Shalat adalah tiang agama, sebuah jalinan komunikasi suci antara seorang hamba dengan Penciptanya. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya memiliki makna dan hikmah yang mendalam. Salah satu rukun shalat yang paling esensial adalah rukuk. Rukuk bukan sekadar membungkukkan badan, melainkan sebuah manifestasi ketundukan, pengagungan, dan perendahan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inti dari ketundukan ini disempurnakan melalui bacaan-bacaan yang diucapkan saat melakukannya.
Memahami bacaan rukuk, menghayati setiap katanya, dan mengetahui variasi bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan meningkatkan kualitas shalat kita. Ini akan mengubah gerakan mekanis menjadi sebuah dialog spiritual yang penuh kekhusyukan. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek terkait bacaan rukuk, mulai dari yang paling umum hingga yang jarang diketahui, lengkap dengan penjelasan makna dan landasan dalilnya.
Rukuk: Pilar Shalat dan Simbol Ketundukan
Sebelum menyelami bacaan-bacaan rukuk, penting untuk memahami kedudukan rukuk itu sendiri. Dalam fikih Islam, rukuk adalah salah satu dari rukun (pilar) shalat. Artinya, shalat seseorang tidak akan sah jika ia meninggalkan rukuk dengan sengaja. Ini menunjukkan betapa fundamentalnya gerakan ini. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung." (QS. Al-Hajj: 77)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan kita untuk rukuk dan sujud, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari ibadah. Secara fisik, rukuk adalah posisi membungkuk dengan punggung lurus, di mana kedua telapak tangan memegang lutut. Posisi ini adalah simbol kehambaan yang paling murni. Saat kita berdiri tegak, kita memanifestasikan kemandirian dan kekuatan. Namun, saat rukuk, kita menundukkan punggung yang tegak itu, mengakui bahwa segala kekuatan dan keagungan hanya milik Allah semata.
Bacaan Rukuk Paling Utama dan Umum
Bacaan rukuk yang paling dikenal dan diamalkan oleh mayoritas umat Islam adalah bacaan berikut. Ini didasarkan pada hadits-hadits shahih dan dianggap sebagai bacaan standar dalam rukuk.
1. Subhaana Rabbiyal 'Adziim
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
Subhaana Rabbiyal 'Adziim
"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."
Bacaan ini dibaca minimal tiga kali. Anjuran ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian rukuk, maka hendaklah ia mengucapkan tiga kali: 'Subhaana Rabbiyal 'Adziim'. Jika ia melakukan itu, maka rukuknya telah sempurna. Dan itu adalah jumlah minimal." (Hadits Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi).
Tadabbur Makna (Perenungan Mendalam)
Meskipun kalimatnya pendek, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah luas. Mari kita bedah setiap katanya:
- Subhaana (سُبْحَانَ): Kata ini berasal dari akar kata 'sabaha' yang berarti menjauh. Dalam konteks teologis, 'Subhanallah' atau 'Subhaana Rabbi' berarti "Aku menyucikan Allah dari segala kekurangan". Ini adalah sebuah deklarasi tanzih, yaitu membersihkan citra Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Kita menyatakan bahwa Allah jauh dari sifat-sifat makhluk, seperti lelah, tidur, butuh, memiliki anak, atau memiliki sekutu. Saat kita mengucapkan "Subhaana", kita sedang menegaskan kesempurnaan mutlak milik Allah.
- Rabbi (رَبِّيَ): Kata 'Rabb' sering diterjemahkan sebagai 'Tuhan', namun maknanya jauh lebih kaya. Rabb adalah Dia yang menciptakan (Al-Khaliq), memelihara (Ar-Razzaq), mendidik (Al-Murabbi), mengatur (Al-Mudabbir), dan memiliki (Al-Malik). Dengan mengucapkan 'Rabbiyal' (Tuhanku), kita mengakui bahwa Dzat yang kita sembah bukan hanya Pencipta yang jauh, melainkan Pemelihara yang senantiasa mengurus setiap detail kehidupan kita. Ada hubungan kepemilikan dan ketergantungan yang intim dalam kata ini.
- Al-'Adziim (الْعَظِيمِ): Artinya adalah 'Yang Maha Agung'. Keagungan Allah tidak bisa dibandingkan dengan keagungan makhluk. Raja terhebat di dunia pun tetaplah makhluk yang fana dan penuh kekurangan. Keagungan Allah bersifat mutlak, meliputi segala aspek: Dzat-Nya Agung, Sifat-Nya Agung, Nama-Nama-Nya Agung, dan Perbuatan-Nya pun Agung. Ketika kita membungkuk dalam rukuk, kita menyelaraskan gerakan fisik (menunduk) dengan pengakuan lisan bahwa hanya Allah-lah yang pantas menyandang gelar Al-'Adziim.
2. Variasi dengan Tambahan "wa bihamdih"
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
Subhaana Rabbiyal 'Adziimi wa bihamdih
"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan dengan memuji-Nya."
Variasi ini juga memiliki landasan yang kuat. Tambahan "wa bihamdih" menggabungkan dua pilar zikir: tasbih (menyucikan) dan tahmid (memuji).
Tadabbur Makna Tambahan
- Wa bihamdih (وَبِحَمْدِهِ): 'Wa' adalah kata sambung 'dan'. 'Bi' berarti 'dengan'. 'Hamdih' berarti 'pujian-Nya'. Jadi, frasa ini berarti "dan dengan memuji-Nya". Ini mengajarkan kita bahwa penyucian kita kepada Allah (tasbih) harus selalu diiringi dengan pujian (tahmid). Kita tidak hanya membersihkan Allah dari segala kekurangan, tetapi kita juga secara aktif menetapkan bagi-Nya segala sifat kesempurnaan dan pujian. Seolah-olah kita berkata, "Ya Allah, Engkau suci dari segala cela, dan pada saat yang sama, segala puji yang sempurna hanya milik-Mu."
Variasi Bacaan Rukuk Lainnya dari Hadits Shahih
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang membaca doa-doa yang berbeda dalam rukuknya. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam ibadah dan memberikan kita pilihan bacaan untuk memperkaya shalat kita. Mengamalkan bacaan-bacaan ini secara bergantian dapat membantu meningkatkan kekhusyukan dan mencegah rutinitas yang monoton.
3. Bacaan Tasbih dan Taqdis
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Subbuuhun Qudduusun, Rabbul malaa-ikati war ruuh
"Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan Ruh."
Bacaan ini diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membacanya dalam rukuk dan sujudnya. (HR. Muslim).
Tadabbur Makna
- Subbuuhun (سُبُّوحٌ): Ini adalah bentuk mubalaghah (superlatif) dari 'Subhan'. Jika 'Subhan' berarti Maha Suci, 'Subbuh' berarti Dzat yang kesucian-Nya berada di puncak tertinggi, yang senantiasa dan selamanya disucikan oleh seluruh makhluk-Nya. Ini adalah penegasan kesucian yang lebih intens.
- Qudduusun (قُدُّوسٌ): Kata ini juga bermakna Maha Suci, namun dengan penekanan yang sedikit berbeda. 'Quddus' berasal dari kata 'quds' yang berarti suci dan diberkahi. Maknanya adalah Dzat yang bersih dari segala aib dan kekurangan, serta menjadi sumber segala keberkahan dan kebaikan. Penggabungan 'Subbuh' dan 'Quddus' adalah bentuk pengagungan yang luar biasa.
- Rabbul malaa-ikati (رَبُّ الْمَلَائِكَةِ): "Tuhan para malaikat". Mengapa malaikat disebut secara spesifik? Karena malaikat adalah makhluk yang paling taat, tidak pernah bermaksiat, dan senantiasa bertasbih kepada Allah. Dengan menyebut "Tuhan para malaikat", kita seolah-olah bergabung dengan barisan makhluk-makhluk suci tersebut dalam mengagungkan Allah. Kita mengakui bahwa Dzat yang kita sembah adalah Dzat yang sama yang disembah oleh jutaan malaikat di langit.
- War ruuh (وَالرُّوحِ): "dan Ruh". Para ulama memiliki beberapa penafsiran mengenai 'Ar-Ruh' di sini. Pendapat yang paling kuat adalah bahwa 'Ar-Ruh' adalah Malaikat Jibril 'alaihissalam. Jibril disebutkan secara terpisah setelah penyebutan para malaikat secara umum untuk menunjukkan kedudukannya yang istimewa dan mulia di sisi Allah. Sebagaimana Allah menyebut masjid secara khusus setelah menyebut bumi, untuk menunjukkan kemuliaannya.
4. Doa Penyerahan Diri yang Lengkap
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِي، وَبَصَرِي، وَمُخِّي، وَعَظْمِي، وَعَصَبِي
Allahumma laka raka'tu, wa bika aamantu, wa laka aslamtu, khosya'a laka sam'ii, wa basharii, wa mukhhii, wa 'azhmii, wa 'ashabii.
"Ya Allah, hanya kepada-Mu aku rukuk, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku berserah diri. Tunduk kepada-Mu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, dan urat sarafku."
Doa yang sangat indah ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, yang menggambarkan shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim).
Tadabbur Makna
Doa ini adalah deklarasi totalitas penghambaan, di mana seorang hamba menyerahkan seluruh eksistensinya kepada Allah.
- Laka raka'tu, bika aamantu, laka aslamtu: Penggunaan kata "Laka" (hanya untuk-Mu) dan "Bika" (hanya dengan/kepada-Mu) di awal kalimat menunjukkan pengkhususan (ikhtishas). Artinya, rukuk ini, iman ini, dan penyerahan diri ini murni hanya untuk Allah, bukan untuk yang lain. Ini adalah penegasan tauhid yang paling murni.
- Khasya'a laka...: Kalimat ini adalah puncak dari doa ini. Kata 'Khasya'a' berarti tunduk, patuh, dan merendah dengan penuh rasa takut dan pengagungan. Yang menakjubkan adalah kita tidak hanya menyatakan bahwa diri kita tunduk, tetapi kita merincinya satu per satu.
- Sam'ii (pendengaranku): Pendengaran ini tunduk kepada-Mu, Ya Allah. Ia hanya ingin mendengar apa yang Engkau ridhai dan berpaling dari apa yang Engkau murkai.
- Basharii (penglihatanku): Penglihatan ini tunduk kepada-Mu, tidak akan digunakan untuk melihat hal-hal yang haram.
- Mukhhii (otakku): Akal dan pikiranku tunduk kepada-Mu, tidak akan merancang tipu daya atau memikirkan kemaksiatan.
- 'Azhmii (tulangku): Kerangka tubuhku, penyangga fisikku, tunduk dan patuh pada perintah-Mu.
- 'Ashabii (urat sarafku): Seluruh sistem gerak dan perasa dalam tubuhku tunduk di bawah kendali dan kekuasaan-Mu.
5. Doa Pengagungan yang Agung
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Subhaana dzil jabaruut, wal malakuut, wal kibriyaa-i, wal 'azhamah.
"Maha Suci (Allah) Pemilik Keperkasaan, Kerajaan, Kesombongan (yang Hakiki), dan Keagungan."
Bacaan ini diriwayatkan dari Auf bin Malik Al-Asyja'i radhiyallahu 'anhu ketika ia shalat malam bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, shahih).
Tadabbur Makna
Doa ini adalah zikir yang mengakui empat sifat keagungan Allah yang absolut.
- Dzi (ذِي): Artinya "Pemilik". Ini menegaskan bahwa sifat-sifat agung berikut ini adalah milik Allah secara hakiki dan mutlak.
- Al-Jabaruut (الْجَبَرُوتِ): Berasal dari nama Allah "Al-Jabbar". Artinya adalah Keperkasaan yang Mutlak, Kekuatan yang menundukkan segalanya. Tidak ada satu pun di alam semesta yang bisa menentang kehendak-Nya. Saat kita rukuk, kita mengakui keperkasaan-Nya dan kelemahan kita.
- Al-Malakuut (الْمَلَكُوتِ): Berasal dari nama Allah "Al-Malik". Ini adalah Kerajaan yang Sempurna dan Absolut. Jika kerajaan manusia terbatas oleh ruang dan waktu, maka Kerajaan Allah meliputi langit dan bumi, dunia dan akhirat, yang tampak dan yang gaib.
- Al-Kibriyaa' (الْكِبْرِيَاءِ): Kesombongan atau Keagungan. Sifat sombong tercela bagi makhluk, tetapi menjadi sifat kesempurnaan bagi Allah. Karena hanya Dia-lah yang benar-benar Maha Besar dan Maha Tinggi. Kesombongan Allah adalah hak-Nya yang mutlak. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman, "Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa menyaingi-Ku dalam salah satunya, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka." (HR. Muslim). Saat rukuk, kita melepaskan segala kesombongan diri dan mengakuinya hanya milik Allah.
- Al-'Azhamah (الْعَظَمَةِ): Keagungan. Ini menegaskan kembali sifat yang ada pada bacaan rukuk pertama ('Adziim), namun dalam bentuk kata benda yang menunjukkan bahwa Keagungan itu sendiri adalah esensi dari Dzat-Nya.
Memahami Fikih Seputar Bacaan Rukuk
Setelah mengetahui ragam bacaan dan maknanya, penting juga untuk memahami beberapa hukum fikih yang berkaitan dengannya agar ibadah kita sesuai dengan tuntunan syariat.
Hukum Membaca Tasbih Rukuk
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca tasbih saat rukuk.
- Pendapat Pertama (Jumhur/Mayoritas Ulama): Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanafi berpendapat bahwa membaca tasbih rukuk hukumnya adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Menurut mereka, yang menjadi rukun adalah gerakan rukuk itu sendiri beserta tuma'ninah (tenang sejenak). Jika seseorang rukuk dengan tuma'ninah namun tidak membaca apa-apa, shalatnya tetap sah namun ia kehilangan pahala sunnah yang besar.
- Pendapat Kedua (Mazhab Hambali): Ulama dari mazhab Hambali dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa membaca tasbih rukuk ("Subhaana Rabbiyal 'Adziim") minimal satu kali hukumnya adalah wajib. Jika ditinggalkan dengan sengaja, maka shalatnya batal. Jika ditinggalkan karena lupa, maka ia wajib melakukan sujud sahwi. Pendapat ini lebih berhati-hati dan didasarkan pada perintah Nabi dalam hadits.
Sikap yang paling bijak adalah tidak pernah meninggalkannya, mengingat kuatnya dalil yang memerintahkannya dan untuk keluar dari perselisihan pendapat para ulama.
Pentingnya Tuma'ninah dalam Rukuk
Tuma'ninah adalah berhenti sejenak dalam sebuah gerakan shalat hingga seluruh persendian tulang kembali tenang pada posisinya. Tuma'ninah dalam rukuk adalah rukun shalat menurut pendapat yang paling kuat. Shalat tidak sah tanpanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menegur keras seseorang yang shalatnya tergesa-gesa (dikenal sebagai hadits al-musii'u shalatuhu atau "orang yang buruk shalatnya"). Beliau bersabda kepadanya:
"...kemudian rukuklah hingga engkau benar-benar tuma'ninah dalam rukukmu, lalu bangkitlah (i'tidal) hingga engkau berdiri lurus..." (HR. Bukhari dan Muslim)
Rukuk yang terburu-buru, seperti gerakan mematuk ayam, dapat membatalkan shalat. Tuma'ninah memberikan kita waktu untuk menghayati bacaan yang kita ucapkan. Bagaimana mungkin kita bisa merenungkan keagungan Allah jika punggung kita belum sempat lurus dan sudah bangkit kembali?
Larangan Membaca Al-Qur'an Saat Rukuk
Terdapat larangan yang jelas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an saat rukuk dan sujud. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur'an saat rukuk atau sujud. Adapun pada saat rukuk, maka agungkanlah Rabb padanya. Dan adapun pada saat sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doamu akan dikabulkan." (HR. Muslim)
Hikmahnya adalah Al-Qur'an adalah kalamullah yang paling mulia, sehingga tempatnya adalah saat berdiri yang merupakan posisi paling mulia bagi orang yang shalat. Sementara rukuk dan sujud adalah posisi merendah dan tunduk, yang lebih pantas diisi dengan pengagungan (tasbih) dan doa.
Penutup: Menyempurnakan Rukuk Kita
Rukuk adalah sebuah kesempatan emas dalam shalat. Ia bukan sekadar jeda antara berdiri dan sujud. Ia adalah momen intim untuk mengagungkan Allah, mengakui kelemahan diri, dan menanggalkan segala bentuk kesombongan. Dengan memahami ragam bacaan rukuk dan merenungkan maknanya yang mendalam, kita dapat mengubah shalat kita dari sekadar kewajiban yang ditunaikan menjadi sebuah perjalanan spiritual yang dinantikan.
Mulailah dengan menghafal satu atau dua variasi bacaan rukuk selain yang biasa kita baca. Gunakan secara bergantian dalam shalat-shalat sunnah terlebih dahulu hingga kita terbiasa. Perhatikan postur rukuk kita, pastikan punggung lurus dan tangan mencengkeram lutut. Yang terpenting, hadirkan hati kita saat lisan mengucapkan tasbih. Biarkan getaran makna "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung" meresap ke dalam jiwa, sehingga rukuk kita bukan hanya rukuknya jasad, tetapi juga rukuknya ruh. Semoga Allah menerima shalat kita dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa tunduk dan patuh.