Pendahuluan: Pentingnya Menjawab Panggilan Allah
Azan, seruan suci yang dikumandangkan lima kali sehari, bukan sekadar pemberitahuan masuknya waktu salat. Ia adalah undangan langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya untuk menuju kejayaan sejati. Azan menyimpan keagungan dan janji pahala yang besar bagi siapa pun yang mendengarnya dan meresponsnya dengan benar.
Menjawab azan adalah salah satu adab dan sunnah yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Rasulullah ﷺ telah memberikan panduan yang sangat jelas dan terperinci mengenai bagaimana kita seharusnya berinteraksi dengan setiap lafaz yang diucapkan oleh muazin. Proses menjawab azan ini adalah bentuk pengakuan kita atas tauhid, kenabian Muhammad, dan kesiapan kita memenuhi panggilan salat.
Kajian ini akan mengulas secara mendalam, berdasarkan sumber-sumber otentik dari Al-Qur'an dan Sunnah serta pandangan ulama empat mazhab, mengenai seluruh aspek tata cara menjawab azan. Tujuannya adalah memastikan setiap Muslim dapat melaksanakan sunnah mulia ini dengan kesempurnaan dan meraih keutamaan yang dijanjikan.
Dasar Hukum dan Keutamaan Menjawab Azan
Hukum menjawab azan adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan), bahkan sebagian ulama menganggapnya wajib kifayah atau mendekati wajib bagi yang mendengarnya. Kewajiban ini didasarkan pada perintah eksplisit dari Rasulullah ﷺ.
Dalil utama mengenai anjuran ini adalah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Hadis ini menjadi pondasi dasar tata cara menjawab azan, yaitu dengan mengulang setiap lafaz muazin. Namun, terdapat pengecualian-pengecualian spesifik yang akan dibahas lebih lanjut, khususnya pada lafaz yang menyeru kepada salat dan kemenangan.
Keutamaan Menjawab Azan
Menjawab azan mendatangkan beberapa keutamaan agung, di antaranya:
- Mendapat Syafaat Nabi Muhammad ﷺ: Ini berkaitan dengan membaca doa setelah azan yang shahih.
- Dosa Diampuni: Hadis dari Umar bin Khattab, bahwa siapa yang mengulang lafaz azan dengan keyakinan, dosa-dosanya akan diampuni.
- Kesaksian Bagi Muazin dan Penjawab: Setiap jin dan manusia yang mendengar azan akan menjadi saksi bagi muazin dan orang yang menjawabnya di hari kiamat.
- Terbukanya Pintu Doa: Waktu antara azan dan iqamah adalah waktu mustajab. Menjawab azan dengan sempurna merupakan persiapan spiritual untuk memanfaatkan waktu mustajab tersebut.
Tata Cara Inti Menjawab Azan (Lafaz Umum)
Prinsip dasarnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis, adalah menirukan lafaz muazin. Ini berlaku untuk mayoritas lafaz azan, terutama yang berkaitan dengan pengagungan Allah dan persaksian.
1. Lafaz Takbir (Pengagungan Allah)
Azan dimulai dan diakhiri dengan takbir.
- Muazin mengucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ(Allahu Akbar, Allahu Akbar) - diulang empat kali di awal (menurut Jumhur/Mayoritas Mazhab) atau dua kali (menurut Mazhab Maliki dan Syafi'i pada akhir azan).
- Penjawab mengucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ(Sama persis).
2. Lafaz Syahadat (Persaksian)
Lafaz syahadat diucapkan dua kali untuk tauhid dan dua kali untuk risalah (kenabian).
- Muazin mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ(Asyhadu an laa ilaaha illallah) - dua kali.
- Penjawab mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ(Sama persis).
- Muazin mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ(Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) - dua kali.
- Penjawab mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ(Sama persis).
Khilaf Ulama pada Lafaz Syahadat: Sebagian ulama, khususnya dalam Mazhab Syafi'i, menganjurkan penambahan lafaz 'Marhaban' atau 'wa ana asyhadu' ketika muazin mengucapkan syahadat, sebagai bentuk penegasan iman dan penghormatan. Namun, yang paling kuat dan sesuai dengan hadis Bukhari dan Muslim adalah menirukan sama persis tanpa tambahan.
Menjawab Khusus pada Lafaz Seruan (Hayya ‘ala)
Bagian ini adalah pengecualian utama dari prinsip menirukan lafaz muazin. Ketika muazin menyeru kepada salat dan kemenangan, Muslim diperintahkan untuk merespons dengan lafaz Hawqalah (La Hawla wala Quwwata Illa Billah).
1. Menjawab Hayya ‘ala ash-Shalah
- Muazin mengucapkan:
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ(Hayya ‘ala ash-Shalah) - dua kali. (Mari melaksanakan salat)
- Penjawab mengucapkan:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ(La hawla wala quwwata illa billah) - dua kali. (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
2. Menjawab Hayya ‘ala al-Falah
- Muazin mengucapkan:
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ(Hayya ‘ala al-Falah) - dua kali. (Mari meraih kemenangan/kesuksesan)
- Penjawab mengucapkan:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ(La hawla wala quwwata illa billah) - dua kali.
Makna Spiritual Hawqalah: Penggantian lafaz seruan (ajakan) dengan lafaz Hawqalah (penyerahan diri) memiliki makna spiritual yang mendalam. Ketika kita diajak untuk salat dan meraih kemenangan, kita menyadari bahwa upaya kita untuk menunaikan perintah tersebut tidak akan berhasil tanpa pertolongan dan daya dari Allah. Ini adalah pengakuan kerendahan hati dan ketergantungan total kepada Sang Pencipta.
Dalil Penggantian (Hawqalah)
Hadis yang secara spesifik memerintahkan penggantian ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab:
Menjawab Azan Subuh (At-Tatsriib)
Azan Subuh memiliki satu lafaz tambahan yang disebut At-Tatsriib, yang dikumandangkan setelah lafaz Hayya ‘ala al-Falah.
Lafaz Tambahan Azan Subuh
- Muazin mengucapkan:
اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ(Ash-Shalaatu khairun minan naum) - dua kali. (Salat lebih baik daripada tidur)
- Penjawab mengucapkan:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jawaban lafaz ini. Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa lafaz ini harus dijawab dengan cara menirukan kembali lafaz muazin, sebagai bentuk pengakuan atas kebenaran pernyataan tersebut.
اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ(Sama persis).Namun, sebagian ulama lain, seperti Imam An-Nawawi, menyebutkan pendapat bahwa lebih baik menjawab dengan lafaz:
صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ(Shadaqta wa bararta) - Engkau benar dan engkau telah berbuat kebajikan.Pendapat yang menirukan lafaz muazin adalah yang paling umum dan dianggap paling kuat sesuai kaidah umum menjawab azan, kecuali pada seruan ‘Hayya ‘ala’.
Doa Setelah Azan: Kunci Mendapat Syafaat
Setelah muazin menyelesaikan seluruh lafaz azan, sunnah yang sangat ditekankan adalah membaca doa yang masyhur, yang dikenal sebagai doa wasilah.
Sunnah Tambahan Sebelum Doa
Sebelum membaca doa wasilah, disunnahkan untuk melakukan dua hal:
- Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
- Memohon ampunan kepada Allah atau membaca kalimat syahadat sekali lagi.
Lafaz Doa Wasilah
Doa ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, di mana Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang ketika mendengar seruan azan mengucapkan..."
Transliterasi: Allahumma Rabba Haadzihid Da'watit Taammah, Washshalaatil Qaa'imah, Aati Muhammadanil Wasiilata Wal Fadhiilah, Wabcath-hu Maqaamam Mahmuudanil Ladzii Wa'adtah, (Innaka laa tukhliful mi'aad).
Arti: "Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini dan salat yang didirikan ini, berikanlah kepada Muhammad kedudukan yang mulia (al-wasilah) dan keutamaan (al-fadhilah), dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan terpuji (maqamam mahmuda) yang telah Engkau janjikan kepadanya, (Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji)."
Catatan Tentang Tambahan: Lafaz tambahan "Innaka laa tukhliful mi'aad" (Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji) disebutkan dalam beberapa riwayat, meskipun tidak terdapat dalam riwayat Bukhari yang paling shahih. Ulama seperti Al-Baihaqi dan Ibnu Sunni memasukkannya, dan disunnahkan untuk dibaca.
Keutamaan Doa Wasilah
Keutamaan terbesar dari doa ini adalah janji syafaat Nabi Muhammad ﷺ di Hari Kiamat bagi mereka yang membacanya dengan keyakinan.
Menjawab Iqamah (Azan Kedua)
Iqamah adalah seruan kedua yang menandakan salat akan segera dimulai. Hukum dan tata cara menjawab iqamah memiliki beberapa perbedaan signifikan dibandingkan menjawab azan pertama.
Hukum Menjawab Iqamah
Sebagian besar ulama (Jumhur) berpendapat bahwa hukum menjawab iqamah sama dengan menjawab azan, yaitu sunnah muakkadah, dengan menirukan lafaznya. Namun, ada satu lafaz khusus yang memerlukan respons berbeda.
Respon Khusus pada Qad Qamati as-Shalah
Lafaz iqamah yang membedakannya adalah:
- Muqim (orang yang iqamah) mengucapkan:
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ(Qad qamati ash-shalah) - dua kali. (Salat telah didirikan)
- Penjawab mengucapkan:
Berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud, jawaban yang disunnahkan adalah:
أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا(Aqaamahallaahu wa adaamahaa) - Semoga Allah mendirikan dan mengekalkannya.Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai derajat hadis ini, banyak ulama Hanbali dan Syafi'i yang menganjurkan lafaz ini karena secara makna sangat sesuai dengan konteks iqamah.
Lafaz Iqamah Lainnya
Untuk lafaz iqamah lainnya (Takbir, Syahadat, dan Hawqalah), kaidah yang digunakan sama seperti saat menjawab azan: menirukan lafaz muqim, dan menjawab "La hawla wala quwwata illa billah" ketika muqim mengucapkan "Hayya ‘ala ash-shalah" dan "Hayya ‘ala al-falah".
Kondisi Pengecualian dan Perbedaan Fiqh
Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul pertanyaan tentang kapan kita harus menjawab azan dan dalam kondisi apa kita boleh menundanya atau mengabaikannya. Fiqh (hukum Islam) telah memberikan panduan terperinci mengenai hal ini.
1. Saat Sedang Melaksanakan Salat
Mazhab Hanafi dan Syafi'i: Jika azan dikumandangkan saat seseorang sedang melaksanakan salat wajib (fardhu), ia dilarang menjawabnya dengan lisan. Ia harus tetap fokus pada salatnya. Jika ia menjawab, salatnya bisa batal jika jawabannya dilakukan dengan sengaja dan bukan bagian dari zikir salat.
Mazhab Maliki dan Hanbali: Pendapatnya serupa; fokus salat lebih utama. Pahala menjawab azan dapat diraih setelah salat selesai jika waktu masih memungkinkan (walaupun ini jarang dilakukan).
2. Saat Membaca Al-Qur'an atau Mengajar
Pendapat Utama: Disunnahkan menghentikan bacaan Al-Qur'an atau pelajaran sejenak untuk menjawab azan. Keutamaan menjawab panggilan Allah secara langsung lebih didahulukan daripada keutamaan membaca Al-Qur'an yang sifatnya tidak terikat waktu. Setelah azan selesai, ia dapat melanjutkan aktivitasnya.
3. Saat Buang Hajat (Di Kamar Mandi)
Jika seseorang berada di tempat yang najis atau sedang buang hajat, menjawab azan dengan lisan adalah makruh (dibenci) atau haram (dilarang), karena menyebut nama Allah (terutama lafaz syahadat dan takbir) di tempat tersebut adalah termasuk adab yang buruk. Ia harus menunggu hingga keluar dan bersuci, lalu menjawabnya jika masih memungkinkan, atau cukup dengan niat saja.
4. Menjawab Azan Melalui Radio atau Rekaman
Khilaf Kontemporer: Azan yang disiarkan langsung melalui radio atau televisi hukumnya sama dengan azan langsung, dan disunnahkan untuk dijawab. Namun, jika azan tersebut adalah rekaman (bukan siaran langsung), sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa tidak perlu dijawab karena muazinnya tidak benar-benar mengumandangkan pada waktu itu. Akan tetapi, sebagian lainnya tetap menganjurkan jawaban sebagai penghormatan terhadap lafaz-lafaz Allah.
5. Mendengar Azan dari Lebih dari Satu Masjid
Jika seseorang mendengar azan dari beberapa masjid yang berbeda, disunnahkan baginya untuk menjawab azan pertama yang ia dengar secara lengkap. Jika ia ingin, ia juga bisa menjawab azan dari masjid-masjid berikutnya, namun yang wajib difokuskan adalah azan yang pertama didengar. Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa jika azan-azan tersebut berkumandang serentak, ia dapat memilih salah satunya.
Adab Tambahan Saat Mendengar Azan
Selain menjawab lafaz-lafaz azan, ada beberapa adab sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan oleh seorang Muslim ketika mendengar panggilan salat:
1. Menghentikan Percakapan dan Kegiatan Duniawi
Saat azan berkumandang, seharusnya kita menghentikan segala aktivitas duniawi yang tidak mendesak, terutama percakapan yang sia-sia, sebagai bentuk pengagungan terhadap seruan Allah. Orang yang berbicara atau sibuk dengan urusan lain tanpa menjawab azan dikhawatirkan luput dari rahmat dan keutamaan yang besar.
2. Bersaksi dengan Hati pada Lafaz Syahadat
Ketika muazin mengucapkan syahadat, disunnahkan bagi pendengar untuk mengucapkan dalam hati:
Lafaz ini memiliki keutamaan yang tinggi, di mana Rasulullah ﷺ bersabda, barangsiapa yang mengucapkan kalimat ini setelah mendengar syahadat dari muazin, dosa-dosanya akan diampuni.
3. Meletakkan Jari Telunjuk pada Telinga (Khusus Mazhab Syafi'i)
Dalam Mazhab Syafi'i, disunnahkan bagi pendengar untuk meletakkan jari telunjuknya di kedua telinga saat muazin membaca syahadat. Ini dimaksudkan sebagai pengingat akan sunnah muazin itu sendiri, meskipun adab ini lebih utama dilakukan oleh muazin.
Hikmah dan Filosofi Menjawab Azan
Adab menjawab azan bukan sekadar ritual lisan, melainkan cerminan dari pemahaman tauhid dan penyerahan diri seorang hamba. Ada beberapa hikmah besar di balik anjuran sunnah ini:
1. Penegasan Ulang Tauhid
Dengan mengulang 'Allahu Akbar' dan 'Asyhadu an laa ilaaha illallah', kita menegaskan kembali ikrar iman kita, menjadikan azan sebagai pembaharuan janji spiritual yang dilakukan secara rutin setiap hari. Ini memperkuat pondasi akidah dalam hati.
2. Penyertaan Rasulullah ﷺ
Ketika kita menirukan syahadat ‘Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah’ dan dilanjutkan dengan shalawat serta doa wasilah, kita menunjukkan ketaatan kita kepada Rasulullah ﷺ sebagai pembawa risalah, sekaligus berharap mendapat syafaat beliau.
3. Realisasi Konsep Hawqalah
Menjawab ‘Hayya ‘ala ash-Shalah’ dan ‘Hayya ‘ala al-Falah’ dengan ‘La hawla wala quwwata illa billah’ adalah puncak penyerahan diri (tawakkal). Ini mengajarkan bahwa bergerak menuju salat dan meraih kemenangan dunia dan akhirat adalah sebuah keberhasilan yang hanya bisa dicapai atas izin dan kekuatan Allah, bukan semata-mata karena kemampuan fisik atau kehendak kita.
4. Persiapan Jiwa untuk Salat
Proses menjawab azan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan kekhusyu'an berfungsi sebagai transisi mental dari urusan duniawi menuju ibadah. Ini adalah pembersihan awal jiwa, menyiapkan hati untuk berkomunikasi dengan Allah dalam salat.
Analisis Fiqih Komparatif Mendalam Mengenai Respons Azan
Untuk memahami kedalaman sunnah ini, penting untuk melihat bagaimana empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) menyikapi beberapa detail kecil dalam merespons azan.
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi sangat menekankan peniruan lafaz muazin secara harfiah. Mereka berpendapat bahwa azan harus dijawab segera (tanpa jeda). Jika ada kegiatan lain yang dilakukan, sunnah menjawab azan bisa hilang.
- Pada Syahadat: Cukup menirukan lafaz tanpa tambahan.
- Pada Azan Subuh: Menirukan lafaz "Ash-Shalaatu khairun minan naum" adalah yang paling utama.
- Hukum: Sunnah muakkadah, mendekati wajib bagi yang tidak ada uzur.
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki cenderung melihat azan sebagai pemberitahuan. Walaupun disunnahkan menjawabnya, mereka membolehkan sedikit kelonggaran dalam urutan menjawab, asalkan doa wasilah dibaca.
- Pada Azan Subuh: Mereka memandang lafaz "Ash-Shalaatu khairun minan naum" adalah bid’ah (secara historis di Madinah), namun tetap menerima jika diucapkan. Jika dijawab, menirukan lafaz muazin lebih disukai.
- Sikap Saat Sibuk: Mereka berpendapat bahwa jika seseorang sedang melakukan ibadah lain (misalnya salat sunnah) yang tidak bisa dihentikan, ia tidak perlu menjawab azan.
Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i adalah yang paling rinci dalam mendetailkan adab dan sunnah tambahan dalam menjawab azan.
- Pada Syahadat: Disunnahkan mengucapkan "Wa ana asyhadu..." (dan saya bersaksi...) disertai lafaz ridha (Radhitu billahi rabba...).
- Waktu Doa: Mereka menekankan bahwa doa setelah azan harus dibaca segera setelah azan selesai.
- Lafaz Iqamah: Sangat menganjurkan jawaban "Aqaamahallaahu wa adaamahaa" pada lafaz "Qad qamati ash-shalah".
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sangat fokus pada teks hadis yang paling shahih, menekankan kepatuhan pada lafaz yang diriwayatkan. Mereka cenderung menghindari tambahan yang tidak memiliki dasar kuat, kecuali yang diriwayatkan dalam konteks lain.
- Prinsip Inti: Tirukan muazin (kecuali Hawqalah).
- Tambahan Ridha: Sangat dianjurkan untuk mengucapkan syahadat dengan tambahan ridha (radhitu billahi) karena keutamaan penghapusan dosanya.
- Hukum Menjawab: Menjawab azan adalah sunnah muakkadah, namun dianggap wajib bagi orang yang menjabat muazin karena ia harus menunjukkan keteladanan.
Kesimpulan Fiqh: Meskipun terdapat sedikit perbedaan pada tambahan lafaz (seperti lafaz ridha pada syahadat atau jawaban pada azan subuh), keempat mazhab sepakat pada kaidah inti: tirukan muazin, kecuali pada Hayya ‘ala ash-Shalah dan Hayya ‘ala al-Falah, yang dijawab dengan Hawqalah.
Pelajaran Pedagogis dari Azan dan Responsnya
Azan dirancang sebagai alat pendidikan harian bagi umat Islam. Respon kita terhadap azan mengajarkan disiplin waktu, penguatan iman, dan kesiapan mental untuk menghadapi tantangan spiritual.
1. Disiplin dan Konsistensi
Lima kali sehari, Muslim diingatkan untuk meninggalkan sejenak kesibukan dan merespon panggilan. Konsistensi dalam menjawab azan menumbuhkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab terhadap waktu ibadah.
2. Azan sebagai Media Dakwah
Ketika azan dikumandangkan dengan suara lantang, ia berfungsi sebagai deklarasi publik tentang keberadaan Islam. Bagi yang menjawabnya, ini adalah penguatan dakwah internal—menyatakan dengan lantang komitmennya di hadapan dunia.
3. Penyucian Lisan
Menjawab azan dengan lafaz-lafaz suci (takbir, syahadat) adalah cara membersihkan lisan dari perkataan sia-sia yang mungkin terucap sepanjang hari. Setiap respons adalah zikir yang mendatangkan pahala dan menjauhkan dari ghibah atau kata-kata buruk.
Penutup dan Rangkuman Praktis
Menjawab azan adalah praktik sederhana namun penuh barakah, yang menjanjikan syafaat dan pengampunan dosa. Dengan memahami tata cara yang benar, seorang Muslim dapat memaksimalkan pahala yang didapat dari seruan suci ini.
Rangkuman Praktis Cara Menjawab Azan:
- Takbir (4x/2x) dan Syahadat (4x): Ulangi persis lafaz muazin.
- Hayya ‘ala ash-Shalah (2x): Jawab dengan "La hawla wala quwwata illa billah".
- Hayya ‘ala al-Falah (2x): Jawab dengan "La hawla wala quwwata illa billah".
- Azan Subuh (Ash-Shalaatu khairun minan naum): Ulangi lafaz tersebut, atau "Shadaqta wa bararta".
- Azan Terakhir (Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallah): Ulangi persis.
- Setelah Selesai: Bershalawat, kemudian membaca Doa Wasilah (Allahumma Rabba Haadzihid Da'watit Taammah...).
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersegera menyambut panggilan-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, sehingga kita meraih kemenangan sejati yang dijanjikan.