Pengenalan Surat Al-Mulk
Surat Al-Mulk (Kerajaan) adalah surat ke-67 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 30 ayat. Surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama "Al-Mulk" diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, yang secara tegas menyatakan bahwa segala kerajaan dan kekuasaan mutlak berada di tangan Allah SWT.
Tema sentral surat ini adalah untuk menanamkan kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan absolut Allah SWT atas seluruh alam semesta. Melalui ayat-ayatnya, kita diajak untuk merenungkan ciptaan-Nya yang sempurna, mulai dari langit yang berlapis-lapis tanpa cacat, kehidupan dan kematian sebagai ujian, hingga peringatan keras bagi mereka yang ingkar. Surat ini juga dikenal dengan nama lain seperti Al-Waqi'ah (Yang Melindungi) dan Al-Munjiyah (Yang Menyelamatkan), merujuk pada keutamaannya yang luar biasa, yaitu sebagai pelindung dan penyelamat dari siksa kubur bagi siapa saja yang rutin membacanya. Mengamalkan surat Al-Mulk bukan sekadar melafalkan, tetapi juga menghayati maknanya, menjadikannya perisai iman dalam kehidupan sehari-hari.
Bacaan Lengkap Surat Al-Mulk: Arab, Latin, dan Terjemahannya
Ayat 1
تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ
Tabārakal-lażī biyadihil-mulk(u), wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr(un).
"Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."
Tafsir Ayat 1
Ayat pembuka ini adalah sebuah proklamasi agung tentang esensi ketuhanan. Kata "Tabāraka" (تَبٰرَكَ) berasal dari akar kata "barakah" (berkah), yang berarti kebaikan yang melimpah, langgeng, dan terus bertambah. Penggunaan kata ini di awal surat langsung menetapkan nada pujian dan pengagungan yang setinggi-tingginya kepada Allah. Ini bukan sekadar "Maha Berkah," tetapi sebuah pernyataan bahwa sumber segala keberkahan yang hakiki dan abadi adalah Allah SWT. Keberkahan-Nya meliputi segala ciptaan, baik yang kita sadari maupun yang tidak.
Frasa "biyadihil-mulk" (بِيَدِهِ الْمُلْكُ) secara harfiah berarti "di tangan-Nyalah kerajaan". Ungkapan "di tangan-Nya" adalah majas yang menunjukkan kontrol, kepemilikan, dan kekuasaan yang absolut dan total. "Al-Mulk" tidak hanya merujuk pada kerajaan duniawi seperti kekuasaan raja atau presiden, tetapi seluruh kerajaan alam semesta, baik yang terlihat (alam syahadah) maupun yang gaib. Ini mencakup kekuasaan atas atom terkecil hingga galaksi terbesar, atas hidup dan mati, atas takdir setiap makhluk. Kekuasaan manusia bersifat sementara, terbatas, dan penuh kelemahan, sedangkan kekuasaan Allah bersifat mutlak, abadi, dan tanpa batas.
Ayat ini ditutup dengan penegasan "wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr" (وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ), "dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." Ini adalah konsekuensi logis dari kepemilikan-Nya atas "Al-Mulk". Karena Dia yang memiliki segalanya, maka Dia pula yang mampu melakukan apa saja. Tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Kemahakuasaan-Nya tidak terbatas oleh ruang, waktu, atau hukum alam, karena Dialah yang menciptakan itu semua. Ayat ini secara fundamental membangun fondasi tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya penguasa dan penentu segala urusan di alam raya ini. Merenungkan ayat ini menumbuhkan rasa tawakal, ketenangan, dan ketundukan total kepada Sang Pencipta.
Ayat 2
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
Al-lażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā(n), wa huwal-‘azīzul-gafūr(u).
"Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun."
Tafsir Ayat 2
Ayat ini menyajikan sebuah filosofi hidup yang sangat mendalam. Allah SWT menyatakan bahwa Dia menciptakan dua entitas yang paling fundamental dalam eksistensi makhluk: kematian (الْمَوْتَ) dan kehidupan (الْحَيٰوةَ). Uniknya, kematian disebut lebih dahulu sebelum kehidupan. Para ulama tafsir menjelaskan beberapa hikmah di baliknya. Pertama, kematian adalah kondisi asal kita sebelum dilahirkan (ketiadaan), dan kehidupan adalah anugerah yang datang setelahnya. Kedua, penyebutan kematian di awal berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa kehidupan ini fana dan memiliki tujuan akhir, sehingga mendorong manusia untuk tidak terlena.
Tujuan utama dari siklus hidup dan mati ini dijelaskan dengan sangat jelas: "liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā" (لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا), "untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." Kehidupan dunia ini bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah arena ujian. Allah tidak mencari siapa yang "paling banyak" amalnya, tetapi siapa yang "paling baik" (aḥsan) amalnya. Kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Amal yang "aḥsan" adalah amal yang memenuhi dua syarat utama: ikhlas karena Allah semata, dan sesuai dengan tuntunan (ittiba') Rasulullah SAW. Sebuah amal, sebanyak apapun itu, akan sia-sia jika tidak didasari keikhlasan atau jika dilakukan dengan cara yang tidak disyariatkan.
Ayat ini diakhiri dengan dua nama Allah yang agung: Al-‘Azīz (الْعَزِيْزُ), Yang Mahaperkasa, dan Al-Gafūr (الْغَفُوْرُ), Yang Maha Pengampun. Penyebutan Al-‘Azīz menegaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk memberikan balasan atas setiap perbuatan dalam ujian ini. Tidak ada yang bisa lari dari pengadilan-Nya. Namun, di samping keperkasaan-Nya, Dia adalah Al-Gafūr. Ini memberikan harapan dan keseimbangan. Manusia, dengan segala kelemahannya, pasti akan melakukan kesalahan dalam ujian ini. Sifat Al-Gafūr membuka pintu taubat selebar-lebarnya, mengingatkan kita bahwa selama nyawa masih di kandung badan, ampunan Allah selalu tersedia bagi mereka yang tulus kembali kepada-Nya. Ini adalah kombinasi sempurna antara peringatan dan harapan.
Ayat 3
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
Al-lażī khalaqa sab‘a samāwātin ṭibāqā(n), mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut(in), farji‘il-baṣara hal tarā min fuṭūr(in).
"(Dia) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?"
Tafsir Ayat 3
Setelah menjelaskan kekuasaan-Nya atas hidup dan mati, Allah kini mengarahkan perhatian kita pada bukti nyata kekuasaan-Nya di alam semesta. Dia menyatakan telah menciptakan "sab‘a samāwātin ṭibāqā" (سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا), "tujuh langit berlapis-lapis." Hakikat tujuh langit ini adalah perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah, namun frasa ini secara universal dipahami sebagai simbol keagungan, keluasan, dan keteraturan ciptaan-Nya yang bertingkat-tingkat. Baik dipahami secara harfiah maupun kiasan, pesannya jelas: alam semesta ini memiliki struktur yang luar biasa kompleks dan teratur.
Kemudian, Allah menantang manusia dengan sebuah pernyataan yang luar biasa: "mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut" (مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍ), "Tidak akan kamu lihat... sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih." Kata "tafāwut" berarti ketidakseimbangan, kontradiksi, atau cacat. Allah menyatakan bahwa dalam seluruh ciptaan-Nya, dari mikroorganisme hingga gugusan galaksi, semuanya berjalan dalam harmoni yang sempurna. Hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi bekerja dengan presisi yang menakjubkan. Perhatikan bagaimana Allah menggunakan nama-Nya "Ar-Raḥmān" (Yang Maha Pengasih) dalam konteks penciptaan. Ini menyiratkan bahwa kesempurnaan dan harmoni alam semesta ini adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya.
Tantangan ini dipertegas dengan perintah: "farji‘il-baṣar(a) hal tarā min fuṭūr" (فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ), "Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?" Kata "fuṭūr" berarti retakan atau celah. Manusia diundang untuk menggunakan akal dan penglihatannya untuk mengamati alam semesta. Semakin dalam sains modern meneliti kosmos, semakin terungkap keteraturan dan desain yang luar biasa. Ayat ini mendorong observasi dan penelitian ilmiah, karena setiap penemuan baru tentang keteraturan alam justru akan semakin memperkuat keyakinan akan adanya Pencipta Yang Maha Sempurna.
Ayat 4
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ
Ṡummarji‘il-baṣara karrataini yanqalib ilaikal-baṣaru khāsi'aw wa huwa ḥasīr(un).
"Kemudian, ulangi pandanganmu sekali lagi (dan) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih."
Tafsir Ayat 4
Ayat ini merupakan kelanjutan langsung dari tantangan pada ayat sebelumnya. Allah tidak cukup hanya menyuruh kita melihat sekali, tetapi Dia memerintahkan, "Ṡummarji‘il-baṣara karrataini" (ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ), "Kemudian, ulangi pandanganmu sekali lagi (dan) sekali lagi." Ungkapan "karrataini" secara harfiah berarti "dua kali", tetapi dalam konteks bahasa Arab, ini sering kali digunakan untuk menyatakan pengulangan yang berkali-kali, terus-menerus, dan dengan teliti. Ini adalah sebuah dorongan untuk melakukan observasi yang mendalam, investigasi yang tak kenal lelah, dan penelitian yang cermat terhadap alam semesta. Jangan hanya melihat sepintas, tetapi amatilah, analisislah, dan kajilah berulang-ulang.
Hasil dari pengamatan yang berulang-ulang ini sudah Allah tetapkan: "yanqalib ilaikal-baṣaru khāsi'aw wa huwa ḥasīr" (يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ). "Niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih." Penglihatan (baik mata fisik maupun mata akal) akan kembali dalam dua keadaan. Pertama, "khāsi'an", yang berarti tertolak, hina, atau kecewa karena gagal total menemukan satu pun cacat atau ketidaksempurnaan dalam ciptaan Allah. Semua upaya untuk mencari kelemahan akan sia-sia. Kedua, "ḥasīr", yang berarti lelah, letih, dan payah. Keterbatasan akal dan indra manusia akan mencapai batasnya dalam mencoba memahami keluasan dan kerumitan ciptaan Allah, membuatnya merasa lelah dan takjub akan keagungan Sang Pencipta.
Ayat ini dengan indah menggambarkan batas kemampuan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Semakin maju ilmu pengetahuan, manusia mungkin merasa semakin hebat. Namun, ayat ini mengingatkan bahwa setiap penemuan baru hanyalah menyingkap secuil dari keteraturan ciptaan-Nya yang tak terbatas, dan pada akhirnya, seorang ilmuwan yang jujur akan sampai pada kesimpulan yang sama: kelelahan intelektual dan kekaguman spiritual di hadapan sebuah Desain yang Agung. Pandangan yang tadinya mencari cacat, justru akan kembali membawa bukti kesempurnaan Pencipta.
Ayat 5
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ
Wa laqad zayyannas-samā'ad-dun-yā bimaṣābīḥa wa ja‘alnāhā rujūmal lisy-syayāṭīni wa a‘tadnā lahum ‘ażābas-sa‘īr(i).
"Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala."
Tafsir Ayat 5
Setelah membahas kesempurnaan langit secara umum, ayat ini fokus pada salah satu aspek keindahannya. Allah berfirman, "Wa laqad zayyannas-samā'ad-dun-yā bimaṣābīḥa" (وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ), "Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang." Kata "maṣābīḥ" (مَصَابِيْحَ) adalah bentuk jamak dari "misbah", yang berarti lampu atau pelita. Bintang-bintang diibaratkan sebagai lampu-lampu indah yang menghiasi langit dunia (langit terdekat yang bisa kita saksikan), memberikan keindahan visual yang memukau di malam hari dan berfungsi sebagai petunjuk arah bagi para musafir. Ini adalah fungsi pertama bintang yang dapat kita amati dan syukuri.
Kemudian, Allah mengungkapkan fungsi kedua yang bersifat gaib: "wa ja‘alnāhā rujūmal lisy-syayāṭīn" (وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ), "dan Kami jadikannya sebagai alat-alat pelempar setan." Ayat ini menjelaskan bahwa ketika setan-setan mencoba mencuri dengar berita dari langit (perkara-perkara gaib yang dibicarakan para malaikat), mereka akan dilempari dengan "syihab" (panah api) yang berasal dari bintang-bintang tersebut. Fenomena meteor atau bintang jatuh seringkali dihubungkan oleh para ulama dengan ayat ini. Ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak hanya memiliki dimensi fisik yang kita lihat, tetapi juga dimensi gaib di mana terjadi "peperangan" antara kebenaran dan kebatilan. Kekuasaan Allah tidak hanya mengatur galaksi, tetapi juga melindungi rahasia langit dari makhluk-makhluk pembangkang.
Ayat ini ditutup dengan ancaman yang lebih besar bagi mereka: "wa a‘tadnā lahum ‘ażābas-sa‘īr" (وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ), "dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala." Jika di dunia mereka hanya dilempari dengan panah api, maka di akhirat kelak, mereka (dan para pengikutnya dari kalangan manusia) akan dimasukkan ke dalam "As-Sa'ir", yaitu api neraka yang berkobar-kobar dahsyat. Ini adalah peringatan keras bahwa pembangkangan terhadap Allah, baik yang dilakukan oleh setan maupun manusia yang mengikuti jejaknya, akan berakhir pada penderitaan abadi. Ayat ini menghubungkan keindahan kosmos dengan realitas gaib dan konsekuensi di akhirat.
Ayat 6
وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
Wa lil-lażīna kafarū birabbihim ‘ażābu jahannam(a), wa bi'sal-maṣīr(u).
"Dan bagi orang-orang yang kufur kepada Tuhannya, (disediakan) azab Jahanam. Dan (itulah) seburuk-buruk tempat kembali."
Tafsir Ayat 6
Setelah menyebutkan azab bagi para setan, ayat ini beralih kepada konsekuensi bagi manusia yang mengikuti jalan kekafiran. Allah SWT berfirman, "Wa lil-lażīna kafarū birabbihim ‘ażābu jahannam" (وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ), "Dan bagi orang-orang yang kufur kepada Tuhannya, (disediakan) azab Jahanam." Kata "kufur" secara bahasa berarti menutupi. Orang kafir adalah mereka yang menutupi fitrah mereka yang mengakui adanya Tuhan, menutupi kebenaran yang datang melalui para rasul, dan menolak untuk tunduk kepada Rabb (Tuhan yang Mencipta, Memelihara, dan Mengatur) mereka. Mereka mengingkari bukti-bukti kekuasaan Allah yang terpampang jelas di alam semesta, seperti yang telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya. Balasan yang setimpal bagi penolakan ini adalah "‘ażābu jahannam", siksa neraka Jahanam.
Allah kemudian memberikan penilaian-Nya terhadap tempat kembali tersebut: "wa bi'sal-maṣīr" (وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ), "Dan (itulah) seburuk-buruk tempat kembali." Kata "bi'sa" adalah ungkapan dalam bahasa Arab untuk menyatakan sesuatu yang sangat buruk dan tercela. "Al-Maṣīr" adalah tempat tujuan akhir, destinasi final setelah perjalanan hidup di dunia. Dengan frasa ini, Allah menegaskan bahwa tidak ada tempat kembali yang lebih mengerikan, lebih hina, dan lebih penuh penderitaan daripada neraka Jahanam. Ini adalah sebuah peringatan yang sangat lugas dan keras, bertujuan untuk menyadarkan manusia dari kelalaian agar mereka tidak menempuh jalan yang akan membawa mereka ke destinasi yang mengerikan ini. Pesannya adalah kontras yang tajam antara keindahan ciptaan Allah di dunia dan kengerian tempat kembali bagi mereka yang mengingkari-Nya.
Ayat 7
اِذَآ اُلْقُوْا فِيْهَا سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا وَّهِيَ تَفُوْرُۙ
Iżā ulqū fīhā sami‘ū lahā syahīqaw wa hiya tafūr(u).
"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suaranya yang mengerikan saat ia (neraka) membara."
Tafsir Ayat 7
Ayat ini mulai memberikan gambaran sensorik yang hidup tentang kengerian neraka. "Iżā ulqū fīhā" (اِذَآ اُلْقُوْا فِيْهَا), "Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya." Penggunaan kata "ulqū" (dilemparkan) menyiratkan sebuah tindakan yang kasar, tanpa kehormatan, dan penuh penghinaan. Mereka tidak masuk dengan sendirinya, melainkan dicampakkan ke dalam Jahanam seperti benda yang tidak berharga. Ini adalah awal dari penderitaan mereka.
Begitu masuk, indra pendengaran mereka langsung diserang. "sami‘ū lahā syahīqan" (سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا), "mereka mendengar suaranya yang mengerikan." Kata "syahīq" menggambarkan suara tarikan napas yang sangat keras dan berat, seperti suara keledai saat pertama kali meringkik. Ini adalah suara neraka itu sendiri, seolah-olah ia adalah makhluk hidup raksasa yang sedang bernapas dengan susah payah karena amarah. Suara ini bukanlah musik atau nyanyian, melainkan deru yang memekakkan telinga dan meruntuhkan mental, menambah ketakutan psikologis di atas penderitaan fisik.
Kondisi neraka saat itu adalah "wa hiya tafūr" (وَهِيَ تَفُوْرُ), "saat ia (neraka) membara." Kata "tafūr" menggambarkan sesuatu yang mendidih dan bergejolak dengan dahsyat, seperti air dalam kuali raksasa yang dipanaskan hingga puncaknya. Ini bukan api yang diam, melainkan lautan api yang bergelombang, meletup-letup, dan senantiasa bergerak dengan ganas. Kombinasi dari dilemparkan, mendengar suara mengerikan, dan melihat gejolak api yang dahsyat menciptakan sebuah adegan teror yang total dan tak terbayangkan.
Ayat 8
تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ
Takādu tamayyazu minal-gaiẓ(i), kullamā ulqiya fīhā faujun sa'alahum khazanatuhā alam ya'tikum nażīr(un).
"Hampir saja ia (neraka) pecah karena marah. Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka) bertanya kepada mereka, 'Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?'"
Tafsir Ayat 8
Personifikasi neraka berlanjut dengan lebih intens. "Takādu tamayyazu minal-gaiẓ" (تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ), "Hampir saja ia (neraka) pecah karena marah." Neraka digambarkan memiliki emosi, yaitu kemarahan yang luar biasa ("al-gaiẓ"). Saking marahnya kepada para pendurhaka Allah, ia seolah-olah akan hancur berkeping-keping. Ini adalah gambaran yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa besarnya murka Allah yang diwujudkan melalui ciptaan-Nya, Jahanam. Neraka sendiri membenci para penghuninya.
Selanjutnya, ayat ini menggambarkan sebuah dialog yang menambah penderitaan mental para penghuni neraka. "Kullamā ulqiya fīhā faujun sa'alahum khazanatuhā" (كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ), "Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka) bertanya kepada mereka." Setiap rombongan baru yang datang akan disambut oleh para malaikat penjaga neraka (Zabaniyah) dengan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan untuk mencari informasi, melainkan pertanyaan retoris yang bersifat mencela dan menambah penyesalan: "alam ya'tikum nażīr" (اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌ), "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?" Pertanyaan ini menghancurkan segala kemungkinan alasan atau dalih. Mereka diingatkan bahwa di dunia, Allah dengan rahmat-Nya telah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, dan memberikan banyak tanda-tanda kebesaran-Nya untuk memperingatkan mereka tentang hari ini. Pertanyaan ini memaksa mereka untuk mengakui bahwa mereka telah diperingatkan, namun mereka sendiri yang memilih untuk mengabaikannya. Ini adalah siksaan penyesalan yang mendalam di atas siksaan api yang membakar.
Ayat 9
قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ
Qālū balā qad jā'anā nażīr(un), fa każżabnā wa qulnā mā nazzalallāhu min syai'(in), in antum illā fī ḍalālin kabīr(in).
"Mereka menjawab, 'Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakannya dan kami berkata, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun, kamu sebenarnya hanya dalam kesesatan yang besar.''"
Tafsir Ayat 9
Ayat ini berisi jawaban para penghuni neraka atas pertanyaan malaikat. Mereka tidak bisa mengelak. Dengan penuh penyesalan, mereka mengakui, "Qālū balā qad jā'anā nażīr" (قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ), "Mereka menjawab, 'Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami.'" "Balā" adalah kata jawaban "ya" yang digunakan untuk mengkonfirmasi pertanyaan negatif, menjadikannya sebuah pengakuan yang tegas dan tanpa keraguan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa keadilan Allah telah ditegakkan; mereka telah diberi kesempatan.
Setelah pengakuan itu, mereka merinci dosa terbesar mereka: "fa każżabnā" (فَكَذَّبْنَا), "tetapi kami mendustakannya." Ini adalah inti dari kekafiran, yaitu penolakan aktif dan pendustaan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Mereka tidak hanya diam, tetapi secara sadar memilih untuk tidak percaya.
Lebih dari itu, mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menyebarkan narasi tandingan yang sesat. "wa qulnā mā nazzalallāhu min syai'" (وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ), "dan kami berkata, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun.'" Mereka mengingkari konsep wahyu secara keseluruhan. Menurut mereka, Tuhan tidak berkomunikasi dengan manusia. Ini adalah puncak kesombongan intelektual, menolak petunjuk Ilahi. Tidak berhenti di situ, mereka bahkan membalikkan tuduhan kepada para pembawa kebenaran: "in antum illā fī ḍalālin kabīr" (اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ), "(kata kami kepada para rasul) kamu sebenarnya hanya dalam kesesatan yang besar." Di dunia, mereka dengan angkuhnya menuduh para nabi dan pengikutnya sebagai orang-orang sesat. Di neraka, mereka mengulangi kata-kata sombong mereka itu sebagai bagian dari pengakuan atas kebodohan dan kesalahan fatal mereka. Pengakuan ini menjadi bagian dari siksaan mereka, karena mereka menyadari betapa terbaliknya realitas yang mereka yakini dahulu.
Ayat 10
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ
Wa qālū lau kunnā nasma‘u au na‘qilu mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr(i).
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.''"
Tafsir Ayat 10
Penyesalan mereka mencapai puncaknya dalam ayat ini. "Wa qālū" (وَقَالُوْا), "Dan mereka berkata," menunjukkan kelanjutan dari pengakuan mereka yang menyakitkan. Mereka kini menganalisis akar penyebab kebinasaan mereka. "Lau kunnā nasma‘u au na‘qilu" (لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ), "Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan." Mereka mengakui bahwa mereka telah dianugerahi dua fakultas penting oleh Allah: pendengaran ("nasma‘u") dan akal ("na‘qilu").
"Mendengarkan" di sini bukan sekadar mendengar secara fisik, tetapi mendengarkan dengan perhatian, dengan niat untuk menerima kebenaran, dan dengan hati yang terbuka. "Memikirkan" atau menggunakan akal berarti merenungkan, menganalisis, dan memahami argumen serta bukti-bukti yang disampaikan. Mereka mengakui bahwa mereka telah gagal menggunakan kedua anugerah besar ini. Telinga mereka tertutup oleh kesombongan, dan akal mereka dibutakan oleh hawa nafsu dan tradisi nenek moyang yang sesat. Mereka menolak untuk mendengarkan wahyu dan enggan menggunakan akal mereka untuk merenungkan kebenaran alam semesta.
Konsekuensi dari kegagalan ini mereka nyatakan dengan penuh keputusasaan: "mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr" (مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ), "niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala." Ini adalah pengakuan paling pahit. Mereka sadar bahwa nasib mereka saat ini adalah murni akibat dari pilihan mereka sendiri. Allah telah memberikan semua perangkat yang diperlukan untuk meraih petunjuk—wahyu untuk didengar dan akal untuk berpikir—tetapi mereka menyia-nyiakannya. Ayat ini adalah pelajaran penting bagi kita yang masih hidup, bahwa kunci keselamatan adalah dengan menggunakan pendengaran kita untuk menyimak Al-Qur'an dan Sunnah, serta menggunakan akal kita untuk merenungkannya.
Ayat 11
فَاعْتَرَفُوْا بِذَنْۢبِهِمْۚ فَسُحْقًا لِّاَصْحٰبِ السَّعِيْرِ
Fa‘tarafū biżambihim, fa suḥqal li'aṣḥābis-sa‘īr(i).
"Maka, mereka mengakui dosanya. Tetapi, jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu."
Tafsir Ayat 11
Ayat ini adalah kesimpulan dari dialog penyesalan. "Fa‘tarafū biżambihim" (فَاعْتَرَفُوْا بِذَنْۢبِهِمْۚ), "Maka, mereka mengakui dosanya." Setelah semua pengakuan detail sebelumnya, Allah merangkumnya dalam satu kalimat tegas. Mereka kini mengakui sepenuhnya dosa kekafiran dan pendustaan mereka. Namun, pengakuan ini datang terlambat. Di dunia, pengakuan dosa yang diikuti taubat akan mendatangkan ampunan. Di akhirat, pengakuan ini tidak lagi memiliki nilai penyelamatan; ia hanya berfungsi sebagai penegasan atas keadilan hukuman Allah dan menambah penderitaan mental mereka.
Bagian kedua ayat ini adalah vonis Ilahi yang final dan mengerikan: "fa suḥqal li'aṣḥābis-sa‘īr" (فَسُحْقًا لِّاَصْحٰبِ السَّعِيْرِ), "Tetapi, jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu." Kata "suḥqan" berarti kejauhan yang ekstrem, kebinasaan, atau laknat. Ini adalah pernyataan bahwa mereka telah dijauhkan sejauh-jauhnya dari rahmat, ampunan, dan kasih sayang Allah. Harapan telah tertutup rapat. Pintu keluar tidak ada. Yang ada hanyalah azab abadi. Ini adalah kalimat yang menunjukkan keputusasaan total, sebuah kontras yang tajam dengan sifat Allah Al-Ghafur (Maha Pengampun) yang disebutkan di ayat 2, yang hanya berlaku selama masa ujian di dunia.
Ayat 12
اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ
Innal-lażīna yakhsyauna rabbahum bil-gaibi lahum magfiratuw wa ajrun kabīr(un).
"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya pada waktu mereka tidak terlihat (oleh orang lain), mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar."
Tafsir Ayat 12
Setelah serangkaian ayat yang menggambarkan kengerian nasib orang-orang kafir, Al-Qur'an dengan indahnya beralih untuk menyajikan nasib sebaliknya bagi orang-orang beriman. Ini adalah metode Al-Qur'an yang disebut "at-targhib wat-tarhib" (motivasi dan peringatan) untuk menciptakan keseimbangan dalam jiwa pembacanya. Ayat ini dimulai dengan "Inna" (sesungguhnya), sebuah partikel penegasan. Siapakah mereka yang beruntung? "al-lażīna yakhsyauna rabbahum bil-gaib" (الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ), "orang-orang yang takut kepada Tuhannya pada waktu mereka tidak terlihat."
Kata "yakhsyauna" (takut) di sini bukan sekadar rasa takut biasa, melainkan "khasyyah", yaitu rasa takut yang lahir dari pengetahuan dan pengagungan terhadap kebesaran Allah. Ini adalah rasa takut yang mendorong ketaatan, bukan yang melumpuhkan. Kunci utamanya adalah frasa "bil-gaib", yang memiliki dua makna utama yang saling melengkapi. Pertama, mereka takut kepada Allah meskipun mereka tidak bisa melihat-Nya dengan mata kepala. Iman mereka didasarkan pada keyakinan, bukan pada bukti empiris semata. Kedua, mereka takut kepada Allah dan taat kepada-Nya bahkan ketika mereka sedang sendirian, jauh dari pandangan manusia lain. Inilah puncak keikhlasan. Ketaatan mereka bukan karena ingin dipuji atau takut dicela manusia, tetapi murni karena kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi.
Balasan bagi mereka yang memiliki kualitas iman setinggi ini adalah dua hal. Pertama, "lahum magfirah" (لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ), "mereka akan memperoleh ampunan." Allah akan menutupi dan menghapuskan dosa-dosa dan kekurangan mereka. Ini didahulukan karena kebutuhan pertama manusia adalah dibersihkan dari dosa agar layak menerima pahala. Kedua, "wa ajrun kabīr" (وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ), "dan pahala yang besar." Setelah dibersihkan, mereka akan diberi ganjaran yang agung, yaitu Surga dengan segala kenikmatannya. Kata "kabīr" (besar) menunjukkan bahwa pahala ini tak terbayangkan dan tak terkira besarnya, sesuai dengan keagungan Dzat yang memberikannya.
Ayat 13
وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
Wa asirrū qaulakum awijharū bih(ī), innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr(i).
"Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati."
Tafsir Ayat 13
Ayat ini memperkuat konsep pengawasan total Allah yang menjadi dasar bagi "khasyyah bil-ghaib" pada ayat sebelumnya. Allah memberikan sebuah pernyataan yang mencakup semua bentuk komunikasi manusia: "Wa asirrū qaulakum awijharū bih" (وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ), "Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah." Baik ucapan yang dibisikkan di tempat paling tersembunyi, maupun yang diteriakkan di tengah keramaian, bagi Allah keduanya sama saja. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Perintah ini bisa dipahami sebagai sebuah informasi dan peringatan: silakan saja kalian berbisik-bisik merencanakan sesuatu atau menyatakannya secara terang-terangan, ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar.
Alasan di balik ini dijelaskan dengan sebuah penegasan yang lebih dalam: "innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr" (اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ), "Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati." Ilmu Allah tidak hanya terbatas pada apa yang terucap oleh lisan. Dia bahkan mengetahui "żātiṣ-ṣudūr", yang secara harfiah berarti "pemilik dada", sebuah kiasan untuk segala sesuatu yang terlintas di dalam hati dan pikiran. Niat, motivasi, keraguan, keyakinan, rencana, dan perasaan yang bahkan belum sempat terwujud menjadi kata-kata atau perbuatan, semuanya telah diketahui oleh Allah secara detail. Jika isi hati yang paling tersembunyi saja diketahui, apalagi ucapan yang sudah keluar dari lisan. Ayat ini menanamkan muraqabah (perasaan selalu diawasi Allah) yang sangat kuat, mendorong seseorang untuk membersihkan tidak hanya ucapan dan perbuatannya, tetapi juga niat dan isi hatinya.
Ayat 14
اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ࣖ
Alā ya‘lamu man khalaq(a), wa huwal-laṭīful-khabīr(u).
"Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui."
Tafsir Ayat 14
Ayat ini menyajikan sebuah argumen logis yang sangat kuat dan tak terbantahkan untuk membuktikan kemahatahuan Allah. "Alā ya‘lamu man khalaq" (اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ), "Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui?" Ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang jawabannya sudah pasti. Tentu saja Sang Pencipta mengetahui seluk-beluk ciptaan-Nya. Logikanya sederhana: seorang insinyur yang merancang mesin yang rumit pasti mengetahui setiap komponen dan cara kerjanya. Seorang seniman mengenal setiap goresan kuas dalam lukisannya. Maka, Allah, Sang Pencipta Yang Maha Agung, yang menciptakan manusia dari ketiadaan, tentu mengetahui setiap detail dari ciptaan-Nya, termasuk isi hati dan pikiran yang paling rahasia. Meragukan pengetahuan Allah atas ciptaan-Nya adalah sebuah absurditas logika.
Untuk mempertegas hal ini, Allah menutup ayat dengan dua nama-Nya yang indah. "wa huwal-laṭīful-khabīr" (وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ). "Al-Laṭīf" (Mahahalus) memiliki makna ganda. Pertama, Dia mengetahui hal-hal yang paling kecil, halus, dan tersembunyi. Tidak ada sesuatu pun yang terlalu kecil untuk luput dari pengetahuan-Nya. Kedua, Dia Mahahalus dalam perlakuan-Nya, memberikan rezeki dan rahmat-Nya kepada hamba dari jalan yang tidak disangka-sangka. "Al-Khabīr" (Maha Mengetahui) berarti pengetahuan-Nya mencakup aspek internal dan eksternal, yang tampak dan yang tersembunyi. Dia mengetahui hakikat segala sesuatu. Kombinasi kedua nama ini memberikan gambaran tentang ilmu Allah yang absolut: Dia mengetahui hal terkecil dan tersembunyi (Al-Laṭīf) dengan pengetahuan yang mendalam dan komprehensif tentang hakikatnya (Al-Khabīr). Ini adalah penegasan final yang seharusnya menyingkirkan segala keraguan tentang pengawasan Allah.
Ayat 15
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ
Huwal-lażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih(ī), wa ilaihin-nusyūr(u).
"Dialah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
Tafsir Ayat 15
Setelah membahas keagungan ciptaan di langit, perhatian kini dialihkan ke bumi, tempat tinggal manusia. "Huwal-lażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan" (هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا), "Dialah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi." Kata "żalūl" berasal dari kata yang sama dengan unta yang jinak dan mudah ditunggangi. Bumi, dengan segala kompleksitasnya, telah Allah "jinakkan" untuk manusia. Permukaannya tidak terlalu keras untuk digali dan tidak terlalu lunak untuk dipijak. Atmosfernya melindungi, gravitasinya menahan kita, dan sumber dayanya tersedia. Allah telah menundukkan bumi sehingga manusia dapat hidup, berjalan, membangun, dan bercocok tanam di atasnya dengan mudah. Ini adalah sebuah nikmat yang sangat besar namun seringkali terlupakan.
Berdasarkan nikmat ini, Allah memberikan perintah: "famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih" (فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ). "Maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya." Ini adalah perintah untuk bekerja, berusaha, dan menjelajahi bumi untuk mencari karunia Allah. "Manākibihā" (segala penjurunya) mendorong mobilitas, perdagangan, dan eksplorasi. Islam bukanlah agama yang mengajarkan kepasrahan pasif, melainkan mendorong ikhtiar dan kerja keras. Namun, perlu diingat bahwa rezeki yang kita dapatkan pada hakikatnya adalah "min rizqih" (sebagian dari rezeki-Nya). Ini menanamkan kesadaran bahwa usaha kita hanyalah sebab, sedangkan pemberi rezeki yang hakiki adalah Allah.
Di tengah-tengah kesibukan mencari rezeki dunia, ayat ini memberikan pengingat yang krusial: "wa ilaihin-nusyūr" (وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ), "Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." "An-Nusyūr" adalah kebangkitan dari kubur. Ayat ini menghubungkan aktivitas duniawi (mencari rezeki) dengan tujuan akhirat (pertanggungjawaban). Bekerjalah, nikmatilah karunia Allah, tetapi jangan pernah lupa bahwa semua ini hanyalah sementara. Pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya untuk dihisab atas segala apa yang telah kita kerjakan di bumi yang telah Dia jinakkan untuk kita.
Ayat 16
ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ
A'amintum man fis-samā'i ay yakhsifa bikumul-arḍa fa'iżā hiya tamūr(u).
"Apakah kamu merasa aman dari (azab Allah) yang di langit, yaitu (saat) Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga tiba-tiba ia berguncang dahsyat?"
Tafsir Ayat 16
Setelah mengingatkan tentang nikmat bumi yang jinak, Allah kini memberikan peringatan keras dengan menggunakan bumi itu sendiri sebagai instrumen azab. "A'amintum man fis-samā'" (ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ), "Apakah kamu merasa aman dari (azab Allah) yang di langit?". Frasa "man fis-samā'" (Yang di langit) merujuk kepada Allah SWT, yang ketinggian dan keagungan Dzat-Nya berada di atas seluruh ciptaan. Ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang menggugat rasa aman palsu yang dimiliki oleh orang-orang kafir. Mereka berjalan di atas bumi dengan sombong, seolah-olah mereka kebal dari kekuasaan Allah.
Peringatan itu berupa: "an yakhsifa bikumul-arḍ" (اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ), "Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu". Kata "khasf" berarti tanah yang amblas atau menelan apa yang ada di atasnya. Allah mengingatkan bahwa bumi yang tadinya "jinak" (żalūl) bisa seketika diperintahkan untuk menelan mereka hidup-hidup, seperti yang pernah terjadi pada Qarun. "fa'iżā hiya tamūr" (فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ), "sehingga tiba-tiba ia berguncang dahsyat". Kata "tamūr" menggambarkan guncangan yang hebat dan tidak teratur. Bumi yang menjadi pijakan stabilitas, dalam sekejap dapat menjadi sumber kehancuran total. Ayat ini memaksa kita untuk merenungkan betapa rapuhnya eksistensi kita; kita hidup sepenuhnya atas izin dan rahmat Allah.
Ayat 17
اَمْ اَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يُّرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ
Am amintum man fis-samā'i ay yursila ‘alaikum ḥāṣibā(n), fa sata‘lamūna kaifa nażīr(i).
"Atau apakah kamu merasa aman dari (azab Allah) yang di langit, yaitu (saat) Dia mengirimkan badai batu kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (kebenaran) peringatan-Ku."
Tafsir Ayat 17
Peringatan dilanjutkan dengan skenario azab yang berbeda, datang dari atas. "Am amintum man fis-samā'i ay yursila ‘alaikum ḥāṣibā" (اَمْ اَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يُّرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًاۗ), "Atau apakah kamu merasa aman dari (azab Allah) yang di langit, yaitu (saat) Dia mengirimkan badai batu kepadamu?". Jika ayat sebelumnya mengancam dengan azab dari bawah (bumi), ayat ini mengancam dengan azab dari atas (langit). "Ḥāṣib" adalah angin kencang yang membawa kerikil atau batu-batu kecil, seperti yang pernah menimpa kaum Luth dan pasukan gajah Abrahah. Ini menunjukkan bahwa Allah dapat mendatangkan kebinasaan dari segala arah, baik dari tempat kita berpijak maupun dari langit yang menaungi.
Ancaman ini ditutup dengan kalimat yang penuh kepastian: "fa sata‘lamūna kaifa nażīr" (فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ), "Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (kebenaran) peringatan-Ku." Partikel "sa" di awal kata "sata‘lamūn" menunjukkan kepastian di masa depan. Saat azab itu benar-benar datang, barulah mereka akan mengerti dan menyadari dengan sebenar-benarnya bahwa peringatan yang selama ini mereka dustakan adalah sebuah kenyataan yang mengerikan. Namun, pada saat itu, pengetahuan dan kesadaran mereka tidak lagi berguna. Ini adalah peringatan bagi kita untuk meyakini ancaman Allah sebelum ia menjadi kenyataan.
Ayat 18
وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ
Wa laqad każżabal-lażīna min qablihim fa kaifa kāna nakīr(i).
"Dan sungguh, orang-orang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka, betapa dahsyatnya kemurkaan-Ku!"
Tafsir Ayat 18
Untuk menguatkan peringatan-Nya, Allah membawa bukti sejarah. "Wa laqad każżabal-lażīna min qablihim" (وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ), "Dan sungguh, orang-orang sebelum mereka pun telah mendustakan." Allah mengingatkan kaum kafir Mekkah (dan seluruh manusia setelahnya) bahwa mereka bukanlah kaum pertama yang mendustakan rasul. Umat-umat terdahulu seperti kaum 'Ad, Tsamud, kaum Nuh, dan Fir'aun juga melakukan hal yang sama. Pola penolakan terhadap kebenaran ini selalu berulang sepanjang sejarah.
Lalu apa akibat dari pendustaan mereka? Allah bertanya dengan pertanyaan yang menyiratkan kengerian, "fa kaifa kāna nakīr" (فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ), "Maka, betapa dahsyatnya kemurkaan-Ku!". Kata "nakīr" berarti pengingkaran atau penolakan-Ku, yang diwujudkan dalam bentuk azab dan pembalasan yang keras. Allah seolah berkata, "Lihatlah sejarah! Pelajarilah sisa-sisa peradaban mereka yang telah hancur! Saksikan bagaimana Aku mengubah keadaan mereka dan membinasakan mereka akibat pendustaan mereka." Sejarah kehancuran umat-umat terdahulu adalah bukti nyata bahwa ancaman Allah bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah sunnatullah (ketetapan Allah) yang pasti berlaku.
Ayat 19
اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ ۢبَصِيْرٌ
Awalam yarau ilaṭ-ṭairi fauqahum ṣāffātiw wa yaqbiḍn(a), mā yumsikuhunna illar-raḥmān(u), innahū bikulli syai'im baṣīr(un).
"Dan tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu."
Tafsir Ayat 19
Dari peringatan keras, Allah kembali mengajak manusia untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya yang penuh rahmat. Kali ini, objeknya adalah sesuatu yang sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari: burung. "Awalam yarau ilaṭ-ṭairi fauqahum ṣāffātiw wa yaqbiḍn" (اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ), "Dan tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan ("ṣāffāt") dan mengatupkan ("yaqbiḍn") sayapnya di atas mereka?". Allah mengajak kita untuk mengamati fenomena terbang. Burung-burung dengan begitu mudahnya melayang di angkasa, terkadang dengan mengepakkan sayapnya (yaqbiḍn), dan terkadang hanya dengan membentangkannya tanpa bergerak (ṣāffāt), memanfaatkan aliran udara.
Siapakah yang memungkinkan ini terjadi? Siapa yang menciptakan hukum aerodinamika? Siapa yang memberi insting pada burung untuk terbang? Siapa yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh melawan gravitasi? Jawabannya tegas: "mā yumsikuhunna illar-raḥmān" (مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ), "Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih." Allah-lah yang menetapkan hukum alam dan menahan burung-burung itu di angkasa. Penggunaan nama "Ar-Raḥmān" di sini sangat indah. Kemampuan burung untuk terbang adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang luas, yang memungkinkan makhluk hidup di udara. Ini adalah bukti kekuasaan sekaligus kasih sayang.
Ayat ditutup dengan, "innahū bikulli syai'im baṣīr" (اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ ۢبَصِيْرٌ), "Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu." Penglihatan Allah meliputi setiap kepakan sayap burung di angkasa, setiap helai bulunya, dan setiap makhluk di seluruh alam semesta. Tidak ada yang luput dari pengawasan dan ilmu-Nya. Burung yang terbang bebas di angkasa adalah pengingat harian akan kekuasaan, rahmat, dan pengawasan Allah yang tak terbatas.
Ayat 20
اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِۗ اِنِ الْكٰفِرُوْنَ اِلَّا فِيْ غُرُوْرٍ
Am man hāżal-lażī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-raḥmān(i), inil-kāfirūna illā fī gurūr(in).
"Atau siapakah yang akan menjadi tentara bagimu yang dapat menolongmu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu."
Tafsir Ayat 20
Ayat ini kembali menantang orang-orang kafir dengan pertanyaan yang menohok. "Am man hāżal-lażī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-raḥmān" (اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِۗ), "Atau siapakah yang akan menjadi tentara bagimu yang dapat menolongmu selain (Allah) Yang Maha Pengasih?". Allah menantang mereka untuk menunjukkan, siapakah "pasukan" atau kekuatan yang bisa mereka andalkan untuk melindungi mereka dari azab Allah? Berhala-berhala mereka? Kekuatan militer mereka? Kekayaan mereka? Semua itu tidak akan berdaya sedikit pun jika Ar-Raḥmān telah memutuskan untuk menimpakan azab. Pertanyaan ini menelanjangi kesyirikan dan menunjukkan betapa rapuhnya sandaran mereka selain Allah.
Allah sendiri yang menjawab kesesatan mereka: "inil-kāfirūna illā fī gurūr" (اِنِ الْكٰفِرُوْنَ اِلَّا فِيْ غُرُوْرٍ), "Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu." "Gurūr" adalah tipu daya yang membuat sesuatu yang batil tampak benar. Mereka tertipu oleh angan-angan kosong, oleh kekuatan duniawi yang fana, dan oleh bisikan setan. Mereka menyangka bahwa ada penolong selain Allah, padahal itu semua hanyalah ilusi. Kehidupan mereka dibangun di atas fondasi tipu daya, dan mereka baru akan menyadari realitas yang sebenarnya ketika terlambat.
Ayat 21
اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ اِنْ اَمْسَكَ رِزْقَهٗ ۚ بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَّنُفُوْرٍ
Am man hāżal-lażī yarzuqukum in amsaka rizqah(ū), bal lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr(in).
"Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan, mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri (dari kebenaran)."
Tafsir Ayat 21
Tantangan berlanjut, beralih dari aspek perlindungan ke aspek rezeki. "Am man hāżal-lażī yarzuqukum in amsaka rizqah" (اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ اِنْ اَمْسَكَ رِزْقَهٗ ۚ), "Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya?". Allah mengingatkan bahwa semua sumber rezeki—hujan dari langit, kesuburan tanah, kesehatan untuk bekerja—semuanya berasal dari-Nya. Jika seandainya Allah menahan rezeki-Nya, misalnya dengan tidak menurunkan hujan atau menjadikan tanah tandus, siapakah yang mampu menyediakan makanan dan minuman untuk mereka? Berhala mereka? Tentu tidak. Ayat ini menunjukkan ketergantungan mutlak makhluk kepada Sang Khaliq dalam urusan rezeki.
Namun, alih-alih bersyukur dan tunduk setelah diingatkan tentang fakta ini, respons mereka justru sebaliknya. "bal lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr" (بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَّنُفُوْرٍ), "Bahkan, mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri." Kata "lajjū" berarti persisten atau keras kepala dalam melakukan sesuatu yang buruk. "‘Utuww" adalah kesombongan dan pembangkangan yang melampaui batas. "Nufūr" adalah lari dan menjauh dari kebenaran, seperti binatang liar yang lari dari pemburu. Mereka tidak hanya menolak, tetapi mereka bersikeras dalam kesombongan mereka dan semakin lari menjauh setiap kali kebenaran disajikan. Ini menggambarkan betapa dalamnya penyakit hati yang menimpa mereka.
Ayat 22
اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Afamay yamsyī mukibban ‘alā wajhihī ahdā ammay yamsyī sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm(in).
"Apakah orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup itu lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?"
Tafsir Ayat 22
Allah kini menyajikan sebuah perumpamaan (matsal) yang sangat visual dan kuat untuk membandingkan kondisi orang kafir dan orang mukmin. "Afamay yamsyī mukibban ‘alā wajhihī ahdā" (اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ), "Apakah orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup itu lebih mendapat petunjuk?". Bayangkan seseorang yang berjalan dengan wajahnya tersungkur ke tanah. Ia tidak bisa melihat jalan di depannya, tidak tahu arah, rentan tersandung, dan jalannya lambat serta penuh penderitaan. Inilah perumpamaan bagi orang kafir. Hatinya buta, akalnya tertutup, sehingga ia berjalan dalam kehidupan dunia ini tanpa arah dan tujuan yang benar, tersandung dari satu kesesatan ke kesesatan lainnya, menuju kebinasaan.
Kemudian Allah menyajikan perbandingan: "ammay yamsyī sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm" (اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ), "ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?". Bayangkan seseorang yang berjalan dengan tegap ("sawiyyan"), pandangannya lurus ke depan, di atas sebuah jalan yang lurus dan jelas ("ṣirāṭim mustaqīm"). Ia tahu tujuannya, ia bisa melihat rintangan, jalannya mantap, cepat, dan aman. Inilah perumpamaan bagi orang mukmin. Dengan petunjuk Al-Qur'an (cahaya), ia berjalan dalam kehidupan dengan visi yang jelas, tujuan yang lurus (ridha Allah dan Surga), dan di atas jalan yang aman (syariat Islam). Pertanyaan "siapa yang lebih mendapat petunjuk?" dalam perumpamaan ini bahkan tidak perlu dijawab saking jelasnya. Tentu saja orang yang kedua.
Ayat 23
قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
Qul huwal-lażī ansya'akum wa ja‘ala lakumus-sam‘a wal-abṣāra wal-af'idah(ta), qalīlam mā tasykurūn(a).
"Katakanlah, 'Dialah Yang menciptakanmu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur!'"
Tafsir Ayat 23
Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan manusia akan asal-usul dan nikmat dasar yang mereka miliki. "Qul huwal-lażī ansya'akum" (قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ), "Katakanlah, 'Dialah Yang menciptakanmu'". Kata "ansya'akum" berarti memulai penciptaan dari awal, dari ketiadaan. Ini adalah pengingat fundamental tentang asal-usul kita yang sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah.
Setelah menciptakan, Allah menganugerahkan perangkat-perangkat vital untuk memperoleh ilmu dan petunjuk: "wa ja‘ala lakumus-sam‘a wal-abṣāra wal-af'idah" (وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ). "Pendengaran" (as-sam'a) untuk mendengar ayat-ayat Allah, "penglihatan" (al-abṣār) untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta, dan "hati nurani" (al-af'idah) untuk merenungkan dan memahami kebenaran. Tiga perangkat inilah yang disia-siakan oleh para penghuni neraka (seperti diakui dalam ayat 10). Urutannya pun penuh makna: pendengaran disebut pertama karena ia adalah gerbang utama masuknya wahyu, bahkan bagi orang buta sekalipun.
Namun, ironisnya, setelah diberi perangkat-perangkat luar biasa ini, respons mayoritas manusia sangatlah minim. "qalīlam mā tasykurūn" (قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ), "(Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur!". Syukur yang sejati bukanlah sekadar ucapan, melainkan menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan pemberinya. Syukur pendengaran adalah dengan menggunakannya untuk menyimak kebenaran. Syukur penglihatan adalah dengan menggunakannya untuk mengambil pelajaran dari ciptaan-Nya. Dan syukur hati adalah dengan menggunakannya untuk beriman dan tunduk kepada-Nya. Sayangnya, sedikit sekali yang melakukannya.
Ayat 24
قُلْ هُوَ الَّذِيْ ذَرَاَكُمْ فِى الْاَرْضِ وَاِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
Qul huwal-lażī żara'akum fil-arḍi wa ilaihi tuḥsyarūn(a).
"Katakanlah, 'Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.'"
Tafsir Ayat 24
Perintah "Qul" (Katakanlah) berlanjut. Setelah mengingatkan tentang penciptaan awal (ayat 23), kini Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengingatkan tentang fase penyebaran dan pengumpulan. "huwal-lażī żara'akum fil-arḍ" (هُوَ الَّذِيْ ذَرَاَكُمْ فِى الْاَرْضِ), "Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi." Kata "żara'akum" berarti menciptakan dan menyebarkan dalam jumlah banyak. Allah tidak hanya menciptakan Adam, tetapi juga membuat keturunannya berkembang biak dan menyebar ke seluruh penjuru bumi, membentuk berbagai bangsa dan suku.
Penyebaran ini bukanlah tanpa akhir. Ada titik kumpul yang pasti. "wa ilaihi tuḥsyarūn" (وَاِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ), "dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." Sebagaimana Dia yang berkuasa menyebarkan miliaran manusia di seluruh planet, Dia pula yang berkuasa untuk mengumpulkan mereka semua di satu tempat (Padang Mahsyar) setelah kematian dan kebangkitan. Penyebaran di dunia adalah untuk ujian, dan pengumpulan di akhirat adalah untuk pertanggungjawaban. Ayat ini secara ringkas merangkum siklus kehidupan manusia: diciptakan, disebarkan, lalu dikumpulkan kembali kepada Sang Pencipta.
Ayat 25
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).
"Dan mereka berkata, 'Kapankah (datangnya) janji (azab) ini jika kamu orang yang benar?'"
Tafsir Ayat 25
Setelah mendengar peringatan tentang hari pengumpulan (kiamat), inilah respons khas orang-orang kafir. "Wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘d" (وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ), "Dan mereka berkata, 'Kapankah (datangnya) janji ini?'". Pertanyaan mereka "kapan?" bukanlah pertanyaan untuk mencari tahu dan mempersiapkan diri. Sebaliknya, ini adalah pertanyaan yang mengandung ejekan, pengingkaran, dan tantangan. Mereka merasa hari kiamat itu terlalu lama atau bahkan tidak akan pernah terjadi, sehingga mereka menantang Nabi untuk segera mendatangkannya.
Tantangan mereka dipertegas dengan syarat: "in kuntum ṣādiqīn" (اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ), "jika kamu orang yang benar." Ini adalah tuduhan terselubung bahwa Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya adalah pembohong. Sikap ini menunjukkan kesombongan dan kebodohan mereka. Mereka tidak fokus pada substansi peringatan (bahwa kiamat itu pasti terjadi), melainkan sibuk mempersoalkan waktunya yang memang dirahasiakan oleh Allah sebagai bagian dari ujian iman.
Ayat 26
قُلْ اِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللّٰهِ ۖوَاِنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ
Qul innamal-‘ilmu ‘indallāh(i), wa innamā ana nażīrum mubīn(un).
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) hanya ada pada Allah. Aku ini hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'"
Tafsir Ayat 26
Allah mengajarkan jawaban yang tepat dan tegas kepada Nabi Muhammad SAW untuk merespons tantangan kaum kafir. "Qul innamal-‘ilmu ‘indallāh" (قُلْ اِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللّٰهِ ۖ), "Katakanlah, 'Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) hanya ada pada Allah.'" Kata "innamā" berfungsi sebagai pembatas, yang berarti pengetahuan tentang kapan terjadinya kiamat itu secara eksklusif hanya milik Allah. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan nabi yang paling mulia atau malaikat yang paling dekat. Ini adalah penegasan posisi seorang hamba di hadapan Tuhannya; ada hal-hal gaib yang mutlak menjadi rahasia Allah.
Kemudian, Nabi diperintahkan untuk menegaskan kembali tugas utamanya: "wa innamā ana nażīrum mubīn" (وَاِنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ), "Aku ini hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan." Tugas seorang rasul bukanlah mengetahui atau menentukan waktu kiamat. Tugasnya adalah "nażīr" (pemberi peringatan) yang "mubīn" (jelas dan terang). Beliau harus menyampaikan ancaman dan kabar gembira dengan sejelas-jelasnya, tanpa menambah atau mengurangi, agar manusia bisa mempersiapkan diri. Jawaban ini menempatkan segala sesuatu pada proporsinya: urusan gaib adalah milik Allah, dan urusan manusia adalah menerima peringatan dan beramal.
Ayat 27
فَلَمَّا رَاَوْهُ زُلْفَةً سِيْۤـَٔتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَقِيْلَ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَدَّعُوْنَ
Falammā ra'auhu zulfatan sī'at wujūhul-lażīna kafarū wa qīla hāżal-lażī kuntum bihī tadda‘ūn(a).
"Maka, ketika mereka melihat azab (yang dijanjikan) itu sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), 'Inilah (azab) yang dahulu kamu minta.'"
Tafsir Ayat 27
Ayat ini melompat ke masa depan, menggambarkan momen ketika apa yang mereka dustakan itu benar-benar terjadi. "Falammā ra'auhu zulfah" (فَلَمَّا رَاَوْهُ زُلْفَةً), "Maka, ketika mereka melihat azab itu sudah dekat." Kata "zulfah" berarti dekat secara jarak. Ketika azab akhirat atau kematian sudah di depan mata mereka, tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Semua menjadi nyata.
Apa yang terjadi pada mereka saat itu? "sī'at wujūhul-lażīna kafarū" (سِيْۤـَٔتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا), "wajah orang-orang kafir itu menjadi muram." Wajah mereka menjadi hitam, sedih, penuh penyesalan, dan kehinaan. Kegembiraan dan kesombongan mereka di dunia sirna seketika, digantikan oleh keputusasaan dan ketakutan yang luar biasa. Wajah adalah cerminan hati, dan wajah mereka saat itu mencerminkan kehancuran batin mereka.
Untuk menambah penderitaan mereka, sebuah suara akan berkata kepada mereka dengan nada mencela: "wa qīla hāżal-lażī kuntum bihī tadda‘ūn" (وَقِيْلَ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَدَّعُوْنَ), "Dan dikatakan, 'Inilah (azab) yang dahulu kamu minta.'" Kata "tadda‘ūn" berarti kalian minta untuk disegerakan. Ini adalah pengingat yang sangat pahit akan ejekan dan tantangan mereka di dunia (seperti dalam ayat 25). Dulu mereka menantang dengan sombong, "Kapan janji itu datang?". Sekarang, ketika janji itu datang, dikatakan kepada mereka, "Inilah yang kalian minta-minta dahulu. Sekarang, rasakanlah."
Ayat 28
قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَهْلَكَنِيَ اللّٰهُ وَمَنْ مَّعِيَ اَوْ رَحِمَنَاۙ فَمَنْ يُّجِيْرُ الْكٰفِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ
Qul ara'aitum in ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā, famay yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm(in).
"Katakanlah (Muhammad), 'Terangkanlah kepadaku, jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami, lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?'"
Tafsir Ayat 28
Orang-orang kafir Mekkah seringkali berharap agar Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya celaka atau mati, dengan harapan dakwah Islam akan berhenti. Ayat ini memberikan respons yang cerdas dan logis terhadap harapan buruk mereka. Nabi diperintahkan untuk berkata, "Qul ara'aitum in ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā" (قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَهْلَكَنِيَ اللّٰهُ وَمَنْ مَّعِيَ اَوْ رَحِمَنَاۙ), "Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku, jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami...'"
Artinya, entah skenario pertama (kami mati) atau skenario kedua (kami tetap hidup dan dirahmati Allah) yang terjadi, itu semua adalah urusan Allah dan tidak mengubah nasib kalian sedikit pun. Jika kami mati, apakah itu akan menyelamatkan kalian? Jika kami hidup, itu juga tidak berpengaruh pada nasib akhir kalian. Fokusnya bukanlah pada nasib kami, tetapi pada nasib kalian sendiri. Oleh karena itu, pertanyaan kuncinya adalah: "famay yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm" (فَمَنْ يُّجِيْرُ الْكٰفِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ), "lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?". Siapapun yang akan melindungi kalian? Kematian kami tidak akan membuat kalian selamat. Kehidupan kami pun bukan penyebab azab kalian. Kekafiran kalianlah yang menjadi penyebabnya. Maka, pikirkanlah penyelamat untuk diri kalian sendiri, jangan sibuk memikirkan nasib kami.
Ayat 29
قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۚ فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Qul huwar-raḥmān(u), āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā, fa sata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn(in).
"Katakanlah, 'Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan hanya kepada-Nyalah kami bertawakal. Kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.'"
Tafsir Ayat 29
Setelah menunjukkan bahwa tidak ada pelindung bagi orang kafir, Nabi Muhammad SAW dan kaum mukminin diperintahkan untuk mendeklarasikan sandaran mereka satu-satunya. "Qul huwar-raḥmān" (قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ), "Katakanlah, 'Dialah Yang Maha Pengasih.'" Inilah jawaban atas pertanyaan "siapa yang melindungi?". Pelindung kami adalah Ar-Raḥmān, Tuhan yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Deklarasi ini dilanjutkan dengan dua pilar utama keyakinan: "āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā" (اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۚ), "kami beriman kepada-Nya dan hanya kepada-Nyalah kami bertawakal." Iman ("āmannā") adalah fondasi keyakinan dalam hati. Tawakal ("tawakkalnā") adalah buah dari iman itu, yaitu penyerahan diri total dan penyandaran segala urusan hanya kepada Allah setelah melakukan ikhtiar. Ini adalah proklamasi kemerdekaan dari segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah.
Di akhir, terdapat sebuah kalimat yang membalikkan tuduhan mereka. Di dunia, orang kafir sering menuduh kaum mukminin sesat. Allah berfirman: "fa sata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn" (فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ), "Kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata." Di akhirat nanti, akan terungkap dengan sejelas-jelasnya siapa yang sebenarnya berada di jalan lurus dan siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata. Kebenaran akan menjadi absolut dan tidak bisa diperdebatkan lagi.
Ayat 30
قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَصْبَحَ مَاۤؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَّأْتِيْكُمْ بِمَاۤءٍ مَّعِيْنٍ ࣖ
Qul ara'aitum in aṣbaḥa mā'ukum gauran famay ya'tīkum bimā'im ma‘īn(in).
"Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku, jika sumber airmu menjadi kering, maka siapakah yang akan memberimu air yang mengalir?'"
Tafsir Ayat 30
Surat ini ditutup dengan sebuah pertanyaan terakhir yang sangat fundamental dan menusuk kesadaran. "Qul ara'aitum in aṣbaḥa mā'ukum gauran" (قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَصْبَحَ مَاۤؤُكُمْ غَوْرًا), "Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku, jika sumber airmu menjadi kering.'" Allah mengajak kita membayangkan skenario di mana air, sumber kehidupan yang paling esensial, tiba-tiba hilang. Air sumur dan mata air surut dan amblas ke dalam perut bumi ("gauran"), tak terjangkau lagi. Sungai dan danau mengering. Hujan berhenti turun.
Dalam kondisi separah itu, Allah mengajukan pertanyaan pamungkas: "famay ya'tīkum bimā'im ma‘īn" (فَمَنْ يَّأْتِيْكُمْ بِمَاۤءٍ مَّعِيْنٍ), "maka siapakah yang akan memberimu air yang mengalir?". "Mā'im ma‘īn" adalah air yang jernih, segar, mudah dijangkau, dan mengalir. Siapakah yang memiliki kuasa untuk mengembalikannya? Teknologi manusia? Berhala-berhala? Tentu tidak ada. Hanya ada satu jawaban: Allah SWT. Pertanyaan ini adalah pengingat terakhir yang telak tentang ketergantungan total kita kepada Allah dalam urusan yang paling mendasar sekalipun. Surat yang diawali dengan proklamasi kekuasaan mutlak Allah atas "kerajaan" ("Al-Mulk"), diakhiri dengan bukti kekuasaan-Nya atas setetes air. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup hal-hal yang paling agung hingga yang paling vital dalam kehidupan kita sehari-hari. Merenungkan ayat ini seharusnya melahirkan rasa syukur yang mendalam dan ketundukan yang total kepada Ar-Raḥmān, Sang Pemberi Kehidupan.
Keutamaan Agung Membaca Surat Al-Mulk
Surat Al-Mulk memiliki kedudukan yang sangat istimewa, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis Nabi Muhammad SAW. Keutamaannya tidak hanya terletak pada pahala membaca Al-Qur'an secara umum, tetapi juga memiliki fungsi khusus yang sangat didambakan oleh setiap muslim, yaitu sebagai pelindung dan penyelamat.
1. Penyelamat dari Siksa Kubur (Al-Mani'ah wal Munjiyah)
Keutamaan yang paling masyhur dari Surat Al-Mulk adalah perannya sebagai pelindung dari siksa kubur. Alam kubur adalah fase pertama dari kehidupan akhirat, dan keselamatan di dalamnya adalah kunci untuk keselamatan di fase-fase berikutnya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
"Ada suatu surat dari Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafa'at bagi yang membacanya, sampai dia diampuni, yaitu: 'Tabārakal-lażī biyadihil-mulk(u)...' (Surat Al-Mulk)."
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa surat ini adalah "Al-Mani'ah" (penghalang) dan "Al-Munjiyah" (penyelamat) yang menyelamatkan pembacanya dari azab kubur. Surat ini akan datang di alam kubur sebagai pembela bagi ahlinya. Ia akan berdebat dengan malaikat Munkar dan Nakir, seraya berkata, "Dia adalah sahabatku, jangan sakiti dia, karena dia telah menjagaku di dunia." Kehadiran surat ini menjadi perisai yang kokoh, memberikan ketenangan dan perlindungan di saat-saat paling menakutkan di awal kehidupan akhirat.
2. Menjadi Syafa'at di Hari Kiamat
Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, Surat Al-Mulk akan menjadi pemberi syafa'at (pembela) bagi orang yang senantiasa membacanya. Di hari kiamat, ketika tidak ada penolong selain izin Allah, surat ini akan datang dan memohonkan ampunan bagi pembacanya hingga dosa-dosanya diampuni. Ini adalah sebuah investasi amal yang luar biasa. Dengan meluangkan beberapa menit setiap malam untuk membacanya, seseorang sedang mempersiapkan seorang "pengacara" yang handal untuk membelanya di hadapan pengadilan Allah SWT.
3. Kebiasaan Rasulullah SAW Sebelum Tidur
Mengamalkan Surat Al-Mulk adalah bagian dari meneladani sunnah Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah bahwa:
"Nabi SAW tidak akan tidur sebelum beliau membaca 'Alif Lam Mim Tanzil' (Surat As-Sajdah) dan 'Tabarakalladzi bi yadihil mulk' (Surat Al-Mulk)." (HR. Tirmidzi).
Kebiasaan mulia ini menunjukkan betapa pentingnya kedua surat ini di mata Rasulullah. Menjadikan bacaan Surat Al-Mulk sebagai rutinitas sebelum tidur bukan hanya untuk mengejar fadhilahnya, tetapi juga sebagai bentuk cinta dan ittiba' (mengikuti) kepada sunnah beliau. Mengakhiri hari dengan merenungkan ayat-ayat tentang kekuasaan mutlak Allah akan membawa ketenangan jiwa, membersihkan hati dari kesibukan dunia, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta sebelum memejamkan mata.
Waktu Terbaik untuk Membaca Surat Al-Mulk
Berdasarkan hadis mengenai kebiasaan Rasulullah SAW, waktu yang paling dianjurkan untuk membaca Surat Al-Mulk adalah di malam hari, khususnya sebelum tidur. Ini adalah waktu yang tepat untuk muhasabah (introspeksi) diri setelah seharian beraktivitas. Membaca dan merenungkan ayat-ayatnya sebelum tidur dapat menjadi penutup hari yang sempurna, mengingatkan kita akan tujuan hidup, kefanaan dunia, dan kepastian akhirat. Dengan demikian, kita tidur dalam keadaan mengingat Allah dan, insyaAllah, akan dibangunkan dalam keadaan yang sama.
Meskipun waktu sebelum tidur adalah yang paling utama, tidak ada larangan untuk membacanya di waktu-waktu lain. Menjadikannya bagian dari wirid harian, baik setelah shalat fardhu maupun di waktu luang lainnya, juga merupakan amalan yang sangat baik. Kuncinya adalah konsistensi (istiqamah). Membacanya setiap malam, meskipun hanya sekali, jauh lebih baik daripada membacanya berkali-kali dalam satu malam namun kemudian meninggalkannya untuk waktu yang lama.
Kesimpulan: Mahkota Kekuasaan dan Rahmat
Surat Al-Mulk adalah sebuah perjalanan komprehensif yang membawa kita dari pengakuan akan kekuasaan absolut Allah hingga perenungan mendalam tentang tujuan hidup dan realitas akhirat. Surat ini membuka mata kita terhadap kesempurnaan ciptaan, memperingatkan kita akan konsekuensi kekafiran, dan memotivasi kita dengan janji ampunan serta pahala yang besar.
Lebih dari sekadar bacaan, Al-Mulk adalah perisai. Ia adalah teman di kegelapan kubur dan pembela di hari pengadilan. Menjadikannya sebagai amalan rutin setiap malam adalah sebuah langkah kecil di dunia yang berdampak abadi di akhirat. Semoga Allah SWT memberikan kita taufik untuk senantiasa membaca, memahami, merenungkan, dan mengamalkan isi kandungan Surat Al-Mulk, sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang dinaungi olehnya dan diselamatkan berkat syafa'atnya. Aamiin.