Tawasul merupakan salah satu amalan spiritual yang mengakar dalam tradisi keislaman di berbagai belahan dunia. Secara esensial, tawasul adalah upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara (wasilah) yang diyakini memiliki kedudukan mulia di sisi-Nya. Praktik ini bukanlah meminta kepada selain Allah, melainkan sebuah metode berdoa, sebuah adab atau tata krama dalam memohon kepada Sang Pencipta, dengan harapan doa tersebut lebih mudah untuk dikabulkan.
Memahami konsep tawasul secara mendalam adalah kunci untuk melaksanakannya dengan benar, jauh dari kesalahpahaman yang dapat mengarah pada penyimpangan akidah. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai bacaan tawasul singkat, mulai dari definisi, landasan dalil, urutan bacaan yang umum diamalkan, hingga penjelasan makna di setiap lafaznya. Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang komprehensif agar amalan ini dapat dijalankan dengan penuh keyakinan dan keikhlasan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah SWT.
Memahami Hakikat Tawasul
Sebelum melangkah ke bacaan spesifik, penting untuk membangun fondasi pemahaman yang kokoh tentang apa itu tawasul. Kata "tawasul" berasal dari bahasa Arab, dari akar kata "wasala-yasilu-wasilah", yang berarti perantara, penyambung, atau sarana untuk mencapai tujuan. Dalam konteks ibadah, wasilah adalah segala sesuatu yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT.
Allah SWT sendiri berfirman dalam Al-Qur'an tentang perintah mencari wasilah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wabtagū ilaihil-wasīlata wa jāhidū fī sabīlihī la'allakum tufliḥūn."
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 35)
Ayat ini menjadi salah satu landasan utama bagi praktik tawasul. Para ulama menafsirkan kata "al-wasilah" dalam ayat ini secara luas. Sebagian besar sepakat bahwa wasilah yang paling utama adalah iman dan amal saleh. Namun, cakupan maknanya juga meluas hingga mencakup perantara lain yang dibenarkan syariat, seperti bertawasul dengan Asma'ul Husna (nama-nama Allah yang indah), dengan amal kebaikan yang pernah dilakukan, atau dengan kemuliaan para nabi dan orang-orang saleh.
Penting untuk ditegaskan bahwa dalam bertawasul, keyakinan seorang Muslim harus tetap lurus. Permohonan, doa, dan harapan hanya ditujukan kepada Allah SWT semata. Perantara yang digunakan, baik itu Nabi Muhammad SAW, para wali, atau amal saleh, hanyalah sarana untuk menunjukkan kerendahan hati di hadapan Allah. Ibarat seseorang yang ingin bertemu seorang raja, ia akan lebih sopan jika melalui orang-orang terdekat raja yang memiliki kedudukan terhormat. Analogi ini membantu memahami adab dalam berdoa, meskipun tentu saja kemahamurahan Allah tidak dapat dibandingkan dengan makhluk-Nya.
Urutan dan Bacaan Tawasul Singkat
Terdapat berbagai macam versi bacaan tawasul, dari yang sangat panjang hingga yang ringkas. Berikut ini adalah salah satu bentuk bacaan tawasul singkat yang umum diamalkan, yang mencakup pengiriman doa (biasanya berupa surat Al-Fatihah) kepada sosok-sosok mulia sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keberkahan.
Urutan ini disusun secara sistematis, dimulai dari sosok yang paling mulia hingga kepada kaum muslimin secara umum. Setiap tahapan memiliki makna dan tujuan spiritualnya tersendiri.
1. Pembukaan dengan Istighfar dan Salawat
Sebelum memulai, sangat dianjurkan untuk membersihkan diri dari dosa dengan beristighfar dan memuliakan Nabi dengan bersalawat. Ini adalah adab dasar dalam berdoa.
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ
Astaghfirullāhal-'azhīm.
"Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung." (Dibaca 3 kali)
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allāhumma ṣalli 'alā sayyidinā Muḥammadin wa 'alā āli sayyidinā Muḥammad.
"Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad." (Dibaca 3 kali)
2. Mengirimkan Al-Fatihah kepada Nabi Muhammad SAW
Langkah pertama dalam inti tawasul adalah menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الْكِرَامِ، شَيْءٌ لِلهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةُ
Ilā ḥaḍratin-nabiyyil-muṣṭafā Muḥammadin ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, wa 'alā ālihī wa aṣḥābihī wa azwājihī wa żurriyyātihī wa ahli baitihil-kirām, syai'un lillāhi lahumul-fātiḥah.
"Teruntuk hadirat Nabi pilihan, Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga, sahabat, istri, keturunan, dan ahli baitnya yang mulia. Sesuatu karena Allah bagi mereka, Al-Fatihah."
(Kemudian membaca Surat Al-Fatihah 1 kali)
3. Kepada Para Nabi, Rasul, Malaikat, dan Orang Saleh Terdahulu
Selanjutnya, doa diperluas untuk mencakup seluruh nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW, para malaikat muqarrabin, dan para ulama serta syuhada.
ثُمَّ إِلَى حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَجَمِيْعِ الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ، خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيِّ، الْفَاتِحَةُ
Ṡumma ilā ḥaḍrati ikhwānihī minal-anbiyā'i wal-mursalīn, wal-auliyā'i wasy-syuhadā'i waṣ-ṣāliḥīn, waṣ-ṣaḥābati wat-tābi'īn, wal-'ulamā'il-'āmilīn, wal-muṣannifīnal-mukhliṣīn, wa jamī'il-malā'ikatil-muqarrabīn, khuṣūṣan sayyidinā asy-Syaikh 'Abdul Qādir al-Jailānī, al-fātiḥah.
"Kemudian, kepada hadirat saudara-saudaranya dari para nabi dan rasul, para wali, para syuhada, orang-orang saleh, para sahabat dan tabi'in, para ulama yang mengamalkan ilmunya, para pengarang yang ikhlas, dan seluruh malaikat yang didekatkan (kepada Allah), khususnya kepada junjungan kami Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fatihah."
(Kemudian membaca Surat Al-Fatihah 1 kali)
4. Kepada Seluruh Kaum Muslimin dan Muslimat
Doa kemudian ditujukan secara umum kepada seluruh umat Islam, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, termasuk para guru dan orang tua kita.
ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا، خُصُوْصًا آبَاءَنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادَنَا وَجَدَّاتِنَا وَمَشَايِخَنَا وَمَشَايِخَ مَشَايِخِنَا وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَهُنَا بِسَبَبِهِ، شَيْءٌ لِلهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةُ
Ṡumma ilā jamī'i ahlil-qubūr minal-muslimīna wal-muslimāt, wal-mu'minīna wal-mu'mināt, min masyāriqil-arḍi ilā magāribihā, barrihā wa baḥrihā, khuṣūṣan ābā'anā wa ummahātinā wa ajdādanā wa jaddātinā wa masyāyikhanā wa masyāyikha masyāyikhinā, wa limanijtama'nā hāhunā bisababih, syai'un lillāhi lahumul-fātiḥah.
"Kemudian, kepada seluruh ahli kubur dari kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat dari timur bumi hingga baratnya, di darat maupun di laut, khususnya kepada bapak-bapak kami dan ibu-ibu kami, kakek-kakek kami dan nenek-nenek kami, guru-guru kami dan guru dari guru-guru kami, serta kepada siapa pun yang karenanya kami berkumpul di sini. Sesuatu karena Allah bagi mereka, Al-Fatihah."
(Kemudian membaca Surat Al-Fatihah 1 kali)
5. Penutup dengan Doa Pribadi
Setelah menyelesaikan rangkaian pengiriman Al-Fatihah, inilah saatnya untuk memanjatkan doa pribadi atau hajat spesifik kepada Allah SWT. Dengan didahului oleh tawasul, diharapkan doa yang dipanjatkan berada dalam kerangka adab yang baik dan lebih berpotensi untuk diijabah oleh Allah SWT.
Makna Mendalam di Balik Setiap Urutan Bacaan
Setiap tahapan dalam bacaan tawasul di atas bukan sekadar urutan tanpa makna. Ada filosofi dan adab yang terkandung di dalamnya, yang menunjukkan rasa hormat dan hierarki spiritual dalam pandangan seorang Muslim.
Pentingnya Memulai dengan Nabi Muhammad SAW
Menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama adalah sebuah keniscayaan. Beliau adalah wasilah al-'uzhma (perantara teragung) antara umat manusia dengan Allah SWT. Melalui beliaulah risalah Islam sampai kepada kita. Mencintai dan memuliakan Nabi adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Dengan mengirimkan doa kepada beliau, kita mengakui jasa-jasanya yang tak terhingga dan berharap mendapatkan percikan keberkahan (barakah) dari kedudukannya yang mulia di sisi Allah. Ini juga merupakan bentuk pengamalan perintah Allah untuk bersalawat kepada Nabi.
Menghormati Rantai Emas Keilmuan dan Kesalehan
Urutan kedua mencakup para nabi, rasul, wali, syuhada, dan ulama. Ini menunjukkan pengakuan kita terhadap kesinambungan ajaran tauhid sejak nabi pertama hingga para pewaris nabi (ulama). Kita mengakui bahwa keimanan yang kita miliki hari ini adalah hasil perjuangan dan pengorbanan mereka. Dengan mendoakan mereka, kita menyambungkan diri kita ke dalam "rantai emas" spiritual ini. Menyebut nama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani secara khusus (seperti dalam contoh) adalah hal yang umum di banyak kalangan, sebagai bentuk penghormatan kepada salah satu wali besar (sulthanul auliya) yang memiliki pengaruh luas dalam dunia tasawuf dan keilmuan Islam.
Ikatan Persaudaraan Universal Umat Islam
Tahap ketiga adalah wujud nyata dari konsep ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) yang melintasi batas ruang dan waktu. Kita tidak hanya berdoa untuk diri sendiri, tetapi juga untuk seluruh Muslim di dunia, yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Mendoakan orang tua dan guru adalah bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan penghargaan terhadap jasa para pendidik yang telah membimbing kita. Ini mengajarkan empati, kepedulian, dan kesadaran bahwa kita adalah bagian dari sebuah komunitas besar yang saling terhubung.
Landasan Dalil dan Pandangan Ulama
Praktik tawasul, khususnya dengan orang-orang saleh yang telah wafat, terkadang menjadi bahan perdebatan. Namun, mayoritas ulama (jumhur ulama), terutama dari kalangan ahlus sunnah wal jama'ah (Aswaja), memandangnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan (ja'iz) bahkan dianjurkan (mustahab), selama akidah tetap terjaga.
Landasan mereka, selain ayat Al-Ma'idah: 35 di atas, juga merujuk pada beberapa hadis, di antaranya:
Hadis Lelaki Buta
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya menceritakan tentang seorang lelaki buta yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan meminta agar didoakan sembuh. Nabi kemudian mengajarkannya untuk berwudhu, salat dua rakaat, lalu berdoa dengan lafaz:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan perantaraanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku."
Hadis ini dinilai shahih oleh banyak ulama ahli hadis dan menjadi dalil yang sangat kuat tentang kebolehan bertawasul dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, bahkan ketika beliau tidak sedang berdoa secara langsung untuk orang tersebut. Lelaki itu sendiri yang diperintahkan untuk menggunakan Nabi sebagai wasilah dalam doanya.
Tawasul Sayyidina Umar bin Khattab
Pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab, terjadi musim kemarau panjang. Beliau kemudian berdoa memohon hujan dengan bertawasul melalui paman Nabi, Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib. Umar berkata:
"Ya Allah, dahulu kami biasa bertawasul kepada-Mu melalui Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan. Kini, kami bertawasul kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami."
Peristiwa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari ini menunjukkan bahwa para sahabat pun memahami dan mempraktikkan konsep tawasul. Meskipun ada perbedaan pendapat apakah ini hanya berlaku untuk orang saleh yang masih hidup atau juga yang sudah wafat, mayoritas ulama Aswaja berpendapat bahwa kemuliaan dan kedudukan seseorang di sisi Allah tidak akan hilang hanya karena kematiannya.
Meluruskan Kesalahpahaman Umum
Salah satu kekhawatiran terbesar yang sering muncul adalah anggapan bahwa tawasul sama dengan syirik (menyekutukan Allah). Ini adalah kesalahpahaman fatal yang perlu diluruskan.
- Tawasul bukanlah menyembah atau meminta kepada selain Allah. Dalam tawasul, doa tetap 100% ditujukan hanya kepada Allah. Orang saleh yang dijadikan wasilah hanyalah perantara, bukan tujuan dari doa itu sendiri. I'tikad dan keyakinan tetap bahwa hanya Allah yang Maha Mengabulkan Doa.
- Tawasul adalah bentuk adab (tata krama). Ia adalah cara menunjukkan kerendahan diri di hadapan Allah dengan "menggandeng" nama-nama hamba yang dicintai-Nya. Ini adalah ekspresi cinta kepada Nabi dan orang-orang saleh, dan mencintai mereka adalah bagian dari ajaran agama.
- Membedakan Tawasul dengan Istighathah yang terlarang. Yang dilarang adalah istighathah kepada selain Allah, yaitu meminta pertolongan pada perkara gaib yang hanya mampu dilakukan oleh Allah (misalnya, meminta rezeki atau kesembuhan langsung kepada penghuni kubur). Dalam tawasul yang benar, permintaan tetap kepada Allah, contohnya: "Ya Allah, dengan keberkahan Nabi Muhammad, kabulkanlah doaku."
Kesimpulan
Bacaan tawasul singkat adalah sebuah rangkaian doa yang sarat makna, adab, dan penghormatan. Ia bukanlah sekadar ritual, melainkan sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah SWT melalui kecintaan kepada para kekasih-Nya. Dengan memahami hakikat, urutan, makna, dan landasan dalilnya, seorang Muslim dapat mengamalkan tawasul dengan hati yang mantap dan keyakinan yang lurus.
Inti dari tawasul adalah kerendahan hati. Kita mengakui kekurangan diri dan pada saat yang sama mengakui kemuliaan para nabi dan orang-orang saleh di hadapan Allah. Dengan berpegang pada prinsip bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan doa dan pemberi ijabah, maka tawasul menjadi salah satu jalan indah untuk mengetuk pintu rahmat-Nya yang tak terbatas.