Shalat adalah tiang agama, sebuah dialog sakral antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan untaian makna yang mendalam, sebuah perjalanan spiritual yang terstruktur. Di antara pilar-pilar agung shalat, terdapat satu momen jeda yang seringkali terlewatkan dalam kekhusyukan kita; momen singkat namun sarat dengan permohonan yang paling komprehensif. Momen itu adalah duduk di antara dua sujud.
Seringkali, karena terburu-buru, gerakan ini dilakukan secepat kilat, dan doanya diucapkan tanpa perenungan. Padahal, jika kita menyelami lebih dalam, kita akan menemukan bahwa pada posisi inilah terkumpul seluruh permintaan esensial seorang manusia untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Artikel ini akan mengajak kita untuk mengupas tuntas setiap aspek dari rukun shalat yang istimewa ini, mulai dari kedudukannya dalam fiqih, tata cara yang benar, hingga penyelaman makna setiap kata dalam doanya yang agung.
Kedudukan dan Urgensi Duduk di Antara Dua Sujud
Sebelum kita menyelami makna bacaannya, penting untuk memahami betapa fundamentalnya posisi ini dalam struktur shalat. Gerakan ini bukan sekadar jeda untuk beristirahat sejenak di antara dua sujud, melainkan sebuah pilar yang tanpanya shalat menjadi tidak sah.
Bagian dari Rukun Shalat
Dalam fiqih Islam, para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa duduk di antara dua sujud merupakan salah satu dari rukun fi'li (rukun berupa perbuatan) dalam shalat. Rukun adalah komponen inti yang jika sengaja ditinggalkan, maka shalatnya batal dan harus diulang. Jika terlupakan, maka wajib untuk kembali melakukannya atau menggantinya dengan sujud sahwi di akhir shalat, tergantung pada situasi dan kondisi saat ia teringat.
Dasar penetapan ini adalah hadits yang dikenal sebagai "hadits al-musi'u shalatah" (hadits tentang orang yang buruk shalatnya). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, seorang sahabat shalat dengan tergesa-gesa di hadapan Rasulullah ﷺ. Selesai shalat, Rasulullah ﷺ menyuruhnya untuk mengulanginya kembali seraya bersabda, "Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat." Hal ini terjadi hingga tiga kali. Akhirnya, orang tersebut meminta untuk diajarkan. Rasulullah ﷺ kemudian menjelaskan tata cara shalat yang benar satu per satu, di antaranya beliau bersabda:
"...kemudian sujudlah hingga engkau tuma'ninah dalam sujud. Lalu bangkitlah (dari sujud) hingga engkau duduk dengan tuma'ninah. Kemudian sujudlah hingga engkau tuma'ninah dalam sujud..."
Perintah eksplisit dari Nabi ﷺ untuk duduk hingga mencapai kondisi tenang menunjukkan statusnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari shalat. Ini menegaskan bahwa gerakan ini sama pentingnya dengan berdiri, rukuk, dan sujud itu sendiri.
Pentingnya Tuma'ninah
Kata kunci yang diulang-ulang oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits tersebut adalah tuma'ninah. Tuma'ninah secara bahasa berarti ketenangan, ketenteraman, dan keadaan diam setelah bergerak. Dalam konteks shalat, ini berarti setiap persendian tulang kembali ke posisinya semula sebelum berpindah ke gerakan selanjutnya. Saat duduk di antara dua sujud, tuma'ninah berarti duduk dengan tegak dan tenang, tidak terburu-buru untuk langsung sujud kembali.
Rasulullah ﷺ sangat keras memperingatkan orang yang "mencuri" dari shalatnya dengan tidak menyempurnakan rukun-rukunnya. Beliau menyebut orang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya sebagai "pencuri terburuk". Tuma'ninah dalam duduk di antara dua sujud adalah antitesis dari pencurian tersebut. Ia adalah momen di mana kita memberikan hak tubuh kita untuk tenang dan memberikan hak jiwa kita untuk memanjatkan doa yang tulus. Tanpa tuma'ninah, shalat akan kehilangan ruhnya dan hanya menjadi rangkaian senam tanpa makna.
Tata Cara Duduk yang Sesuai Sunnah
Untuk menyempurnakan rukun ini, kita perlu memperhatikan bagaimana Rasulullah ﷺ melakukannya. Ada dua cara duduk yang diriwayatkan dalam hadits, namun yang paling masyhur dan umum dipraktikkan adalah duduk iftirasy.
Duduk Iftirasy: Posisi Utama
Iftirasy secara bahasa berarti "menghamparkan" atau "menjadikan alas". Ini adalah posisi duduk yang dianjurkan pada saat duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, dan saat duduk istirahat (duduk sejenak setelah sujud kedua pada rakaat ganjil). Cara melakukannya adalah sebagai berikut:
- Bangkit dari sujud pertama sambil mengucapkan takbir (Allahu Akbar).
- Hamparkan telapak kaki kiri dan duduk di atasnya. Jadikan telapak kaki kiri tersebut sebagai alas bagi pantat.
- Tegakkan telapak kaki kanan, dengan jari-jemari kaki kanan ditekuk dan ujungnya menghadap ke arah kiblat. Ini mungkin memerlukan sedikit latihan untuk membiasakannya.
- Posisikan punggung dalam keadaan tegak lurus, tidak membungkuk dan tidak pula terlalu membusungkan dada. Rileks namun tetap tegap.
- Letakkan kedua telapak tangan di atas paha, dekat dengan lutut. Jari-jari bisa dalam keadaan lurus atau sedikit menggenggam lutut.
- Arahkan pandangan mata ke tempat sujud, menjaga kekhusyukan dan fokus.
Posisi ini dijelaskan dalam banyak hadits, salah satunya dari Abu Humaid As-Sa'idi yang memeragakan shalat Nabi ﷺ di hadapan para sahabat: "Kemudian beliau melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya, lalu beliau luruskan punggungnya hingga setiap tulang kembali ke tempatnya..." (HR. Tirmidzi). Posisi ini tidak hanya mengikuti sunnah, tetapi juga memiliki manfaat kesehatan, seperti membantu melancarkan peredaran darah dan menjaga postur tulang belakang.
Duduk Iq'a: Sebuah Alternatif
Selain duduk iftirasy, ada pula riwayat yang menyebutkan cara duduk lain yang disebut iq'a. Duduk iq'a yang sesuai sunnah adalah dengan menegakkan kedua telapak kaki, lalu duduk di atas kedua tumit. Ini berbeda dengan duduk iq'a yang dilarang, yaitu duduk seperti anjing (menempelkan pantat ke lantai sambil menegakkan kedua paha dan meletakkan tangan di lantai).
Duduk iq'a yang disunnahkan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa ia berkata, "Itu (duduk iq'a di atas kedua tumit) adalah sunnah Nabimu ﷺ." (HR. Muslim). Sebagian ulama berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang juga sah, atau terkadang dilakukan oleh Nabi ﷺ untuk menunjukkan kebolehannya. Namun, pendapat mayoritas ulama dan praktik yang paling umum adalah mengutamakan duduk iftirasy.
Ragam Bacaan Doa yang Shahih
Setelah tubuh kita berada dalam posisi yang benar dan tenang, saatnya lisan dan hati kita berpadu memanjatkan doa. Terdapat beberapa versi bacaan doa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Semuanya shahih dan boleh diamalkan. Mengamalkan versi yang berbeda-beda pada waktu yang berbeda dapat membantu menjaga kekhusyukan dan menghidupkan sunnah.
Versi Paling Populer dan Lengkap
Ini adalah doa yang paling sering diajarkan dan dihafal oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Doa ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi ﷺ biasa membaca di antara dua sujud:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي
Transliterasi: Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, warzuqnii, wahdinii, wa 'aafinii. Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, dan berilah aku kesehatan."
Dalam beberapa riwayat, urutannya sedikit berbeda atau ada tambahan kalimat, namun substansinya tetap sama. Doa ini sangat luar biasa karena merangkum tujuh permohonan fundamental yang mencakup seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat.
Versi Singkat: Pengulangan Permohonan Ampunan
Terdapat juga riwayat shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ terkadang membaca versi yang lebih singkat, terutama saat shalat malam. Dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia menceritakan shalat malamnya bersama Nabi ﷺ dan menyebutkan bahwa di antara dua sujud, beliau membaca:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
Transliterasi: Rabbighfirlii, Rabbighfirlii. Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku. Ya Tuhanku, ampunilah aku."
Versi ini menunjukkan betapa pentingnya permohonan ampun (istighfar). Mengulang-ulang permintaan ampun adalah inti dari penghambaan, sebuah pengakuan atas kelemahan diri dan keagungan ampunan Allah. Ini adalah pilihan yang sah dan sangat baik untuk diamalkan, terutama bagi mereka yang mungkin belum hafal versi yang panjang atau ketika ingin lebih fokus pada satu permohonan.
Menyelami Samudra Makna: Tafsir Setiap Kalimat Doa
Untuk benar-benar merasakan manisnya shalat, kita harus melampaui sekadar pengucapan lafaz. Kita harus menyelami makna dari setiap kata yang kita ucapkan. Mari kita bedah satu per satu tujuh permohonan agung dalam doa yang paling populer.
1. Rabbighfirlii (رَبِّ اغْفِرْ لِي): Pintu Segala Kebaikan
Doa ini dimulai dengan permintaan yang paling mendasar dan paling penting bagi seorang hamba: ampunan. Kata "Rabb" (Tuhan) adalah panggilan yang penuh kelembutan dan pengakuan. Ia bukan sekadar berarti "Tuhan", tetapi juga "Pemelihara", "Pendidik", "Pengatur", dan "Yang Menumbuhkan". Dengan memanggil "Rabb", kita mengakui bahwa Allah-lah yang telah menciptakan dan terus menerus memelihara kita, sehingga hanya kepada-Nya kita layak memohon.
Kata "Ighfir" berasal dari akar kata ghafara, yang makna aslinya adalah "menutupi". Seperti sebuah helm (mighfar) yang menutupi dan melindungi kepala dari benturan, maghfirah (ampunan) adalah permohonan agar Allah menutupi dosa-dosa kita, melindungi kita dari konsekuensi buruknya di dunia (kegelisahan, musibah) dan di akhirat (siksa neraka). Ini lebih dari sekadar "memaafkan". Ini adalah permohonan agar aib kita ditutupi di hadapan makhluk lain dan agar catatan amal kita dibersihkan.
Memulai doa dengan istighfar adalah sebuah adab yang agung. Kita seolah-olah berkata, "Ya Allah, sebelum aku meminta yang lain, bersihkanlah diriku terlebih dahulu. Aku datang sebagai hamba-Mu yang kotor dan penuh dosa, maka sucikanlah aku dengan ampunan-Mu agar aku layak menerima karunia-Mu yang lain." Ampunan adalah kunci pembuka pintu rahmat dan segala kebaikan lainnya.
2. Warhamnii (وَارْحَمْنِي): Mengharap Curahan Kasih Sayang-Nya
Setelah memohon ampunan, kita meminta "Rahmah" atau kasih sayang. Jika maghfirah adalah upaya preventif untuk melindungi dari keburukan, maka rahmah adalah permohonan proaktif untuk mendapatkan segala bentuk kebaikan. Kasih sayang Allah adalah sumber dari segala nikmat yang kita rasakan, mulai dari hembusan nafas, kesehatan, hingga nikmat iman dan Islam.
Para ulama menjelaskan bahwa kita masuk surga bukan semata-mata karena amal kita, tetapi karena rahmat Allah. Amal ibadah kita, sebanyak apapun, tidak akan pernah sebanding dengan nikmat surga. Amal adalah sebab, namun rahmat Allah-lah yang menjadi penentunya. Dengan meminta "warhamnii", kita memohon agar Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita di dunia, memberikan taufik untuk beramal shalih, dan puncaknya adalah memasukkan kita ke dalam surga-Nya di akhirat.
3. Wajburnii (وَاجْبُرْنِي): Permohonan untuk Jiwa dan Raga yang Rapuh
Ini adalah salah satu permintaan yang paling menyentuh dan mendalam. Kata "Ujburnii" berasal dari akar kata jabr, yang berarti "menambal", "memperbaiki", atau "memaksa". Dari akar kata yang sama, lahir nama Allah, Al-Jabbar, yang sering diartikan sebagai "Yang Maha Perkasa", tetapi juga memiliki makna "Yang Maha Memperbaiki keadaan hamba-Nya".
Ketika kita mengucapkan "wajburnii", kita sedang mengakui kerapuhan dan "keterpecahan" kita di hadapan Allah. Kita memohon:
- "Ya Allah, perbaikilah hatiku yang retak karena kesedihan."
- "Ya Allah, tamballah kekuranganku dalam beribadah."
- "Ya Allah, pulihkanlah kelemahanku dalam iman."
- "Ya Allah, cukupkanlah kebutuhanku yang kurang secara materi."
- "Ya Allah, sembuhkanlah sakitku yang membuat fisikku tak berdaya."
Ini adalah doa untuk restorasi total. Permohonan agar Allah memperbaiki segala kerusakan, kekurangan, dan kerapuhan dalam diri kita, baik yang bersifat spiritual, emosional, fisik, maupun finansial. Ini adalah pengakuan bahwa hanya Allah, Sang Al-Jabbar, yang mampu menyatukan kembali kepingan-kepingan hidup kita yang berserakan.
4. Warfa'nii (وَارْفَعْنِي): Aspirasi Menuju Derajat yang Tinggi
Setelah diperbaiki, seorang hamba tentu ingin naik ke tingkat yang lebih baik. Permintaan "Warfa'nii" (angkatlah aku) adalah ekspresi dari aspirasi luhur tersebut. Ini bukan sekadar permintaan untuk jabatan atau status sosial di mata manusia, yang sifatnya fana dan seringkali menipu. Ini adalah permohonan untuk diangkat derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ketinggian derajat ini mencakup banyak hal:
- Di dunia: Diangkatnya derajat dengan ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, ketakwaan yang kokoh, dan nama baik di kalangan orang-orang shalih. Dijauhkan dari kehinaan dan ketergantungan kepada makhluk.
- Di akhirat: Diangkatnya derajat di surga, ditempatkan bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Inilah kesuksesan yang hakiki.
Dengan doa ini, kita memohon agar Allah mengangkat kita dari lembah kemaksiatan menuju puncak ketakwaan, dari kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari kerendahan dunia menuju kemuliaan akhirat.
5. Warzuqnii (وَارْزُقْنِي): Meminta Rezeki yang Luas dan Halal
Permintaan "Warzuqnii" (berilah aku rezeki) seringkali dipahami secara sempit sebagai permintaan uang atau materi. Padahal, konsep "Rizq" dalam Islam sangatlah luas. Rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
Ketika kita memohon rezeki dalam shalat, kita sedang meminta paket lengkap dari Sang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq):
- Rezeki Jasmani: Makanan yang halal dan baik, pakaian yang menutup aurat, tempat tinggal yang layak, dan kesehatan tubuh.
- Rezeki Ruhani: Iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang senantiasa berdzikir, dan kesempatan untuk beramal shalih.
- Rezeki Sosial: Pasangan yang shalih/shalihah, anak-anak yang menjadi penyejuk mata, teman-teman yang baik, dan lingkungan yang mendukung ketaatan.
Rezeki yang paling agung adalah hidayah dan istiqamah di atas jalan kebenaran, serta rezeki untuk dapat merasakan nikmatnya beribadah kepada-Nya. Jadi, doa ini adalah permohonan agar Allah mencukupi segala kebutuhan kita, baik lahir maupun batin, dengan cara yang halal dan berkah.
6. Wahdinii (وَاهْدِنِي): Kebutuhan Abadi akan Bimbingan Ilahi
Seseorang mungkin bertanya, "Bukankah kita sudah Islam dan sedang shalat, mengapa masih terus meminta petunjuk (hidayah)?" Pertanyaan ini sama dengan mengapa kita membaca "Ihdinash-shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus) dalam setiap rakaat Surah Al-Fatihah.
Jawabannya adalah karena hidayah bukanlah sesuatu yang didapat sekali untuk selamanya. Hidayah adalah proses yang berkelanjutan dan memiliki tingkatan. Kita meminta "Wahdinii" untuk beberapa hal:
- Hidayah Taufik: Memohon kekuatan dari Allah untuk dapat mengamalkan petunjuk yang sudah kita ketahui. Banyak orang tahu mana yang benar, tapi tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
- Hidayah Istiqamah: Memohon keteguhan hati agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Hati manusia mudah berbolak-balik, dan godaan selalu ada. Kita butuh pertolongan Allah untuk tetap tegar.
- Hidayah kepada Detail Kebenaran: Memohon petunjuk dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang spesifik. Ketika kita bingung harus memilih jalan mana, kita memohon agar Allah menunjukkan pilihan yang terbaik.
Ini adalah pengakuan bahwa tanpa bimbingan Allah setiap saat, kita pasti akan tersesat. Kita butuh cahaya-Nya untuk menerangi setiap langkah yang akan kita ambil.
7. Wa 'Aafinii (وَعَافِنِي): Permintaan akan Kesejahteraan Paripurna
Doa ini ditutup dengan permintaan "'Aafiyah". Kata ini sering diterjemahkan sebagai "kesehatan", namun maknanya jauh lebih luas dan komprehensif. 'Aafiyah adalah keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan total dari segala macam keburukan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Meminta 'aafiyah berarti kita memohon kepada Allah:
- 'Aafiyah dalam Agama: Keselamatan dari fitnah syubhat (kerancuan pemikiran) dan syahwat (godaan hawa nafsu), keselamatan dari bid'ah, syirik, dan segala penyakit hati seperti hasad, sombong, dan riya'.
- 'Aafiyah dalam Dunia: Keselamatan dari segala musibah, bencana, penyakit fisik yang parah, kemiskinan yang melalaikan, dan kezaliman makhluk.
- 'Aafiyah di Akhirat: Keselamatan dari fitnah kubur, kengerian hari kiamat, dan azab neraka.
Nabi ﷺ sendiri mengajarkan bahwa setelah iman, tidak ada karunia yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain 'aafiyah. Ini adalah permintaan "paket keamanan" yang sempurna, sebuah permohonan agar Allah menjaga kita lahir dan batin, di dunia dan di akhirat.
Hikmah Agung di Balik Doa yang Sederhana
Ketika kita merenungkan kembali ketujuh permintaan ini, kita akan menemukan sebuah alur yang sangat logis dan indah. Dimulai dengan membersihkan diri melalui ampunan, lalu berharap untuk dilimpahi rahmat. Kemudian, kita meminta segala kekurangan dan kerusakan dalam diri kita diperbaiki (wajburnii), lalu berharap untuk diangkat derajatnya. Untuk menjalani kehidupan yang mulia itu, kita butuh penopang berupa rezeki yang baik. Dalam mengelola rezeki dan menjalani hidup, kita senantiasa butuh petunjuk. Dan untuk melindungi itu semua, kita memohon benteng 'aafiyah (kesejahteraan paripurna).
Doa ini adalah esensi dari penghambaan. Ia mengajarkan kita untuk mengakui kelemahan, dosa, dan kebutuhan total kita kepada Allah. Di saat yang sama, ia menanamkan optimisme dan harapan yang besar akan kemurahan, kekuasaan, dan kasih sayang Allah. Momen duduk di antara dua sujud adalah momen emas untuk menumpahkan segala hajat kita dalam sebuah bingkai doa profetik yang sempurna.
Kesimpulan: Momen Emas dalam Shalat
Duduk di antara dua sujud bukanlah sekadar jeda atau formalitas. Ia adalah sebuah rukun agung, sebuah oase di tengah perjalanan shalat, di mana seorang hamba duduk dengan penuh kerendahan hati di hadapan Rabb-nya. Dalam posisi yang tawadhu itu, ia memanjatkan doa yang merangkum segala dambaan terbaik seorang manusia: ampunan atas masa lalu, rahmat untuk masa depan, perbaikan untuk kondisi saat ini, peningkatan derajat, kecukupan rezeki, bimbingan di setiap langkah, dan perlindungan total dari segala mara bahaya.
Marilah kita bertekad untuk tidak lagi menyia-nyiakan momen berharga ini. Lakukanlah dengan tuma'ninah, resapilah setiap katanya, dan hadirkan hati kita sepenuhnya. Dengan begitu, shalat kita tidak lagi menjadi beban rutinitas, melainkan menjadi sebuah mi'raj, sebuah dialog yang menenangkan jiwa, dan sumber kekuatan untuk mengarungi kehidupan, karena kita tahu bahwa kita telah meminta semua yang kita butuhkan kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan Doa.