Azan Muammar: Resonansi Tarannum, Maqamat, dan Gema Spiritual Seorang Qari Legendaris

Representasi Visual Gelombang Suara Azan Gelombang suara yang merambat naik, melambangkan kekuatan dan keindahan suara azan.

Keagungan dan Tarannum dalam Seruan Suci.

Pengantar: Fenomena Suara yang Menembus Batas Zaman

Di antara berbagai bentuk seni suara dalam peradaban Islam, Azan memiliki kedudukan yang unik. Ia bukan sekadar panggilan, melainkan sebuah proklamasi spiritual yang bertugas membelah kesibukan duniawi dan mengarahkan hati menuju hadirat Ilahi. Dalam konteks ini, suara seorang muazzin adalah jembatan, dan jika jembatan itu dibangun dengan keindahan dan ketepatan melodi, dampaknya akan melampaui batas geografis dan kultural.

Fenomena yang dikenal luas sebagai "Azan Muammar" merujuk pada rekaman atau gaya Azan yang dibawakan oleh Qari Internasional terkemuka asal Indonesia, Haji Muammar Zainal Asyikin (H. Muammar ZA). Meskipun beliau lebih dikenal karena keahliannya dalam membaca Al-Qur'an (Qira'at) dengan berbagai variasi *maqamat* (tangga nada musikal Arab), aplikasi teknik dan keindahan suaranya dalam Azan telah menciptakan sebuah standar baru, bahkan menjadi rujukan global bagi banyak muazzin dan pecinta seni Islam.

Gaya Azan yang diusung oleh H. Muammar ZA tidak hanya mengedepankan ketepatan tajwid, tetapi juga kedalaman tarannum—seni melagukan ayat atau kalimat suci. Tarannum dalam Azan Muammar menghadirkan harmonisasi antara kaidah-kaidah musik klasik Arab dengan tuntutan spiritual ibadah, menghasilkan sebuah resonansi yang mampu menggetarkan jiwa pendengarnya. Studi mendalam terhadap gaya ini memerlukan pemahaman tentang sejarah sang qari, struktur maqamat yang digunakan, serta dampak spiritual dan budaya yang dihasilkannya.

Melalui artikel ini, kita akan mengupas tuntas mengapa Azan Muammar bukan hanya populer, tetapi juga sebuah mahakarya sonik yang terus relevan, membahas secara rinci bagaimana aplikasi Jiharkah, Nahawand, dan Hijaz berpadu sempurna dalam setiap seruan, serta bagaimana warisan suara ini membentuk tradisi Azan modern di berbagai penjuru dunia Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara.

I. Haji Muammar ZA: Sang Maestro Qira'at dan Transformasi Azan

Untuk memahami Azan Muammar, kita harus terlebih dahulu mengenal sosok di baliknya. H. Muammar ZA adalah ikon global dalam dunia Qira'at. Lahir pada pertengahan abad ke-20, karir gemilangnya dimulai sejak ia memenangkan berbagai kompetisi Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) baik di tingkat nasional maupun internasional. Kemenangan-kemenangan ini tidak didapatkan secara kebetulan, melainkan hasil dari disiplin yang ketat dalam penguasaan teknik vokal, nafas, dan pemahaman mendalam tentang ilmu *tajwid* dan *maqamat*.

A. Keunikan Pita Suara dan Kekuatan Nafas

Ciri khas utama H. Muammar ZA adalah kemampuan vokalnya yang luar biasa. Ia memiliki register suara yang luas dan kekuatan nafas yang legendaris, memungkinkannya mempertahankan nada tinggi atau melodi kompleks (*ghunnah* dan *tahrir*) dalam waktu yang sangat lama tanpa jeda. Dalam konteks Azan, di mana frasa-frasa utama harus disampaikan dengan otoritas dan kejelasan, kekuatan nafas ini memungkinkan penerapan tarannum yang lebih kaya dan bervariasi. Ia mampu menarik kalimat "Allahu Akbar" dan "Asyhadu an la ilaha illallah" melalui serangkaian modulasi tanpa terputus, sebuah teknik yang sangat sulit ditiru.

B. Peran Latar Belakang Qira'at dalam Azan

Banyak muazzin menggunakan gaya melodi yang sederhana atau terikat pada tradisi lokal tertentu. Namun, Muammar ZA membawa kekayaan tradisi Qira'at (pembacaan Al-Qur'an) langsung ke dalam Azan. Dalam Qira'at, seorang qari wajib menguasai setidaknya tujuh maqamat utama dan mampu berpindah (*tahawwul*) di antara mereka secara mulus. Azan Muammar adalah perwujudan dari penguasaan ini. Ia memperlakukan Azan bukan hanya sebagai seruan fungsional, tetapi sebagai sebuah komposisi musikal spiritual, di mana setiap frasa memiliki tangga nada, emosi, dan klimaks melodisnya sendiri.

Pengalaman bertahun-tahun dalam mengolah suara untuk tilawah Al-Qur'an memberinya kepekaan untuk memilih maqam mana yang paling cocok untuk membangkitkan kekhusyukan. Maqamat yang cenderung dipakai dalam Azan Muammar sering kali bersifat menenangkan namun berwibawa, seperti Bayati atau Jiharkah di awal, lalu meningkat ke nada yang lebih dramatis seperti Hijaz atau Nahawand untuk klimaks kalimat syahadat.

II. Anatomi Melodis: Analisis Maqamat dalam Azan Muammar

Azan Muammar adalah perpaduan terencana dari beberapa maqamat, yang diaplikasikan secara strategis pada bagian-bagian spesifik dari seruan Azan. Penggunaan maqamat ini bertujuan ganda: memenuhi syarat estetika seni suara Islam (*tarannum*) dan memperkuat makna teologis dari setiap kalimat. Berikut adalah analisis rinci mengenai penggunaan maqamat dalam gaya Azan ini.

A. Maqam Awal: Jiharkah dan Bayati (Pembuka yang Berwibawa)

Pada permulaan Azan, yakni pada frasa "Allahu Akbar, Allahu Akbar" pertama, Muammar ZA sering kali memilih Maqam Jiharkah atau Bayati. Maqam Bayati dikenal sebagai "induknya maqamat," memiliki karakter yang hangat, bersahaja, dan sedikit melankolis, sangat cocok untuk menarik perhatian dan menenangkan hati pendengar. Namun, Jiharkah, dengan intervalnya yang lebih stabil dan kuat, sering dipilih untuk memberikan kesan otoritatif dan kebesaran yang sesuai dengan makna takbir.

Dalam penerapan Jiharkah, Muammar memulai dengan nada dasar yang kokoh, lalu melakukan sedikit modulasi atau *ghammaz* (variasi nada) yang lembut pada pengulangan kalimat. Teknik pernafasan yang panjang memungkinkan pengucapan ‘Akbar’ ditarik dengan ketegasan yang utuh, tanpa terkesan tergesa-gesa. Ini adalah fondasi yang menyiapkan telinga pendengar untuk kompleksitas yang akan datang.

B. Klimaks Syahadat: Nahawand dan Hijaz (Puncak Emosional)

Bagian inti Azan adalah dua kalimat syahadat: "Asyhadu an la ilaha illallah" dan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah." Di sinilah Azan Muammar mencapai puncak ekspresifnya. Untuk kalimat-kalimat ini, ia sering melakukan transisi ke Maqam Nahawand atau Hijaz.

Transisi (*Tahawwul*) dari Jiharkah/Bayati ke Nahawand/Hijaz dilakukan dengan sangat mulus. Keahlian Muammar terletak pada kemampuannya menyembunyikan titik peralihan nada, sehingga Azan mengalir seperti sebuah sungai tunggal yang melewati berbagai lanskap emosional, sebuah indikasi penguasaan teori musik Arab yang luar biasa, melampaui kemampuan muazzin pada umumnya.

C. Panggilan Ibadah: Rast dan Saba (Ajakkan yang Penuh Harapan)

Pada frasa "Hayya ‘alas-salah" dan "Hayya ‘alal-falah", tujuannya adalah memanggil audiens untuk bergegas menuju kebaikan. Maqam yang dipilih harus energik namun tetap khusyuk. Rast sering digunakan di sini. Maqam Rast adalah maqam yang berkarakter agung, ceria, dan penuh harapan. Ia memberikan nuansa optimisme dan kekuatan, sesuai dengan ajakan untuk meraih keberuntungan (falah).

Alternatifnya, kadang-kadang diselipkan elemen Maqam Saba, yang dikenal karena sentuhan melankolisnya. Penggunaan Saba di bagian ini bertujuan untuk mengingatkan pendengar akan pentingnya shalat sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan abadi, menambah urgensi spiritual pada ajakan tersebut. Dalam Azan Muammar, perpaduan Rast dan Saba ini menciptakan dinamika yang menarik: undangan yang bersemangat, namun juga penuh kesadaran diri.

D. Penutup: Kembali ke Dasar atau Peningkatan Intensitas

Azan Muammar sering diakhiri dengan pengulangan Takbir dan Syahadat. Pada penutup, "Allahu Akbar" dan "La ilaha illallah", Muammar cenderung kembali ke maqam awal (Bayati atau Jiharkah) untuk memberikan kesan penutupan yang damai dan bulat, atau justru meningkatkan intensitas Maqam Hijaz pada lafal penutup untuk meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan di benak pendengar.

III. Kedalaman Spiritual dan Dampak Psikologis Azan Muammar

Azan Muammar tidak hanya diapresiasi karena keindahan teknisnya; daya tahannya sebagai sebuah referensi utama terletak pada dampaknya yang mendalam secara spiritual dan psikologis. Keindahan suara di sini bertindak sebagai katalisator kekhusyukan.

A. Konsep Kekuatan Vokal (Hasanat as-Saut)

Dalam Islam, suara yang indah (*hasanat as-saut*) dalam pembacaan Al-Qur'an atau Azan adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk meninggikan kalimat Allah. Rasulullah SAW bersabda mengenai pentingnya memperindah suara saat membaca. Azan Muammar adalah perwujudan maksimal dari anugerah ini. Setiap detail tarannum, setiap modulasi nada, dirancang bukan untuk pameran artistik semata, tetapi untuk membantu pendengar keluar dari hiruk pikuk dunia.

Ketika nafas Muammar ditarik panjang untuk kalimat "Allahu Akbar," pendengar seolah dipaksa untuk berhenti sejenak dan merenungkan makna Kebesaran Tuhan yang absolut. Kekuatan vokal tersebut memaksa perhatian, dan keindahan melodinya kemudian menenangkan jiwa, memfasilitasi transisi dari keadaan duniawi ke keadaan ibadah.

B. Estetika Penantian dan Durasi

Salah satu ciri khas Azan Muammar adalah durasinya. Berbeda dengan Azan fungsional yang dibawakan cepat, Azan dalam gaya ini sering kali memakan waktu lebih lama karena elaborasi melodis. Durasi yang lebih panjang ini menciptakan suasana penantian yang sakral. Ketika Muazzin menahan nafasnya dan memanjangkan nada (mad) pada suku kata tertentu, ini memberi waktu bagi pendengar untuk secara sadar menyerap makna teologis dari frasa yang diucapkan. Ini adalah jeda meditatif yang sangat berharga.

C. Peran Azan dalam Membentuk Identitas Musikal Islam Modern

Azan Muammar telah secara tak terelakkan membentuk preferensi estetika di kalangan muazzin muda di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan bahkan di luar Asia Tenggara. Gaya ini mengajarkan bahwa Azan tidak harus statis. Ia bisa menjadi platform untuk menampilkan keindahan seni tarannum, asalkan ketepatan tajwid tetap menjadi prioritas utama. Hal ini mendorong munculnya generasi muazzin yang lebih terampil dalam mengelola maqamat, sehingga memperkaya kancah musikal Islam secara keseluruhan.

Azan Muammar bukan hanya tentang mencapai nada tertinggi atau memanjangkan nafas. Ini adalah tentang kalibrasi emosi spiritual melalui aransemen nada yang cermat. Ia adalah contoh sempurna bagaimana seni dan ibadah dapat berinteraksi, menghasilkan sebuah pengalaman yang memurnikan jiwa. Keindahan teknisnya adalah wadah bagi keagungan pesan monoteisme.

IV. Perbandingan Gaya: Azan Muammar dalam Konteks Global

Meskipun Azan memiliki teks yang universal, cara penyampaiannya bervariasi secara signifikan di seluruh dunia Islam, dipengaruhi oleh tradisi musikal lokal. Untuk menghargai keunikan Azan Muammar, perlu dilakukan perbandingan singkat dengan beberapa gaya Azan ikonik lainnya.

A. Gaya Azan Hijazi (Mekkah dan Madinah)

Gaya Azan Hijazi, yang dibawakan oleh muazzin Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi), cenderung menggunakan Maqam Hijaz secara dominan, kadang diselingi Bayati. Ciri khasnya adalah penyampaian yang sangat teratur, berwibawa, dan sedikit lebih cepat daripada gaya Muammar, menekankan aspek fungsional dan kemegahan institusional. Meskipun sangat indah, Azan Hijazi lebih fokus pada konsistensi tradisi daripada improvisasi tarannum yang luas. Azan Muammar, sebaliknya, mengambil kebebasan yang lebih besar dalam modulasi dan penarikan nafas, memadukan tradisi Hijazi dengan sentuhan tarannum Mesir/Asia.

B. Gaya Azan Mesir (Saut Mesri)

Mesir dikenal sebagai pusat keunggulan Qira'at, menghasilkan qari-qari legendaris seperti Syeikh Abdul Basit Abdul Samad. Azan Mesir sering kali sangat melodis dan kaya akan tarannum, menggunakan berbagai maqamat seperti Sikah, Nahawand, dan Bayati. Muazzin Mesir cenderung memiliki fleksibilitas vokal yang tinggi. Azan Muammar memiliki kemiripan kuat dengan kebebasan melodi Mesir, namun dengan penekanan pada resonansi suara yang lebih dalam dan berat, ciri khas yang membedakannya dari gaya Mesir yang terkadang lebih fokus pada vibrasi cepat (*tartil*).

C. Kontribusi Muammar: Sintesis Timur dan Barat

Azan Muammar berdiri sebagai sintesis yang berhasil. Ia menggabungkan ketegasan dan otoritas gaya Hijazi dengan kekayaan tarannum Mesir, namun diperkaya dengan kekuatan nafas khas Qari Asia Tenggara. Hasilnya adalah sebuah Azan yang terdengar universal, mampu diterima oleh pendengar dari berbagai latar belakang budaya karena fokusnya pada kejernihan vokal dan struktur melodi yang indah dan logis. Kekuatan sintesis inilah yang memastikan rekaman Azan beliau terus diputar di berbagai platform, menjadi jembatan antara tradisi Timur Tengah dan realitas musikal Islam di Asia.

V. Analisis Teknis Mendalam (Tahrir dan Ghunnah): Detail Vokal yang Menciptakan Kekaguman

Keindahan Azan Muammar terletak pada detail-detail mikro dalam penyampaiannya. Teknik-teknik ini, yang berasal dari ilmu Qira'at dan seni tarik suara Arab klasik, adalah kunci untuk memahami mengapa suaranya begitu memukau dan sulit ditiru oleh muazzin lain. Bagian ini memerlukan eksplorasi yang sangat terperinci mengenai elemen-elemen yang menyusun struktur melodis Azan Muammar.

A. Manajemen Nafas dan Titik Akhir Frasa (Waqf)

Seperti yang telah disinggung, nafas Muammar adalah aset terbesarnya. Dalam konteks Azan, yang memiliki kalimat-kalimat panjang seperti dua kalimat syahadat, kemampuan untuk menahan nafas sangat krusial. Muammar tidak hanya menahan nafas; ia mengelola udara paru-paru untuk mempertahankan volume suara yang konsisten, bahkan pada saat mencapai nada tertinggi atau melakukan modulasi yang rumit.

Titik *waqf* (berhenti) yang dipilihnya selalu tepat dan strategis, sesuai dengan kaidah tajwid, namun juga dimanfaatkan untuk transisi melodis. Misalnya, saat mengucapkan “Asyhadu an la ilaha illallah,” ia memanfaatkan titik berhenti yang diperbolehkan untuk menghirup nafas, namun jeda tersebut begitu minimal dan mulus sehingga pendengar merasa kalimat itu diucapkan dalam satu tarikan nafas yang panjang dan berwibawa, sebuah ilusi akustik yang membutuhkan latihan vokal bertahun-tahun.

B. Penggunaan Tahrir dan Zawaid

*Tahrir* adalah teknik ornamen vokal yang melibatkan pengulangan cepat dari nada atau sekelompok nada, mirip dengan *trill* atau *vibrato* yang sangat cepat, sering digunakan untuk memperindah ujung sebuah frasa. *Zawaid* (tambahan) merujuk pada embellishment vokal yang tidak termasuk dalam melodi dasar maqam tetapi ditambahkan untuk keindahan.

Dalam Azan Muammar, *tahrir* sangat kentara pada pengucapan huruf-huruf tertentu, terutama pada penekanan seperti pada ‘M’ dalam “Muhammad” atau pada huruf ‘R’ yang diperpanjang. Teknik ini memberikan dimensi akustik yang kaya, membuat suara tidak terdengar datar, melainkan bertekstur dan hidup. Penggunaan *tahrir* ini sering menjadi pembeda utama antara muazzin amatir dan profesional; pada Muammar ZA, tahrir dieksekusi dengan presisi tinggi tanpa mengganggu kejelasan harakat (vokal pendek).

C. Teknik Ghunnah (Dengung) dalam Resonansi

*Ghunnah* adalah suara dengung yang keluar dari rongga hidung. Dalam tajwid, ia memiliki aturan ketat. Dalam Azan Muammar, ia memanfaatkan resonansi ghunnah, terutama pada lafal Allah, untuk memperkuat kedalaman suara. Resonansi yang kaya ini memberikan timbre suara yang unik—bersih, jernih, namun memiliki kekuatan yang bergema. Ini bukan hanya masalah teknik, tetapi juga akustik fisik. Muammar memanfaatkan rongga dada dan kepala secara penuh untuk menghasilkan suara yang mampu mengisi ruangan masjid tanpa perlu penguatan suara yang berlebihan.

D. Modulasi Interval yang Sulit (Tahawwulat al-Maqamat)

Maqamat dalam Azan Muammar bukan hanya digunakan secara terpisah, melainkan dijalin bersama melalui teknik *tahawwul* (peralihan). Sebagai contoh, perpindahan dari Maqam Rast ke Maqam Sikah atau Hijaz membutuhkan kontrol atas interval nada yang sangat sensitif (seperempat nada, yang tidak dikenal dalam musik Barat). Kemampuan Muammar untuk melompati interval-interval ini dengan akurat, misalnya, saat beralih dari suasana agung Rast ke kerinduan Hijaz dalam seruan yang sama, menunjukkan penguasaan total atas tangga nada Arab.

Aplikasi modulasi ini sering terjadi pada pengulangan kalimat, misalnya, Azan dimulai dengan Jiharkah, namun pengulangan kalimat pertama Takbir dapat langsung diangkat ke level nada yang lebih tinggi dalam maqam yang berbeda (misalnya, Nahawand), sebuah dinamika yang membangun antisipasi dan mempertahankan perhatian pendengar dari awal hingga akhir seruan.

VI. Warisan dan Institusionalisasi Azan Muammar

Warisan H. Muammar ZA tidak terbatas pada rekaman, tetapi telah terinstitusionalisasi, memengaruhi cara pengajaran Qira'at dan Azan di berbagai lembaga pendidikan Islam di Asia.

A. Azan Muammar sebagai Kurikulum Informal

Di banyak pesantren dan sekolah agama di Indonesia dan Malaysia, Azan Muammar secara informal dijadikan salah satu kurikulum utama bagi calon muazzin. Santri dan pelajar diminta untuk meniru, menganalisis, dan mempraktikkan manajemen nafas dan perpindahan maqamat yang digunakan oleh Muammar ZA. Hal ini melahirkan sebuah "mazhab" Azan yang menekankan kualitas vokal tinggi dan kompleksitas melodi.

Meskipun meniru secara persis adalah hal yang hampir mustahil karena keunikan fisik vokalnya, upaya meniru gaya tersebut telah meningkatkan standar kualitas para muazzin, mengajarkan mereka pentingnya variasi nada dan pentingnya memperlakukan Azan sebagai sebuah bentuk seni yang serius. Warisan ini menjamin bahwa Azan akan terus dibawakan dengan penuh perhatian terhadap estetika dan spiritualitas.

B. Konservasi Suara di Era Digital

Rekaman Azan Muammar menjadi salah satu konten audio keagamaan yang paling banyak dicari dan diputar di era digital. Kehadirannya yang masif di platform streaming dan media sosial memastikan bahwa suara beliau tidak akan pernah hilang. Konservasi digital ini tidak hanya melestarikan suara, tetapi juga metodenya. Setiap generasi baru dapat mengakses dan mempelajari teknik-teknik tarannum yang ia gunakan, memastikan bahwa ilmu maqamat dalam Azan tetap hidup dan dipraktikkan.

C. Azan sebagai Simbol Keharmonisan Umat

Pada akhirnya, resonansi Azan Muammar melintasi batas-batas mazhab dan aliran. Suara beliau diterima secara universal karena sifatnya yang murni artistik dan spiritual. Di tengah keragaman pandangan dalam Islam, Azan Muammar berfungsi sebagai pengingat akan kesatuan yang dicapai melalui keindahan. Ia menjadi simbol bahwa seni dan ketaatan dapat menyatu dalam harmoni sempurna, menghasilkan sebuah panggilan yang mempersatukan umat, terlepas dari latar belakang geografis atau budaya mereka.

Keagungan seruan ini, yang dibawakan dengan nafas panjang dan tarannum yang mengalir bak air, telah mengubah cara jutaan orang di seluruh dunia mendefinisikan panggilan menuju shalat. Azan Muammar bukan hanya warisan seorang qari; ia adalah warisan spiritual yang abadi bagi seluruh umat Islam, sebuah mahakarya suara yang terus menggema, menyerukan Kebesaran Tuhan dengan keindahan yang tak tertandingi.

Siluet Masjid dengan Kubah dan Menara Siluet hitam sebuah masjid bergaya arsitektur Timur Tengah dengan satu kubah besar dan dua menara di sampingnya.

Masjid, lokasi sakral di mana gema Azan Muammar pertama kali terdengar.

VII. Elaborasi Lanjutan: Teknik Vokal dan Pengolahan Konsonan-Vokal

Pencapaian kata yang sangat detail dalam Azan Muammar adalah hasil dari pengolahan konsonan dan vokal yang presisi, sesuatu yang sering luput dari perhatian pendengar awam. Ilmu *makharijul huruf* (tempat keluarnya huruf) ditekankan secara maksimal. Dalam Azan, setiap huruf harus jelas, terutama konsonan-konsonan berat seperti ‘Raa’ dan konsonan tenggorokan seperti ‘Ain’ dan ‘Haa’.

A. Penekanan pada Huruf 'Ain

Frasa kunci seperti "Asyhadu an la ilaha illallah" mengandung dua huruf ‘Ain. Huruf ‘Ain adalah konsonan tenggorokan yang membutuhkan kontrol pita suara yang kuat. Muammar ZA mampu mengucapkan ‘Ain dengan jelas dan penuh tenaga, bahkan saat berada pada nada tertinggi dalam maqam Hijaz. Kejelasan artikulasi ini memastikan bahwa pesan ketauhidan disampaikan tanpa keraguan, memberikan otoritas yang mendalam pada seruan tersebut. Jika ‘Ain diucapkan lemah, Azan akan kehilangan kekuatannya. Dalam Azan Muammar, ‘Ain dipertahankan dengan resonansi yang optimal, menghubungkannya dengan tradisi Qira'at Mesir yang sangat menghargai kejelasan huruf tenggorokan.

B. Penggunaan Vokal Panjang (Mad) sebagai Titik Ornamentasi

Dalam Azan, vokal panjang (*mad*) yang terjadi pada "Allahu Akbaaaar," "ilaaaha," dan "asalaaah" adalah titik utama di mana tarannum diterapkan. Muammar ZA memanfaatkan durasi mad ini secara fleksibel—tidak hanya sekadar memanjangkan vokal, tetapi juga melakukan serangkaian *ghammaz* (penekanan melodi) dan *tahrir* di tengah perpanjangan vokal tersebut. Teknik ini membutuhkan nafas yang stabil dan kemampuan untuk mengatur aliran udara agar suara tidak bergetar secara tidak menentu (*khilaf*).

Pengolahan mad ini juga berkaitan erat dengan dinamika suara. Ia akan memulai mad dengan volume sedang, meningkatkannya ke klimaks yang tinggi, dan kemudian menurunkannya kembali sebelum nafas habis. Pola naik-turun yang dramatis ini, yang diulang-ulang dalam setiap frasa, adalah salah satu elemen yang membuat Azan Muammar terasa begitu menggugah, sebuah perlakuan terhadap waktu dan melodi yang setara dengan komposisi musik klasik.

C. Konsistensi Nada Dasar (Qarar)

Meskipun terjadi modulasi antar-maqam yang kompleks, Muammar ZA selalu mempertahankan konsistensi pada nada dasar (*qarar*) suaranya. Ini adalah titik anchor vokal yang memastikan bahwa meskipun ia melompat ke nada tinggi (jawaab) atau nada yang lebih tinggi lagi (jawaab al-jawaab) untuk mencapai klimaks dramatis, ia selalu dapat kembali ke nada dasar dengan mudah. Konsistensi ini memberikan stabilitas struktural pada Azan, mencegahnya terdengar kacau atau terlalu improvisasi, dan memperkuat kesan wibawa dan keseriusan.

Dalam banyak rekaman Azan Muammar, dapat diamati bahwa ia sering memilih nada dasar yang relatif rendah di awal, memberikan ruang yang luas untuk eksplorasi melodi ke atas. Ini adalah strategi cerdas; memulai terlalu tinggi akan membatasi potensi tarannum, sementara memulai dengan qarar yang kokoh menjamin bahwa setiap peningkatan nada (terutama pada ‘Hayya ‘alas-salah’ dan ‘Hayya ‘alal-falah’) benar-benar terasa sebagai peningkatan yang membawa pendengar ke tingkat spiritual yang lebih tinggi.

VIII. Azan Muammar dalam Konteks Teologis: Hubungan antara Estetika dan Khusyuk

Pertanyaan teologis mendasar sering muncul: Sejauh mana keindahan artistik (tarannum) diperbolehkan dalam Azan, yang merupakan ibadah fungsional? Azan Muammar memberikan jawaban yang kuat, menegaskan bahwa estetika yang benar dapat meningkatkan kualitas ibadah.

A. Menarik Hati Melalui Keindahan

Tujuan utama Azan adalah memanggil orang untuk shalat. Jika Azan dibawakan dengan suara yang kasar atau nada yang datar, ia mungkin tidak efektif dalam memecah kebisingan dunia. Keindahan Azan Muammar berfungsi sebagai magnet spiritual. Dalam pandangan banyak ulama, termasuk mereka yang mendukung tarannum, selama aturan tajwid tidak dilanggar dan melodi tidak menyerupai musik yang dilarang, memperindah Azan adalah *mustahab* (dianjurkan) karena membantu menarik hati manusia menuju masjid.

Gaya Muammar membuktikan bahwa keindahan yang terstruktur, yang didasarkan pada ilmu maqamat, adalah alat yang sangat efektif untuk mencapai kekhusyukan. Maqam-maqam yang dipilihnya tidak bersifat riang atau santai, melainkan cenderung serius dan merenungkan, memandu pendengar secara emosional menuju momen introspeksi sebelum memasuki shalat.

B. Presisi dan Kesempurnaan dalam Ibadah

Dalam Islam, setiap perbuatan, apalagi ibadah, harus dilakukan dengan kesempurnaan (*ihsan*). Bagi seorang Muazzin, ihsan tidak hanya berarti mengucapkan kalimat dengan benar (tajwid), tetapi juga menyampaikan pesan dengan otoritas dan kejelasan maksimal. Azan Muammar adalah contoh *ihsan* vokal. Tingkat detail dan ketelitian dalam setiap tarannum mencerminkan dedikasi Muammar untuk menyempurnakan ibadah melalui anugerah suaranya.

Kesempurnaan teknisnya menghilangkan potensi distorsi makna. Karena setiap huruf dan setiap perpanjangan vokal dilakukan dengan presisi tinggi, makna Takbir atau Syahadat tersampaikan secara utuh, tanpa kabur oleh ornamen melodis yang berlebihan. Ini adalah keseimbangan yang halus antara seni dan syariat, di mana seni melayani syariat.

IX. Kesulitan dan Tantangan dalam Meniru Azan Muammar

Meskipun Azan Muammar menjadi rujukan, menirunya adalah tantangan besar yang dihadapi oleh muazzin di seluruh dunia. Ada beberapa faktor yang membuat gaya ini sulit ditiru.

A. Kapasitas Vokal yang Diwarisi

Kekuatan nafas dan resonansi yang dimiliki H. Muammar ZA sebagian besar bersifat genetik atau merupakan hasil dari pelatihan yang ekstrem sejak usia dini. Tidak semua muazzin memiliki kapasitas paru-paru yang memungkinkan mereka menarik kalimat syahadat dengan *ghunnah* yang begitu panjang. Upaya meniru tanpa kapasitas vokal yang memadai sering kali menghasilkan Azan yang terdengar terengah-engah atau cempreng di nada tinggi, menghilangkan kesan wibawa yang menjadi ciri khas gaya aslinya.

B. Penguasaan Maqamat dan Tahawwul Cepat

Banyak muazzin mungkin menguasai satu atau dua maqam, tetapi Azan Muammar menuntut penguasaan beberapa maqam sekaligus dan kemampuan untuk beralih di antaranya dalam hitungan detik. Peralihan cepat (*tahawwul*) ini memerlukan memori musikal dan kontrol pita suara yang luar biasa. Gagal dalam tahawwul akan membuat Azan terdengar tidak harmonis dan terpecah-pecah.

C. Integritas Emosional dan Kekhusyukan

Hal yang paling sulit ditiru adalah integritas emosional yang disampaikan oleh Muammar. Suaranya tidak hanya indah; ia terdengar tulus dan penuh keyakinan. Kekuatan spiritual ini berasal dari pengalaman pribadi sang Qari dengan Al-Qur'an dan ibadah. Meniru tarannum tanpa menghayati makna teologis di baliknya hanya akan menghasilkan imitasi tanpa jiwa. Azan Muammar berhasil karena teknik vokalnya adalah sarana untuk menyampaikan kekhusyukan yang otentik, bukan tujuan akhir itu sendiri.

Kesimpulannya, Azan Muammar adalah sebuah monumen keindahan audio dalam Islam. Ia bukan sekadar panggilan, melainkan sebuah pertunjukan seni suci yang menggabungkan presisi teknis *tajwid* dengan kekayaan melodi *maqamat*, dibawakan oleh seorang maestro yang karunia suaranya telah membentuk standar estetika Azan di seluruh dunia. Warisan gema spiritual ini akan terus berlanjut, membimbing jutaan hati menuju ketenangan shalat melalui kekuatan suara yang tak tertandingi.

🏠 Kembali ke Homepage