Mengupas Tuntas Bacaan I'tidal dalam Sholat
Memahami setiap lafal, menghayati setiap makna, untuk sholat yang lebih khusyuk dan sempurna.
Pengantar: Kedudukan I'tidal dalam Struktur Sholat
Sholat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan rangkaian makna yang mendalam dan saling terhubung. Di antara pilar-pilar sholat, terdapat satu gerakan transisi yang seringkali dilakukan dengan tergesa-gesa, padahal ia menyimpan keagungan dan pujian yang luar biasa. Gerakan itu adalah i'tidal.
I'tidal secara bahasa berarti 'tegak lurus' atau 'seimbang'. Dalam istilah fiqih, i'tidal adalah gerakan bangkit dari ruku' untuk kembali ke posisi berdiri tegak seperti semula sebelum melanjutkan ke gerakan sujud. Mayoritas ulama, termasuk dalam mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, menganggap i'tidal sebagai salah satu rukun (pilar) sholat. Artinya, jika i'tidal ditinggalkan dengan sengaja atau karena lupa dan tidak diulangi, maka sholat tersebut menjadi tidak sah. Ini menunjukkan betapa krusialnya posisi ini dalam kesempurnaan ibadah kita.
Namun, kesempurnaan i'tidal tidak hanya terletak pada gerakannya yang tegak dan lurus. Ia menjadi lebih bermakna dengan adanya tuma'ninah, yaitu ketenangan sejenak di mana seluruh anggota badan berada dalam posisi diam sebelum beralih ke gerakan selanjutnya. Dalam momen ketenangan inilah, lisan kita dibasahi dengan untaian zikir dan pujian yang agung. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan mendalam setiap bacaan yang disunnahkan untuk dilafalkan selama i'tidal, dari yang paling dasar hingga yang paling lengkap, beserta makna yang terkandung di dalamnya.
Bacaan Saat Bangkit dari Ruku' (Tasmi')
Perjalanan i'tidal dimulai saat kita mengangkat kepala dan punggung dari posisi ruku'. Pada momen transisi ini, bagi seorang imam atau orang yang sholat sendirian (munfarid), dianjurkan untuk mengucapkan lafal yang disebut Tasmi'. Bacaan ini adalah sebuah proklamasi pendengaran dan penerimaan dari Allah SWT.
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Sami'allahu liman hamidah.
"Allah Maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya."
Makna Mendalam di Balik "Sami'allahu liman hamidah"
Kalimat ini bukanlah sekadar pemberitahuan bahwa Allah mendengar. Kata 'Sami'a' (سَمِعَ) dalam konteks ini mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar pendengaran fisik. Ia mencakup makna mendengarkan, memperhatikan, mengabulkan, dan meridhai. Ini adalah sebuah keyakinan yang kita ucapkan bahwa setiap pujian tulus yang meluncur dari bibir seorang hamba tidak akan pernah sia-sia. Allah tidak hanya mendengarnya, tetapi Dia juga menerimanya dan akan membalasnya dengan anugerah dan pahala.
Frasa 'liman hamidah' (لِمَنْ حَمِدَهُ) berarti "bagi siapa saja yang memuji-Nya". Ini menciptakan sebuah hubungan sebab-akibat yang indah. Siapa yang menjadi subjeknya? Siapapun. Tidak peduli status sosial, kekayaan, atau latar belakangnya. Selama seorang hamba memuji Allah (hamidah), maka Allah akan memberikan respons-Nya (Sami'a). Ini adalah janji ilahi yang kita ikrarkan dalam setiap rakaat sholat kita. Ucapan ini seolah-olah menjadi pembuka gerbang bagi rentetan pujian yang akan kita lantunkan selanjutnya saat tubuh telah berdiri tegak sempurna.
Bagi makmum (orang yang mengikuti imam), ketika imam mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah", makmum tidak ikut mengucapkannya. Sebaliknya, makmum langsung menyambutnya dengan bacaan tahmid yang akan kita bahas selanjutnya.
Bacaan Utama Saat Berdiri I'tidal (Tahmid)
Setelah tubuh tegak sempurna dan dalam keadaan tuma'ninah, tibalah saatnya melantunkan pujian inti dari i'tidal, yang dikenal sebagai Tahmid. Bacaan ini adalah respons langsung dari hamba atas "panggilan" yang diucapkan saat bangkit dari ruku'. Ada beberapa versi bacaan tahmid yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya shahih dan boleh diamalkan secara bergantian untuk meraih keutamaan sunnah.
Versi Pertama: Paling Ringkas dan Populer
Ini adalah versi yang paling singkat dan paling umum dihafal oleh kaum muslimin. Meskipun pendek, maknanya sangat padat dan mencakup segala bentuk pujian.
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
Rabbana lakal hamdu.
"Wahai Tuhan kami, hanya bagi-Mu lah segala puji."
Kata 'Rabbana' (رَبَّنَا) adalah panggilan mesra seorang hamba kepada Penciptanya, "Wahai Rabb kami". Kemudian frasa 'lakal hamdu' (لَكَ الْحَمْدُ) menggunakan struktur yang mendahulukan kata 'laka' (bagi-Mu), yang dalam kaidah bahasa Arab memberikan makna pengkhususan (ikhtishas). Artinya, segala puji yang sempurna, mutlak, dan sejati itu hanyalah milik Engkau, ya Allah. Pujian kepada selain-Mu hanyalah bersifat sementara dan nisbi, tetapi pujian kepada-Mu adalah hakiki dan abadi.
Versi Kedua: Dengan Tambahan "Wa" (و)
Versi ini identik dengan yang pertama, namun dengan penambahan huruf 'wa' yang berarti 'dan'.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Rabbana wa lakal hamdu.
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji."
Para ulama menjelaskan bahwa penambahan 'wa' ini berfungsi sebagai 'athaf' atau kata sambung. Seolah-olah kita menyambungkan pengakuan kita akan rububiyah (ketuhanan) Allah dengan pengakuan kita bahwa segala puji hanya milik-Nya. "Kami mengakui Engkau sebagai Rabb kami, dan kami mengakui bahwa segala puji hanya untuk-Mu." Kedua versi ini sama-sama shahih dan berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Versi Ketiga dan Keempat: Dengan Panggilan "Allahumma"
Dua versi berikutnya menambahkan lafal "Allahumma" di awal, yang merupakan bentuk panggilan agung kepada Allah.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
Allahumma Rabbana lakal hamdu.
"Ya Allah, Wahai Tuhan kami, hanya bagi-Mu lah segala puji."
Dan versi keempatnya adalah gabungan antara "Allahumma" dan "wa".
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Allahumma Rabbana wa lakal hamdu.
"Ya Allah, Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji."
Menambahkan 'Allahumma' (اللَّهُمَّ) di awal doa memberikan nuansa permohonan yang lebih kuat dan intim. Ini adalah cara memanggil nama Allah yang paling agung, seolah-olah kita sedang berhadapan langsung dan bermunajat kepada-Nya. Dengan mengucapkan "Allahumma Rabbana", kita menggabungkan dua panggilan mulia, mengakui-Nya sebagai Allah (satu-satunya yang berhak disembah) dan sebagai Rabb (satu-satunya yang memelihara dan mengatur alam semesta).
Bacaan I'tidal yang Lebih Panjang: Lautan Pujian yang Tak Terhingga
Selain empat versi dasar di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa-doa i'tidal yang lebih panjang. Doa-doa ini biasanya beliau baca dalam sholat malam (tahajud) atau sholat-sholat sunnah lainnya, namun juga boleh dibaca dalam sholat fardhu jika tidak memberatkan makmum. Membaca dan menghayati doa-doa ini akan membuka cakrawala kita tentang betapa luasnya pujian yang bisa kita persembahkan kepada Allah.
Doa Pertama: Pujian yang Memenuhi Langit dan Bumi
Ini adalah tambahan yang paling masyhur setelah bacaan tahmid dasar. Terdapat kisah luar biasa di balik doa ini, yang menunjukkan betapa Allah meridhai pujian tulus dari hamba-Nya.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ، مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Rabbana wa lakal hamdu, hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih, mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du.
"Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya, (pujian) yang memenuhi langit dan memenuhi bumi, dan memenuhi apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu."
Tadabbur (Perenungan) Makna:
- Hamdan katsiiran (حَمْدًا كَثِيْرًا): "Pujian yang banyak". Kita mengakui keterbatasan kita dalam memuji-Nya. Pujian kita takkan pernah sebanding dengan nikmat-Nya. Maka kita memohon agar pujian ini menjadi pujian yang tak terhitung jumlahnya, sebanyak bilangan ciptaan-Nya.
- Thayyiban (طَيِّبًا): "Yang baik". Maksudnya adalah pujian yang tulus, murni, bersih dari riya' (pamer), sum'ah (ingin didengar), dan segala niat buruk lainnya. Pujian yang lahir dari hati yang ikhlas.
- Mubaarakan fiih (مُبَارَكًا فِيْهِ): "Yang diberkahi di dalamnya". Kita memohon agar pujian ini bukan hanya diterima, tetapi juga dilimpahi keberkahan oleh Allah. Keberkahan yang buahnya akan terus mengalir, baik di dunia maupun di akhirat.
- Mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi (مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ): "Memenuhi langit dan memenuhi bumi". Ini adalah sebuah kiasan yang luar biasa untuk menggambarkan betapa agung dan luasnya pujian yang ingin kita sampaikan. Kita membayangkan pujian kita bukan lagi sekadar getaran suara di lisan, melainkan sebuah substansi agung yang volumenya sanggup memenuhi seluruh jagat raya yang kita ketahui.
- Wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du (وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ): "Dan memenuhi apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu". Kalimat ini adalah puncak dari pengakuan atas keterbatasan imajinasi kita. Setelah langit dan bumi, kita tidak tahu lagi apa yang lebih besar. Maka, kita serahkan kepada Allah. "Ya Allah, penuhilah pujian ini pada apa pun ciptaan-Mu yang agung, yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui." Ini mencakup 'Arsy, Kursi, dan segala alam gaib yang hanya Allah yang tahu.
Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, dikisahkan seorang sahabat sholat di belakang Nabi dan membaca doa ini. Setelah sholat, Rasulullah bertanya siapa yang membacanya. Sahabat itu mengaku. Maka Rasulullah bersabda, "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang pertama kali akan mencatatnya." Ini menunjukkan betapa dicintainya kalimat-kalimat pujian ini di sisi Allah.
Doa Kedua: Pengakuan Atas Keagungan dan Kekuasaan Mutlak Allah
Doa ini merupakan lanjutan dari doa sebelumnya, yang semakin memperdalam pengakuan kita akan sifat-sifat Allah yang Maha Agung dan Maha Kuasa.
...أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
...Ahlats-tsanaa-i wal-majdi, ahaqqu maa qaalal-'abdu, wa kullunaa laka 'abdun. Allahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu.
"...(Engkaulah) Yang paling berhak atas sanjungan dan kemuliaan. Itulah ucapan yang paling benar yang diucapkan seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kemuliaan bagi pemiliknya untuk (menyelamatkannya) dari (siksa)-Mu."
Tadabbur (Perenungan) Makna:
- Ahlats-tsanaa-i wal-majdi (أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ): "Yang paling berhak atas sanjungan dan kemuliaan". Ini adalah penegasan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang layak menerima sanjungan (tsana') dan memiliki kemuliaan (majd) yang sejati. Pujian kepada makhluk adalah fana, sedangkan sanjungan kepada Allah adalah kebenaran yang abadi.
- Ahaqqu maa qaalal-'abdu, wa kullunaa laka 'abdun (أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ): "Ucapan yang paling benar yang diucapkan seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu". Kalimat ini adalah sebuah deklarasi kerendahan diri. Kita mengakui bahwa puncak dari kebenaran yang bisa diucapkan oleh lisan seorang manusia adalah pengakuan bahwa ia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya. Kita menanggalkan semua atribut duniawi—jabatan, gelar, kekayaan—dan menyatakan, "Kami semua, tanpa kecuali, adalah hamba-Mu, ya Allah."
- Allahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta (اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ): "Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan". Ini adalah inti dari tauhid rububiyah. Sebuah keyakinan total bahwa segala rezeki, nikmat, dan karunia datangnya murni dari Allah. Jika Allah berkehendak memberi, seluruh makhluk di langit dan di bumi tidak akan bisa menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak menahan, seluruh makhluk pun tidak akan mampu memberikannya. Keyakinan ini membebaskan hati dari ketergantungan kepada makhluk dan menyandarkannya hanya kepada Al-Khaliq.
- Wa laa yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu (وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ): "Dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kemuliaan bagi pemiliknya dari (siksa)-Mu". Kata 'al-jadd' (الْجَدُّ) bisa berarti kekayaan, kedudukan, nasab, atau kekuasaan. Kalimat ini adalah pengingat keras bahwa semua kemegahan duniawi itu tidak akan ada artinya di hadapan Allah. Harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, atau garis keturunan yang terhormat tidak akan bisa menjadi tebusan atau pelindung dari ketetapan dan adzab Allah. Yang bermanfaat hanyalah iman dan amal shaleh.
Menghayati I'tidal: Momen Ketenangan dan Pengagungan
I'tidal bukanlah sekadar jeda antara ruku' dan sujud. Ia adalah sebuah rukun sholat yang berdiri sendiri, sebuah momen berharga untuk berkomunikasi dengan Allah melalui pujian. Kunci untuk menghayati i'tidal adalah tuma'ninah. Tanpa tuma'ninah, i'tidal akan terasa seperti gerakan ayam mematuk, cepat dan tanpa makna.
Saat kita bangkit dari ruku' seraya mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah", kita sedang menegaskan bahwa Allah mendengar kita. Lalu, saat kita berdiri tegak dan mengucapkan "Rabbana wa lakal hamd", kita sedang memberikan respons terbaik atas pendengaran-Nya. Ini adalah dialog. Allah mendengar, dan kita memuji. Siklus ini mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur. Setelah kita merendah dalam posisi ruku', kita diberi kesempatan untuk berdiri tegak, sebuah nikmat yang luar biasa. Maka, respons alaminya adalah memuji Sang Pemberi nikmat.
Membaca doa-doa i'tidal yang panjang membantu kita untuk berdiam lebih lama dalam posisi ini. Semakin lama kita berdiri dalam ketenangan, semakin besar peluang bagi hati untuk meresapi makna setiap kata. Kita tidak hanya memuji, tetapi kita merenungkan kebesaran-Nya yang memenuhi langit dan bumi, mengakui kekuasaan-Nya yang mutlak, dan menyadari kehambaan kita yang total di hadapan-Nya.
Kesalahan-Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari
Untuk menyempurnakan i'tidal kita, penting untuk mengetahui dan menghindari beberapa kesalahan yang sering terjadi:
- Terlalu Cepat (Tanpa Tuma'ninah): Ini adalah kesalahan yang paling umum. Bangkit dari ruku' dan langsung turun untuk sujud tanpa ada jeda ketenangan. Hal ini dapat membatalkan sholat karena tuma'ninah adalah bagian dari rukun i'tidal.
- Posisi Punggung Tidak Lurus Sempurna: Beberapa orang hanya mengangkat sedikit punggungnya dari posisi ruku', tidak sampai tegak sempurna. I'tidal yang benar adalah kembali ke posisi berdiri tegak seperti saat sebelum ruku'.
- Makmum Membaca Tasmi' (Sami'allahu liman hamidah): Sesuai petunjuk hadis, bacaan ini khusus untuk imam dan orang yang sholat sendiri. Makmum cukup menjawab dengan bacaan tahmid.
- Mengucapkan Bacaan di Luar Waktunya: Bacaan tasmi' diucapkan saat proses bangkit, dan bacaan tahmid serta doa lainnya diucapkan setelah tubuh dalam posisi tegak sempurna.
- Hanya Menggerakkan Lisan Tanpa Kehadiran Hati: Membaca doa i'tidal dengan cepat dan tanpa perenungan akan mengurangi kualitas spiritual sholat. Berusahalah untuk menghadirkan hati dan memahami apa yang sedang diucapkan.