Adzan, seruan agung yang menggema lima kali sehari, adalah manifestasi keimanan yang paling publik dan terdengar. Ia bukan sekadar pengumuman waktu salat, melainkan sebuah proklamasi tauhid yang membelah keheningan duniawi, membawa manusia kembali kepada fitrahnya. Respon seorang Mukmin terhadap panggilan ini memiliki tata cara yang telah digariskan oleh sunnah Rasulullah ﷺ, sebuah rangkaian bacaan yang sarat makna dan menjanjikan keutamaan luar biasa. Memahami dan mengamalkan bacaan mendengar adzan adalah gerbang menuju kekhusyukan dan pahala yang berlimpah.
Hukum asal dalam menyambut setiap kalimat adzan adalah menjawabnya dengan lafadz yang serupa, kecuali pada dua frasa tertentu yang memiliki pengecualian yang spesifik dan penuh hikmah. Konsistensi dalam menjawab adzan merupakan praktik sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Sebagian besar kalimat adzan dijawab dengan pengulangan yang sama oleh pendengar. Setiap kalimat yang diucapkan Muadzin harus diiringi oleh jawaban serupa dari yang mendengar, sebuah dialog spiritual antara pemanggil dan yang dipanggil.
Penting: Ketika Muadzin mulai mengumandangkan adzan, dianjurkan bagi kita untuk menghentikan segala aktivitas duniawi yang sedang dikerjakan—bahkan bila sedang membaca Al-Qur'an sekalipun—untuk fokus menjawab seruan tersebut. Ini adalah tanda penghormatan tertinggi terhadap panggilan Allah.
Muadzin mengucapkan (dua kali di awal, lalu dua kali lagi):
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Jawaban Pendengar (Mengulangi):
Keutamaan: Pengakuan mutlak atas keagungan dan kekuasaan Allah yang tiada tara. Ini adalah pondasi tauhid, yang wajib ditegakkan dalam hati dan lisan saat mendengar adzan.
Muadzin mengucapkan (dua kali):
Asyhadu an laa ilaaha illallah.
Jawaban Pendengar (Mengulangi):
Ini merupakan ikrar ulang janji primordial, pengakuan tiada Tuhan selain Allah. Proses pengulangan ini mengokohkan kembali fondasi keimanan pendengar.
Muadzin mengucapkan (dua kali):
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.
Jawaban Pendengar (Mengulangi, namun terdapat sunnah tambahan yang sangat dianjurkan):
Setelah mengulangi lafadz ini, terdapat anjuran untuk membaca (meskipun sebagian ulama menyatakan pengulangan saja sudah cukup):
Radhitu billahi Rabba, wa bi Muhammadin Rasula, wa bil Islami dina.
Artinya: "Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku." Diriwayatkan bahwa siapa yang mengucapkan ini akan diampuni dosa-dosanya.
Terdapat dua frasa dalam adzan yang tidak dijawab dengan pengulangan, melainkan dengan bacaan yang menunjukkan penyerahan dan penerimaan bantuan dari Allah.
Muadzin mengucapkan (dua kali):
Hayya 'alas Shalah.
Jawaban Pendengar:
Laa hawla wa laa quwwata illaa billah.
Artinya: "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." Jawaban ini mengakui bahwa kemampuan untuk melaksanakan salat yang merupakan kewajiban agung, hanya bisa terwujud berkat rahmat dan kekuatan dari-Nya. Ini adalah ungkapan tawakkal dan pengakuan kelemahan diri.
Muadzin mengucapkan (dua kali):
Hayya 'alal Falah.
Jawaban Pendengar (Sama dengan sebelumnya):
Makna: Mengakui bahwa kemenangan (falah) sejati, baik di dunia maupun di akhirat, yang diwujudkan melalui salat, adalah semata-mata anugerah dari Allah, bukan karena usaha kita semata.
Muadzin mengucapkan (sekali):
Jawaban Pendengar (Mengulangi):
Muadzin mengucapkan (sekali):
Jawaban Pendengar (Mengulangi):
Setelah seluruh lafadz adzan selesai diucapkan dan dijawab oleh pendengar, sunnah yang paling agung dan dijanjikan syafaat adalah membaca doa yang dikenal sebagai Doa Wasilah (Doa Permintaan Tempat Tinggi untuk Nabi Muhammad ﷺ).
Sebelum membaca doa utama, disunnahkan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Shalawat yang paling minimal adalah:
Allahumma shalli ‘ala Muhammad.
Namun, dianjurkan menggunakan shalawat yang lebih lengkap, seperti Shalawat Ibrahimiyyah.
Inilah doa yang dijanjikan oleh Rasulullah ﷺ bahwa siapa pun yang membacanya, maka ia berhak mendapatkan syafaat beliau kelak di Hari Kiamat. Doa ini adalah puncaknya amal setelah mendengarkan dan menjawab adzan.
Allahumma Rabba haadzihid da’watit taammah, wash shalaatil qaa-imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’atshu maqaamam mahmuudanil ladzii wa’adtah, [innaka laa tukhliful mii’aad].
Artinya:
"Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini (Adzan) dan shalat yang akan didirikan ini. Berikanlah kepada Nabi Muhammad Al-Wasilah (derajat yang tertinggi) dan Al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau pada tempat yang terpuji (Maqam Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya. [Sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji]."
Keagungan bacaan mendengar adzan terletak pada kedalaman makna yang terkandung dalam setiap frasa yang dijawab. Praktik ini bukan sekadar ritual lisan, melainkan pengaktifan kembali kesadaran spiritual dan tauhid dalam hati.
Mengapa kita diwajibkan mengulangi lafadz yang sama? Pengulangan ini berfungsi sebagai penegasan (ta'kid). Ketika Muadzin berseru, ia menyampaikan pesan Tuhan. Ketika kita mengulanginya, kita mengakui dan menginternalisasi pesan tersebut secara pribadi. Ini adalah proses penerimaan dan kesaksian yang aktif.
Pemilihan kalimat Hauqalah sebagai jawaban atas seruan "Hayya 'alas Shalah" dan "Hayya 'alal Falah" adalah inti dari pengajaran tawakkal (penyerahan diri).
Seruan "Hayya 'ala..." bersifat perintah, memanggil kita untuk bertindak. Namun, manusia seringkali merasa berat atau malas untuk menunaikan perintah tersebut. Dengan menjawab "Laa Hawla wa Laa Quwwata Illaa Billah," kita mengakui bahwa:
Ini mengajarkan kerendahan hati: kita dipanggil, dan kita menerima panggilan itu, tetapi kita menyandarkan kemampuan kita sepenuhnya kepada Sang Pemanggil. Kalimat ini adalah salah satu perbendaharaan surga yang dijanjikan oleh Rasulullah ﷺ.
Doa setelah adzan secara khusus berpusat pada permohonan agar Nabi Muhammad ﷺ diberikan dua derajat tertinggi: Al-Wasilah dan Al-Fadhilah, serta dibangkitkan di Maqam Mahmud.
Dengan membaca doa ini, kita bukan hanya menghormati Nabi, tetapi juga berinvestasi pada masa depan spiritual kita sendiri, karena janji syafaat adalah imbalan langsung dari praktik ini.
Sunnah menjawab adzan bukan sekadar anjuran, melainkan jalan pintas menuju pengampunan dosa, penerimaan doa, dan janji syafaat Rasulullah ﷺ. Terdapat banyak hadits shahih yang menegaskan keutamaan ini.
Keutamaan yang paling masyhur: Barangsiapa yang membaca Doa Wasilah secara sempurna setelah adzan, maka syafaat Rasulullah ﷺ telah dijamin baginya kelak di hari yang paling sulit.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, bahwa siapa yang, saat mendengar syahadatain dalam adzan, mengucapkan dengan penuh keyakinan:
Maka dosa-dosanya akan diampuni. Ini menunjukkan bahwa momen adzan adalah momen sakral di mana pintu taubat dibuka lebar bagi pendengarnya.
Waktu antara adzan dan iqamah adalah salah satu waktu terbaik untuk memanjatkan doa. Rasulullah ﷺ bersabda, "Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak." Oleh karena itu, bagi pendengar yang telah menyempurnakan jawaban dan doa setelah adzan, ia berada dalam posisi optimal untuk memanjatkan hajat pribadinya.
Keutamaan ini menekankan pentingnya tidak tergesa-gesa setelah adzan selesai. Sebaiknya luangkan beberapa menit untuk bermunajat kepada Allah, sebab waktu ini adalah waktu emas yang seringkali dilewatkan banyak orang.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa niat dan usaha untuk menjawab adzan dengan sepenuh hati dianggap sebagai permulaan ibadah yang setara dengan menunaikan salat. Respon kita terhadap panggilan ini adalah cerminan kesiapan mental dan spiritual kita untuk berhadapan dengan Allah.
Meskipun anjuran menjawab adzan berlaku secara umum, terdapat beberapa pertanyaan fiqih mengenai kondisi tertentu yang memerlukan penyesuaian dalam praktik sunnah tersebut.
Secara umum, ulama sepakat bahwa jika seseorang sedang melaksanakan salat, ia tidak diperbolehkan menjawab adzan, karena salat memerlukan kekhusyukan dan tidak boleh diselingi ucapan di luar salat.
Namun, bagaimana jika seseorang sedang membaca Al-Qur'an, berdzikir, atau belajar? Pendapat terkuat (jumhur ulama) menganjurkan untuk menghentikan sementara ibadah sunnah tersebut untuk menjawab adzan, karena menjawab adzan adalah ibadah yang waktunya terbatas (muwaqqat) dan merupakan hak muadzin yang harus dihormati. Setelah adzan selesai, ia dapat melanjutkan ibadahnya.
Adzan Subuh memiliki tambahan lafadz yang disebut *Taswib* setelah "Hayya 'alal Falah":
Ash-shalatu khayrun minan nawm (Salat itu lebih baik daripada tidur).
Jawaban Pendengar:
Shadaqta wa bararta (Engkau benar dan engkau telah berbuat kebajikan).
Atau, sebagian ulama juga membolehkan menjawab dengan kalimat yang sama seperti Taswib itu sendiri, yaitu dengan mengulanginya. Namun, jawaban Shadaqta wa bararta adalah yang paling sesuai dengan semangat pengakuan kebenaran seruan tersebut.
Hukum menjawab adzan adalah sunnah bagi semua yang mendengarnya, termasuk wanita yang sedang haid atau orang yang sedang dalam keadaan junub. Meskipun mereka tidak boleh salat atau menyentuh mushaf, lisan mereka tetap suci dan dapat digunakan untuk menjawab adzan dan membaca doa Wasilah.
Di kota-kota besar, seringkali adzan berkumandang dari berbagai masjid secara bersamaan. Para ulama fiqih menyarankan:
Inti dari sunnah ini adalah interaksi aktif terhadap panggilan, bukan kuantitas jawaban.
Adzan bukan sekadar pemberi jadwal; ia adalah puisi tauhid yang dihidupkan melalui suara manusia. Memahami lafadz adzan sebagai sebuah sistem filsafat akan meningkatkan kualitas jawaban dan doa kita.
Lafadz adzan mengikuti urutan logis yang sempurna, dari pondasi hingga tujuan akhir:
Ketika kita menjawab adzan, kita sedang meneguhkan kembali setiap tahap dari urutan logis ini, memperbaharui peta jalan spiritual kita.
Muadzin memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mereka adalah orang-orang yang paling lehernya panjang (paling banyak pahala) di Hari Kiamat. Ini karena mereka menjadi perantara panggilan Allah kepada umat manusia.
Tugas pendengar adalah menghormati panggilan tersebut, bukan menghormati Muadzin sebagai individu, melainkan menghormati pesan ilahi yang diembannya. Kehormatan ini diwujudkan melalui penghentian kegiatan dan pengamalan bacaan sunnah.
Setelah menjawab syahadat Rasul, kita disunnahkan mengucapkan "Radhitu billahi Rabba..." Doa ini dianggap salah satu doa terbaik karena mencakup tiga pilar utama keislaman: Allah sebagai Tuhan (Pencipta), Muhammad sebagai Rasul (Pembimbing), dan Islam sebagai Din (Sistem Hidup).
Pengakuan ridha (kepuasan) ini adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Orang yang ridha dengan Allah sebagai Tuhan, tidak akan merasa kurang dalam rezeki dan tidak akan pernah merasa putus asa dalam musibah.
Selain Doa Wasilah, terdapat anjuran lain yang menyertai momen adzan dan iqamah yang seharusnya dimaksimalkan oleh seorang Mukmin untuk memperkaya simpanan amalnya.
Meskipun tidak ada hadits yang secara eksplisit mewajibkan, sebagian ulama menganjurkan (sebagai dzikir tambahan) untuk memperbanyak bacaan Surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) tiga kali setelah adzan, sebagai penutup sempurna dari proklamasi Tauhid yang telah diserukan melalui adzan.
Karena waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab, sangat dianjurkan untuk memperbanyak istighfar (memohon ampunan), seperti:
Astaghfirullahal 'Azhiim.
Ini adalah persiapan jiwa yang paling baik sebelum memasuki salat, membersihkan diri dari noda-noda dosa yang mungkin dilakukan antara salat sebelumnya dan salat yang akan datang.
Semua bacaan dan dzikir yang dilakukan saat mendengar adzan dan setelahnya sejatinya berfungsi sebagai "pemanasan spiritual" (ihram ruhi) sebelum memasuki kondisi ihram salat. Jika persiapan ini dilakukan dengan khusyuk dan penuh penghayatan, kualitas salat yang didirikan setelahnya akan jauh lebih baik.
Oleh karena itu, ketika Muadzin menyerukan "Hayya 'alas Shalah," dan kita menjawab dengan "Laa Hawla wa Laa Quwwata Illaa Billah," kita harus mengaitkannya dengan niat untuk menjadikan salat yang akan datang sebagai salat terbaik yang pernah kita lakukan.
Untuk mencapai tingkat penghayatan tertinggi saat mengamalkan bacaan mendengar adzan, kita perlu merenungkan dampak spiritual dan psikologis dari seruan agung ini.
Adzan dapat dilihat sebagai pengingat lima kali sehari bahwa kita terikat oleh waktu dan bahwa kematian (yang memutus semua urusan duniawi) bisa datang kapan saja. Setiap seruan salat adalah kesempatan terakhir untuk beribadah dalam rentang waktu yang diberikan. Dengan menjawabnya, kita menunjukkan kesiapan kita menghadapi akhirat.
Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa ketika adzan dikumandangkan, setan lari terbirit-birit karena tidak tahan mendengar seruan tauhid. Ketika kita mengulangi lafadz adzan sebagai pendengar, kita turut serta dalam mengusir gangguan setan dari hati dan lingkungan kita. Pengulangan syahadatain secara lisan adalah benteng pertahanan spiritual.
Setan kembali saat adzan selesai untuk membisikkan keraguan (was-was) kepada orang yang salat. Oleh karena itu, penting sekali menutup adzan dengan doa Wasilah, sehingga benteng pertahanan tersebut tetap kokoh saat salat dimulai.
Adzan adalah seruan pemersatu. Setiap orang, dari berbagai latar belakang, mendengar seruan yang sama dan dituntut untuk memberikan respons yang sama. Praktik menjawab adzan secara kolektif, meskipun dilakukan secara individu di rumah atau di tempat kerja, menanamkan rasa persatuan umat (ukhuwah) yang sedang menuju satu kiblat dan satu tujuan.
Seruan "Hayya 'alas Shalah" adalah ajakan universal, bukan eksklusif. Ini menegaskan bahwa salat adalah kebutuhan komunal, dan menjawabnya adalah ikatan batin terhadap jamaah Muslim di seluruh dunia.
Konsistensi dalam mengamalkan bacaan mendengar adzan lima kali sehari adalah indikator kedisiplinan spiritual yang tinggi. Kebanyakan orang mungkin mengingatnya di waktu Maghrib atau Subuh, tetapi seorang Mukmin sejati akan berusaha menjawab adzan di setiap waktu, termasuk Dzhuhur dan Ashar yang seringkali jatuh di tengah kesibukan kerja.
Kesempurnaan sunnah ini terletak pada detail: mematikan musik, menghentikan pembicaraan, dan dengan penuh fokus melayani panggilan Muadzin hingga selesai, diikuti dengan doa Wasilah yang agung.
Mengamalkan sunnah bacaan mendengar adzan bukanlah sekadar kewajiban ritual, melainkan sebuah peluang istimewa yang diberikan oleh Allah setiap hari, lima kali sehari, untuk membersihkan hati dan memperbaharui janji. Setiap lafadz adzan adalah permata, dan setiap jawaban yang kita berikan adalah wadah untuk mengumpulkan pahala yang dijanjikan.
Marilah kita tingkatkan kualitas respons kita terhadap panggilan suci ini. Jangan biarkan adzan berlalu tanpa dijawab secara sempurna. Mulai dari Takbir pembuka, jawaban Hauqalah yang penuh tawakkal, hingga penutup dengan Doa Wasilah yang menjanjikan syafaat, setiap detik adalah investasi spiritual yang tak ternilai harganya. Dengan penghayatan yang mendalam, Adzan akan menjadi lebih dari sekadar panggilan; ia menjadi meditasi harian yang mengarahkan hidup kita sepenuhnya kepada keridhaan Allah.
Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa menjawab panggilan-Nya dengan penuh cinta dan ketaatan.