Azan, seruan agung untuk memulai shalat, adalah salah satu ritual paling fundamental dan terdengar dalam dunia Islam. Meskipun maknanya universal—memanggil mukmin untuk bersujud kepada Pencipta—struktur dan lafalnya memiliki variasi yang signifikan antara mazhab-mazhab utama, terutama antara tradisi Syiah dan Sunni.
Perbedaan dalam Azan Syiah, yang berakar pada interpretasi sejarah awal Islam dan otoritas Ahlulbait (Keluarga Nabi), bukanlah sekadar perubahan kosmetik. Perbedaan ini merepresentasikan landasan teologis dan jurisprudensi yang mendalam, menyoroti penekanan unik Syiah terhadap kepemimpinan dan amal saleh. Artikel ini akan mengupas tuntas struktur Azan yang digunakan oleh penganut mazhab Ja'fari (Syiah Dua Belas Imam), menelusuri sejarah, landasan hukum (fiqih), dan implikasi spiritual dari setiap perbedaan.
Prinsip Dasar Azan dan Kedudukannya dalam Fiqih Syiah
Azan, secara harfiah berarti "pengumuman" atau "seruan," adalah pemberitahuan waktu shalat telah tiba. Dalam fiqih Syiah, Azan dan Iqamah (seruan kedua yang lebih singkat tepat sebelum shalat dimulai) adalah sunnah mu'akkadah (sangat ditekankan) bagi shalat wajib, terutama ketika dilakukan berjamaah, dan wajib dilakukan dalam kondisi tertentu oleh individu. Azan berfungsi sebagai persiapan spiritual dan temporal.
Menurut sumber-sumber Syiah, penetapan lafal Azan yang baku terjadi pada masa awal Islam, yang diklaim melalui wahyu atau ilham yang diterima oleh Rasulullah saw. dan disaksikan oleh beberapa sahabat terdekat, termasuk Ali bin Abi Thalib a.s. Namun, perbedaan muncul kemudian, khususnya terkait dengan dua penambahan utama yang menjadi ciri khas Azan Syiah.
Struktur Umum Azan dan Repetisi
Lafal Azan dalam Syiah Dua Belas Imam, sebagaimana yang diwariskan dari para Imam Maksum, memiliki total 18 bagian, yang diucapkan dua kali (atau empat kali untuk takbir awal). Kontrasnya, Azan Sunni biasanya memiliki 15 bagian, dengan menghilangkan dua bagian kunci yang akan dibahas di bawah.
Poin-Poin Kesamaan Universal
Meskipun terdapat perbedaan minor, inti Azan tetap sama: pemuliaan Allah (Takbir), kesaksian tauhid (Syahadat), kesaksian kenabian (Syahadat Rasul), dan seruan untuk shalat (Hayya 'ala al-Salat) dan keselamatan (Hayya 'ala al-Falah).
Visualisasi simbolis panggilan Azan dari menara, mewakili penyebaran seruan suci.
Dua Perbedaan Kunci dalam Azan Syiah
Perbedaan mendasar dalam Azan Syiah terletak pada penyertaan dua frase yang tidak wajib atau tidak ada dalam Azan Sunni. Kedua frase ini adalah Syahadah Ketiga dan Hayya 'ala khayr al-'amal.
1. Syahadah Ketiga (Syahadah 'Ali)
Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat (kesaksian terhadap keesaan Allah dan kenabian Muhammad), Syiah memasukkan kesaksian ketiga, yang dikenal sebagai *Tashahhud Ketiga* atau *Syahadah 'Ali*:
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ ٱللَّٰهِAshhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah.
Artinya: Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali (Pemimpin/Pelindung) Allah.
Kedudukan Fiqih Syahadah Ali
Penting untuk dicatat bahwa Syahadah Ketiga, meskipun diucapkan hampir universal oleh muazin Syiah, secara teknis fiqih tidak dianggap sebagai bagian wajib (Juz') dari Azan atau Iqamah. Mayoritas ulama Syiah (Maraji' Taqilid) menganggapnya sebagai Mustahab Mu'akkad (sangat dianjurkan) atau Qurbatan Ila Allah (untuk mendekatkan diri kepada Allah), tetapi bukan rukun yang jika ditinggalkan membatalkan Azan.
Justifikasi teologisnya adalah bahwa mengakui kenabian Muhammad saw. (Syahadah Kedua) secara inheren harus diikuti dengan pengakuan kepemimpinan spiritual (Wilayah) Ali bin Abi Thalib a.s., yang diyakini ditetapkan oleh Allah di Ghadir Khumm. Dengan mengucapkannya, Syiah menegaskan bahwa pesan kenabian (Nubuwwah) dan kepemimpinan ilahi (Wilayah) adalah dua sisi mata uang yang sama. Pengucapan ini sering dilihat sebagai simbol identitas Syiah dan penegasan terhadap garis otoritas Ahlulbait.
Syahadah Ali ini merupakan manifestasi keyakinan Syiah bahwa kepemimpinan setelah Nabi bukan sekadar urusan politik, melainkan jabatan keagamaan yang diangkat secara ilahi. Dengan menyertakan Ali sebagai "Wali Allah," Azan menjadi seruan yang tidak hanya mempersiapkan jemaah untuk shalat, tetapi juga untuk ketaatan spiritual penuh sesuai manhaj Ahlulbait.
2. Hayya 'ala khayr al-'amal
Frase inilah yang menjadi pembeda paling signifikan dan mandatory dalam Azan Syiah. Setelah menyerukan Hayya 'ala al-Falah (Mari meraih kemenangan/kejayaan), Syiah menambahkan:
حَيَّ عَلَىٰ خَيْرِ ٱلْعَمَلِHayya 'ala khayr al-'amal.
Artinya: Marilah menuju sebaik-baik amal.
Sejarah Penghapusan dan Penegasan Kembali
Menurut narasi sejarah Syiah, Hayya 'ala khayr al-'amal adalah bagian integral dari Azan sejak masa Nabi Muhammad saw. dan diucapkan oleh Bilal bin Rabah, muazin utama Nabi.
Perdebatan historis utama berpusat pada klaim bahwa frase ini dihapus dari Azan standar oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a., selama masa kekhalifahannya. Narasi ini menyatakan bahwa Umar khawatir jika umat Islam mendengar seruan "Mari menuju sebaik-baik amal" (yang diyakini merujuk pada shalat), mereka mungkin akan menganggap shalat lebih penting daripada jihad (perang suci) atau urusan duniawi lainnya yang dibutuhkan negara saat itu.
Dalam pandangan Syiah, Azan yang lengkap harus dipertahankan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. secara sempurna. Karena para Imam Ahlulbait senantiasa menyertakan lafal ini dalam Azan mereka, Syiah memandangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dan wajib ada (Juz') dalam struktur Azan yang benar dan sah.
Makna Spiritual "Sebaik-baik Amal"
Meskipun secara lahiriah frase ini berarti "sebaik-baik amal," para ulama Syiah memberikan penafsiran yang lebih dalam. Sebagian besar Maraji' Syiah menegaskan bahwa "sebaik-baik amal" (khayr al-'amal) merujuk secara eksplisit kepada Shalat. Ini adalah penegasan bahwa tidak ada tindakan duniawi atau bahkan ibadah lain yang lebih mulia atau lebih utama daripada shalat, yang merupakan tiang agama (Imad al-Din).
Namun, beberapa penafsiran mistis dan filosofis juga mengaitkan "khayr al-'amal" dengan pengakuan terhadap Wilayah Ali dan keturunan sucinya. Dalam konteks ini, shalat yang paling sempurna adalah shalat yang dilakukan di bawah kepemimpinan spiritual yang benar.
Perbandingan Struktural Azan Syiah (Ja'fari)
Berikut adalah perincian lengkap lafal Azan menurut tradisi Syiah, menunjukkan bagaimana dua tambahan khas tersebut diintegrasikan ke dalam urutan seruan.
| No. | Lafal Arab (Transliterasi) | Arti | Pengulangan (Syiah) | Status Fiqih |
|---|---|---|---|---|
| 1 | Allahu Akbar (ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ) | Allah Maha Besar | 4x | Wajib |
| 2 | Ashhadu an La Ilaha Illallah (أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ) | Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah | 2x | Wajib |
| 3 | Ashhadu anna Muhammadan Rasulullah (أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ) | Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah | 2x | Wajib |
| 4 | Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah (أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ ٱللَّٰهِ) | Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah | 2x | Mustahab Mu'akkad |
| 5 | Hayya ‘ala al-Salat (حَيَّ عَلَى ٱلصَّلَاةِ) | Marilah mengerjakan shalat | 2x | Wajib |
| 6 | Hayya ‘ala al-Falah (حَيَّ عَلَى ٱلْفَلَاحِ) | Marilah meraih kejayaan | 2x | Wajib |
| 7 | Hayya ‘ala khayr al-'amal (حَيَّ عَلَىٰ خَيْرِ ٱلْعَمَلِ) | Marilah menuju sebaik-baik amal | 2x | Wajib (Juz' Azan) |
| 8 | Allahu Akbar (ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ) | Allah Maha Besar | 2x | Wajib |
| 9 | La Ilaha Illallah (لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ) | Tiada Tuhan selain Allah | 2x | Wajib |
Total pengulangan lafal wajib (tanpa Syahadah Ali) adalah 18 kali. Ini berbeda dengan standar Sunni yang umumnya 15 kali (dengan Takbir awal 4x dan Tauhid akhir 1x).
Kedalaman Historis: Azan Syiah dalam Periode Imamah
Untuk memahami mengapa Azan Syiah tetap teguh pada lafalnya yang berbeda, kita harus menengok pada periode setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Pada masa ini, umat Islam terpecah dalam hal kepemimpinan spiritual dan sumber otoritas hukum.
Peran Bilal dan Azan Nabi
Syiah berpegangan pada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Bilal bin Rabah, muazin utama Nabi, senantiasa menggunakan lafal yang menyertakan Hayya 'ala khayr al-'amal. Setelah Nabi wafat, dan terjadi suksesi kekhalifahan yang berbeda dari pandangan Ahlulbait, Bilal menolak mengumandangkan Azan untuk para khalifah yang tidak ia akui otoritasnya, kecuali dalam kesempatan langka yang sangat emosional (misalnya, saat mengunjungi kubur Nabi). Keterangan ini digunakan untuk memperkuat klaim bahwa Azan yang lengkap, seperti yang diamalkan Syiah, adalah Azan asli era Nabi.
Konsolidasi Azan oleh Para Imam
Selama era para Imam Ahlulbait (mulai dari Imam Ali hingga Imam Hasan Askari), mereka mempertahankan tradisi Azan yang diwariskan secara langsung dari Nabi. Azan yang mereka ajarkan kepada pengikutnya secara konsisten mencakup Hayya 'ala khayr al-'amal. Penegasan Azan ini pada dasarnya adalah penegasan terhadap keaslian syariat (hukum ilahi) tanpa modifikasi politik atau ijtihad yang bersifat temporal.
Pentingnya konsolidasi ini tidak dapat dilebih-lebihkan. Di tengah tekanan politik untuk menyeragamkan praktik keagamaan, para Imam mempertahankan ritual-ritual yang membedakan identitas pengikut mereka. Azan, yang diumumkan lima kali sehari, menjadi penanda yang jelas dari mazhab yang mengikuti sumber otentik dari Ahlulbait.
Perdebatan Mengenai Tatswib (As-Salatu Khayrun min an-Nawm)
Sebaliknya, Syiah secara mutlak menolak praktik Tatswib, yaitu penambahan frase As-Salatu Khayrun min an-Nawm (Shalat lebih baik daripada tidur) dalam Azan Subuh. Tatswib ini merupakan praktik standar dalam Azan Sunni.
Dalam fiqih Syiah, Tatswib dianggap sebagai Bid'ah (inovasi dalam agama) karena tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. pernah memerintahkan atau melakukannya. Syiah berpendapat bahwa lafal Azan harus tetap murni dan tidak boleh ditambahi, sama seperti mereka menuntut kembalinya Hayya 'ala khayr al-'amal yang mereka yakini dihilangkan secara sepihak.
Kritik Syiah terhadap Tatswib sering kali didasarkan pada riwayat dari Imam Ja'far al-Shadiq a.s., yang menegaskan bahwa Tatswib ditambahkan kemudian, setelah masa Nabi, dan oleh karenanya harus dihindari untuk menjaga kesempurnaan Azan yang disyariatkan.
Azan Kedua: Struktur dan Perbedaan Iqamah
Setelah Azan diucapkan, jemaah atau individu bersiap untuk shalat, dan seruan yang lebih singkat, Iqamah, diucapkan tepat sebelum Takbiratul Ihram.
Iqamah dalam Syiah juga memiliki perbedaan struktural yang serupa dengan Azan, namun dengan perubahan pada jumlah repetisi dan penambahan satu frase kunci.
Pengurangan Repetisi
Dalam Iqamah Syiah, sebagian besar lafal diulang hanya sekali (kecuali Takbir awal dan Tauhid akhir). Total jumlah lafal dalam Iqamah Syiah adalah 17.
Penambahan Qad Qamatis Shalah
Satu-satunya frase yang ditambahkan dalam Iqamah (dibandingkan Azan) adalah Qad Qamatis Shalah (قد قامت الصلاة), yang berarti "Shalat telah didirikan." Frase ini diucapkan dua kali.
Secara keseluruhan, struktur Iqamah Syiah mempertahankan tiga elemen pembeda Azan, yaitu:
- Syahadah Ali (Mustahab Mu'akkad, 1x).
- Hayya ‘ala khayr al-'amal (Wajib, 2x).
- Qad Qamatis Shalah (Wajib dalam Iqamah, 2x).
Penghilangan atau penambahan frase ini dalam Azan dan Iqamah menjadi penanda kelembagaan yang kuat, memisahkan praktik ibadah pengikut Ahlulbait dari mazhab-mazhab lain.
Landasan Fiqih Syiah Mengenai Azan dan Iqamah
Mazhab Ja'fari menempatkan Azan dan Iqamah dalam kategori Mustahab (dianjurkan) untuk shalat harian, namun ada kondisi-kondisi yang menjadikannya wajib untuk diucapkan, atau sekurang-kurangnya sangat ditekankan, seperti ketika shalat dilakukan berjamaah.
Niat (Niyyah) dalam Azan
Seperti halnya semua ibadah, niat adalah syarat sahnya Azan. Azan harus diniatkan untuk Qurbatan Ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah) dan diniatkan sebagai Azan yang sah untuk shalat tertentu. Azan yang dikumandangkan tanpa niat ibadah yang benar, atau hanya sekadar untuk pengumuman, tidak menggugurkan kewajiban Azan/Iqamah sebelum shalat.
Syarat Sahnya Azan
Para Maraji' Syiah menetapkan beberapa syarat wajib agar Azan dianggap sah:
- Tertib (Urutan): Lafal harus diucapkan dalam urutan yang benar.
- Muwalat (Berkesinambungan): Tidak boleh ada jeda yang terlalu lama antara lafal satu dengan yang lainnya.
- Waktu Shalat: Azan harus dikumandangkan setelah masuknya waktu shalat. Azan yang dikumandangkan sebelum waktunya tidak sah dan harus diulang.
- Kejelasan dan Kualitas Suara: Meskipun bukan syarat mutlak, Azan dianjurkan untuk diucapkan dengan suara yang indah, lantang, dan jelas (Tartil).
- Kewajiban Hayya 'ala khayr al-'amal: Meninggalkan frase ini secara sengaja dianggap mengurangi Azan dari kesempurnaan syariat yang ditetapkan.
Hukum Menggabungkan Azan (Jam'u al-Salawat)
Syiah Ja'fari memperbolehkan dan sering mempraktikkan penggabungan shalat (Jam'u), yaitu melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar secara berturut-turut pada waktu Zuhur, atau shalat Maghrib dan Isya secara berturut-turut pada waktu Maghrib. Dalam kondisi ini, Azan hanya perlu diucapkan sekali untuk shalat pertama, diikuti dengan Iqamah, dan kemudian hanya Iqamah untuk shalat kedua. Azan tidak perlu diulang jika shalat kedua langsung mengikuti shalat pertama.
Keringanan ini, yang didukung oleh riwayat Ahlulbait, menunjukkan fleksibilitas dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari tanpa mengabaikan inti dari Azan sebagai pengumuman waktu shalat yang pertama.
Azan sebagai Manifestasi Teologi Wilayah
Mengapa Syiah begitu teguh pada dua penambahan yang tampaknya kecil? Jawabannya terletak pada konsep teologi Syiah yang mendalam mengenai *Wilayah* (Kepemimpinan Ilahi).
Syahadah Ali dan Konsep Imamat
Imamah adalah salah satu dari lima pilar Ushuluddin (Dasar-dasar Agama) dalam Syiah. Syiah meyakini bahwa setelah kenabian berakhir, otoritas spiritual dan politik beralih kepada 12 Imam yang ditunjuk Allah, dimulai dari Ali bin Abi Thalib a.s.
Ketika seorang muazin Syiah mengucapkan Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah, ia tidak hanya sekadar memuji Ali, tetapi ia memproklamirkan dasar agama (Imamah) yang dianggap wajib diyakini untuk kesempurnaan iman. Azan, dalam konteks ini, berfungsi sebagai ringkasan akidah. Sama seperti shalat tidak sah tanpa Tauhid (keesaan Allah) dan Nubuwwah (kenabian), shalat yang sempurna bagi Syiah memerlukan pengakuan Wilayah.
Pengucapan ini juga merupakan pengingat akan keadilan historis. Bagi Syiah, Wilayah Ali adalah hak ilahi yang sempat terpinggirkan secara politik. Dengan memasukkannya ke dalam Azan, praktik ibadah sehari-hari menjadi pengingat konstan akan kebenaran historis dan teologis Ahlulbait.
Hayya 'ala khayr al-'amal dan Fokus Spiritual
Penambahan Hayya 'ala khayr al-'amal menunjukkan penekanan Syiah pada nilai intrinsik ibadah (shalat) dibandingkan dengan urusan duniawi, termasuk politik atau jihad yang tidak dipimpin oleh Imam yang sah (dalam kondisi tertentu).
Ketika khalifah kedua menghapus lafal tersebut, argumennya adalah untuk memotivasi umat agar tidak hanya fokus pada shalat tetapi juga pada jihad yang sedang berlangsung. Namun, bagi Syiah, shalat, yang merupakan dialog langsung dengan Tuhan, tidak boleh dinomorduakan oleh kepentingan politik apapun. Pengembalian lafal ini adalah penegasan kembali superioritas spiritual shalat sebagai amal terbaik, sebuah pandangan yang berakar pada ajaran para Imam.
Dengan demikian, Azan Syiah berfungsi sebagai penanda akidah (Imamah) dan penekanan spiritual (Superioritas Shalat), menjadikannya lebih dari sekadar panggilan, melainkan sebuah pernyataan keyakinan yang komprehensif.
Aspek Seni dan Spiritual Azan
Terlepas dari perbedaan lafal, Azan dalam tradisi Syiah, seperti halnya tradisi Islam lainnya, sangat ditekankan pada aspek seni dan kualitas penyampaiannya. Muazin (orang yang mengumandangkan Azan) harus memiliki suara yang baik dan merdu, mampu menyampaikan seruan dengan rasa khusyuk dan penuh penghayatan.
Tartil dan Pelafalan
Tartil, atau pengucapan yang teratur, jelas, dan dihayati, sangat penting. Azan bukan sekadar pengumuman, melainkan doa itu sendiri. Dalam tradisi Syiah, terdapat riwayat yang menekankan pentingnya mengucapkan lafal dengan jeda yang sesuai (Waqf) dan tanpa tergesa-gesa. Setiap frase harus diucapkan dengan kesadaran akan maknanya yang mendalam, memungkinkan para pendengar untuk merenungkan keagungan Allah dan panggilan menuju amal saleh.
Peran Azan dalam Membangun Komunitas
Di wilayah mayoritas Syiah—seperti Iran, Irak, dan Lebanon—Azan berfungsi sebagai denyut nadi komunitas. Azan yang diserukan dengan lantang dari menara-menara masjid mengikat umat dalam siklus waktu ibadah. Ia bukan hanya panggilan untuk shalat; ia adalah pengingat harian akan identitas mazhab, teologi, dan ketaatan kepada Ahlulbait.
Azan, dengan lafal Hayya 'ala khayr al-'amal, secara subliminal mendorong komunitas untuk senantiasa mengutamakan amal kebaikan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia, sebuah etos yang penting dalam pandangan Syiah mengenai kesiapan rohani sebelum bertemu dengan Imam Mahdi yang dinanti.
Memahami Konteks Dialog Antar Mazhab
Dalam dialog dan upaya kedekatan antara mazhab-mazhab Islam, perbedaan dalam Azan sering kali menjadi topik diskusi. Bagi umat Islam yang menekankan persatuan, perbedaan ini dipandang sebagai variasi dalam praktik (Furu' ad-Din) dan bukan perbedaan fundamental dalam Ushuluddin (Dasar Agama).
Toleransi dan Pengakuan
Ulama-ulama Syiah modern sering menekankan bahwa meskipun mereka berpegang teguh pada Azan yang lengkap (dengan Hayya 'ala khayr al-'amal), mereka tetap mengakui keabsahan shalat yang dilakukan oleh mazhab lain yang Azannya tidak menyertakan lafal tersebut, asalkan niat shalatnya benar. Perbedaan ini lebih banyak berkaitan dengan kesempurnaan ideal Azan menurut tradisi Ahlulbait.
Sebaliknya, Syiah juga menghadapi situasi di mana mereka harus shalat di masjid Sunni. Dalam kondisi ini, fiqih Syiah membolehkan penggunaan Azan dan Iqamah sesuai dengan tata cara mazhab Sunni (tanpa Syahadah Ali dan Hayya 'ala khayr al-'amal), selama ini dilakukan untuk tujuan Taqiyyah (perlindungan) atau untuk menghindari perselisihan, atau demi persatuan, karena yang terpenting adalah shalat itu sendiri.
Azan dalam Literatur Fiqih Komparatif
Karya-karya fiqih komparatif secara ekstensif membahas riwayat-riwayat yang melatarbelakangi perbedaan Azan. Sementara Syiah mendasarkan klaimnya pada riwayat-riwayat dari Ahlulbait dan beberapa sahabat, Sunni mendasarkan praktiknya pada riwayat yang disepakati oleh enam kitab hadis utama mereka, yang menguatkan Azan tanpa dua penambahan tersebut. Perbedaan ini merupakan cerminan dari perbedaan metodologi dalam penerimaan dan validasi Hadis (ilmu rijal) yang mendasari kedua mazhab.
Diskusi yang berpusat pada Hayya 'ala khayr al-'amal adalah diskusi tentang otoritas: apakah perubahan hukum ibadah yang ditetapkan pada masa Nabi dapat dilakukan oleh otoritas pasca-kenabian? Syiah menjawab tidak, dan Azan mereka menjadi saksi bisu atas penolakan ini terhadap perubahan syariat melalui ijtihad politik.
Azan Syiah: Panggilan Kekal menuju Kebaikan Abadi
Pada akhirnya, Azan, terlepas dari lafal spesifiknya, adalah undangan menuju Tuhan. Namun, bagi Syiah, lafal yang mereka gunakan memiliki resonansi rohani yang lebih mendalam, mencakup keseluruhan akidah mereka.
Bayangkanlah seorang mukmin Syiah yang mendengar muazin menyerukan, "Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah." Dalam sekejap, ia diingatkan bahwa jalan menuju keselamatan, yang dimulai dengan shalat yang akan ia dirikan, adalah jalan yang dipimpin oleh 12 Imam maksum. Setiap gerakan dan kata dalam shalatnya terikat pada otoritas spiritual yang sempurna.
Kemudian, ketika seruan "Hayya 'ala khayr al-'amal" bergema, ini adalah penegasan bahwa ibadah yang ia lakukan saat itu—shalat—adalah amal paling utama yang dapat ia persembahkan kepada Allah. Ini adalah prioritas yang jelas, mendahului segala bentuk ambisi atau urusan duniawi.
Kesempurnaan Azan, menurut Syiah, adalah kesempurnaan akidah yang memadukan Tauhid, Nubuwwah, dan Imamat. Ia adalah pengingat bahwa Islam adalah agama yang lengkap (sempurna), dan hukum-hukumnya, termasuk panggilan untuk shalat, ditetapkan untuk kebaikan umat manusia di setiap zaman dan tidak boleh diubah.
Setiap pengucapan Hayya 'ala khayr al-'amal adalah deklarasi kepatuhan terhadap tradisi Ahlulbait dan penolakan terhadap inovasi dalam ibadah. Ini adalah warisan yang dipertahankan melalui pengorbanan dan penindasan historis, menjadikannya simbol ketegasan spiritual dan identitas mazhab yang kokoh.
Azan, dalam kerangka pemikiran Syiah, bukan hanya sekadar alarm; ia adalah naskah suci yang mencerminkan pemahaman kosmologis tentang dunia dan peran manusia di dalamnya. Muazin, dengan setiap lafalnya, sedang membangun jembatan antara duniawi dan ilahi, dan jembatan ini harus dibangun di atas fondasi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan para pewaris sucinya.
Pemahaman ini mendorong para pengikut untuk melihat Azan sebagai kesempatan untuk introspeksi mendalam, menyelaraskan hati, pikiran, dan tubuh sebelum berdiri di hadapan Allah dalam shalat. Ini adalah persiapan yang holistik, meliputi aspek hukum (fiqih), historis (sejarah penghapusan dan pengembalian), dan spiritual (Wilayah). Tanpa komponen-komponen ini, Azan dianggap kehilangan sebagian dari maknanya yang disempurnakan oleh ajaran Ahlulbait.
Mengenai Hayya 'ala khayr al-'amal, penekanan ini juga menyentuh aspek etika dan moral. Jika shalat adalah amal terbaik, maka setiap upaya yang mengarahkan pada shalat harus dimuliakan. Ini mencakup kesucian diri (thaharah), ketulusan niat (ikhlas), dan fokus penuh. Dengan menempatkan seruan ini di tengah Azan, Syiah mengingatkan bahwa tujuan utama eksistensi adalah ibadah murni, yang manifestasi tertingginya adalah shalat.
Perbedaan lafal, yang bagi sebagian orang mungkin terlihat sepele, sesungguhnya adalah garis demarkasi yang dijaga ketat oleh ulama Syiah selama berabad-abad. Garis ini melindungi apa yang mereka yakini sebagai warisan murni dan tidak terdistorsi dari masa kenabian. Integritas Azan sama pentingnya dengan integritas shalat itu sendiri, karena ia adalah gerbang menuju komunikasi dengan Sang Pencipta.
Setiap kali Azan dikumandangkan di masjid atau rumah Syiah, ia menceritakan kembali kisah kepemimpinan Ilahi, pengorbanan Ahlulbait, dan pentingnya menjaga keaslian hukum agama dari intervensi manusiawi. Ini adalah narasi yang terus hidup, berulang lima kali sehari, mengukuhkan keyakinan dalam hati jutaan penganut mazhab Ja'fari di seluruh dunia.
Oleh karena itu, ketika mempelajari Azan Syiah, kita tidak hanya belajar tentang urutan kata-kata, tetapi tentang seluruh arsitektur teologis yang menopang mazhab tersebut. Azan adalah ikrar kesetiaan (Waliyah) dan janji ketaatan abadi terhadap amal yang terbaik, yang merupakan shalat yang didirikan di atas prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang diwariskan oleh para Imam Maksum. Proses pengkajian mendalam terhadap Azan Syiah memerlukan pemahaman terhadap konteks sosio-politik yang melingkupi pembentukan tradisi dan penentuan hukum dalam sejarah Islam awal.
Pembahasan mengenai Hayya 'ala khayr al-'amal sering kali menjadi titik fokus utama karena ia memiliki implikasi langsung terhadap keabsahan Azan dan Iqamah. Meskipun Syahadah Ali bersifat mustahab, Hayya 'ala khayr al-'amal adalah rukun yang jika ditinggalkan secara sengaja, dapat membuat Azan tersebut tidak sesuai dengan standar fiqih Syiah. Penekanan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga setiap komponen Azan agar tetap utuh dan sempurna sesuai ajaran Nabi dan para Imam. Hal ini juga mencerminkan sikap hati-hati Syiah dalam menerima tradisi yang mungkin telah dimodifikasi setelah periode kenabian, yang mana mereka berpendapat bahwa hanya Ahlulbait yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan memelihara syariat yang asli.
Azan, oleh karenanya, adalah seruan yang menantang waktu dan sejarah, membawa pesan yang tidak berubah sejak masa wahyu. Ia adalah pembeda sekaligus pemersatu, tergantung pada sudut pandang yang digunakan, tetapi bagi Syiah, ia adalah suara kebenaran yang harus terus dikumandangkan dalam kesempurnaannya.
Azan Syiah menyajikan sebuah studi kasus yang kaya dalam yurisprudensi Islam, yang menyoroti bagaimana perbedaan dalam sumber otoritas—apakah otoritas tersebut berakhir dengan Nabi, atau dilanjutkan melalui garis Imamat—dapat menghasilkan variasi signifikan dalam praktik ritual sehari-hari yang paling mendasar sekalipun. Variasi ini tidak mengurangi kesatuan tujuan akhir, yaitu ketaatan kepada Allah, namun menegaskan jalur ketaatan yang spesifik dan termaktub dalam tradisi Ahlulbait.
Analisis setiap lafal, dari Takbir awal yang empat kali hingga kesaksian akhir yang dua kali, membuktikan adanya pola yang ditetapkan dengan hati-hati. Kehati-hatian ini mencakup pelestarian setiap kata dan setiap pengulangan, menunjukkan bahwa Azan bagi Syiah adalah sebuah teks ritual yang sakral dan tak terpisahkan. Ia berfungsi sebagai peta jalan harian menuju ibadah yang benar dan penerimaan akidah yang lengkap.
Ketika seorang muazin Syiah menyelesaikan Azan dengan kalimat La Ilaha Illallah (dua kali), ia mengakhiri seruan tersebut dengan penegasan final Tauhid, tetapi Tauhid ini telah diperkuat dengan penerimaan Wilayah Ali dan penekanan pada amal terbaik, yaitu shalat. Seluruh struktur Azan menjadi satu kesatuan logis yang mencerminkan pandangan dunia teologis mazhab Syiah Dua Belas Imam.
Perbedaan historis yang mendorong penghapusan Hayya 'ala khayr al-'amal oleh otoritas tertentu di masa lalu, menurut pandangan Syiah, adalah pelajaran penting tentang bahaya mencampurkan urusan politik dengan kemurnian syariat. Dengan mempertahankan lafal ini, Syiah secara kolektif menolak setiap ijtihad yang dapat mengubah bentuk ibadah yang telah ditetapkan oleh Nabi. Azan menjadi penanda identitas yang paling terbuka dan paling sering diulang, menjadikannya sarana yang kuat untuk transmisi doktrin.
Akhir kata, Azan Syiah adalah cerminan dari keyakinan bahwa kepemimpinan Ahlulbait adalah kunci untuk memahami syariat secara sempurna. Tanpa kerangka Wilayah (Imamah), Azan—dan bahkan shalat—dianggap tidak akan mencapai potensi spiritual tertingginya. Oleh karena itu, bagi jutaan penganut Syiah, mendengarkan Azan yang lengkap adalah mendengarkan suara kebenaran yang abadi, memanggil mereka bukan hanya untuk shalat, tetapi untuk "sebaik-baik amal" di bawah naungan kepemimpinan yang benar.
Penjelasan mengenai landasan fiqih Azan Syiah harus juga menyentuh aspek Muaazin itu sendiri. Dalam fiqih Syiah, Azan boleh dikumandangkan oleh seorang laki-laki atau perempuan, selama yang mendengar adalah mahram bagi perempuan tersebut. Namun, untuk Azan masjid yang ditujukan kepada publik, disyaratkan agar Muazin adalah seorang mukallaf (dewasa dan berakal), dan lebih diutamakan yang memiliki keadilan (adalah) serta pengetahuan yang memadai tentang waktu shalat.
Kualitas Azan juga mencakup aspek kesucian. Muazin tidak disyaratkan harus dalam keadaan suci dari hadas kecil (wudhu), tetapi hal tersebut sangat dianjurkan (Mustahab). Ini berbeda dengan Iqamah, di mana beberapa ulama Syiah lebih menekankan pentingnya Muqin (orang yang mengumandangkan Iqamah) berada dalam keadaan wudhu.
Aspek lain yang menarik dalam fiqih Syiah adalah hukum mendengarkan Azan. Ketika seseorang mendengar Azan, sangat dianjurkan baginya untuk mengulangi lafalnya dalam hati (kecuali Syahadah Ali, yang bisa diucapkan dengan suara pelan). Ini adalah bentuk partisipasi spiritual dalam panggilan suci tersebut, yang menyiapkan hati pendengar untuk shalat.
Pengulangan lafal Hayya ‘ala khayr al-'amal sebanyak dua kali, baik dalam Azan maupun Iqamah, memastikan bahwa pesan tentang superioritas shalat tertanam kuat dalam benak umat sebelum mereka memulai ibadah. Hal ini menekankan bahwa fokus harus segera beralih dari duniawi ke ukhrawi begitu seruan suci ini terdengar.
Secara keseluruhan, perbedaan Azan Syiah adalah pengingat harian akan akar sejarah dan teologi mazhab tersebut. Ia adalah sebuah narasi lisan yang dihidupkan kembali lima kali sehari, menegaskan Wilayah dan supremasi amal saleh dalam bentuk shalat, sesuai dengan ajaran Ahlulbait yang diyakini sebagai penjaga murni syariat Nabi Muhammad saw.
Mempertimbangkan kerumitan dan kedalaman setiap lafal, Azan Syiah adalah sebuah struktur yang padat dengan makna simbolis. Ini adalah sebuah pengajaran dalam bentuk seruan, yang setiap bagiannya memiliki bobot fiqih dan spiritual yang tak terhingga. Pemahaman ini membantu menjembatani kesenjangan antara praktik ritual dan keyakinan dasar (akidah) dalam tradisi Syiah.
Pentingnya Syahadah Ali, meskipun Mustahab, menunjukkan betapa sentralnya konsep Wilayah dalam kehidupan beragama Syiah. Meskipun shalat akan tetap sah tanpa mengucapkannya, Azan dianggap kurang lengkap secara spiritual tanpa penegasan kepemimpinan Ilahi. Ini menggarisbawahi pandangan bahwa ibadah tanpa panduan Imamat yang benar dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, muazin Syiah umumnya merasa terdorong kuat secara spiritual untuk menyertakan Syahadah ketiga ini sebagai ekspresi ketaatan penuh.
Seluruh diskusi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa Azan, dalam tradisi Syiah, adalah sebuah monumen lisan yang menjaga keaslian syariat, menolak inovasi pasca-kenabian, dan secara tegas memproklamasikan otoritas Ilahi dari Ahlulbait. Azan bukan sekadar alat, melainkan sebuah pernyataan doktrinal yang berkelanjutan.
Sebagai penutup, eksplorasi Azan Syiah menawarkan jendela yang berharga ke dalam inti keyakinan mereka, memperlihatkan bagaimana ritual sehari-hari yang paling sering diulang dapat menjadi penegasan fundamental atas identitas teologis yang unik dan sejarah panjang yang membentuk tradisi tersebut.