Surat Al-Mulk

Kerajaan | Surah ke-67 | 30 Ayat | Makkiyah

Mengenal Surat Al-Mulk: Sang Pelindung

Surat Al-Mulk (الْمُلْك) yang berarti "Kerajaan" adalah surah ke-67 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari 30 ayat, surah ini tergolong dalam surah Makkiyah, yaitu surah yang diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Tema utama yang diangkat dalam surah mulia ini adalah penegasan tentang kekuasaan mutlak Allah SWT atas seluruh alam semesta, baik yang terlihat maupun yang gaib. Nama lain dari surah ini adalah At-Tabarak (Maha Suci), yang diambil dari lafaz pertama ayatnya. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Al-Mani'ah (Pencegah) dan Al-Waqiyah (Pelindung), karena keutamaannya yang dapat mencegah dan melindungi pembacanya dari siksa kubur atas izin Allah SWT.

Membaca, merenungi, dan mengamalkan kandungan Surat Al-Mulk memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam. Ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah deklarasi keimanan yang mendalam. Setiap ayatnya mengajak kita untuk bertafakur, merenungi kebesaran ciptaan Allah, mulai dari langit yang berlapis-lapis tanpa cacat, burung-burung yang terbang dengan sayapnya, hingga bumi yang terhampar sebagai tempat tinggal. Surat ini secara gamblang menjelaskan tujuan penciptaan manusia, yaitu sebagai ujian untuk melihat siapa yang paling baik amalnya. Ia juga memberikan peringatan keras bagi mereka yang ingkar serta kabar gembira bagi mereka yang beriman dan bertakwa.

سورة الملك Ilustrasi Surah Al-Mulk
Ilustrasi simbolis tentang kerajaan langit dalam Surah Al-Mulk.

Keutamaan Agung Membaca Surat Al-Mulk

Rasulullah SAW memberikan perhatian khusus terhadap Surat Al-Mulk dan menganjurkan umatnya untuk senantiasa membacanya. Keutamaan yang terkandung di dalamnya begitu besar, menjadikannya amalan yang sangat berharga bagi setiap Muslim. Berikut adalah beberapa fadhilah atau keutamaan utama dari Surat Al-Mulk yang disandarkan pada hadis-hadis shahih.

1. Penyelamat dari Siksa Kubur

Keutamaan yang paling masyhur dari Surat Al-Mulk adalah kemampuannya menjadi pelindung dan penyelamat dari azab kubur. Alam kubur adalah fase pertama dari kehidupan akhirat yang penuh dengan pertanyaan dan pertanggungjawaban. Surat ini, dengan izin Allah, akan datang sebagai pembela bagi pembacanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata:

"Barangsiapa membaca 'Tabarakalladzi biyadihil mulk' (Surat Al-Mulk) setiap malam, maka Allah akan mencegahnya dari siksa kubur. Kami (para sahabat) di masa Rasulullah SAW menamakannya 'Al-Mani'ah' (pencegah). Sungguh, ia adalah salah satu surah dalam Kitabullah, barangsiapa membacanya setiap malam, maka ia telah berbuat banyak dan berbuat baik." (HR. An-Nasa'i, dihasankan oleh Al-Albani).

Hadis ini menunjukkan betapa rutinnya amalan membaca surat ini di malam hari dapat menjadi perisai yang kokoh di alam barzakh. Ia akan berargumentasi dan membela pemiliknya di hadapan para malaikat, memohonkan keringanan dan keselamatan.

2. Memberi Syafaat di Hari Kiamat

Tidak hanya di alam kubur, Surat Al-Mulk juga akan menjadi penolong (pemberi syafaat) bagi pembacanya kelak di Hari Kiamat. Pada hari di mana tidak ada pertolongan kecuali dari Allah, surah ini akan terus memohonkan ampunan bagi orang yang senantiasa membacanya hingga ia diampuni. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

"Ada suatu surah dari Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat, ia akan memberikan syafaat bagi seseorang hingga ia diampuni. Surah itu adalah 'Tabarakalladzi biyadihil mulk'." (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadis ini dihasankan oleh At-Tirmidzi dan disahihkan oleh Ibnu Taimiyah).

Syafaat ini adalah bentuk rahmat Allah yang luar biasa, yang dianugerahkan melalui amalan-amalan saleh, salah satunya adalah konsistensi dalam membaca dan mentadabburi Surat Al-Mulk. Ia akan menjadi "pengacara" yang handal di pengadilan akhirat.

3. Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW

Membaca Surat Al-Mulk sebelum tidur adalah salah satu kebiasaan (sunnah) Rasulullah SAW. Dengan mengamalkannya, kita tidak hanya mendapatkan keutamaannya, tetapi juga pahala karena telah mengikuti jejak langkah sang Nabi. Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

"Nabi SAW tidak akan tidur sampai beliau membaca Alif Lam Mim Tanzil (Surat As-Sajdah) dan Tabarakalladzi biyadihil mulk (Surat Al-Mulk)." (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

Menjadikan amalan ini sebagai rutinitas sebelum beristirahat di malam hari adalah cara kita untuk menghidupkan sunnah, mendekatkan diri kepada Allah, dan menutup hari dengan lantunan ayat-ayat suci yang penuh berkah. Ini adalah penutup hari yang paling sempurna bagi seorang mukmin.

Bacaan Surat Al Mulk Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah teks lengkap bacaan surat Al Mulk Arab, disertai dengan transliterasi Latin untuk membantu pembacaan dan terjemahan dalam bahasa Indonesia agar dapat dipahami maknanya secara mendalam.

تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ (١)

1. tabārakallażī biyadihil-mulku wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr(un).

1. Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 1:

Ayat pembuka ini adalah sebuah deklarasi agung. Kata "Tabarak" berasal dari akar kata barakah (berkah), yang berarti Maha Suci, Maha Tinggi, dan sumber segala kebaikan yang melimpah dan abadi. Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk kerajaan, kekuasaan, dan kepemilikan mutlak di alam semesta—langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya—berada dalam genggaman Allah SWT. Frasa "biyadihi al-mulk" (di tangan-Nyalah kerajaan) adalah kiasan yang menunjukkan kontrol dan kekuasaan-Nya yang total dan tak terbatas. Penutup ayat, "wa huwa 'ala kulli syai'in qadir" (dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), menyempurnakan penegasan ini, menyatakan bahwa kekuasaan-Nya tidak hanya pasif, tetapi juga aktif dan mampu melakukan apa pun yang Dia kehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi.

ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ (٢)

2. allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā(n), wa huwal-‘azīzul-gafūr(u).

2. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 2:

Ayat ini mengungkap فلسفہ (filsafat) kehidupan dan kematian dalam Islam. Kematian dan kehidupan bukanlah peristiwa acak, melainkan ciptaan Allah yang memiliki tujuan agung: "liyabluwakum" (untuk menguji kamu). Kehidupan dunia adalah arena ujian. Allah tidak mencari siapa yang paling banyak amalnya, melainkan siapa yang "ahsan 'amala" (paling baik amalnya). Kualitas amal, yang didasari oleh keikhlasan dan kesesuaian dengan syariat, lebih utama daripada kuantitas. Ayat ini ditutup dengan dua Asmaul Husna yang memberikan keseimbangan: Al-'Aziz (Mahaperkasa), menunjukkan bahwa Allah memiliki kekuatan absolut untuk memberikan balasan dan hukuman, dan Al-Ghafur (Maha Pengampun), yang membuka pintu harapan dan taubat bagi hamba-Nya yang berbuat salah dalam ujian tersebut.

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ (٣)

3. allażī khalaqa sab‘a samāwātin ṭibāqā(n), mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut(in), farji‘il-baṣara hal tarā min fuṭūr(in).

3. Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 3:

Setelah menjelaskan kekuasaan-Nya atas hidup dan mati, Allah mengajak kita untuk melihat bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Penciptaan tujuh langit yang "thibaqan" (berlapis-lapis) adalah bukti kebesaran-Nya. Ayat ini kemudian menantang manusia dengan tantangan intelektual: "ma tara fi khalqi ar-rahman min tafawut" (kamu tidak akan melihat pada ciptaan Yang Maha Pengasih itu suatu ketidakseimbangan). Kata "tafawut" berarti ketidakcocokan, kontradiksi, atau cacat. Alam semesta ciptaan-Nya berjalan dalam harmoni dan keteraturan yang sempurna. Allah kemudian memerintahkan kita untuk mengamati lebih teliti, "farji'i al-bashar" (maka lihatlah sekali lagi), untuk mencari celah atau keretakan (futur). Tantangan ini menunjukkan kesempurnaan mutlak dalam ciptaan-Nya, yang seharusnya menuntun manusia pada pengakuan akan Sang Pencipta.

ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ (٤)

4. ṡummarji‘il-baṣara karrataini yanqalib ilaikal-baṣaru khāsi'aw wa huwa ḥasīr(un).

4. Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi (dan) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan dalam keadaan letih.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 4:

Tantangan pada ayat sebelumnya dipertegas di sini. Allah menyuruh kita untuk mengulang pandangan bukan hanya sekali, tetapi "karratain" (dua kali lagi, atau berulang-ulang). Ini adalah perintah untuk melakukan observasi yang mendalam, berkesinambungan, dan kritis. Hasilnya? Pandangan manusia akan kembali "khasi'an" (dalam keadaan hina dan tidak menemukan apa yang dicari) dan "hasir" (dalam keadaan lelah dan payah). Sejauh apa pun ilmu pengetahuan dan teknologi manusia berkembang untuk mengamati alam semesta, ia tidak akan pernah menemukan cacat atau kesalahan dalam sistem ciptaan Allah. Sebaliknya, yang ditemukan adalah hukum-hukum alam yang presisi dan keindahan yang tak terbatas, yang justru semakin membuktikan keberadaan dan keagungan Sang Desainer Agung.

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ (٥)

5. wa laqad zayyannas-samā'ad-dun-yā bimaṣābīḥa wa ja‘alnāhā rujūmal lisy-syayāṭīni wa a‘tadnā lahum ‘ażābas-sa‘īr(i).

5. Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 5:

Ayat ini menjelaskan dua fungsi benda-benda langit (disebut mashabih, artinya lampu-lampu, merujuk pada bintang-bintang). Fungsi pertama adalah sebagai "zinah" atau hiasan bagi langit dunia (langit terdekat). Keindahan gemerlap bintang di malam hari adalah pemandangan yang menenangkan jiwa dan memancing kekaguman. Fungsi kedua bersifat gaib, yaitu sebagai "rujuman lisy-syayathin" (pelempar bagi para setan). Ini merujuk pada meteor atau "bintang jatuh" yang Allah gunakan untuk menghalau setan-setan yang mencoba mencuri dengar berita dari langit. Ayat ini menghubungkan fenomena alam yang terlihat dengan realitas gaib, menunjukkan bahwa kekuasaan Allah mencakup kedua dimensi tersebut. Di akhir ayat, Allah menegaskan balasan bagi para setan (dan pengikutnya), yaitu 'adzab as-sa'ir (azab api yang menyala-nyala).

وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ (٦)

6. wa lillażīna kafarū birabbihim ‘ażābu jahannam(a), wa bi'sal-maṣīr(u).

6. Dan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, (disediakan) azab neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 6:

Setelah menggambarkan kekuasaan-Nya di alam semesta dan nasib para setan, kini fokus beralih kepada manusia yang ingkar. Ayat ini secara langsung menyatakan konsekuensi bagi mereka yang "kafaru birabbihim" (kafir kepada Tuhan mereka). Kekafiran di sini bukan hanya penolakan eksistensi Tuhan, tetapi juga menolak untuk tunduk, menyombongkan diri, dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya yang terhampar jelas. Balasan bagi mereka adalah 'adzabu jahannam (azab Jahanam). Kalimat penutup "wa bi'sa al-mashir" (dan itulah seburuk-buruk tempat kembali) adalah sebuah penegasan yang sangat kuat tentang betapa mengerikannya nasib tersebut, sebuah tujuan akhir yang seharusnya dihindari oleh setiap manusia yang berakal.

اِذَآ اُلْقُوْا فِيْهَا سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا وَّهِيَ تَفُوْرُۙ (٧)

7. iżā ulqū fīhā sami‘ū lahā syahīqaw wa hiya tafūr(u).

7. Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suaranya yang mengerikan, sedang neraka itu membara,

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 7:

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya memberikan gambaran sensorik tentang neraka untuk menimbulkan rasa takut yang mendorong ketaatan. Saat orang-orang kafir dilemparkan (ulqu - menunjukkan mereka dilempar tanpa daya dan kehormatan), mereka langsung disambut oleh suara neraka. Suara itu digambarkan sebagai "syahiq", yang sering diartikan sebagai suara tarikan napas yang keras seperti suara keledai, menggambarkan kengerian yang luar biasa. Neraka itu sendiri digambarkan dalam keadaan "tafur", yang berarti mendidih, bergejolak, dan meluap-luap karena amarahnya. Ini adalah deskripsi yang hidup untuk menunjukkan bahwa neraka bukan tempat yang statis, melainkan entitas yang hidup dan marah kepada para penghuninya.

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ (٨)

8. takādu tamayyazu minal-gaiẓ(i), kullamā ulqiya fīhā faujun sa'alahum khazanatuhā alam ya'tikum nażīr(un).

8. hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?"

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 8:

Kemarahan neraka digambarkan lebih jauh lagi: "takadu tamayyazu min al-ghayzh" (hampir-hampir ia pecah berderai karena marah). Ini adalah personifikasi yang kuat, seolah-olah neraka adalah makhluk yang sangat murka kepada para pendosa. Kemudian, terjadi dialog yang menambah penyesalan. Setiap kali sekelompok (fauj) orang kafir dilemparkan, para malaikat penjaga (khazanah) mengajukan pertanyaan retoris yang menyakitkan: "a lam ya'tikum nadzir?" (Bukankah telah datang kepada kalian seorang pemberi peringatan?). Pertanyaan ini bukan untuk mencari informasi, tetapi untuk menegaskan keadilan Allah dan kesalahan mutlak para penghuni neraka. Mereka tidak dihukum secara tiba-tiba, melainkan setelah peringatan di dunia diabaikan.

قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ (٩)

9. qālū balā qad jā'anā nażīr(un), fa każżabnā wa qulnā mā nazzalallāhu min syai'(in), in antum illā fī ḍalālin kabīr(in).

9. Mereka menjawab, "Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakannya dan kami katakan, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu tidak lain hanyalah dalam kesesatan yang besar'."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 9:

Ini adalah pengakuan penuh penyesalan dari penghuni neraka. Mereka menjawab "Bala" (Benar, sungguh), mengakui bahwa para rasul dan dai telah datang menyampaikan risalah. Namun, pengakuan ini sudah terlambat. Mereka merinci dosa mereka: pertama, "fakadzdzabna" (kami telah mendustakan), dan kedua, mereka bahkan berani berkata kepada para rasul, "ma nazzalallahu min syai'" (Allah tidak menurunkan apa-apa). Ini adalah puncak kesombongan dan penolakan. Tidak hanya menolak, mereka bahkan membalikkan tuduhan dengan mengatakan kepada para pemberi peringatan, "in antum illa fi dhalalin kabir" (kalian berada dalam kesesatan yang nyata). Di akhirat, mereka mengulangi perkataan kufur mereka di dunia sebagai bentuk pengakuan atas kejahatan dan kebodohan mereka sendiri.

وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ (١٠)

10. wa qālū lau kunnā nasma‘u au na‘qilu mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr(i).

10. Dan mereka berkata, "Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 10:

Penyesalan mereka berlanjut dengan pengakuan atas penyebab utama kesesatan mereka: kegagalan menggunakan dua fakultas terpenting yang dianugerahkan Allah, yaitu pendengaran (nasma') dan akal (na'qil). "Lau kunna nasma'u" (sekiranya kami mau mendengar) bukan sekadar mendengar secara fisik, tetapi mendengar dengan hati yang terbuka untuk menerima kebenaran. "Au na'qilu" (atau kami mau memikirkan/menggunakan akal) merujuk pada kegagalan mereka untuk merenungkan bukti-bukti kebesaran Allah di alam semesta dan kebenaran risalah yang dibawa para nabi. Mereka mengakui bahwa jika saja mereka menggunakan pendengaran dan akal mereka dengan benar, nasib mereka tidak akan berakhir sebagai ashab as-sa'ir (penghuni api yang menyala-nyala). Ayat ini merupakan penekanan penting dalam Islam tentang peran akal dan pendengaran dalam menemukan hidayah.

فَاعْتَرَفُوْا بِذَنْۢبِهِمْۚ فَسُحْقًا لِّاَصْحٰبِ السَّعِيْرِ (١١)

11. fa‘tarafū biżambihim, fa suḥqal li'aṣḥābis-sa‘īr(i).

11. Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi, jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 11:

Ayat ini adalah kesimpulan dari dialog penyesalan tersebut. "Fa'tarafu bidzanbihim" (Maka mereka pun mengakui dosa mereka). Pengakuan telah dibuat, hujjah telah tegak atas mereka. Tidak ada lagi alasan atau sanggahan yang bisa mereka ajukan. Namun, pengakuan di akhirat tidak lagi berguna untuk menghapus hukuman. Kalimat berikutnya adalah vonis dari Allah: "fa suhqan li ashabis sa'ir". Kata "suhqan" berarti kejauhan, kebinasaan, atau laknat. Artinya, "maka kebinasaan dan kejauhan dari rahmat Allah bagi para penghuni neraka." Ini adalah pernyataan final yang menutup semua pintu harapan bagi mereka, menegaskan bahwa keadilan Allah telah ditegakkan secara sempurna.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ (١٢)

12. innal-lażīna yakhsyauna rabbahum bil-gaibi lahum magfiratuw wa ajrun kabīr(un).

12. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 12:

Setelah serangkaian gambaran mengerikan tentang nasib orang kafir, Al-Qur'an selalu menyajikan sisi sebaliknya untuk memberikan harapan dan motivasi. Ayat ini beralih kepada antitesis dari penghuni neraka, yaitu mereka yang "yakhsyauna rabbahum bil-ghaib" (takut kepada Tuhan mereka walaupun mereka tidak melihat-Nya). "Khasyah" adalah rasa takut yang lahir dari pengetahuan dan pengagungan, bukan sekadar takut biasa. Poin kuncinya adalah "bil-ghaib" (secara gaib). Iman mereka tidak memerlukan bukti fisik langsung; mereka beriman kepada Allah, malaikat, hari akhir, dan semua hal gaib lainnya hanya berdasarkan wahyu. Inilah kualitas iman tertinggi. Balasan bagi mereka adalah dua hal: "maghfirah" (ampunan) yang menghapus dosa-dosa mereka, dan "ajrun kabir" (pahala yang besar), yaitu surga dan segala kenikmatannya.

وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ (١٣)

13. wa asirrū qaulakum awijharū bih(ī), innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr(i).

13. Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 13:

Ayat ini menegaskan kemahatahuan Allah yang absolut, sebagai landasan bagi rasa "khasyah" yang disebut sebelumnya. Allah menantang manusia, "Wa asirru qaulakum awijharu bih" (Rahasiakan ucapanmu atau nyatakanlah). Bagi Allah, tidak ada bedanya antara bisikan tersembunyi dengan ucapan yang diteriakkan. Keduanya sama-sama terdengar dan diketahui oleh-Nya. Bahkan, pengetahuan Allah jauh lebih dalam dari itu, "innah hu 'alimun bidzatis shudur" (sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada). "Dzat ash-shudur" mencakup niat, isi hati, rahasia, dan segala gejolak batin yang bahkan mungkin tidak disadari oleh orang itu sendiri. Kesadaran akan pengawasan total inilah yang seharusnya menumbuhkan ketakwaan dan keikhlasan dalam setiap amal.

اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ࣖ (١٤)

14. alā ya‘lamu man khalaq(a), wa huwal-laṭīful-khabīr(u).

14. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 14:

Ini adalah argumen logis yang sangat kuat untuk mendukung pernyataan pada ayat sebelumnya. Allah bertanya secara retoris, "Ala ya'lamu man khalaq?" (Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui ciptaan-Nya?). Tentu saja, Sang Pencipta pasti mengetahui setiap detail dari apa yang Dia ciptakan. Seorang insinyur mengetahui seluk-beluk mesin buatannya; maka Allah, Sang Pencipta Agung, tentu mengetahui seluk-beluk ciptaan-Nya dengan pengetahuan yang tak terbatas. Ayat ini diakhiri dengan dua Asmaul Husna yang relevan: Al-Lathif (Yang Maha Lembut/Halus), yang pengetahuan-Nya menembus hal-hal terkecil dan tersembunyi, dan Al-Khabir (Yang Maha Teliti/Mengetahui), yang mengetahui perkara-perkara lahir dan batin secara mendalam. Kombinasi ini menegaskan keluasan dan kedalaman ilmu Allah.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ (١٥)

15. huwal-lażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih(ī), wa ilaihin-nusyūr(u).

15. Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 15:

Dari kebesaran di langit, Allah kini mengajak kita merenungi nikmat di bumi. Dia menjadikan bumi "dzalulan", sebuah kata yang berarti mudah ditundukkan, jinak, dan tidak liar. Bumi diciptakan dengan kondisi yang sempurna bagi kehidupan manusia: tidak terlalu keras untuk digali, tidak terlalu lunak sehingga kita tenggelam, udaranya bisa dihirup, dan gravitasinya pas. Karena kemudahan ini, Allah memerintahkan, "famsyu fi manakibiha" (maka berjalanlah di segala penjurunya), sebuah anjuran untuk bekerja, berusaha, dan menjelajahi bumi. Kemudian, "wa kulu min rizqihi" (dan makanlah dari rezeki-Nya), mengingatkan bahwa segala hasil usaha kita pada hakikatnya adalah rezeki dari Allah. Namun, kenikmatan dunia ini tidak boleh melenakan, karena ayat ditutup dengan pengingat akhirat: "wa ilaihi an-nusyur" (dan hanya kepada-Nya-lah kebangkitan kembali), menegaskan bahwa semua akan kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ (١٦)

16. a'amintum man fis-samā'i ay yakhsifa bikumul-arḍa fa'iżā hiya tamūr(u).

16. Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 16:

Ayat ini dan berikutnya adalah peringatan keras bagi mereka yang merasa aman dari azab Allah meskipun terus berbuat maksiat. Pertanyaan "A amintum" (Apakah kalian merasa aman?) adalah teguran yang menyentak. "Man fis sama'" (Dia yang di langit) merujuk kepada Allah SWT, yang ketinggian dan keagungan-Nya dilambangkan dengan langit. Peringatan pertama adalah kemungkinan bumi yang tadinya "dzalulan" (mudah dijelajahi) bisa seketika diubah menjadi penghancur. "An yakhsifa bikumul ardh" (Dia menelan kalian bersama bumi), seperti yang terjadi pada Qarun. Bumi yang tadinya stabil tiba-tiba "tamur" (berguncang dengan dahsyat). Ini adalah pengingat bahwa nikmat stabilitas bumi bisa dicabut kapan saja oleh Sang Pencipta.

اَمْ اَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يُّرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ (١٧)

17. am amintum man fis-samā'i ay yursila ‘alaikum ḥāṣibā(n), fa sata‘lamūna kaifa nażīr(i).

17. Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 17:

Peringatan kedua datang dari atas. Jika azab tidak datang dari bawah (bumi), ia bisa datang dari atas. "An yursila 'alaikum hashiban" (Dia mengirimkan kepada kalian badai batu). "Hashib" adalah angin kencang yang membawa kerikil dan batu, yang dapat menghancurkan apa saja, seperti yang menimpa kaum 'Ad atau kaum Luth (hujan batu). Ancaman ini ditutup dengan kalimat yang sangat tegas: "fa sata'lamuna kaifa nadzir" (maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana peringatan-Ku). Artinya, jika kalian tidak percaya pada peringatan berupa kata-kata (wahyu), maka kalian akan merasakannya dalam bentuk azab yang nyata, dan saat itu kalian akan tahu betapa benar dan seriusnya peringatan-Ku selama ini.

وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ (١٨)

18. wa laqad każżabal-lażīna min qablihim fa kaifa kāna nakīr(i).

18. Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku!

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 18:

Untuk menguatkan ancaman sebelumnya, Allah memberikan bukti historis. Penolakan terhadap risalah bukanlah hal baru. "Wa laqad kadzdzaballadzina min qablihim" (Dan sungguh, orang-orang sebelum mereka telah mendustakan). Umat-umat terdahulu seperti kaum Nuh, 'Ad, Tsamud, dan Fir'aun juga melakukan hal yang sama. Lalu, apa hasilnya? Allah bertanya, "fa kaifa kana nakir?" (Maka bagaimana akibat kemurkaan-Ku?). Kata "nakir" berarti penolakan atau pengingkaran-Ku terhadap perbuatan mereka, yang diwujudkan dalam bentuk azab yang membinasakan. Sejarah kehancuran umat-umat terdahulu adalah bukti nyata bahwa ancaman Allah bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah kepastian bagi mereka yang menentang.

اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍۢ بَصِيْرٌ (١٩)

19. awalam yarau ilaṭ-ṭairi fauqahum ṣāffātiw wa yaqbiḍn(a), mā yumsikuhunna illar-raḥmān(u), innahū bikulli syai'im baṣīr(un).

19. Dan tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 19:

Setelah serangkaian ancaman, Allah kembali mengajak manusia untuk bertafakur pada tanda-tanda kelembutan dan rahmat-Nya. Perhatikanlah burung-burung di atas. Mereka terbang dengan gerakan "shaffat" (membentangkan sayap) dan "yaqbidhna" (mengatupkannya). Fenomena yang terlihat sederhana ini sesungguhnya adalah keajaiban aerodinamika yang luar biasa. Siapa yang menahan mereka di angkasa melawan gravitasi? Jawabannya tegas: "ma yumsikuhunna illa ar-rahman" (Tidak ada yang menahan mereka kecuali Ar-Rahman). Pemilihan nama Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) di sini sangat indah. Ini menunjukkan bahwa hukum fisika yang memungkinkan burung terbang adalah manifestasi dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Penutup ayat, "innahu bikulli syai'in bashir" (Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu), menegaskan bahwa Allah mengawasi dan mengatur setiap detail kecil di alam semesta, termasuk kepakan sayap seekor burung.

اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِۗ اِنِ الْكٰفِرُوْنَ اِلَّا فِيْ غُرُوْرٍ (٢٠)

20. am man hāżal-lażī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-raḥmān(i), inil-kāfirūna illā fī gurūr(in).

20. Atau siapakah yang akan menjadi bala tentara bagimu yang dapat menolongmu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu.

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 20:

Ayat ini kembali menantang orang-orang kafir. Setelah Allah menunjukkan kekuasaan-Nya untuk mengazab dan rahmat-Nya dalam ciptaan, Dia bertanya: "Amman hadzalladzi huwa jundun lakum" (Siapakah yang menjadi tentara bagimu) yang bisa menolongmu dari azab Allah jika Dia berkehendak? Apakah itu berhala, pemimpin, kekayaan, atau kekuatan militer? Semua itu tidak akan berdaya di hadapan kekuatan Allah. Pertanyaan ini menelanjangi kesyirikan dan ketergantungan kepada selain Allah. Kesimpulannya, "inil kafiruna illa fi ghurur" (Orang-orang kafir itu hanyalah dalam tipu daya). Mereka tertipu oleh angan-angan kosong, oleh bisikan setan, dan oleh kekuatan fana duniawi, yang mereka sangka bisa melindungi mereka dari kekuasaan Allah yang mutlak.

اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ اِنْ اَمْسَكَ رِزْقَهٗ ۚ بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَّنُفُوْرٍ (٢١)

21. am man hāżal-lażī yarzuqukum in amsaka rizqah(ū), bal lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr(in).

21. Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan, mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri (dari kebenaran).

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 21:

Tantangan berlanjut, kali ini mengenai rezeki. Setelah bertanya tentang perlindungan, Allah bertanya tentang penopang hidup: "Amman hadzalladzi yarzuqukum in amsaka rizqah?" (Siapakah yang bisa memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya?). Jika Allah menahan hujan, mengeringkan mata air, atau membuat tanah tandus, siapa yang bisa memberi makan dan minum? Pertanyaan ini menohok kesadaran manusia akan ketergantungan totalnya kepada Allah. Namun, alih-alih sadar, respons orang kafir adalah sebaliknya. "Bal lajju fi 'utuwwin wa nufur" (Bahkan mereka terus-menerus dalam kesombongan dan penolakan). "Utuww" adalah kesombongan dan melampaui batas, sementara "nufur" adalah lari dan menjauh dari kebenaran. Mereka semakin keras kepala dalam kesesatan mereka.

اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (٢٢)

22. afamay yamsyī mukibban ‘alā wajhihī ahdā ammay yamsyī sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm(in).

22. Maka, apakah orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 22:

Ayat ini memberikan perumpamaan (matsal) yang sangat indah dan jelas untuk membedakan antara orang kafir dan orang mukmin. Orang kafir diibaratkan seperti orang yang berjalan "mukibban 'ala wajhihi" (tersungkur di atas wajahnya). Ia berjalan tanpa arah, dalam kegelapan, tidak bisa melihat jalan di depannya, tersandung, dan terhina. Ini adalah gambaran sempurna bagi orang yang hidup tanpa petunjuk wahyu, dikendalikan oleh hawa nafsu. Sebaliknya, orang mukmin diibaratkan seperti orang yang berjalan "sawiyyan 'ala shirathin mustaqim" (berjalan tegap di atas jalan yang lurus). Ia berjalan dengan tegap, penuh percaya diri, dengan pandangan lurus ke depan, di atas jalan yang jelas dan terang. Ini adalah gambaran bagi orang yang hidup di atas petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah. Pertanyaannya, "ahda?" (siapakah yang lebih terpimpin?), adalah pertanyaan yang jawabannya sudah sangat jelas.

قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ (٢٣)

23. qul huwal-lażī ansya'akum wa ja‘ala lakumus-sam‘a wal-abṣāra wal-af'idah, qalīlam mā tasykurūn(a).

23. Katakanlah, "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 23:

Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan manusia akan asal-usul dan nikmat dasar mereka. "Qul huwa alladzi ansya-akum" (Katakanlah: Dialah yang menciptakan kalian). Kemudian, Allah merinci tiga nikmat utama yang menjadi pintu ilmu: as-sam'a (pendengaran), al-abshar (penglihatan), dan al-af'idah (jamak dari fu'ad, yaitu hati/akal untuk memahami). Dengan pendengaran kita menerima informasi (termasuk wahyu), dengan penglihatan kita mengamati tanda-tanda kebesaran-Nya, dan dengan hati kita memproses dan memahaminya. Tiga instrumen ini seharusnya menuntun manusia kepada keimanan dan rasa syukur. Namun, realitasnya, "qalilan ma tasykurun" (sangat sedikit dari kalian yang bersyukur). Manusia seringkali lupa dan lalai dalam menggunakan nikmat-nikmat ini untuk tujuan penciptaannya.

قُلْ هُوَ الَّذِيْ ذَرَاَكُمْ فِى الْاَرْضِ وَاِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ (٢٤)

24. qul huwal-lażī żara'akum fil-arḍi wa ilaihi tuḥsyarūn(a).

24. Katakanlah, "Dialah yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 24:

Perintah kedua kepada Nabi SAW. Setelah mengingatkan tentang penciptaan individu, kini Allah mengingatkan tentang penciptaan manusia secara kolektif. "Dzara-akum fil ardh" berarti Dia menyebarkan dan mengembangbiakkan kalian di muka bumi. Dari sepasang manusia, kini populasi bumi mencapai miliaran. Kemampuan reproduksi dan penyebaran ini adalah bukti kekuasaan-Nya. Seperti ayat-ayat sebelumnya, nikmat dunia ini selalu diiringi dengan pengingat akhirat. Penyebaran di dunia akan berakhir dengan pengumpulan di akhirat: "wa ilaihi tuhsyarun" (dan hanya kepada-Nya kalian akan dikumpulkan). Sebanyak dan sejauh apapun manusia tersebar, tidak ada satu pun yang akan luput dari pengumpulan di Padang Mahsyar untuk dihisab.

وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ (٢٥)

25. wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).

25. Dan mereka berkata, "Kapankah (datangnya) ancaman itu jika kamu orang yang benar?"

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 25:

Ini adalah respons khas orang-orang kafir ketika dihadapkan dengan peringatan tentang hari kiamat. Mereka bertanya dengan nada mengejek dan menantang, "Mata hadzal wa'd?" (Kapan janji/ancaman ini akan terjadi?). Pertanyaan ini bukan untuk mencari tahu, melainkan untuk menunjukkan ketidakpercayaan mereka. Mereka berpikir bahwa karena kiamat tidak segera datang, berarti ancaman itu tidak nyata. Frasa "in kuntum shadiqin" (jika kalian orang-orang yang benar) adalah bentuk pelecehan terhadap para nabi dan orang-orang beriman, seolah-olah mereka adalah para pembohong.

قُلْ اِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللّٰهِ ۖوَاِنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ (٢٦)

26. qul innamal-‘ilmu ‘indallāh(i), wa innamā ana nażīrum mubīn(un).

26. Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) itu hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 26:

Allah mengajarkan jawaban yang paling tepat dan beradab atas pertanyaan yang mengejek tadi. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengatakan, "Innama al-'ilmu 'indallah" (Sesungguhnya pengetahuan tentang itu hanyalah di sisi Allah). Waktu pasti terjadinya kiamat adalah ilmu gaib yang hanya dimiliki Allah. Bahkan nabi atau malaikat terdekat pun tidak mengetahuinya. Ini mengajarkan bahwa tugas seorang rasul bukanlah menjawab semua pertanyaan tentang hal gaib, melainkan menyampaikan risalah. Oleh karena itu, Nabi menegaskan tugasnya: "wa innama ana nadzirun mubin" (dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata/jelas). Tugasnya adalah menyampaikan peringatan dengan sejelas-jelasnya, bukan menentukan tanggal kejadiannya.

فَلَمَّا رَاَوْهُ زُلْفَةً سِيْۤـَٔتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَقِيْلَ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَدَّعُوْنَ (٢٧)

27. falammā ra'auhu zulfatan sī'at wujūhul-lażīna kafarū wa qīla hāżal-lażī kuntum bihī tadda‘ūn(a).

27. Maka ketika mereka melihat azab (yang dijanjikan) itu sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), "Inilah (azab) yang dahulunya kamu minta."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 27:

Ayat ini melompat ke masa depan, ketika apa yang mereka dustakan itu benar-benar terjadi. "Falamma ra-auhu zulfatan" (Ketika mereka melihatnya dari dekat). Azab yang tadinya mereka anggap jauh, kini berada tepat di depan mata. Apa reaksi mereka? "Si-at wujuhul ladzina kafaru" (Menjadi muram/buruk/hitam wajah-wajah orang kafir). Wajah mereka dipenuhi ketakutan, penyesalan, dan kehinaan. Kemudian, sebagai puncak dari penghinaan, dikatakan kepada mereka oleh para malaikat, "hadzalladzi kuntum bihi tadda'un" (Inilah yang dulu selalu kalian minta/tantang). Ucapan yang dulu mereka lontarkan dengan sombong, kini kembali kepada mereka sebagai celaan yang menyakitkan.

قُلْ اَرَءَيْتُمْ اِنْ اَهْلَكَنِيَ اللّٰهُ وَمَنْ مَّعِيَ اَوْ رَحِمَنَاۙ فَمَنْ يُّجِيْرُ الْكٰفِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ (٢٨)

28. qul ara'aitum in ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā, famay yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm(in).

28. Katakanlah (Muhammad), "Terangkanlah kepadaku, jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama aku atau memberi rahmat kepada kami, lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?"

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 28:

Orang-orang kafir Mekkah seringkali berharap Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya celaka atau mati, mengira dengan begitu ajaran Islam akan sirna. Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab angan-angan mereka. Katakanlah, "Apa urusannya dengan kalian, entah Allah mematikan kami atau merahmati kami (memberi kemenangan dan umur panjang)?" Apapun yang terjadi pada kami, itu adalah urusan kami dengan Allah. Fokuslah pada diri kalian sendiri: "fa man yujirul kafirina min 'adzabin alim?" (Lalu siapa yang bisa menyelamatkan orang-orang kafir dari azab yang pedih?). Kematian atau kehidupan Nabi tidak akan mengubah nasib kalian jika kalian tetap dalam kekafiran. Kalian tetap akan menghadapi azab yang pedih itu sendirian.

قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ (٢٩)

29. qul huwar-raḥmān(u), āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā, fasata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn(in).

29. Katakanlah, "Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata."

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 29:

Ini adalah deklarasi iman dan tawakal yang mantap dari kaum mukminin. "Qul Huwa ar-Rahman" (Katakanlah: Dialah Ar-Rahman). Pemilihan nama Ar-Rahman menunjukkan bahwa dasar hubungan kaum mukmin dengan Allah adalah keyakinan akan kasih sayang-Nya yang luas. Keyakinan ini melahirkan dua sikap fundamental: "amanna bihi" (kami beriman kepada-Nya), yaitu membenarkan dan meyakini semua yang datang dari-Nya, dan "wa 'alaihi tawakkalna" (dan hanya kepada-Nya kami berserah diri), yaitu menyandarkan segala urusan hanya kepada Allah setelah berusaha. Kalimat ini kemudian ditutup dengan sebuah tantangan balik terhadap tuduhan sesat dari kaum kafir: "fa sata'lamuna man huwa fi dhalalin mubin" (Kelak kalian akan tahu siapa yang sebenarnya berada dalam kesesatan yang nyata). Di akhirat nanti, akan terbukti siapa yang berada di jalan lurus dan siapa yang tersesat.

قُلْ اَرَءَيْتُمْ اِنْ اَصْبَحَ مَاۤؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَّأْتِيْكُمْ بِمَاۤءٍ مَّعِيْنٍ ࣖ (٣٠)

30. qul ara'aitum in aṣbaḥa mā'ukum gauran famay ya'tīkum bimā'im ma‘īn(in).

30. Katakanlah (Muhammad), "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?"

Tadabbur dan Penjelasan Ayat 30:

Surat Al-Mulk ditutup dengan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar dan vital bagi kehidupan, terutama bagi masyarakat padang pasir. "Terangkanlah kepadaku, jika air kalian menjadi 'ghauran'...". Kata "ghauran" berarti meresap sangat dalam ke perut bumi sehingga tidak bisa dijangkau lagi. Ini adalah skenario kekeringan total. Pertanyaannya kemudian: "...fa man ya'tikum bima-in ma'in?" (...maka siapakah yang akan mendatangkan untukmu air yang 'ma'in'?). "Ma'in" adalah air yang bersih, segar, dan mengalir di permukaan sehingga mudah diakses. Jawabannya, tentu saja, tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ayat penutup ini merangkum seluruh pesan surah: manusia sepenuhnya bergantung pada kekuasaan dan rahmat Allah. Mengingkari-Nya berarti mengingkari sumber kehidupan itu sendiri.

🏠 Kembali ke Homepage