Kuliner Indonesia adalah mozaik yang kaya akan sejarah, filosofi, dan teknik memasak yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam peta rasa Nusantara, terdapat dua ikon yang berdiri tegak, mewakili kontras sekaligus keselarasan: Ayam Betutu, mahakarya pedas dan aromatik dari Bali, serta Tempeh, 'emas kedelai' yang bersahaja dan menjadi simbol fermentasi Jawa. Kedua hidangan ini, meskipun berbeda asal-usul dan kompleksitasnya, memiliki benang merah yang kuat: dedikasi tanpa batas dari para pelestari rasa, seringkali disebut sebagai 'Men'—sebutan informal dan hormat untuk Ibu atau wanita yang memegang peran sentral di dapur tradisional.
Artikel ini akan membawa kita menelusuri kedalaman sejarah, komposisi bumbu, teknik memasak yang memakan waktu, hingga nilai filosofis yang terkandung dalam Betutu dan Tempeh. Kita akan memahami bagaimana kedua makanan ini tidak hanya mengisi perut, tetapi juga menjadi penanda budaya, ritual, dan keberlanjutan tradisi di dapur Indonesia.
Betutu bukan sekadar hidangan ayam atau bebek panggang. Ia adalah perwujudan kompleksitas rasa dan spiritualitas Pulau Bali. Secara tradisional, Betutu adalah sajian yang reserved, dihidangkan dalam upacara adat besar (seperti odalan, ngaben, atau potong gigi) dan perayaan penting lainnya, mencerminkan statusnya sebagai hidangan istimewa yang membutuhkan waktu dan keahlian tinggi.
Akar sejarah Betutu erat kaitannya dengan tradisi kerajaan dan upacara agama Hindu Dharma di Bali. Proses memasaknya yang lambat dan penggunaan bumbu yang lengkap (Bumbu Genep) melambangkan kelengkapan dan keseimbangan alam semesta (Tri Hita Karana). Dalam konteks ritual, penyajian Betutu—terutama Bebek Betutu—dianggap sebagai persembahan yang sempurna karena mencakup semua unsur rasa (manis, asin, pedas, asam, pahit) dan melambangkan kemakmuran.
Metode memasak Betutu yang otentik adalah dengan membungkus ayam atau bebek yang telah dilumuri bumbu rapat-rapat, kemudian memasukkannya ke dalam lubang tanah yang berisi bara api dan sekam (merang). Proses ini, yang disebut Betutu Mepanggang, memungkinkan panas merata dan uap dari bumbu terperangkap di dalam bungkusan, menghasilkan daging yang sangat empuk dan bumbu yang meresap sempurna hingga ke tulang. Teknik ini menuntut kesabaran luar biasa; durasi pemanggangan bisa mencapai 6 hingga 8 jam, sebuah penantian yang menunjukkan penghormatan terhadap bahan dan proses.
Rahasia utama Betutu terletak pada Bumbu Genep, yang secara harfiah berarti 'Bumbu Lengkap'. Ini adalah bumbu dasar Bali yang paling komprehensif, melibatkan setidaknya 15 hingga 20 jenis rempah-rempah yang harus diolah dengan proporsi yang tepat. Bumbu Genep bukan hanya tentang kepedasan, tetapi tentang harmoni rasa yang mendalam dan berlapis (umami alami yang kuat).
Meskipun metode tradisional panggang sekam masih dipraktikkan, Betutu modern sering kali dimasak menggunakan oven atau presto untuk mempersingkat waktu. Varian yang paling umum adalah Ayam Betutu dan Bebek Betutu. Bebek Betutu cenderung lebih berlemak, yang membuat bumbunya lebih menempel dan rasanya lebih kaya, sementara Ayam Betutu (sering kali Ayam Kampung) menawarkan tekstur daging yang lebih padat dan serat yang kuat.
Ada juga perbedaan mendasar antara Betutu Kuah dan Betutu Kering. Betutu Kering adalah versi yang bumbunya menyerap total ke dalam daging dan sedikit gosong, menciptakan tekstur luar yang renyah (jika dipanggang). Betutu Kuah atau Betutu Berkuah, yang sering disajikan di warung makan populer, memiliki sisa bumbu yang dicairkan dengan kaldu, disajikan terpisah sebagai pelengkap cocolan, menambah kelembaban dan sensasi menyegarkan.
Proses Betutu adalah pelajaran tentang manajemen waktu. Kesuksesan rasa Betutu bukan ditentukan oleh kecepatan, melainkan oleh kesabaran untuk membiarkan bumbu Genep berinteraksi dengan protein selama berjam-jam, baik saat marinasi maupun saat dimasak. Inilah yang membedakannya dari hidangan ayam pedas biasa.
Jika Betutu adalah kemewahan upacara adat, Tempeh adalah kedaulatan sehari-hari. Tempeh adalah makanan fermentasi asli Indonesia, yang diyakini berasal dari Pulau Jawa, khususnya sekitar wilayah Yogyakarta dan Surakarta, sejak abad ke-16. Tempeh adalah penemuan jenius yang mengubah kacang kedelai, bahan yang relatif sulit dicerna, menjadi sumber protein nabati yang sangat mudah diakses, murah, dan bernilai gizi tinggi.
Tempeh dibuat melalui proses fermentasi terkontrol dari kedelai yang telah direbus dan dikupas. Proses ini bergantung sepenuhnya pada jamur benang (kapang) dari genus Rhizopus, terutama Rhizopus oligosporus. Kapang ini bertindak sebagai perekat alami, menyelimuti dan mengikat biji kedelai hingga membentuk blok padat berwarna putih yang dikenal sebagai Tempeh.
Secara ilmiah, proses ini sangat luar biasa. Ketika R. oligosporus tumbuh, ia menghasilkan enzim yang memecah komponen kompleks kedelai. Protein dipecah menjadi asam amino (meningkatkan rasa umami alami), dan karbohidrat dipecah menjadi gula sederhana. Lebih penting lagi, proses fermentasi ini mengurangi senyawa anti-gizi (seperti asam fitat) yang ada dalam kedelai mentah, sehingga meningkatkan bioavailabilitas nutrisi, terutama zat besi, seng, dan kalsium.
Tempeh yang berkualitas ditandai dengan selimut putih tebal, padat, dan seragam, tanpa adanya bintik hitam atau lendir yang berlebihan. Bau yang dihasilkan haruslah aroma jamur yang segar, sedikit seperti kacang, tanpa bau amonia atau asam yang tajam. Suhu dan kelembaban harus diatur sangat ketat, biasanya di suhu 30-37°C selama 24-36 jam, seringkali dilakukan dengan pembungkus tradisional seperti daun pisang atau daun jati, yang membantu mengatur pertukaran udara dan kelembaban secara alami.
Keunggulan Tempeh adalah fleksibilitasnya. Rasa dasarnya yang netral memungkinkan Tempeh untuk diolah menjadi ratusan hidangan, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Empat olahan klasik yang menjadi pilar kuliner Tempeh di Jawa adalah:
Kata "Mendoan" berasal dari bahasa Banyumas yang berarti 'setengah matang' atau 'lembek'. Mendoan adalah Tempeh yang diiris tipis, dicelupkan ke dalam adonan tepung beras yang dibumbui (kencur, ketumbar, bawang putih), dan digoreng sangat cepat (tidak sampai kering). Hasilnya adalah Tempeh yang masih lembut, sedikit berminyak, dan dibungkus kulit adonan yang gurih. Ini adalah hidangan pembuka yang dinikmati hangat-hangat, sering dicocol sambal kecap pedas.
Tempeh Orek adalah Tempeh yang diiris kecil-kecil atau digoreng kering, kemudian ditumis dengan bumbu manis pedas berbasis kecap, gula merah, bawang, dan lengkuas. Daya tarik Tempeh Orek adalah teksturnya yang renyah dan kemampuannya bertahan lama, menjadikannya lauk wajib dalam nasi kotak atau tumpeng.
Bacem adalah teknik memasak dari Jawa yang melibatkan perebusan bahan (Tempeh atau Tahu) dalam larutan gula merah, air kelapa, asam jawa, dan bumbu halus hingga cairan menyusut dan meresap. Proses ini menghasilkan Tempeh dengan warna cokelat tua, rasa manis legit yang dominan, dan tekstur yang sangat lembut. Setelah dibacem, Tempeh biasanya digoreng sebentar untuk mengkaramelisasi permukaannya.
Tempeh Penyet adalah perwujudan kesederhanaan Tempeh yang digoreng biasa, kemudian dihancurkan (di-"penyet") di atas ulekan yang telah diisi sambal terasi pedas. Kehangatan Tempeh yang lembut berpadu dengan sambal mentah yang menyengat, menciptakan kontras yang adiktif. Ini adalah hidangan rakyat yang sangat populer di seluruh Jawa Timur dan sekitarnya.
Mengenai kedalaman nutrisi, Tempeh telah diakui secara global sebagai superfood. Kandungan proteinnya sebanding dengan daging, namun tanpa kolesterol tinggi dan dengan serat pangan yang melimpah. Vitamin B12, meskipun awalnya diperdebatkan, kini diketahui diproduksi dalam jumlah kecil oleh bakteri tertentu selama proses fermentasi, menjadikannya salah satu sumber non-hewani yang unik untuk vitamin ini, terutama jika dibungkus dengan daun tradisional yang mengandung bakteri yang relevan. Lebih dari sekadar nutrisi, Tempeh adalah kisah ekonomi rakyat; industri Tempeh melibatkan ribuan UMKM yang terus menerus memproduksi makanan pokok ini setiap hari, menjaga roda ekonomi lokal tetap berputar.
Teknik pengolahan kedelai menjadi Tempeh adalah ilmu yang diwariskan dengan presisi. Mulai dari proses perendaman (untuk mengaktifkan enzim dan memudahkan pengupasan kulit), perebusan (sterilisasi), pendinginan (hingga suhu ideal agar Rhizopus tidak mati), hingga inokulasi (pemberian ragi atau laru). Setiap langkah menuntut perhatian detail, terutama pada tahap pendinginan, di mana suhu harus sempurna. Jika terlalu panas, jamur akan mati; jika terlalu dingin, jamur akan lambat tumbuh atau terkontaminasi. Inilah seni yang seringkali dipegang teguh oleh tangan-tangan terampil di balik dapur-dapur tradisional.
Dalam konteks kuliner tradisional Indonesia, sosok "Men" atau "Ibu" (wanita dewasa) memegang peranan krusial. Mereka bukan hanya koki, melainkan kurator, ahli waris, dan penjaga konsistensi rasa. Proses panjang dan rumit dalam menyiapkan Betutu, atau ketelitian higienis yang dibutuhkan untuk fermentasi Tempeh, menunjukkan bahwa kedua hidangan ini hanya dapat berhasil di tangan yang sabar, berpengalaman, dan berdedikasi.
Betutu menuntut waktu yang tidak sedikit. Mulai dari meracik Bumbu Genep yang harus diulek (bukan diblender) untuk tekstur dan aroma terbaik, hingga proses marinasi yang idealnya berlangsung semalam, dan akhirnya pemanggangan berjam-jam. Tugas semacam ini, yang melampaui rutinitas memasak sehari-hari, sering kali menjadi tanggung jawab ‘Men’ dalam persiapan upacara atau perjamuan keluarga besar.
Keahlian ‘Men’ di Bali diukur dari kemampuannya menghasilkan Bumbu Genep yang sempurna—rasa yang seimbang, pedas yang menggigit, dan aroma rempah yang tidak hilang setelah proses pemanggangan. Mereka harus tahu kapan bumbu sudah cukup matang (tanak) sebelum dimasukkan ke dalam ayam, dan bagaimana menjaga panas tungku agar merata tanpa membakar bungkusan daun pisang. Ini adalah pengetahuan empiris yang diwariskan dari nenek ke ibu, dan kini kepada anak perempuan.
Di sisi Tempeh, peran ‘Men’ atau pengrajin Tempeh (yang mayoritas adalah wanita di tingkat UMKM) adalah tentang ketelitian higienis. Fermentasi adalah proses yang rentan. Sedikit saja kontaminasi atau kesalahan suhu dapat merusak seluruh batch. Keahlian dalam memilih kualitas kedelai, memastikan kebersihan peralatan, dan memahami kapan blok Tempeh telah mencapai kematangan optimal (biasanya ditandai dengan selimut jamur yang tebal dan aroma yang sempurna) adalah keterampilan yang membutuhkan pengalaman bertahun-tahun.
‘Men’ di dapur-dapur Tempeh adalah ahli mikrobiologi alami. Mereka intuitif dalam membaca cuaca, kelembaban, dan dampaknya pada pertumbuhan jamur Rhizopus. Mereka memastikan tradisi Tempeh yang bersih, bergizi, dan konsisten terus berlanjut, meskipun dihadapkan pada persaingan produksi pangan yang semakin cepat dan terindustrialisasi.
Kesabaran dan dedikasi yang sama yang dibutuhkan untuk Betutu yang dipanggang 8 jam juga tercermin dalam menunggu Tempeh yang butuh 36 jam untuk matang. Kedua hidangan ini, meskipun berbeda kelas sosial, sama-sama mewakili penghargaan terhadap proses, bukan hanya hasil akhir.
Integrasi kedua pilar ini dalam satu hidangan sering terjadi. Betutu, dengan intensitas pedas dan kekayaan lemaknya, membutuhkan Tempeh sebagai penetralisir tekstur dan penyedia serat yang lembut. Bayangkan kombinasi Ayam Betutu yang berkuah pedas, disajikan bersama Tempeh Bacem yang dingin, manis, dan lembut. Kontras ini menciptakan hidangan yang lengkap, memuaskan, dan mencerminkan keseimbangan yin dan yang dalam gastronomi Indonesia. Tempeh, yang secara filosofis mewakili kesederhanaan dan aksesibilitas protein, melengkapi kemewahan Betutu yang membutuhkan sumber daya dan waktu yang besar. Dalam hidangan komplit Nusantara, Tempeh berfungsi sebagai penyeimbang rasa, memberikan palet netral yang menyegarkan setelah ledakan rempah dari Betutu. Ini adalah bukti bahwa dalam dapur tradisional, semua komponen memiliki peranan yang setara pentingnya.
Lebih jauh lagi, pemahaman tentang "rasa" dalam konteks budaya tidak hanya berhenti pada indra pengecap, tetapi juga pada ingatan. Rasa Betutu yang khas sering kali membawa kembali ingatan akan perayaan besar dan kebersamaan, sementara rasa Tempeh Orek mengingatkan pada bekal sekolah atau makan siang sederhana. Kedua jenis ingatan ini dipelihara dan diwariskan melalui instruksi lisan dan praktik langsung yang diturunkan oleh 'Men' di setiap rumah tangga. Konsistensi rasa ini menjadi identitas budaya yang kuat, yang tidak boleh berubah dari generasi ke generasi, meskipun metode memasak (misalnya, penggunaan kompor modern menggantikan tungku kayu) telah disesuaikan.
Untuk benar-benar memahami kedua hidangan ini, kita harus menyelam ke dalam detail teknis pembuatannya. Berikut adalah panduan mendalam untuk menciptakan versi otentik dari Betutu dan Tempeh Bacem.
Resep ini disesuaikan untuk dapur modern, namun dengan penekanan pada penggunaan Bumbu Genep secara maksimal.
Aspek penting lain dalam pembuatan Betutu adalah pemilihan jenis bebek atau ayam. Bebek peking modern seringkali menghasilkan daging yang terlalu berlemak, sementara Bebek Muscovy (Entok) atau Ayam Kampung memberikan tekstur daging yang lebih berserat dan lebih mampu menyerap Bumbu Genep. Dalam tradisi, bumbu yang sudah ditumis sebelum dimasukkan ke dalam rongga ayam seringkali dicampur dengan potongan daun singkong atau daun pepaya muda yang telah direbus. Daun ini tidak hanya mengisi rongga agar bumbu tetap di tempatnya tetapi juga memberikan sedikit rasa pahit yang berfungsi sebagai penyeimbang rasa (mirip dengan fungsi kopi yang membersihkan palet). Penggunaan daun pisang dalam pembungkusan juga krusial, karena daun tersebut melepaskan aroma khas saat dipanaskan, memberikan dimensi wangi yang tidak bisa ditiru oleh alumunium foil saja. Dengan kata lain, setiap elemen, dari daun pembungkus hingga proses pengulekan bumbu, berperan aktif dalam mencapai kesempurnaan rasa Betutu.
Tempeh Bacem adalah contoh hidangan yang menuntut kesabaran dalam proses peresapan, mirip dengan Betutu, namun menggunakan bahan yang sangat berbeda.
Keunikan Tempeh Bacem terletak pada air kelapa. Air kelapa tidak hanya menambahkan rasa manis yang kompleks tetapi juga mengandung elektrolit dan mineral yang berinteraksi dengan Tempeh, menghasilkan tekstur yang lebih lembut dan rasa gurih yang mendalam. Penggunaan api kecil adalah hal yang tidak bisa ditawar dalam membacem. Panas yang tinggi akan membuat air cepat menguap sebelum bumbu sempat meresap. Proses penyusutan cairan yang sangat lambat ini memaksa molekul gula, garam, dan ketumbar masuk ke dalam serat-serat Tempeh yang telah dilunakkan oleh perebusan, menjamin bahwa rasa manis dan gurih mencapai inti Tempeh. Tanpa proses nyemek yang sabar ini, Tempeh hanya akan terasa manis di permukaan, sementara dalamnya tawar. Ini adalah contoh lain di mana kearifan memasak tradisional, yang dipegang erat oleh 'Men', menuntut dedikasi waktu yang mendalam, bahkan untuk hidangan yang terlihat sederhana.
Analisis lebih jauh mengenai Tempeh Bacem mengungkapkan bahwa ini adalah salah satu teknik pengawetan tertua di Jawa. Gula dan garam bertindak sebagai agen pengawet, memungkinkan Tempeh matang ini disimpan lebih lama sebelum digoreng, sebuah praktik penting di masa lalu ketika pendinginan tidak tersedia. Proses karamelisasi yang terjadi saat penggorengan akhir adalah sentuhan kuliner yang menambah tekstur renyah di luar, kontras dengan bagian dalamnya yang lembut dan juicy.
Betutu dan Tempeh, melalui perbedaannya yang mencolok—Betutu sebagai representasi kemewahan rempah, Tempeh sebagai representasi kesederhanaan fermentasi—menyajikan pelajaran berharga tentang keseimbangan dalam kuliner Indonesia. Keduanya telah melampaui status makanan belaka; mereka adalah duta budaya yang membawa narasi sejarah, ekonomi, dan sosial.
Betutu dikenal dengan profil rasanya yang agresif: pedas, asam, asin, gurih, semua hadir secara bersamaan dalam intensitas tinggi. Kontrasnya, Tempeh seringkali memiliki profil rasa yang lebih tenang, seperti dalam Bacem yang manis atau Mendoan yang gurih lembut. Ketika disajikan bersama, Tempeh berfungsi sebagai penjinak lidah. Setelah ledakan rempah dari Betutu, gigitan Tempeh memberikan jeda yang menenangkan, mempersiapkan palet untuk gigitan Betutu berikutnya. Keseimbangan ini adalah ciri khas santapan Indonesia yang otentik: tidak ada satu rasa yang mendominasi sepenuhnya, melainkan harmoni dari berbagai elemen.
Saat ini, Tempeh telah mendapatkan pengakuan global sebagai makanan super yang berkelanjutan. Permintaannya meningkat di Eropa dan Amerika Utara sebagai alternatif protein vegan yang ramah lingkungan. Ironisnya, Tempeh, yang merupakan makanan pokok ratusan tahun di Indonesia, kini kembali ‘ditemukan’ oleh dunia. Hal ini memberikan dorongan baru bagi pengrajin lokal untuk meningkatkan kualitas dan higienis produksinya, namun pada saat yang sama, menghadapi tantangan komersialisasi dan standarisasi yang berpotensi menghilangkan sentuhan artisan 'Men' yang khas.
Keberlanjutan Tempeh tidak hanya terletak pada nilai nutrisinya, tetapi juga pada ekosistem pembuatannya. Mayoritas kedelai yang digunakan, meskipun beberapa masih impor, diolah oleh UMKM yang menggunakan teknik yang minim energi dan limbah, mencerminkan model pangan yang berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Tantangan terbesar bagi Betutu di era modern adalah menjaga keaslian tekniknya. Banyak warung Betutu yang kini menggunakan metode memasak cepat yang mengorbankan kedalaman rasa yang hanya bisa dicapai melalui pemanggangan perlahan. Proses tradisional yang melibatkan sekam dan lubang tanah kini semakin langka karena alasan kepraktisan dan regulasi dapur. Namun, pelestari Betutu sejati tahu bahwa Bumbu Genep harus dimasak tanak sempurna dan daging harus dimasak dengan panas yang rendah dan konstan. Upaya pelestarian ini seringkali didukung oleh keluarga-keluarga tradisional Bali yang bersikeras menggunakan resep leluhur, sebuah bentuk perlawanan pasif terhadap industrialisasi kuliner.
Demikian pula, Tempeh menghadapi isu standarisasi. Meskipun standarisasi dapat meningkatkan kualitas ekspor, tekanan untuk memproduksi Tempeh dengan cepat dapat mengorbankan kualitas fermentasi yang optimal. Rasa Tempeh yang dibungkus daun pisang, dengan nuansa aroma yang sedikit herbal dan manis, sangat berbeda dari Tempeh yang dibungkus plastik murni. Aroma daun pisang ini, yang diserap selama fermentasi, adalah salah satu elemen ‘terroir’ kuliner yang terancam hilang. Peran 'Men' sebagai penjaga kearifan lokal ini sangat penting untuk memastikan bahwa Tempeh masa depan tetap mempertahankan integritas rasanya yang otentik, bukan sekadar blok protein pabrikan.
Filosofi kesederhanaan Tempeh dan kerumitan Betutu mengajarkan kita tentang spektrum kuliner Indonesia. Indonesia menghargai hidangan yang kompleks dan membutuhkan pengorbanan waktu, tetapi juga menghormati bahan pangan yang paling sederhana namun diolah dengan kearifan luar biasa. Betutu adalah perayaan, Tempeh adalah penghidupan. Keduanya adalah cerminan dari kekayaan alam dan budaya yang terus menerus dihidupkan melalui tangan-tangan terampil di dapur Nusantara. Kisah Betutu dan Tempeh adalah kisah tentang identitas kuliner yang abadi, sebuah warisan rasa yang terus berdenyut di setiap gigitan.
Pada akhirnya, warisan kuliner yang diwakili oleh Ayam Betutu yang membara dan Tempeh yang bersahaja bukanlah sekadar kumpulan resep. Ini adalah catatan sejarah yang dimasak, di mana setiap rempah dan setiap tahap fermentasi menceritakan kisah tentang adaptasi, spiritualitas, dan yang terpenting, dedikasi para ‘Men’ yang telah berabad-abad menjadi penjaga api di dapur keluarga dan komunitas. Mereka adalah arsitek rasa yang memastikan bahwa warisan Nusantara ini akan terus dinikmati oleh generasi mendatang, utuh, otentik, dan penuh makna.
Dalam konteks globalisasi, Betutu dan Tempeh menawarkan pelajaran tentang bagaimana makanan tradisional dapat berinteraksi dengan dunia modern. Betutu, dengan profil Bumbu Genep yang unik, menantang para koki internasional untuk memahami kedalaman penggunaan rempah Indonesia. Ini bukan hanya tentang rasa pedas, tetapi tentang lapisan rasa dari Kencur, Kunyit, dan Terasi yang menciptakan keunikan yang tak tertandingi. Sementara itu, Tempeh menawarkan model solusi pangan masa depan: protein tinggi, berbasis tanaman, dan diproses dengan fermentasi alami yang ramah lingkungan. Kedua hidangan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jawaban kuliner baik untuk perjamuan mewah maupun untuk kebutuhan pangan sehari-hari yang berkelanjutan.
Penghargaan terhadap proses memasak lambat, seperti yang dituntut oleh Betutu, kini kembali dihargai dalam gerakan slow food global. Ketika dunia semakin bergerak cepat, meluangkan waktu berjam-jam untuk memasak satu hidangan, seperti yang dilakukan oleh Men di dapur Bali, menjadi sebuah tindakan spiritual dan budaya yang sangat penting. Ini adalah penolakan terhadap makanan instan, sebuah afirmasi bahwa kualitas rasa sejati hanya dapat dicapai melalui kesabaran dan dedikasi. Hal ini secara langsung berlawanan dengan Tempeh, yang proses pembuatannya cepat (hanya 36 jam fermentasi) namun membutuhkan ketelitian tinggi, membuktikan bahwa kuliner yang hebat bisa datang dalam berbagai kecepatan dan kompleksitas, asalkan dilakukan dengan hati yang sungguh-sungguh.
Warisan ini mencakup juga bagaimana hidangan pendamping dipilih. Betutu, yang sangat kaya, selalu disajikan dengan hidangan yang segar seperti Sambal Matah (sambal mentah) yang memberikan keasaman dan kerenyahan. Tempeh, sebaliknya, bisa berdiri sendiri atau dipasangkan dengan hidangan utama. Keseimbangan dalam penyajian ini adalah kunci. Tidak ada makanan yang berdiri sendiri; setiap komponen melengkapi dan mendukung yang lain. Ini adalah refleksi dari filosofi hidup komunal Indonesia, di mana setiap individu, dari yang paling kompleks (Betutu) hingga yang paling sederhana (Tempeh), memiliki peran vital dalam menciptakan harmoni.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Tempeh dan Betutu adalah manifestasi dari kearifan kuliner Indonesia yang tak lekang oleh waktu. Mereka adalah warisan yang harus dijaga tidak hanya resepnya, tetapi juga semangat di baliknya—semangat ketelitian, kesabaran, dan penghargaan terhadap alam. Dan di balik semua itu, berdiri tegak sosok ‘Men’, penjaga tradisi yang memastikan bahwa setiap suapan Betutu sepedas sejarahnya, dan setiap gigitan Tempeh sehangat rumah.