Menggali Samudera Makna dalam Bacaan Sesudah Ruku'
Shalat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan, dari takbir hingga salam, bukanlah sekadar rutinitas fisik, melainkan rangkaian zikir dan doa yang sarat akan makna. Di antara gerakan-gerakan tersebut, terdapat satu momen transisi yang seringkali terlewatkan keindahannya: bangkit dari ruku' atau yang dikenal sebagai I'tidal. Momen ini diisi dengan sebuah bacaan yang singkat namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Memahami bacaan sesudah ruku' bukan hanya tentang menghafal lafaznya, tetapi tentang meresapi esensi pujian, pengakuan, dan penghambaan yang terkandung di dalamnya.
Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam lautan hikmah di balik bacaan-bacaan i'tidal. Kita akan mengupas tuntas bacaan pokok, variasi-variasi yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, serta makna filosofis yang dapat mengubah cara kita memandang gerakan sederhana ini, menjadikannya salah satu puncak kekhusyukan dalam shalat.
Memahami Hakikat I'tidal: Bukan Sekadar Jeda
Sebelum kita membahas bacaannya, penting untuk memahami posisi I'tidal itu sendiri. I'tidal adalah gerakan kembali berdiri tegak setelah melakukan ruku', dengan posisi tubuh lurus dan tenang. Dalam mazhab Syafi'i dan mayoritas ulama, I'tidal termasuk dalam rukun shalat. Artinya, jika i'tidal ditinggalkan atau dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa tuma'ninah (tenang sejenak hingga seluruh persendian kembali ke posisinya), maka shalatnya dianggap tidak sah.
Hal ini didasarkan pada hadits terkenal tentang "orang yang shalatnya buruk" (al-musi'u shalatahu). Rasulullah ﷺ mengajarinya tata cara shalat yang benar, dan salah satu perintah beliau adalah, "Kemudian bangkitlah (dari ruku') hingga engkau berdiri tegak lurus." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah ini menegaskan bahwa I'tidal adalah sebuah posisi yang harus dilakukan dengan sempurna, bukan sekadar jeda singkat untuk turun bersujud.
Secara spiritual, I'tidal adalah momen afirmasi. Setelah kita membungkuk dalam ruku', merendahkan diri serendah-rendahnya sambil mengagungkan Allah (Subhana Rabbiyal 'Azhim), kita kemudian bangkit. Gerakan bangkit ini diiringi dengan sebuah proklamasi agung yang diucapkan oleh lisan, yang menjadi kunci pembuka dari semua bacaan i'tidal.
Bacaan Pokok Saat Bangkit dari Ruku'
Bacaan yang diucapkan saat proses bangkit dari posisi ruku' menuju berdiri tegak adalah sebuah kalimat yang penuh makna. Bacaan ini diucapkan oleh imam atau orang yang shalat sendirian (munfarid).
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Sami'allahu liman hamidah.
"Allah Maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya."
Kalimat ini bukanlah doa permohonan, melainkan sebuah pernyataan iman yang kokoh. Mari kita bedah setiap katanya:
- Sami'a (سَمِعَ): Kata ini berarti "mendengar". Namun, dalam konteks asmaul husna Allah (As-Sami'), "mendengar" di sini bukan sekadar pendengaran fisik. Ini adalah pendengaran yang mengandung makna ijabah (mengabulkan), penerimaan, dan pemberian pahala. Ketika kita mengucapkan "Sami'allah", kita sedang meyakini bahwa Allah tidak hanya mendengar suara pujian kita, tetapi Dia menerima pujian itu, meridha'inya, dan akan membalasnya dengan ganjaran yang berlipat ganda. Ini adalah sebuah keyakinan yang menenangkan hati, bahwa setiap pujian tulus tidak akan pernah sia-sia.
- Allahu (اللهُ): Nama Agung bagi Sang Pencipta, yang mencakup seluruh sifat kesempurnaan-Nya.
- Liman Hamidah (لِمَنْ حَمِدَهُ): Frasa ini berarti "bagi siapa saja yang memuji-Nya". Kata "liman" (bagi siapa) bersifat umum, mencakup setiap hamba, di mana pun dan kapan pun, yang tulus memanjatkan pujian kepada-Nya. Ini adalah janji universal dari Allah. Siapapun Anda, apapun kondisi Anda, selama Anda memuji-Nya, Dia pasti akan mendengarnya dengan pendengaran yang penuh rahmat dan penerimaan.
Jadi, kalimat "Sami'allahu liman hamidah" adalah sebuah kabar gembira. Ia adalah deklarasi bahwa pintu langit terbuka lebar untuk menerima pujian kita. Saat imam mengucapkannya dengan lantang, ia seolah-olah mengumumkan kepada seluruh makmum, "Wahai jama'ah, pujilah Tuhan kalian, karena Dia sekarang sedang mendengar dan siap menerima pujian kalian!"
Jawaban Pujian: Bacaan Saat Telah Berdiri Tegak
Setelah mendengar seruan "Sami'allahu liman hamidah", baik makmum maupun orang yang shalat sendirian (setelah membaca kalimat tersebut) menyambutnya dengan sebuah jawaban pujian. Inilah bacaan inti yang diucapkan saat tubuh telah dalam posisi i'tidal yang sempurna.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Rabbana wa lakal-hamd.
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji."
Kalimat ini adalah respon langsung dari seorang hamba. Jika "Sami'allahu liman hamidah" adalah berita dari sisi Allah, maka "Rabbana wa lakal-hamd" adalah sambutan dari sisi hamba. Mari kita telaah maknanya:
- Rabbana (رَبَّنَا): Panggilan yang sangat intim, berarti "Wahai Tuhan kami". Kata "Rabb" mencakup makna Pencipta, Pemilik, Pengatur, dan Pendidik. Penggunaan kata ganti "na" (kami) dalam shalat berjamaah menumbuhkan ikatan persaudaraan yang kuat. Kita semua, sebagai satu barisan, memanggil Tuhan yang sama.
- Wa (وَ): Huruf "wa" yang berarti "dan" di sini memiliki fungsi penyambung, seolah-olah kita berkata, "Ya Allah, Engkau telah mendengar pujian, dan sebagai respon, inilah pujian kami untuk-Mu."
- Lakal-Hamd (لَكَ الْحَمْدُ): Frasa ini sangat kuat. Penggunaan "Laka" (hanya bagi-Mu) di awal kalimat menunjukkan pengkhususan (ikhtishash). Artinya, segala bentuk pujian yang sempurna, absolut, dan sejati hanya dan hanya pantas ditujukan kepada Allah. Pujian kita kepada makhluk bersifat sementara dan terbatas, namun pujian kepada Allah bersifat mutlak dan tak terbatas. Al-Hamd (dengan alif lam) menunjukkan bahwa pujian yang dimaksud adalah seluruh jenis pujian yang ada.
Terdapat variasi lain dari bacaan ini, seperti "Rabbana lakal-hamd" (tanpa "wa") atau "Allahumma Rabbana lakal-hamd". Semuanya shahih dari Rasulullah ﷺ dan memiliki makna yang serupa, yaitu pengakuan total bahwa segala puji hanya milik Allah semata.
Variasi Bacaan Tambahan: Memperluas Samudera Pujian
Rasulullah ﷺ, dalam berbagai riwayat, mengajarkan beberapa bacaan tambahan setelah mengucapkan "Rabbana wa lakal-hamd". Bacaan-bacaan ini bukanlah kewajiban, melainkan sunnah yang sangat dianjurkan untuk diamalkan. Mengucapkannya akan menambah kekhusyukan, memperpanjang momen dialog dengan Allah, dan mendatangkan pahala yang agung. Berikut adalah beberapa variasi yang paling terkenal:
1. Pujian yang Melimpah, Baik, dan Penuh Keberkahan
Ini adalah salah satu tambahan yang paling masyhur dan memiliki kisah yang luar biasa di baliknya. Dari Rifa'ah bin Rafi', ia berkata: "Suatu hari kami shalat di belakang Nabi ﷺ. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku', beliau mengucapkan: 'Sami'allahu liman hamidah'. Lalu seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Rabbana wa lakal-hamd, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih.
"Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."
Setelah selesai shalat, Rasulullah ﷺ bertanya, 'Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?' Orang itu menjawab, 'Saya, wahai Rasulullah.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang pertama kali akan mencatatnya.'” (HR. Bukhari)
Subhanallah! Sebuah kalimat pujian sederhana yang membuat para malaikat berlomba-lomba untuk mencatatnya. Mari kita resapi maknanya:
- Hamdan (حَمْدًا): Sebagai penegasan dari "Al-Hamd" sebelumnya.
- Katsiran (كَثِيرًا): Pujian yang banyak, tak terhitung, dan tak terbatas, sebanyak bilangan ciptaan-Nya dan seluas ilmu-Nya.
- Thayyiban (طَيِّبًا): Pujian yang baik, murni, tulus, bersih dari riya' (pamer) dan unsur-unsur kesyirikan. Pujian yang pantas untuk Dzat Yang Maha Baik.
- Mubarakan fiih (مُبَارَكًا فِيهِ): Pujian yang diberkahi. Artinya, pujian ini tidak hanya diterima, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang terus-menerus dan kebaikan yang berlipat ganda bagi orang yang mengucapkannya.
2. Pujian Sepenuh Langit dan Bumi
Variasi ini membawa kita pada dimensi pujian yang tak terbayangkan luasnya. Kita mengakui kelemahan kita untuk memuji Allah sebagaimana mestinya, maka kita meminjam seluruh alam semesta sebagai wadah pujian kita kepada-Nya.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Rabbana wa lakal-hamd, mil'as-samawati wa mil'al-ardhi, wa mil'a ma syi'ta min syai'in ba'du.
"Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, pujian sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu setelah itu."
Ini adalah ungkapan hiperbola yang dibenarkan dalam konteks pengagungan kepada Allah. Kita seolah-olah berkata, "Ya Rabb, jika pujianku ini bisa diwujudkan menjadi materi, maka aku ingin pujian itu memenuhi seluruh langit, memenuhi seluruh bumi, bahkan memenuhi segala ruang tak terbatas lain yang Engkau ciptakan dan hanya Engkau yang mengetahuinya." Ini adalah puncak pengakuan akan keagungan Allah yang tak terhingga.
- Mil'as-samawati wa mil'al-ardhi (مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ): Pujian yang volumenya memenuhi tujuh lapis langit dan bumi. Ini adalah cara kita mengekspresikan pujian yang maksimal dengan menggunakan perumpamaan makhluk-Nya yang paling besar dalam pandangan kita.
- Wa mil'a ma syi'ta min syai'in ba'du (وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ): Dan setelah itu, imajinasi kita berhenti. Kita tidak tahu apa lagi yang lebih besar dari langit dan bumi. Maka, kita serahkan kepada kehendak Allah. "Dan sepenuh apa pun yang Engkau kehendaki setelah itu." Kalimat ini adalah pengakuan atas keterbatasan ilmu kita dan keluasan ciptaan Allah yang tak terhingga, termasuk 'Arsy, Kursi, dan alam gaib lainnya.
3. Pujian Tertinggi dan Pengakuan Mutlak
Ini adalah versi yang lebih panjang, menggabungkan poin sebelumnya dengan tambahan sanjungan dan pengakuan tauhid yang mendalam. Doa ini sering dibaca oleh Rasulullah ﷺ, terutama dalam shalat malam.
...أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
...Ahlats-tsana'i wal-majd, ahaqqu ma qalal-'abdu, wa kulluna laka 'abdun. Allahumma la mani'a lima a'thaita, wa la mu'thiya lima mana'ta, wa la yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu.
"...Wahai Dzat yang paling berhak atas sanjungan dan kemuliaan. Inilah ucapan yang paling pantas diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan. Dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kedudukan seseorang untuk menyelamatkannya dari (siksa)-Mu."
Setelah memuji sepenuh langit dan bumi, kita melanjutkan dengan untaian kalimat tauhid yang luar biasa ini:
- Ahlats-tsana'i wal-majd (أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ): Sebuah panggilan mesra, "Wahai Engkau yang memiliki dan paling berhak atas segala Tsana' (sanjungan, reputasi baik) dan Majd (kemuliaan, keagungan)." Kita menegaskan bahwa hanya Allah lah sumber dan pemilik sejati dari segala sanjungan dan kemuliaan.
- Ahaqqu ma qalal-'abdu, wa kulluna laka 'abdun (أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ): "Inilah ucapan yang paling benar dan paling pantas diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu." Ini adalah bentuk kerendahan hati. Kita mengakui bahwa pujian-pujian yang kita panjatkan ini adalah hal yang paling layak kita ucapkan, karena status kita semua, tanpa terkecuali, adalah hamba ('abd) bagi Allah.
- Allahumma la mani'a lima a'thaita, wa la mu'thiya lima mana'ta (اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ): Puncak deklarasi tauhid rububiyah. "Ya Allah, tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi apa yang telah Engkau tetapkan untuk diberikan, dan tidak ada seorang pun yang mampu memberi apa yang Engkau tahan." Ini menanamkan keyakinan yang mendalam akan takdir dan kekuasaan mutlak Allah. Rezeki, kesehatan, ilmu, dan segala nikmat hanya datang dari-Nya, dan jika Dia menahannya, tidak ada kekuatan di alam semesta yang bisa memberikannya. Ini membebaskan hati dari ketergantungan kepada makhluk.
- Wa la yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu (وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ): "Dan tidaklah bermanfaat kekayaan/kedudukan (al-jadd) seseorang di hadapan-Mu." Kalimat penutup yang menghancurkan segala bentuk kesombongan. Di dunia, kekayaan, pangkat, dan jabatan mungkin bisa menolong seseorang. Namun di hadapan Allah, semua itu tidak ada artinya. Satu-satunya yang bermanfaat adalah iman dan amal shalih. Ini adalah pengingat kuat tentang hakikat kehidupan dan akhirat.
Merenungi Kembali Momen I'tidal
Setelah memahami kedalaman makna dari setiap variasi bacaan sesudah ruku', mari kita bayangkan kembali momen I'tidal dalam shalat kita. Ia bukan lagi sekadar gerakan bangkit yang kaku. Ia adalah momen yang kaya:
- Momen Syukur: Kita bangkit sambil mengumumkan bahwa Allah mendengar pujian, lalu kita menyambutnya dengan pujian yang tulus.
- Momen Pengagungan: Kita meminjam seluruh alam semesta—langit, bumi, dan segala isinya—untuk mengungkapkan betapa agungnya Tuhan kita.
- Momen Tauhid: Kita mengikrarkan kembali bahwa segala kuasa memberi dan menahan hanya ada di tangan Allah, membebaskan diri dari belenggu dunia.
- Momen Kerendahan Hati: Kita mengakui bahwa kita semua adalah hamba, dan segala atribut duniawi seperti kekayaan dan jabatan tidak ada nilainya di hadapan-Nya.
Dengan menghayati makna-makna ini, I'tidal akan berubah menjadi salah satu dialog yang paling intim dan kuat dalam shalat kita. Janganlah tergesa-gesa melaluinya. Berdirilah tegak dengan tuma'ninah, biarkan tulang punggung lurus sempurna, dan biarkan lisan serta hati bersinergi melantunkan pujian-pujian agung ini. Pilihlah salah satu variasi yang diajarkan Rasulullah ﷺ, hafalkan, dan resapi maknanya. Niscaya, shalat kita akan terasa lebih hidup, lebih bermakna, dan lebih mampu menjadi penyejuk jiwa serta pencegah dari perbuatan keji dan mungkar.