Ilustrasi Api Menyala Ilustrasi api yang menyala sebagai simbol dari Surat Al-Lahab.

Memahami Bacaan Surat Al Lahab dan Maknanya yang Mendalam

Surat Al Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surat Al Masad, merupakan surat ke-111 dalam mushaf Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat makna, surat ini diturunkan di Mekah (Makkiyah) sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan surat ini terletak pada isinya yang secara spesifik menyebutkan nama individu, yaitu Abu Lahab, paman Nabi sendiri, sebagai sosok yang celaka beserta istrinya. Ini adalah sebuah pernyataan tegas dan abadi dari Allah SWT mengenai akibat dari permusuhan yang membabi buta terhadap kebenaran.

Mempelajari bacaan Surat Al Lahab tidak hanya sekadar melafalkan ayat-ayatnya, tetapi juga menyelami konteks sejarah, tafsir, dan pelajaran abadi yang terkandung di dalamnya. Surat ini menjadi bukti nyata akan kebenaran Al-Qur'an dan perlindungan Allah terhadap Rasul-Nya, sekaligus menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang menentang dakwah dengan penuh kebencian dan kesombongan.

Teks Bacaan Surat Al Lahab (Arab, Latin, dan Terjemahan)

Berikut adalah bacaan lengkap Surat Al Lahab yang disajikan dalam format tulisan Arab, transliterasi Latin untuk membantu pelafalan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia agar mudah dipahami maknanya.

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ

Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb.

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ

Mā agnā ‘anhu māluhū wa mā kasab.

2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ

Sayaṣlā nāran żāta lahab.

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ

Wamra'atuh, ḥammālatal-ḥaṭab.

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

Fī jīdihā ḥablum mim masad.

5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Surat Al Lahab

Untuk memahami kedalaman makna Surat Al Lahab, sangat penting untuk mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (Asbabun Nuzul). Para ulama tafsir sepakat bahwa surat ini turun sebagai respons langsung terhadap penolakan keras dan penghinaan yang dilontarkan oleh Abu Lahab kepada Nabi Muhammad SAW.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW naik ke atas bukit Shafa. Beliau kemudian berseru memanggil suku-suku Quraisy untuk berkumpul. Ketika mereka telah datang, beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda di lembah yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Tentu kami percaya, karena kami tidak pernah mendapati engkau berdusta."

Setelah mendapatkan kepercayaan mereka, Rasulullah SAW melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang sangat pedih." Mendengar seruan dakwah tauhid yang pertama kali disampaikan secara terbuka ini, Abu Lahab, yang merupakan paman beliau sendiri, langsung berdiri dengan amarah. Dengan nada menghina, ia berkata, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Sikap Abu Lahab yang sangat kasar dan penuh kebencian ini menyakiti hati Rasulullah SAW. Sebagai jawaban langsung dari langit, Allah SWT menurunkan Surat Al Lahab. Ayat pertama, "Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia), adalah balasan setimpal atas ucapan celaka yang dilontarkannya. Allah membalikkan kutukan itu kepada Abu Lahab sendiri, menegaskan bahwa dialah yang sesungguhnya celaka dan binasa, bukan Rasul-Nya.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat Al Lahab

Setiap ayat dalam surat ini mengandung pesan yang kuat dan pelajaran yang berharga. Mari kita bedah makna yang terkandung di dalamnya satu per satu.

Ayat 1: Kepastian Kebinasaan Bagi Penentang Kebenaran

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!"

Kata "Tabbat" (تَبَّتْ) berasal dari kata tabāb yang berarti kerugian, kebinasaan, dan kehancuran. Penggunaan kata ini di awal surat menunjukkan sebuah penegasan yang sangat kuat. Ungkapan "yadā" (يَدَا) yang berarti "kedua tangan" adalah sebuah majas (kiasan) dalam bahasa Arab yang merujuk pada keseluruhan diri seseorang, usahanya, kekuasaannya, dan segala daya upayanya. Jadi, ayat ini tidak hanya mendoakan keburukan pada tangan fisik Abu Lahab, tetapi mengutuk seluruh eksistensinya, rencananya, dan pengaruhnya.

Frasa "wa tabb" (وَتَبَّ) di akhir ayat berfungsi sebagai penguat (taukid). Jika bagian pertama adalah sebuah doa atau pernyataan kebinasaan, maka bagian kedua adalah konfirmasi bahwa kebinasaan itu benar-benar telah terjadi dan pasti akan menimpanya. Ini menunjukkan bahwa kehancuran Abu Lahab bukanlah sesuatu yang diragukan lagi, melainkan sebuah ketetapan ilahi yang tak terhindarkan. Ini adalah vonis dari Allah yang Maha Kuasa.

Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia dijuluki "Abu Lahab" (Bapak Api yang Bergejolak) karena wajahnya yang kemerahan dan cerah. Ironisnya, Al-Qur'an menggunakan julukan ini untuk menegaskan bahwa tempat kembalinya kelak adalah api neraka yang bergejolak, sesuai dengan namanya.

Ayat 2: Kesia-siaan Harta dan Kekuasaan Duniawi

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ
"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan."

Ayat kedua ini membantah kesombongan utama kaum musyrikin Quraisy, yaitu kebanggaan terhadap harta dan status sosial. Abu Lahab adalah seorang bangsawan kaya raya dan memiliki kedudukan terpandang di antara kaumnya. Ia sering menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk menghalangi dakwah Nabi. Ia mungkin berpikir bahwa hartanya dapat melindunginya dari segala ancaman, termasuk ancaman azab yang disampaikan oleh keponakannya.

Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa semua itu sia-sia. Kata "Mā agnā" (مَآ اَغْنٰى) berarti "tidak ada gunanya" atau "tidak dapat menolong sedikit pun." Baik hartanya (māluhū) yang mungkin diwarisinya, maupun apa yang dia usahakan (wa mā kasab) melalui perniagaan atau jabatannya, semuanya tidak akan mampu menolak ketetapan Allah. Ayat ini memberikan pelajaran universal bahwa kekayaan dan kekuasaan duniawi tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan murka Allah. Ketika azab-Nya datang, tidak ada harta, jabatan, atau koneksi yang dapat menjadi tebusan.

Ayat 3: Ancaman Neraka yang Nyata

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)."

Setelah menyatakan kebinasaannya di dunia, Allah menegaskan nasibnya di akhirat. Kata "Sayaṣlā" (سَيَصْلٰى) mengandung makna "dia akan memasuki" atau "dia akan merasakan panasnya." Ini bukan sekadar masuk, tetapi terjerumus dan terbakar di dalamnya. Objeknya adalah "nāran" (نَارًا), yaitu api neraka.

Keindahan balaghah (retorika) Al-Qur'an terlihat pada frasa "żāta lahab" (ذَاتَ لَهَبٍ), yang berarti "yang memiliki gejolak api." Ini adalah permainan kata yang sangat kuat dengan julukan "Abu Lahab." Seolah-olah Allah berfirman, "Wahai Abu Lahab (Bapak Api), kelak engkau akan benar-benar merasakan api yang sesuai dengan namamu." Ini adalah sebuah penghinaan sekaligus penegasan nasib yang sangat pedih dan sesuai dengan perbuatannya.

Ayat ini merupakan salah satu bukti kenabian Muhammad SAW dan mukjizat Al-Qur'an. Surat ini turun di awal masa dakwah di Mekah. Abu Lahab masih hidup bertahun-tahun setelahnya. Jika saja Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, ia bisa saja meruntuhkan kredibilitas Al-Qur'an. Namun, Allah Yang Maha Mengetahui isi hati telah menetapkan bahwa ia akan mati dalam keadaan kafir, dan hal itu benar-benar terjadi. Ia tidak pernah memeluk Islam hingga akhir hayatnya.

Ayat 4: Peran Istri dalam Kejahatan

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."

Ayat ini menunjukkan bahwa kejahatan Abu Lahab tidak dilakukannya seorang diri. Ia mendapat dukungan penuh dari istrinya, Arwa binti Harb, yang juga dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan, seorang tokoh Quraisy lainnya. Allah menyatakan bahwa istrinya akan ikut serta merasakan azab yang sama.

Gelar yang diberikan Al-Qur'an kepadanya adalah "ḥammālatal-ḥaṭab" (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), yang secara harfiah berarti "pembawa kayu bakar." Para ulama tafsir memberikan dua makna utama untuk ungkapan ini:

  1. Makna Hakiki: Di akhirat kelak, ia akan benar-benar menjadi pembawa kayu bakar untuk menyalakan api neraka yang akan membakar suaminya (dan dirinya sendiri). Ini adalah gambaran kehinaan yang luar biasa, di mana ia sendiri yang menyiapkan bahan bakar untuk siksanya.
  2. Makna Kiasan: Di dunia, ia adalah penyebar fitnah dan namimah (adu domba). Ia berkeliling untuk menyebarkan kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW. Ucapannya diibaratkan seperti kayu bakar yang menyulut api permusuhan di antara manusia. Ia juga sering meletakkan duri dan kotoran di jalan yang biasa dilalui oleh Rasulullah SAW pada malam hari, sebuah tindakan yang sangat keji.

Kedua makna tersebut saling melengkapi dan menunjukkan betapa besar peran Ummu Jamil dalam mendukung permusuhan suaminya terhadap Islam.

Ayat 5: Gambaran Hukuman yang Menghinakan

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ
"Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal."

Ayat terakhir ini melengkapi gambaran hukuman bagi Ummu Jamil. Kata "jīd" (جِيْد) berarti leher yang indah, sering digunakan untuk menggambarkan leher wanita yang dihiasi perhiasan. Al-Qur'an menggunakan kata ini sebagai bentuk ironi. Ummu Jamil dikisahkan memiliki kalung yang sangat mahal dan mewah. Ia pernah bersumpah akan menjual kalung itu untuk membiayai permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Maka, Allah menetapkan bahwa di neraka kelak, lehernya yang dulu ia banggakan dengan perhiasan akan diikat dengan "ḥablum mim masad" (حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ). "Masad" adalah tali kasar yang terbuat dari sabut atau serat pohon kurma yang dipintal dengan sangat kuat. Ini adalah gambaran hukuman yang sangat menghinakan. Perhiasan kebanggaannya di dunia digantikan dengan tali yang kasar dan menyakitkan di akhirat, yang akan digunakan untuk menyeretnya ke dalam api neraka.

Gambaran ini secara visual sangat kuat, menunjukkan bahwa apa pun yang digunakan untuk menentang agama Allah di dunia, kelak akan menjadi alat untuk menyiksa pelakunya di akhirat.

Pelajaran Penting dari Surat Al Lahab

Meskipun Surat Al Lahab berbicara tentang tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah, pesan dan pelajarannya bersifat universal dan abadi. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat kita petik:

1. Ikatan Darah Tidak Menjamin Hidayah

Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad SAW, seorang kerabat terdekat dari Bani Hasyim. Namun, hubungan darah ini tidak memberinya manfaat sedikit pun ketika ia memilih kekafiran dan permusuhan. Ini adalah pelajaran tegas bahwa hidayah adalah murni karunia Allah dan tidak diwariskan melalui garis keturunan. Keselamatan seseorang bergantung pada iman dan amal perbuatannya, bukan pada nasab atau status keluarganya.

2. Bahaya Kesombongan dan Kebencian

Dosa utama Abu Lahab dan istrinya adalah kesombongan yang lahir dari status sosial dan kebencian buta terhadap kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak menolak dakwah karena argumen yang lemah, melainkan karena hasad (iri) dan arogansi. Mereka tidak ingin melihat keponakan mereka, yang dianggap yatim dan miskin, mendapatkan kedudukan mulia sebagai utusan Tuhan. Surat ini menjadi peringatan keras akan bahaya sifat sombong dan benci yang dapat membutakan hati dari kebenaran.

3. Sia-sianya Kekuatan Duniawi di Hadapan Ketetapan Allah

Abu Lahab mengandalkan harta, kekuasaan, dan statusnya untuk melawan dakwah. Namun, Allah menunjukkan bahwa semua itu tidak bernilai. Sejarah mencatat bahwa Abu Lahab mati dalam kondisi yang mengenaskan beberapa saat setelah kekalahan kaum Quraisy di Perang Badar. Ia menderita penyakit menular sehingga keluarganya pun enggan mengurus jenazahnya. Hartanya tidak bisa membeli kesembuhan atau menyelamatkannya dari kematian yang hina. Ini adalah bukti nyata dari ayat kedua surat ini.

4. Peran Pasangan dalam Mendukung Kebaikan atau Keburukan

Kisah Ummu Jamil menyoroti betapa besar pengaruh seorang pasangan. Ia bukan hanya diam, tetapi menjadi mitra aktif dalam kejahatan suaminya. Sebaliknya, kita melihat contoh Siti Khadijah, istri Nabi, yang menjadi pendukung pertama dan utama dakwah beliau. Ini mengajarkan pentingnya memilih pasangan yang shalih/shalihah dan saling mendukung dalam ketaatan kepada Allah, karena pasangan dapat menjadi pendorong menuju surga atau penjerumus ke dalam neraka.

5. Kepastian Kemenangan Kebenaran

Pada saat surat ini turun, umat Islam berada dalam posisi yang sangat lemah, tertindas, dan minoritas di Mekah. Abu Lahab dan para pembesar Quraisy tampak sangat kuat dan tak terkalahkan. Namun, surat ini datang sebagai janji kemenangan dari Allah. Dengan menyatakan kebinasaan bagi musuh utama Nabi, Allah memberikan kekuatan dan optimisme kepada kaum muslimin bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang dan kebatilan pasti akan hancur, meskipun pada awalnya tampak mustahil.

Kesimpulan

Bacaan Surat Al Lahab adalah sebuah proklamasi ilahi yang abadi tentang konsekuensi dari menentang kebenaran. Ia bukan sekadar cerita tentang kebencian seorang paman terhadap keponakannya, melainkan sebuah cerminan pertarungan universal antara iman dan kekufuran, antara ketawaduan dan kesombongan. Melalui lima ayatnya yang ringkas, Allah SWT memberikan pelajaran tentang rapuhnya kekuatan duniawi, bahaya permusuhan yang didasari kebencian, dan kepastian hukuman bagi mereka yang menghalangi jalan Allah.

Membaca, merenungkan, dan memahami Surat Al Lahab akan memperkuat keyakinan kita akan perlindungan Allah terhadap para utusan-Nya dan para pengikut kebenaran. Surat ini juga menjadi pengingat agar kita senantiasa menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela seperti sombong, iri, dan benci, serta selalu menggunakan nikmat yang Allah berikan—baik itu harta, keluarga, maupun kedudukan—untuk mendukung kebaikan, bukan untuk menentangnya.

🏠 Kembali ke Homepage