Menggali Kekhusyukan Fajar Melalui Bacaan Tarhim

Ilustrasi masjid saat fajar menyingsing

Lantunan syahdu yang membangunkan jiwa menyambut panggilan Ilahi.

Pendahuluan: Suara Ketenangan di Ambang Fajar

Di keheningan sepertiga malam terakhir, saat dunia masih terlelap dalam buaian mimpi, seringkali terdengar sebuah lantunan syahdu yang mengalun dari menara-menara masjid. Suara itu bukanlah azan, tetapi juga bukan alunan ayat suci Al-Qur'an biasa. Itulah bacaan Tarhim, sebuah seruan puitis yang berfungsi sebagai pengantar lembut menuju waktu salat Subuh. Bagi jutaan umat Muslim, terutama di Indonesia dan beberapa negara lainnya, lantunan Tarhim adalah penanda spiritual yang tak terpisahkan dari ritual pagi hari. Ia adalah melodi yang membangunkan bukan hanya raga dari tidurnya, tetapi juga jiwa dari kelalaiannya, mengingatkan akan kebesaran Sang Pencipta dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW.

Tarhim, yang secara harfiah berarti "memohon rahmat" atau "berbelas kasih", adalah sebuah bentuk shalawat dan doa yang dilantunkan dengan nada merdu dan penuh penghayatan. Fungsinya lebih dari sekadar alarm alami. Ia adalah jembatan emosional dan spiritual yang menghubungkan kondisi tidur—yang sering diibaratkan sebagai "kematian kecil"—dengan kesadaran penuh untuk menghadap Allah SWT. Alunannya yang khas, seringkali menggunakan maqamat (tangga nada musik Arab) yang menyentuh kalbu seperti Bayati atau Hijaz, mampu menciptakan suasana khusyuk dan damai, mempersiapkan hati setiap pendengarnya untuk menyambut panggilan azan Subuh dengan kesiapan yang paripurna. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang bacaan Tarhim, mulai dari teks, terjemahan, makna filosofis di setiap baitnya, hingga sejarah panjang perjalanannya menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Islam di Nusantara.

Teks Lengkap Bacaan Tarhim: Arab, Latin, dan Terjemahan

Inti dari Tarhim adalah rangkaian shalawat dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun terdapat beberapa variasi minor, teks yang paling populer dan dikenal luas, terutama yang sering diputar di radio dan masjid-masjid di Indonesia, adalah sebagai berikut. Mari kita bedah satu per satu beserta transliterasi dan terjemahannya untuk memahami kekayaan maknanya.

Bait Pertama: Salam Pembuka kepada Pemimpin Para Pejuang

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَاإمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ ۞ يَارَسُوْلَ اللهِ

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ imâmal mujâhidîn, yâ Rasûlallâh.

"Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai pemimpin para pejuang, wahai utusan Allah."

Bait Kedua: Salam kepada Nabi dan Kekasih Allah

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَانَاصِرَ الْهُدَى ۞ يَا خَيْرَ خَلْقِ اللهِ

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ nâshirol hudâ, yâ khoyro kholqillâh.

"Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai penolong petunjuk ilahi, wahai makhluk yang terbaik."

Bait Ketiga: Salam kepada Penolong Kaum Lemah

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَانَاصِرَ الْحَقِّ ۞ يَارَسُوْلَ اللهِ

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ nâshirol haqqi yâ Rasûlallâh.

"Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai pembela kebenaran, wahai utusan Allah."

Bait Keempat: Penutup dengan Penegasan Agung

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا ۞ نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ ۞ وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى ۞ كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ ۞ وَاِلَى الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا ۞ وَ سَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَامُ ۞ يَا كَرِمَ الْأَخْلَاقِ ۞ يَارَسُوْلَ اللهِ ۞ صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى أَلِكَ وَأَصْحَابِكَ أَجْمَعِيْنَ

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ man asrâ bikal muhayminu laylan, nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu. Wa taqoddamta lish-sholâti fa shollâ, kullu man fis-samâ-i wa antal imâmu. Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman, wa sami’ta nidâ-an ‘alaykas salâm. Yâ karîmal akhlâq, yâ Rasûlallâh. Shollallâhu ‘alayka, wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în.

"Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai Engkau yang diperjalankan oleh Allah pada malam hari, Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur. Engkau maju untuk memimpin salat dan semua yang berada di langit turut salat di belakangmu, dan Engkaulah imamnya. Engkau diangkat ke Sidratul Muntaha dengan mulia, dan Engkau mendengar seruan salam atasmu. Wahai yang paling mulia akhlaknya, wahai utusan Allah. Semoga rahmat Allah tercurah kepadamu, kepada keluargamu, dan seluruh sahabatmu."

Makna Filosofis di Balik Setiap Bait Tarhim

Bacaan Tarhim bukan sekadar untaian kata, melainkan lautan makna yang dalam. Setiap frasa dipilih dengan cermat untuk membangkitkan rasa cinta, hormat, dan kerinduan kepada Rasulullah SAW, sekaligus menjadi refleksi bagi pendengarnya.

1. "Yâ Imâmal Mujâhidîn" (Wahai Pemimpin Para Pejuang)

Penyebutan Rasulullah SAW sebagai "pemimpin para pejuang" memiliki makna yang sangat luas. Ini tidak hanya merujuk pada perjuangan fisik dalam peperangan untuk membela Islam. Lebih dari itu, gelar ini mengukuhkan beliau sebagai pemimpin dalam perjuangan yang lebih besar: perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al-nafs), perjuangan menyebarkan ilmu dan kebaikan, perjuangan membangun peradaban yang berlandaskan tauhid, dan perjuangan menegakkan keadilan. Di waktu fajar, saat seorang Muslim bersiap memulai "perjuangan" harinya, ia diingatkan untuk meneladani sang pemimpin agung dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam kesabaran, kegigihan, maupun keteguhan iman.

2. "Yâ Nâshirol Hudâ" (Wahai Penolong Petunjuk Ilahi)

Frasa ini menyoroti peran sentral Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Allah. Beliau adalah "penolong" atau "pembawa" petunjuk (Al-Huda), yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang menerangi kegelapan jahiliah. Dilantunkan sebelum fajar, saat gelap malam mulai tersibak oleh cahaya pagi, frasa ini menjadi simbol yang kuat. Sebagaimana fajar mengusir kegelapan malam, risalah yang dibawa Rasulullah SAW mengusir kegelapan kebodohan dan kesesatan dari hati manusia. Ini adalah pengingat bahwa setiap hari baru adalah kesempatan untuk kembali kepada petunjuk-Nya, memohon agar langkah kita selalu diterangi oleh cahaya kebenaran yang beliau wariskan.

3. "Yâ Khoyro Kholqillâh" (Wahai Makhluk yang Terbaik)

Ini adalah pengakuan tulus atas kedudukan Rasulullah SAW yang tak tertandingi di antara seluruh ciptaan Allah. Gelar ini mencakup kesempurnaan akhlak, kejujuran, kebijaksanaan, dan kasih sayang beliau. Mengucapkan kalimat ini di pagi buta adalah bentuk peneguhan kembali komitmen untuk meneladani sifat-sifat mulia beliau. Ia menjadi semacam doa: "Ya Allah, sebagaimana Engkau telah mengutus makhluk terbaik-Mu sebagai teladan kami, bimbinglah kami di hari ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang meneladani akhlaknya." Ini adalah motivasi spiritual untuk memulai hari dengan niat menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

4. Bait Panjang tentang Peristiwa Isra' Mi'raj

Bait terakhir adalah puncak dari bacaan Tarhim. Ia merangkum salah satu mukjizat terbesar Rasulullah SAW, yaitu Isra' Mi'raj. Penggambaran peristiwa ini di waktu fajar sangatlah relevan. Isra' Mi'raj adalah perjalanan spiritual dari "bumi" ke "langit", dari dimensi manusiawi ke dimensi Ilahi. Demikian pula salat Subuh, yang didirikan setelah Tarhim berkumandang, adalah mi'raj kecil bagi setiap mukmin, sebuah momen intim di mana seorang hamba "bertemu" dengan Tuhannya.

  • "Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur": Kalimat ini menekankan keistimewaan Nabi. Di saat yang lain terlelap, beliau menerima anugerah agung dari Allah. Ini menginspirasi kita bahwa waktu-waktu hening seperti sepertiga malam terakhir adalah waktu yang mustajab dan penuh berkah, saat rahmat Allah turun dengan deras.
  • "Engkau maju untuk memimpin salat dan semua yang berada di langit turut salat di belakangmu": Ini menggambarkan status beliau sebagai imam bagi para nabi dan seluruh makhluk di langit. Hal ini mengukuhkan kepemimpinan universal beliau. Saat kita bersiap salat Subuh berjamaah, kita diingatkan bahwa kita mengikuti jejak sang Imam Agung.
  • "Yâ Karîmal Akhlâq" (Wahai yang Paling Mulia Akhlaknya): Setelah mengagungkan mukjizatnya, pujian kembali kepada esensi kepribadian beliau: akhlak yang mulia. Ini adalah pesan pamungkas bahwa setinggi apa pun derajat dan keajaiban yang dimiliki seseorang, tolok ukur kemuliaan sejati adalah akhlak.

Sejarah dan Asal-Usul Lantunan Tarhim yang Ikonik

Meskipun praktik membangunkan orang untuk sahur atau salat Subuh telah ada sejak lama dalam berbagai bentuk, lantunan Tarhim yang kita kenal sekarang memiliki sejarah yang lebih modern dan spesifik. Kepopulerannya tidak bisa dilepaskan dari peran dua tokoh besar dan satu medium yang revolusioner pada masanya: radio.

Sang Pelantun Legendaris: Sheikh Mahmoud Khalil Al-Hussary

Suara emas di balik rekaman Tarhim yang paling ikonik adalah milik Sheikh Mahmoud Khalil Al-Hussary (1917-1980), seorang qari' legendaris dari Mesir. Beliau adalah salah satu qari' paling berpengaruh di abad ke-20, dikenal dengan penguasaan tajwid dan makharijul huruf yang sempurna serta kemampuan melantunkan ayat suci dengan penuh penghayatan (tartil). Sheikh Al-Hussary adalah orang pertama yang merekam bacaan Al-Qur'an secara lengkap dalam format tartil, yang kemudian disiarkan secara luas oleh stasiun radio di seluruh dunia Islam.

Pada pertengahan abad ke-20, Radio Kairo di Mesir memiliki program-program keagamaan yang sangat populer. Salah satunya adalah siaran pembacaan Al-Qur'an dan doa-doa menjelang waktu salat. Di sinilah Sheikh Al-Hussary merekam lantunan Tarhim ini. Dengan suaranya yang khas—berat, syahdu, dan berwibawa—serta kemampuannya memainkan emosi melalui nada, rekaman Tarhim tersebut menjadi sebuah mahakarya audio yang abadi. Kejelasan artikulasi dan kedalaman spiritual dalam lantunannya membuat rekaman ini begitu kuat dan menyentuh hati pendengar lintas generasi.

Penyebaran Melalui Gelombang Radio ke Nusantara

Di Indonesia, popularitas Tarhim meledak berkat peran Radio Republik Indonesia (RRI) dan stasiun-stasiun radio lainnya. Pada era di mana radio adalah sumber informasi dan hiburan utama, program siaran keagamaan memiliki pendengar yang sangat besar. RRI, sebagai radio nasional, secara rutin memutar rekaman Tarhim dari Sheikh Al-Hussary ini setiap menjelang azan Subuh, terutama selama bulan suci Ramadan.

Kebiasaan ini dimulai sekitar tahun 1950-an hingga 1960-an dan dengan cepat menjadi tradisi. Suara Sheikh Al-Hussary seolah menjadi "suara resmi" fajar di Indonesia. Bagi generasi yang tumbuh di era tersebut, suara Tarhim ini membangkitkan nostalgia yang kuat akan suasana Ramadan di masa kecil, saat dibangunkan untuk sahur oleh alunan merdu dari radio. Dari siaran radio, tradisi ini kemudian diadopsi oleh masjid-masjid dan musala di seluruh penjuru negeri. Mereka memutar kaset atau rekaman yang sama melalui pengeras suara, menjadikan Tarhim sebagai bagian tak terpisahkan dari soundscape atau lanskap suara spiritual di Indonesia.

Tinjauan Hukum dan Kedudukan Tarhim dalam Islam

Sebagai sebuah praktik yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, muncul pertanyaan mengenai status hukum Tarhim dalam syariat Islam. Apakah ia termasuk bid'ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama)? Untuk menjawab ini, kita perlu memahami konsep bid'ah dan tujuan dari Tarhim itu sendiri.

Memahami Konsep Bid'ah

Para ulama membagi bid'ah menjadi dua kategori utama. Pertama, bid'ah dhalalah (bid'ah yang sesat), yaitu setiap amalan ibadah baru yang diciptakan dan dianggap sebagai bagian dari syariat tanpa didasari oleh dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah. Inilah yang dilarang keras oleh Rasulullah SAW. Kedua, ada konsep bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) menurut sebagian ulama, yang merujuk pada suatu cara atau sarana baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan justru membantu pelaksanaan ajaran agama. Contohnya seperti pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushaf, pembangunan madrasah, atau penggunaan teknologi untuk dakwah.

Tarhim sebagai Sarana Kebaikan (Maslahah Mursalah)

Jika kita melihat esensi dari bacaan Tarhim, isinya adalah shalawat, doa, dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Bershalawat adalah perintah langsung dari Allah dalam Al-Qur'an (QS. Al-Ahzab: 56) dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, dari sisi konten, tidak ada yang salah dengan Tarhim.

Adapun praktiknya, yaitu melantunkannya sebelum Subuh, dapat dipandang sebagai sebuah wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan yang baik. Tujuannya adalah:

  1. Mengingatkan orang akan datangnya waktu Subuh. Ini membantu umat Islam untuk bangun, bersiap-siap, dan tidak ketinggalan salat berjamaah. Ini sejalan dengan prinsip saling mengingatkan dalam kebaikan.
  2. Menciptakan suasana spiritual. Alunan Tarhim yang syahdu membantu mempersiapkan hati dan pikiran untuk beribadah, menjauhkan dari ketergesa-gesaan duniawi.
  3. Mengisi waktu tunggu antara bangun tidur dan azan dengan amalan yang bermanfaat, yaitu bershalawat, daripada dengan lamunan kosong.

Oleh karena itu, mayoritas ulama, terutama di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah di Nusantara, memandang Tarhim sebagai sebuah amalan yang baik dan dianjurkan (mustahab). Ia tidak dianggap sebagai bagian dari ritual wajib salat Subuh, melainkan sebagai sebuah tradisi ('urf) yang baik dan bermanfaat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Selama tidak ada keyakinan bahwa ini adalah bagian dari syariat azan atau ibadah wajib, maka praktiknya diperbolehkan dan bahkan mendatangkan pahala karena berisi shalawat dan dzikir.

Penutup: Melestarikan Warisan Spiritual Fajar

Bacaan Tarhim lebih dari sekadar alunan suara dari menara masjid. Ia adalah sebuah warisan budaya dan spiritual yang kaya akan makna. Ia adalah penanda waktu, pengingat keagungan, pembangkit jiwa, dan untaian cinta kepada Sang Nabi. Dari rekaman legendaris Sheikh Al-Hussary di Kairo, mengarungi gelombang radio hingga meresap ke dalam sanubari masyarakat Muslim di Indonesia, Tarhim telah menjadi bagian integral dari identitas keislaman di negeri ini.

Di tengah deru modernitas dan perubahan zaman, suara Tarhim tetap menjadi oase ketenangan yang mengingatkan kita akan fitrah sebagai hamba. Ia mengajarkan kita untuk memulai hari bukan dengan ketergesa-gesaan duniawi, tetapi dengan kesadaran spiritual, dengan hati yang terpaut pada Sang Pencipta dan rasa cinta kepada sang pembawa risalah. Melestarikan tradisi ini berarti menjaga sebuah jembatan emas yang menghubungkan kita dengan kekhusyukan fajar, sebuah momen di mana rahmat Allah turun melimpah dan pintu-pintu langit terbuka lebar. Semoga lantunan Tarhim akan terus mengalun, membangunkan generasi-generasi mendatang untuk menyambut panggilan suci di awal hari.

🏠 Kembali ke Homepage