Adzan, panggilan suci yang berkumandang lima kali sehari, adalah salah satu syiar (simbol) Islam yang paling fundamental dan terdengar. Ia bukan sekadar pengumuman waktu salat; ia adalah deklarasi tauhid, seruan menuju keselamatan, dan pengingat akan kewajiban terbesar seorang Muslim. Ketika suara adzan menggema, terdapat kewajiban sunnah yang sangat ditekankan (sunnah muakkadah) bagi setiap Muslim yang mendengarnya: yaitu menjawab adzan (al-tasmi').
Tuntunan tentang cara menjawab adzan ini bersumber langsung dari hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Dengan menjawab panggilan ini secara benar, kita tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap seruan tersebut tetapi juga meraih pahala besar serta syafaat dari Nabi Muhammad ﷺ di hari kiamat. Panduan ini akan mengupas tuntas setiap aspek lafazh, hukum, serta tata cara menjawab adzan, termasuk doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya, merujuk kepada pandangan ulama empat madzhab besar.
Para ulama sepakat bahwa menjawab adzan (mengikuti lafazh mu'adzin) adalah perkara yang sangat dianjurkan. Mayoritas ulama, termasuk Madzhab Syafi'i dan Hanbali, menetapkannya sebagai Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Imam An-Nawawi, seorang ulama besar Syafi'i, menjelaskan bahwa meninggalkan sunnah ini adalah kerugian besar karena keutamaannya yang luar biasa.
Keutamaan menjawab adzan didasarkan pada Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh mu'adzin, kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali..."
Dengan mengikuti panduan ini secara detail, kita memastikan bahwa setiap kata yang kita respons sesuai dengan petunjuk Nabi ﷺ, sehingga pahala yang dijanjikan dapat kita raih secara sempurna. Ada dua bagian utama dalam respons ini: al-Tasmi' (mengulang ucapan) dan al-Doa (berdoa setelah selesai).
Prinsip dasarnya adalah mengulang setiap lafazh yang diucapkan oleh mu'adzin (orang yang mengumandangkan adzan). Namun, terdapat pengecualian penting pada dua lafazh, yaitu حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ (Hayya 'alas-Shalah) dan حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ (Hayya 'alal-Falah). Pengecualian ini memiliki makna teologis dan spiritual yang dalam.
Empat bagian awal dan dua bagian penutup harus diulang persis seperti yang diucapkan mu'adzin. Ini adalah deklarasi Tauhid dan kebesaran Allah.
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Dalam riwayat Madzhab Syafi'i, saat syahadat dikumandangkan, disunnahkan pula bagi pendengar untuk meletakkan kedua ujung jari telunjuknya di telinga dan mengucapkan صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ (Shallallahu 'alaika Ya Rasulullah) saat mendengar syahadat kedua.
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Inilah bagian krusial yang membedakan jawaban adzan dari sekadar mengulang. Ketika mu'adzin menyerukan ajakan, pendengar merespons dengan deklarasi penyerahan diri dan pengakuan daya serta kekuatan hanya milik Allah. Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk merespons ajakan ini dengan lafazh لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ (La haula wala quwwata illa billah).
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab:
Mengapa kita menjawab ajakan praktis menuju salat dan keselamatan dengan deklarasi ini? Ini adalah pengakuan spiritual bahwa upaya kita untuk memenuhi panggilan Ilahi, yaitu salat, tidak akan berhasil tanpa bantuan dan daya dari Allah SWT. Ini adalah pelajaran kerendahan hati (tawadhu') dan penyerahan diri total.
Dalam adzan Subuh, terdapat tambahan lafazh yang disebut at-tatswib.
Mu'adzin mengucapkan:
Pendengar menjawab (menurut mayoritas ulama, termasuk Syafi'i dan Hanbali):
Sebagian ulama (Madzhab Hanafi dan Maliki) berpendapat bahwa lafazh ini cukup dijawab dengan mengulang lafazh mu'adzin, namun jawaban Shadaqta wa bararta lebih kuat riwayatnya dari kalangan sahabat.
Meskipun menjawab adzan adalah sunnah, terdapat berbagai kondisi dan situasi yang memunculkan pertanyaan fiqih. Para ulama dari empat madzhab besar memiliki pandangan yang kaya tentang prioritas dan keharusan menjawab adzan dalam kondisi tertentu.
Ketika seseorang sedang melaksanakan salat, baik fardhu maupun sunnah, ia dilarang menjawab adzan secara lisan. Hal ini karena salat membutuhkan kekhusyu'an dan ucapan di dalamnya terbatas pada zikir salat. Jika ia menjawab, salatnya bisa batal (menurut Syafi'iyyah dan Malikiyyah, jika menjawab dengan ucapan yang tidak terkait salat). Jawabannya ditangguhkan hingga salat selesai. Setelah salam, ia bisa segera membaca doa setelah adzan, meskipun al-tasmi' (mengulang lafazh) telah terlewat.
Para ulama sepakat bahwa saat suami istri sedang berhubungan intim, mereka tidak diwajibkan (bahkan seharusnya menahan diri) untuk menjawab adzan. Menjawab dalam kondisi ini dianggap melanggar etika syariat. Kewajiban menjawab adzan gugur karena sedang dalam keadaan sibuk yang mengharuskan fokus.
Jika seseorang berada di tempat yang kotor (seperti kamar mandi atau toilet) saat adzan berkumandang, ia tidak boleh menjawab adzan secara lisan. Setelah keluar dari tempat tersebut dan membersihkan diri, ia tidak diwajibkan mengulang adzan dari awal. Namun, ia dianjurkan untuk membaca doa setelah adzan.
Jika seseorang sedang membaca Al-Qur'an atau mendengarkan pelajaran agama yang penting, apakah ia harus menghentikan aktivitasnya untuk menjawab adzan? Madzhab Syafi'i cenderung memandang bahwa menjawab adzan lebih utama daripada sekadar membaca Al-Qur'an, kecuali jika bacaan tersebut merupakan kewajiban. Ini didasarkan pada keumuman perintah Nabi ﷺ untuk menjawab. Namun, sebagian ulama membolehkan melanjutkan kegiatan yang lebih besar manfaatnya bagi umat, seperti mengajar ilmu yang sangat mendesak.
Sebagian kecil ulama berpendapat adanya tambahan ketika mendengar syahadat. Setelah mendengar Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, sebagian riwayat menyebutkan disunnahkan mengucapkan:
Meskipun lafazh ini dipraktikkan di beberapa kalangan, mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah berpegangan pada riwayat yang lebih kuat, yaitu cukup mengulang lafazh syahadat mu'adzin. Namun, kesepakatan ulama adalah bahwa bershalawat kepada Nabi ﷺ saat mendengar syahadat adalah sangat dianjurkan.
Seorang Muslim diwajibkan menjawab adzan jika ia mendengarnya. Lantas, bagaimana jika ada banyak masjid yang adzannya berkumandang hampir bersamaan? Ulama menetapkan bahwa:
Kewajiban menjawab ini juga berlaku bagi wanita, bukan hanya laki-laki. Walaupun wanita tidak wajib melaksanakan salat berjamaah di masjid, mereka tetap disunnahkan menjawab adzan yang mereka dengar, entah di rumah atau di luar rumah.
Setelah mu'adzin menyelesaikan seluruh rangkaian adzan dengan lafazh لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ (Laa ilaaha illallah) dan kita telah menjawabnya, ada dua amalan utama yang sangat dianjurkan: membaca doa khusus dan bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Setelah selesai menjawab adzan, sebelum membaca doa khusus, kita diwajibkan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Shalawat yang paling utama adalah Shalawat Ibrahimiyah, namun shalawat singkat lainnya juga diperbolehkan.
Seperti yang telah disebutkan dalam hadis, bagi siapa saja yang bershalawat satu kali, Allah akan bershalawat sepuluh kali kepadanya. Timing shalawat ini harus dilakukan setelah selesai menjawab semua lafazh adzan dan sebelum masuk ke doa khusus.
Doa inilah yang disebut sebagai kunci untuk mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ di hari kiamat. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang ketika mendengar adzan, ia mengucapkan doa ini, maka baginya syafaatku di hari kiamat."
Lafazh doa yang shahih (Doa Al-Wasilah) adalah:
Artinya: "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna (Adzan) ini dan salat (wajib) yang didirikan. Berilah kepada Nabi Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi) dan keutamaan (melebihi semua makhluk). Dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji (Maqam Mahmud) yang telah Engkau janjikan, [Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji]."
Catatan Tambahan: Lafazh إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Innaka laa tukhliful mii'ad) disebutkan dalam beberapa riwayat dan dianjurkan oleh sebagian ulama Syafi'i untuk ditambahkan, meskipun tidak terdapat dalam riwayat Bukhari yang paling utama.
Selain doa utama di atas, ada hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim, yang memberikan kesempatan bagi pendengar adzan untuk memohon ampunan setelah mendengar syahadat kedua. Amalan ini dilakukan setelah menjawab syahadat Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, sebelum melanjutkan ke Hayya 'alas-Shalah.
Ucapan tambahan yang dianjurkan (setelah selesai menjawab dua syahadat):
Artinya: "Dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rela Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku."
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa bagi yang mengucapkan ini, diampuni dosanya (HR. Muslim). Ini adalah kesempatan emas untuk bertaubat di tengah-tengah kumandang adzan.
Untuk mencapai kesempurnaan dalam menjawab adzan, seorang Muslim harus memahami bukan hanya lafazhnya, tetapi juga hakikat spiritual yang terkandung dalam setiap frasa. Adzan adalah miniatur dari seluruh ajaran Islam yang berfokus pada Tauhid, Risalah (kenabian), dan Amalan (salat dan falah).
Ketika mu'adzin memulai dengan Allahu Akbar, ia mengumumkan bahwa tidak ada yang lebih besar, lebih penting, atau lebih patut disembah dari Allah SWT. Kita menjawabnya untuk menyelaraskan hati dengan deklarasi ini. Saat syahadat dikumandangkan, kita menegaskan kembali dua pilar utama iman: keesaan Allah dan kenabian Muhammad ﷺ. Mengulang syahadat saat adzan adalah pembaharuan ikrar keislaman kita, menegaskan bahwa kita tunduk pada perintah Allah dan mengikuti ajaran Rasul-Nya.
Lafazh La haula wala quwwata illa billah (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) adalah inti dari tawakkal (penyerahan diri). Ketika mu'adzin menyeru Hayya 'alas-Shalah (Mari menuju salat), ini adalah ajakan untuk melakukan tindakan praktis (salat). Kita merespons dengan pengakuan bahwa upaya fisik menuju salat sekalipun, jika tanpa pertolongan Ilahi, tidak akan terlaksana dengan sempurna.
Ini mengajarkan seorang Muslim bahwa segala bentuk keberhasilan, termasuk keberhasilan dalam beribadah, berasal dari Allah semata. Ini adalah benteng spiritual dari kesombongan (ujub). Dengan mengucapkannya, kita membersihkan niat, memastikan bahwa kita salat bukan karena kekuatan diri sendiri, melainkan atas izin dan bantuan Allah.
Hayya 'alal-Falah adalah seruan menuju kemenangan. Dalam Islam, falah (keselamatan/kemenangan) memiliki makna yang sangat luas, mencakup keberuntungan dunia dan akhirat. Kemenangan utama adalah masuk surga. Adzan secara implisit menyatakan bahwa salat adalah kunci utama menuju falah ini. Respon kita dengan La Haula lagi-lagi mengingatkan bahwa mencapai kemenangan abadi adalah rahmat Allah, bukan semata-mata hasil kerja keras kita.
Adzan berfungsi sebagai penanda waktu yang menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ia memecah siklus pekerjaan dan aktivitas rutin untuk mengingatkan bahwa tujuan utama kita adalah beribadah. Menjawab adzan dengan penuh kesadaran membantu membangun kekhusyu'an (khushu') sebelum salat dimulai. Jika kita sudah khusyu' dan fokus saat menjawab adzan, maka transisi menuju salat akan jauh lebih mudah, sehingga ibadah kita lebih bermakna.
Oleh karena itu, cara menjawab adzan yang paling sempurna tidak hanya melibatkan lidah dan pendengaran, tetapi juga hati yang memahami dan tunduk pada setiap pesan yang disampaikan: kebesaran Allah, keesaan-Nya, risalah Nabi-Nya, dan ketergantungan total kita kepada-Nya untuk mencapai ibadah dan keselamatan.
Sebagai panduan praktis, berikut ringkasan langkah demi langkah yang harus dilakukan oleh setiap Muslim ketika mendengar adzan, memastikan semua sunnah terpenuhi:
Dengan mempraktikkan cara menjawab adzan ini secara konsisten, seorang Muslim telah menunaikan hak syiar Islam, menghidupkan sunnah Nabi, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk melaksanakan salat, yang merupakan tiang utama agama.
Pembahasan mengenai cara menjawab adzan tidak lengkap tanpa menyinggung sunnah-sunnah yang mengelilingi waktu adzan dan iqamah. Periode antara adzan dan iqamah adalah salah satu waktu terbaik untuk berdoa.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqamah tidak ditolak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Ini menunjukkan betapa pentingnya memanfaatkan jeda waktu ini, di mana Allah SWT membuka pintu rahmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Oleh karena itu, setelah selesai menjawab adzan dan membaca Doa Al-Wasilah, seorang Muslim harus segera memanfaatkan waktu tunggu salat untuk berdoa secara pribadi. Doa-doa yang dianjurkan meliputi:
Jangan sia-siakan waktu ini dengan percakapan yang tidak perlu atau aktivitas duniawi, karena ia adalah momen emas yang sering dilupakan umat Islam.
Fiqih terkait adzan juga meluas ke kondisi khusus:
Kualitas respons kita sebagai pendengar juga dipengaruhi oleh kualitas adzan itu sendiri. Beberapa tata krama penting bagi mu'adzin, yang merupakan cerminan dari kesempurnaan syiar:
Jika mu'adzin melakukan tarji', pendengar tetap dianjurkan untuk menjawab lafazh syahadat yang dikumandangkan secara Jahr (keras).
Terkait sunnah menggerakkan atau mencium ujung jari telunjuk saat mendengar syahadat dalam adzan, khususnya saat mendengar nama Nabi Muhammad ﷺ, terdapat perbedaan pandangan. Meskipun amalan ini masyhur di beberapa tradisi Madzhab Syafi'i (terutama di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara), sebagian besar ulama hadis dan Madzhab Hanbali menganggapnya sebagai amalan yang tidak memiliki dasar kuat dalam hadis shahih.
Namun, semua sepakat bahwa yang paling utama adalah bershalawat dengan lisan dan hati yang khusyu' ketika nama Nabi disebut, sesuai dengan perintah umum dalam hadis, terlepas dari gerakan fisik tertentu.
Bagaimana jika seorang Muslim sedang sangat lelah, sakit parah, atau sedang sangat mengantuk? Apakah ia wajib memaksakan diri untuk menjawab adzan? Syariat Islam bersifat luwes (mudah). Karena menjawab adzan adalah sunnah muakkadah dan bukan fardhu 'ain (kewajiban individu), jika menjawabnya dapat memberatkan atau menambah rasa sakit, ia diberikan keringanan untuk tidak menjawabnya secara lisan. Namun, hati dan niatnya tetap harus menghadapkan diri kepada panggilan tersebut, dan ia harus membaca doa setelah adzan jika sudah merasa mampu.
Setelah adzan selesai dijawab, iqamah (komando berdiri salat) dikumandangkan. Iqamah memiliki lafazh tambahan: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ (Qad qamatis-shalah), yang diucapkan dua kali.
Ketika mendengar lafazh ini, pendengar menjawab:
Lafazh lain dalam iqamah dijawab sama seperti adzan. Perbedaan ini terjadi karena iqamah sudah merupakan pelaksanaan (qiyam) dari salat yang dipanggil, sehingga responsnya lebih spesifik terhadap permulaan salat tersebut.
Adzan, dan respons kita terhadapnya, merupakan manifestasi nyata dari persatuan umat (ukhuwah Islamiyah). Ketika panggilan itu berkumandang, jutaan Muslim di seluruh dunia mengucapkan lafazh yang sama, merespons dengan zikir yang sama, dan menanti di waktu yang sama untuk salat. Ini adalah ikatan spiritual yang melampaui batas geografis, bahasa, dan etnis. Pemahaman mendalam tentang cara menjawab adzan memastikan bahwa kita berpartisipasi penuh dalam kesatuan ini.
Setiap jawaban, dari Allahu Akbar hingga Laa ilaaha illallah, adalah konfirmasi bahwa kita berada dalam barisan mereka yang bersaksi dan beramal sesuai tuntunan syariat. Kesempurnaan dalam menjawab adzan adalah langkah pertama menuju kesempurnaan dalam salat yang akan kita dirikan.