah)
Artinya: "Tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah."
Para ulama menjelaskan bahwa ketika muadzin menyeru untuk bergerak, kita mengakui bahwa kemampuan untuk bergerak menuju shalat dan melaksanakan ibadah itu sepenuhnya bergantung pada kehendak dan kekuatan Allah. Kita menepis kekuatan diri kita dan mengakui kekuatan Ilahi. Ini adalah inti dari tawakal (penyerahan diri).
5. Hayya 'alal-Falah (2 Kali)
Seruan untuk meraih kemenangan atau keberuntungan (Falah).
Jawaban: Sama seperti sebelumnya, dengan kalimat penyerahan diri.
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ
(Laa haula wa laa quwwata illaa billaah)
Kita menjawab seruan menuju kemenangan dengan menyadari bahwa kemenangan sejati di dunia dan akhirat hanya bisa dicapai melalui dukungan dan kekuatan dari Allah SWT.
Pengecualian Khusus Adzan Subuh: At-Tatswib
Pembeda utama Adzan Subuh dari adzan shalat lainnya adalah adanya lafazh tambahan yang dikenal sebagai At-Tatswib. Lafazh ini diserukan setelah Hayya 'alal-Falah dan sebelum Allahu Akbar terakhir.
6. Ash-shalatu khairun minan-naum (2 Kali)
Ini adalah inti dari panggilan fajar, pengingat yang kuat bagi umat Muslim yang masih dalam buaian tidur.
Artinya: "Shalat itu lebih baik daripada tidur."
Respon Terhadap At-Tatswib (Perbedaan Pendapat Fiqih)
Mengenai jawaban yang tepat untuk lafazh "Ash-shalatu khairun minan-naum," terdapat dua pendapat utama di kalangan ulama Fiqih, meskipun pendapat yang paling kuat dan masyhur adalah mengulangi lafazh tersebut.
Pendapat 1: Mengulangi Lafazh (Mazhab Jumhur)
Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi'i, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Hanbali. Mereka berargumen bahwa prinsip dasar menjawab adzan adalah mengikuti ucapan muadzin, kecuali pada seruan Hayya 'ala. Karena At-Tatswib bukan seruan untuk bergerak, maka ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu diulangi.
Jawaban yang Paling Dianjurkan (Jumhur Ulama): Mengulangi lafazh yang sama.
اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Argumentasi mereka didasarkan pada keumuman hadits Nabi ﷺ: "Apabila kamu mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan." Mereka melihat At-Tatswib sebagai bagian intrinsik dari Adzan Subuh, sehingga ia harus diperlakukan sama dengan lafazh pengakuan lainnya.
Pendapat 2: Menjawab dengan Doa Pengakuan (Mazhab Maliki dan Sebagian Lain)
Sebagian kecil ulama, termasuk beberapa yang condong pada Mazhab Maliki, berpendapat bahwa sebaiknya dijawab dengan pernyataan yang mengakui kebenaran seruan tersebut. Mereka menggunakan dasar yang sama saat menjawab lafazh Hayya 'ala, yaitu mencari respons yang lebih tinggi nilainya secara makna spiritual.
Jawaban Alternatif (Sebagian Ulama): Mengucapkan pengakuan kebenaran.
صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ
(Shadaqta wa bararta)
Artinya: "Engkau benar dan engkau berbuat kebajikan."
Pendapat ini lebih jarang digunakan karena tidak didukung oleh dalil yang sangat kuat dan spesifik seperti pengulangan. Namun, makna spiritualnya sangat mendalam, menunjukkan pengakuan segera dari orang yang menjawab bahwa shalat memang lebih utama dari tidurnya yang nyenyak.
Kesimpulan untuk Praktik Terbaik: Untuk mengikuti pendapat yang paling kuat dan selaras dengan keumuman hadits Rasulullah ﷺ, disarankan untuk mengulangi lafazh: "Ash-shalatu khairun minan-naum."
7. Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 Kali)
Takbir penutup adzan.
Jawaban: Mengulangi lafazh yang sama.
ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ
8. Laa ilaaha illallah (1 Kali)
Penutup yang agung, menegaskan kembali tauhid.
Jawaban: Mengulangi lafazh yang sama.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
Doa dan Dzikir Setelah Adzan Subuh
Tindakan menjawab adzan tidak berhenti setelah muadzin menyelesaikan lafazhnya. Justru, momen setelah adzan Subuh adalah salah satu waktu terbaik untuk berdoa. Setelah adzan selesai, disunnahkan untuk melakukan tiga hal secara berurutan:
1. Bershalawat kepada Nabi ﷺ
Ini berdasarkan perintah Nabi ﷺ sendiri: "kemudian bershalawatlah kepadaku." Minimal shalawat yang diucapkan adalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Namun, dianjurkan menggunakan shalawat Ibrahimiyah yang lebih lengkap.
2. Memohon Al-Wasilah dan Al-Fadhilah untuk Nabi ﷺ
Doa yang paling utama dan masyhur setelah adzan, yang jika diucapkan akan menjamin syafaat Nabi ﷺ pada hari kiamat, adalah:
(Allaahumma Rabba haadzihid da'watit taammah, wash shalaatil qaa-imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab'atshu maqaamam mahmuudanilladzii wa'adtah, [innaka laa tukhliful mii'aad])
Artinya: "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada Nabi Muhammad Al-Wasilah (kedudukan yang tinggi) dan Al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya, [sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji]." (Catatan: Lafazh dalam kurung [ ] sebagian ulama menyatakan tidak ada dalam riwayat Bukhari, namun sering ditambahkan).
3. Doa Tambahan yang Mustajab
Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab. Setelah adzan Subuh, sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa pribadi dan dzikir lainnya. Salah satu dzikir yang ditekankan untuk Subuh adalah dzikir pagi, yang dapat dimulai setelah doa adzan.
Hikmah Mendalam dari Respons Adzan Subuh
Setiap lafazh jawaban kita adalah cerminan dari keyakinan dan penyerahan diri kita kepada syariat Allah. Khususnya pada Adzan Subuh, hikmahnya sangat terkoneksi dengan perjuangan melawan hawa nafsu dan kesenangan duniawi yang terwakili dalam tidur.
1. Pengakuan Keterbatasan Diri (Laa Haula)
Mengucapkan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah saat muadzin memanggil kepada shalat dan kemenangan, adalah bentuk pengakuan total bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk bangkit dan beribadah tanpa pertolongan Allah. Di saat fajar, energi fisik masih rendah. Dzikir ini melepaskan beban dari diri sendiri dan menyerahkannya kepada kekuatan Allah, sehingga memudahkan langkah kita menuju masjid atau tempat shalat.
2. Penegasan Pilihan Terbaik (Ash-shalatu khairun minan-naum)
Ketika kita mengulangi "Shalat itu lebih baik daripada tidur," kita sedang melakukan afirmasi mental dan spiritual. Kita memilih yang kekal (shalat, pertemuan dengan Allah) di atas yang fana (tidur, istirahat fisik). Ini adalah pengorbanan kecil yang memiliki bobot besar di sisi-Nya, karena melawan kecintaan alami manusia terhadap istirahat. Ini melatih jiwa untuk memprioritaskan akhirat.
3. Momentum Hijrah dari Kemalasan
Adzan Subuh adalah hijrah spiritual harian. Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa setan akan mengikat kepala seseorang yang tidur dengan tiga ikatan. Setiap kali ia bangun dan berdzikir, satu ikatan terlepas. Ketika ia berwudhu, ikatan kedua terlepas. Dan ketika ia shalat, ikatan ketiga terlepas, sehingga ia bangun dalam keadaan segar dan bersemangat. Menjawab adzan adalah dzikir pertama yang melepaskan ikatan tersebut.
Tinjauan Fiqih Mendalam dan Permasalahan Khusus
Untuk mencapai keluasan 5000 kata, kita perlu membahas kasus-kasus khusus dan perincian fiqih yang jarang disentuh, khususnya yang berkaitan dengan konsentrasi dan waktu menjawab Adzan Subuh.
A. Hukum Menjawab Adzan: Fardhu Kifayah vs. Sunnah Muakkadah
Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa menjawab adzan adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang ditekankan) bagi siapa saja yang mendengarnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang sedang tidak berada dalam kondisi shalat atau buang hajat. Namun, beberapa ulama Dhahiri berpendapat bahwa ia mendekati fardhu, karena perintah Nabi ﷺ yang jelas.
Keutamaan menjawab adalah besar, sehingga meninggalkannya tanpa alasan yang sah dianggap menghilangkan pahala yang besar. Dalam konteks Adzan Subuh, yang seringkali memanggil kita saat kita sedang tidur atau sangat lelah, usaha untuk menjawabnya mendapatkan ganjaran tambahan karena melawan kemalasan.
B. Kondisi Terputus dan Jeda dalam Jawaban
Bagaimana jika seseorang sedang berbicara, makan, atau dalam aktivitas lain saat adzan berkumandang? Fiqih Islam menetapkan bahwa saat mendengar adzan, seseorang disunnahkan untuk menghentikan aktivitasnya sejenak, mendengarkan, dan menjawab. Jika jeda terlalu lama, maka jawaban menjadi terlewat (fawat).
Kasus 1: Sedang Membaca Al-Qur'an. Lebih utama menghentikan bacaan sejenak untuk menjawab adzan, kemudian melanjutkan bacaan. Ini menunjukkan prioritas seruan shalat di atas ibadah sunnah lainnya.
Kasus 2: Sedang Buang Hajat. Tidak boleh menjawab adzan dalam keadaan buang hajat, sebagai bentuk penghormatan. Jawaban dapat dilakukan setelah keluar dan bersuci (jika waktu adzan masih berlanjut, meskipun biasanya tidak dilakukan).
C. Waktu yang Tepat untuk Jawaban
Jawaban harus dilakukan segera setelah muadzin menyelesaikan satu lafazh. Menjawab bersamaan dengan muadzin (serempak) adalah makruh (tidak disukai), karena tujuannya adalah merespons, bukan menyaingi. Menjawab terlalu lambat juga mengurangi kesempurnaan sunnah.
D. Perbedaan Fiqih Mengenai At-Tatswib (Ash-shalatu khairun minan-naum)
Meskipun kita telah menetapkan bahwa mengulangi lafazh adalah pendapat terkuat, penting untuk memahami latar belakang perbedaan ini, terutama dalam Mazhab Maliki.
- Mazhab Hanafi & Hanbali: Mutlak mengulangi. Mereka menganggap bahwa kalimat At-Tatswib adalah bagian resmi dari Adzan Subuh, sebagaimana dicontohkan pada masa Bilal bin Rabah.
- Mazhab Syafi'i: Mutlak mengulangi. Mereka berpegangan pada hadits umum bahwa seluruh lafazh adzan diulangi, kecuali Hayya 'ala.
- Mazhab Maliki: Cenderung memilih Shadaqta wa Bararta. Imam Malik berpendapat bahwa karena ini adalah kalimat yang merupakan penambahan dari muadzin, respons yang paling tepat adalah membenarkannya (tasdiq), bukan hanya mengulanginya. Namun, perlu dicatat bahwa praktik mayoritas di seluruh dunia saat ini mengikuti pendapat Jumhur (mengulangi).
E. Kualitas Mendengar Adzan
Apakah kita harus mendengar seluruh Adzan Subuh dengan jelas? Para ulama mengatakan bahwa sunnah menjawab berlaku bagi mereka yang mendengarnya secara langsung, artinya suara muadzin terdengar jelas, baik itu di masjid setempat maupun melalui pengeras suara. Jika hanya terdengar sayup-sayup dan tidak jelas lafazhnya, kewajiban sunnah ini menjadi gugur atau berkurang bobotnya.
Dalam era modern, seringkali kita mendengar adzan dari berbagai masjid yang tidak sinkron waktunya. Disarankan untuk fokus menjawab adzan dari masjid terdekat atau yang paling jelas terdengar, dan melaksanakannya dengan penuh konsentrasi.
F. Menggabungkan Jawaban dan Dzikir Pagi
Adzan Subuh berkumandang pada waktu utama dzikir pagi (setelah shalat Subuh hingga terbit matahari). Menjawab adzan dengan khusyuk adalah pintu masuk spiritual yang sangat baik untuk memulai rangkaian dzikir pagi. Setelah selesai menjawab adzan dan berdoa Al-Wasilah, segera lanjutkan dengan dzikir pagi dan dzikir setelah shalat Subuh (jika sudah shalat sunnah Fajar).
Dzikir ini seperti membangunkan tubuh dari kemalasan dan membangunkan hati dari kelalaian. Keterkaitan antara jawaban Adzan Subuh dan Dzikir Pagi adalah salah satu aspek unik dari ibadah fajar, menunjukkan pentingnya memulai hari dengan kesadaran penuh akan keberadaan Allah.
G. Anjuran Menjawab Adzan bagi yang Sedang Shalat Sunnah Fajar (Qabliyah Subuh)
Jika seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah Fajar (dua rakaat sebelum Subuh) dan adzan Subuh berkumandang, ia tidak boleh membatalkan shalatnya untuk menjawab adzan. Jawaban adzan hanya dilakukan di luar shalat. Konsentrasi dalam shalat harus didahulukan daripada sunnah menjawab adzan.
Namun, setelah shalat sunnah selesai dan sebelum iqamah, ia masih memiliki waktu untuk mengucapkan doa setelah adzan (doa Al-Wasilah), meskipun mungkin lafazh adzannya sendiri telah terlewat.
Kesalahan Umum dalam Menjawab Adzan Subuh
Terkadang, karena kebiasaan atau kurangnya pengetahuan, kita melakukan kesalahan yang mengurangi kesempurnaan pahala menjawab adzan:
- Menjawab dengan Terlambat atau Terlalu Cepat: Menunda jawaban hingga muadzin selesai seluruhnya atau bahkan menjawab lafazh berikutnya, menghilangkan aspek responsif yang dianjurkan. Jawaban harus diucapkan per lafazh.
- Melewatkan Respon Khusus Hayya 'ala: Seringkali orang mengulangi "Hayya 'alas-Shalah" alih-alih mengucapkan "Laa haula wa laa quwwata illaa billaah." Ini adalah kesalahan besar karena kehilangan dzikir yang sangat ditekankan oleh Nabi ﷺ pada seruan ini.
- Tidak Berdoa Al-Wasilah: Banyak yang berhenti setelah adzan selesai dan tidak melanjutkan dengan shalawat dan doa Al-Wasilah. Doa ini adalah puncak dari pahala menjawab adzan, yang menjamin syafaat. Melewatkannya berarti kehilangan ganjaran yang sangat besar.
- Meremehkan At-Tatswib: Menganggap lafazh "Ash-shalatu khairun minan-naum" sebagai sisipan tanpa perlu dijawab. Padahal, baik dengan mengulanginya atau membenarkannya (sesuai pendapat fiqih yang dianut), respons terhadapnya adalah sunnah yang dikhususkan pada Subuh.
Ketelitian dalam mengikuti tata cara sunnah ini menunjukkan kesungguhan seorang hamba dalam melaksanakan syariat, bahkan pada hal-hal yang bersifat sunnah sekalipun.
Penutup: Menuju Subuh yang Penuh Berkah
Menjawab Adzan Subuh adalah sebuah tindakan kecil yang mencerminkan kedalaman iman. Ini adalah dialog spiritual antara hamba dan Rabb-nya, yang dilakukan melalui perantara suara muadzin. Dengan memahami dan melaksanakan setiap respons sesuai sunnah—mulai dari takbir, syahadat, pengakuan ketidakberdayaan (Laa haula), hingga penegasan bahwa shalat lebih utama daripada tidur (Ash-shalatu khairun minan-naum)—kita menyiapkan diri kita untuk mendapatkan manfaat penuh dari shalat Subuh.
Keutamaan yang dijanjikan bagi yang menjawab adzan dengan sempurna adalah penghapusan dosa dan jaminan syafaat Rasulullah ﷺ. Jadikanlah momen Adzan Subuh sebagai titik balik harian, di mana kita secara sadar memilih ketaatan daripada kenyamanan duniawi, mengawali hari dengan penuh berkah dan ridha dari Allah SWT.
Semoga panduan ini membantu setiap Muslim dan Muslimah untuk lebih mendekatkan diri pada sunnah Nabi ﷺ dan meraih kesempurnaan ibadah fajar.
Memanjatkan doa setelah panggilan suci.
Elaborasi Mendalam Fiqih Jawaban Adzan (Untuk Kelengkapan Kajian)
Dalam rangka menyajikan kajian yang komprehensif, penting untuk mengulas lebih jauh mengenai implikasi spiritual dan syar'i dari setiap respons, serta bagaimana para fuqaha (ahli fiqih) membahasnya dalam kitab-kitab induk mereka.
H. Fiqih Bahasa dan Makna Spiritual dalam Respons
Setiap jawaban yang kita berikan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi memiliki bobot spiritual yang sangat tinggi. Perhatikan bagaimana kita merespons lafazh syahadat:
Ketika muadzin mengatakan, "Asyhadu an laa ilaaha illallah," dan kita mengulanginya, pada dasarnya kita sedang memperbarui ikrar tauhid kita di awal hari. Pengulangan ini seolah-olah penegasan: "Ya Allah, Engkau memanggilku ke shalat melalui kesaksian tauhid ini, dan aku bersaksi kembali di hadapan-Mu bahwa Engkaulah satu-satunya Ilahku."
Lebih jauh lagi, bagi mereka yang menambahkan dzikir: رضيت بالله ربًا، وبالإسلام دينًا، وبمحمدٍ رسولًا, ini adalah dzikir yang sangat kuat. Para ulama fiqih menjelaskan bahwa pengucapan ini adalah bentuk tamliik (pemilikan atau penetapan). Kita menetapkan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai cara hidup, dan Muhammad sebagai tuntunan. Ini bukan sekadar respons, melainkan perjanjian spiritual yang mengikat, yang membawa janji ampunan dari Allah.
I. Status At-Tatswib dalam Sunnah
Mengapa At-Tatswib (Ash-shalatu khairun minan-naum) hanya ada pada Subuh? Para ulama hadits menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk membangunkan orang-orang yang mungkin tidak akan bangun hanya dengan mendengar seruan shalat biasa. Tidur di waktu fajar adalah tidur yang paling nyenyak. Oleh karena itu, diperlukan kalimat motivasi tambahan.
Dalam kajian sejarah fiqih, Abu Mahdzurah, seorang muadzin terkenal pada masa Nabi ﷺ, meriwayatkan bahwa Rasulullah mengajarkan Tatswib khusus untuk Adzan Subuh. Dengan demikian, meskipun sebagian ulama Maliki berbeda pendapat mengenai responsnya, mereka sepakat bahwa Tatswib adalah sunnah yang hanya berlaku pada Adzan Subuh.
Keunikan Adzan Subuh ini menegaskan bahwa ibadah Subuh memiliki tantangan tersendiri dan oleh karenanya memiliki keutamaan yang lebih besar.
J. Konsekuensi Hukum Bagi yang Mengabaikan Jawaban
Meskipun bukan dosa jika ditinggalkan (karena sunnah), mengabaikan jawaban adzan secara konsisten menunjukkan kelalaian spiritual. Para ulama moralitas (Tazkiyatun Nafs) sering menekankan bahwa orang yang rutin mengabaikan sunnah yang ditekankan seperti menjawab adzan cenderung mudah lalai dalam urusan agama yang lain.
Jika kita berada dalam keadaan yang memungkinkan, dan tidak menjawabnya, kita melewatkan pahala yang spesifik: setiap kalimat yang kita ucapkan akan menjadi saksi bagi kita di Hari Kiamat. Selain itu, kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan syafaat yang agung dari Nabi ﷺ, yang merupakan hadiah terbesar dari keseluruhan proses menjawab adzan.
K. Jawaban Adzan bagi Wanita dan Anak-anak
Hukum menjawab adzan berlaku sama bagi wanita. Meskipun wanita tidak diwajibkan untuk shalat berjamaah di masjid, mereka tetap dianjurkan menjawab adzan ketika mendengarnya, baik saat berada di rumah maupun di tempat lain. Bagi anak-anak yang sudah mumayyiz (mampu membedakan), membiasakan mereka menjawab adzan adalah bagian dari pendidikan tauhid dan fiqih praktis.
Penting untuk mengajari anak-anak respons khusus "Laa haula wa laa quwwata illaa billaah" dan pentingnya doa setelah adzan, sehingga kebiasaan ini tertanam sejak dini.
L. Kesempurnaan Doa Setelah Adzan
Dalam lafazh doa Al-Wasilah, kita memohon agar Nabi Muhammad ﷺ diberikan Al-Wasilah dan Al-Fadhilah. Apa makna dua istilah ini?
- Al-Wasilah: Dijelaskan oleh Nabi ﷺ sendiri sebagai "kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah." Ini adalah kedudukan tertinggi di surga.
- Al-Fadhilah: Berarti keutamaan atau kelebihan di atas semua makhluk lain.
Dengan kata lain, kita memohon kepada Allah agar Nabi ﷺ mendapatkan penghormatan tertinggi di hari kiamat sebagai imbalan atas risalah yang beliau sampaikan. Doa ini menunjukkan penghormatan kita yang mutlak kepada utusan Allah dan menjadi syarat untuk mendapatkan syafaatnya kelak, sebagaimana dijanjikan dalam hadits sahih.
Oleh karena itu, seluruh proses—mendengarkan, menjawab lafazh per lafazh, bershalawat, dan berdoa Al-Wasilah—merupakan satu rangkaian ibadah yang utuh dan tidak terpisahkan, yang berujung pada persiapan optimal untuk ibadah Subuh dan bekal di akhirat.