Syukur, sebuah konsep yang melampaui sekadar ucapan terima kasih di bibir, merupakan inti dari hubungan spiritualitas manusia dengan Penciptanya. Dalam ajaran Islam, syukur (shukr) adalah fondasi keimanan yang kokoh, menjadikannya perintah ilahi yang berulang kali ditekankan dalam kitab suci Al-Quran. Konsep ini mencakup pengakuan hati, manifestasi lisan, dan implementasi perbuatan terhadap setiap karunia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Artikel ini hadir sebagai penjelajahan mendalam terhadap ayat-ayat suci yang membahas kewajiban, hikmah, konsekuensi, dan hakikat syukur. Kita akan menelusuri bagaimana Al-Quran menyusun syukur bukan hanya sebagai respons pasif terhadap nikmat, tetapi sebagai mekanisme aktif untuk memastikan kelanggengan dan pertambahan karunia dari Allah SWT. Melalui kajian tafsir, kita akan menemukan dimensi linguistik dan spiritual yang mengubah syukur dari sekadar etika menjadi strategi kehidupan yang membawa kedamaian dan kebahagiaan sejati.
Syukur adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari satu Sumber Yang Maha Pemberi. Tanpa pengakuan ini, manusia cenderung jatuh ke dalam jurang kufur nikmat (mengingkari nikmat), suatu kondisi spiritual yang oleh Al-Quran diperingatkan dapat membawa konsekuensi yang amat berat. Mari kita mulai perjalanan menelusuri pilar-pilar syukur sebagaimana ditetapkan dalam firman Allah.
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang menjadi inti ajaran syukur, menetapkan kaidah universal tentang bagaimana manusia harus merespons karunia Allah. Ayat-ayat ini tidak hanya bersifat anjuran, tetapi juga memuat janji pahala yang besar bagi yang bersyukur dan ancaman siksa bagi yang ingkar.
Ayat ini adalah salah satu ayat terpenting yang menyandingkan dzikir (mengingat Allah) dengan syukur. Struktur ayat yang berpasangan ini menunjukkan bahwa syukur adalah hasil alami dari kesadaran (dzikir). Dzikir menciptakan kesadaran, dan kesadaran melahirkan syukur.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna "Ingatlah kepada-Ku" adalah dengan melakukan ketaatan, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Respons ilahi, "Aku pun akan ingat kepadamu," diartikan sebagai pemberian rahmat, ampunan, dan kemuliaan di sisi-Nya. Dengan kata lain, hubungan ini adalah timbal balik yang didasarkan pada inisiatif hamba.
Lalu, Allah SWT melanjutkan dengan perintah tegas: "Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar (kepada-Ku)." Frasa 'janganlah kamu ingkar' (wa lā takfurūn) di sini secara langsung merujuk pada kufur nikmat. Ingkar bukan hanya berarti menolak keberadaan Tuhan, tetapi juga tidak memanfaatkan nikmat yang diberikan sesuai dengan kehendak-Nya.
Syukur dalam konteks ayat ini memiliki tiga dimensi:
Jika seseorang diberi nikmat kekayaan, namun kekayaan itu digunakan untuk maksiat dan menjauhi kebenaran, maka ia telah ingkar (kufur) terhadap nikmat harta, meskipun lisannya mungkin mengucapkan syukur.
Ayat 7 dari Surah Ibrahim adalah ayat yang paling monumental mengenai janji syukur. Ini adalah sebuah deklarasi, sebuah maklumat (ta'adzana) yang bersifat tegas dan mengikat sepanjang masa. Ayat ini menjamin adanya hukum kausalitas spiritual yang tidak dapat dibatalkan: Syukur mendatangkan pertambahan (ziyâdah), sementara ingkar mendatangkan siksa (adzâb).
Penggunaan huruf lām tawkīd (lam penekanan) dan nūn tawkīd tsaqīlah (nun penekanan yang kuat) pada kata la'azīdanna-kum menunjukkan kepastian janji ini. Allah tidak hanya berjanji "akan menambah," tetapi "PASTI Kami akan menambah." Ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai validitas janji ilahi ini.
Pertambahan nikmat (ziyādah) yang dimaksud dalam ayat ini tidak terbatas pada hal-hal material. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pertambahan mencakup:
Sebaliknya, ancaman "sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" bagi yang kufur nikmat juga menggunakan penekanan yang kuat (inna dan la-syadīd). Ini memperingatkan bahwa mengingkari nikmat bukan hanya mengakibatkan hilangnya nikmat, tetapi juga mendatangkan hukuman yang setimpal, baik di dunia (seperti dicabutnya keberkahan atau musibah) maupun di akhirat.
Ayat ini mengarahkan fokus syukur kepada nikmat mendasar: fungsi kognitif dan sensorik. Keluar dari rahim ibu dalam keadaan tidak tahu apa-apa (jahil) menunjukkan kerentanan total manusia. Kemudian Allah menganugerahkan tiga alat utama untuk memperoleh ilmu dan kesadaran: pendengaran (as-sam'a), penglihatan (al-abshāra), dan hati nurani/akal (al-af’idah).
Frasa penutup, "la'allakum tasykurūn" (agar kamu bersyukur), menjelaskan tujuan utama diberikannya semua indera tersebut. Syukur di sini berarti menggunakan indera tersebut untuk mengenal Allah, memahami ayat-ayat-Nya (baik yang tertulis maupun yang terbentang di alam semesta), dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
Kufur terhadap nikmat ini berarti menggunakan pendengaran untuk gosip atau musik haram, penglihatan untuk melihat hal terlarang, atau hati untuk menanamkan kedengkian dan kesombongan. Ayat ini mengingatkan bahwa setiap organ tubuh adalah amanah yang menuntut pertanggungjawaban berupa syukur yang fungsional.
Al-Quran tidak hanya memberikan perintah umum tentang syukur, tetapi juga menampilkan contoh-contoh nyata dari para nabi dan rasul. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa syukur adalah sifat utama orang-orang pilihan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Kisah Nabi Sulaiman AS adalah puncak manifestasi syukur dalam kemewahan dan kekuasaan absolut. Setelah melihat singgasana Ratu Balqis dipindahkan dalam sekejap mata oleh seorang yang memiliki ilmu dari Kitab, respons pertamanya bukanlah kesombongan atau kebanggaan diri, melainkan pengakuan: "Ini termasuk karunia Tuhanku."
Hal yang paling penting dari pernyataan Sulaiman adalah kesadarannya bahwa kekuasaan itu adalah ujian (li yabluwanī). Kekuasaan, harta, dan kemuliaan adalah alat coba, dan respon terhadap ujian tersebut hanya ada dua: syukur atau kufur. Syukur di sini berarti menggunakan kekuatan itu untuk menegakkan tauhid dan keadilan, sebagaimana dilakukan oleh Sulaiman.
Bagian akhir ayat ini, "Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia," memberikan pemahaman teologis yang mendalam.
Syukur tidak menambah sedikitpun keagungan Allah; sebaliknya, manusia yang bersyukur sedang menanam investasi moral dan spiritual bagi dirinya sendiri di dunia dan akhirat. Allah Maha Kaya (Ghaniyyun), tidak membutuhkan syukur makhluk-Nya, dan Maha Mulia (Karīm), tetap memberikan nikmat-Nya meskipun banyak yang ingkar. Hal ini menunjukkan bahwa syukur adalah kebutuhan intrinsik manusia, bukan kebutuhan ilahi.
Nabi Nuh AS diberi gelar istimewa, 'abdan syakūran (hamba yang amat bersyukur). Gelar ini diberikan oleh Allah sebagai pujian abadi dan patokan bagi generasi setelahnya.
Mengapa Nuh digelari demikian? Riwayat menyebutkan bahwa Nuh senantiasa mengucapkan syukur dalam setiap keadaan, baik sebelum makan, setelah makan, sebelum berpakaian, dan setelah berpakaian. Syukur bagi Nuh adalah sikap hidup, bukan sekadar respons sesaat. Syukur Nabi Nuh menunjukkan bahwa bersyukur tidak harus menunggu nikmat yang luar biasa (seperti mukjizat Sulaiman), tetapi dapat dilakukan atas nikmat-nikmat yang paling rutin dan mendasar.
Ayat ini menghubungkan Syukur Nabi Ibrahim secara langsung dengan keikhlasan tauhid (hanifan) dan kepatuhan mutlak (qanitan). Bagi Ibrahim, syukur diwujudkan dalam penolakan total terhadap segala bentuk kemusyrikan dan dedikasi penuh kepada Allah. Penggelaran syākiran li an'umihi (orang yang mensyukuri nikmat-nikmat-Nya) adalah puncak dari semua sifat baiknya. Ini menegaskan bahwa syukur tertinggi adalah menjaga tauhid dan iman.
Salah satu fakta paling mencengangkan tentang syukur adalah bagaimana ia menjadi target utama Iblis. Al-Quran mencatat sumpah Iblis untuk menghalangi manusia dari jalan syukur, menjadikan syukur sebagai benteng pertahanan spiritual.
Ayat ini mengungkap strategi Iblis untuk menyerang manusia dari segala penjuru, dan tujuannya sangat jelas: agar manusia tidak menjadi golongan yang bersyukur. Ini menunjukkan betapa berharganya syukur di mata Allah, sehingga Iblis menjadikan kegagalan manusia dalam bersyukur sebagai parameter kesuksesan misinya.
Iblis tahu bahwa jika manusia benar-benar bersyukur, maka pertambahan nikmat akan terjadi, dan pintu-pintu kebaikan spiritual akan terbuka. Oleh karena itu, Iblis bekerja keras untuk menanamkan rasa ketidakpuasan, keserakahan, dan rasa kekurangan, yang semuanya merupakan antitesis dari syukur. Dengan merusak syukur, Iblis merusak fondasi hubungan hamba dengan Tuhannya.
Serangan dari empat penjuru oleh Iblis diartikan oleh para mufasir sebagai berikut:
Semua serangan ini pada akhirnya bertujuan agar manusia gagal dalam ujian bersyukur dan justru terjerumus dalam kufur nikmat.
Untuk menekankan pentingnya syukur, Al-Quran menyajikan kisah-kisah kaum terdahulu yang dihancurkan karena kesombongan dan pengingkaran mereka terhadap karunia Allah. Kisah-kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang konsekuensi fatal dari kufur nikmat.
Kaum Saba' diberi nikmat yang sempurna: Negeri yang makmur (baldatun tayyibah), iklim yang ideal, dan sistem irigasi canggih (Dinding Ma'rib). Allah memerintahkan mereka dua hal sederhana: makanlah dari rezeki-Nya dan bersyukurlah. Namun, mereka berpaling (fa a'radhū). Para mufasir menjelaskan bahwa kaum Saba' tidak hanya berhenti bersyukur, tetapi mereka mulai sombong dan menuntut hal-hal yang tidak wajar, bahkan ingin agar negerinya dijauhkan dari kemakmuran agar mereka harus bekerja keras, menunjukkan kebosanan terhadap nikmat yang mudah didapat.
Akibat dari pengingkaran ini adalah kehancuran ekosistem total melalui banjir bandang (Sailul 'Arim). Kebun-kebun yang tadinya subur diganti dengan pohon-pohon yang tidak menghasilkan buah lezat. Inti dari kisah ini ditutup dengan ayat 17: "Demikianlah Kami membalas mereka karena kekufuran mereka." Ini adalah penegasan bahwa pengingkaran nikmat dapat secara langsung memicu pencabutan keberkahan, mengubah kemudahan menjadi kesulitan, dan kemakmuran menjadi kemiskinan.
Walaupun ayat ini berfokus pada Iman dan Takwa, syukur adalah komponen integral dari kedua hal tersebut. Syukur mencegah masyarakat untuk berkata, sebagaimana yang dilakukan kaum yang ingkar dalam ayat 95: "Sungguh, nenek moyang kami pun telah ditimpa kesengsaraan dan kebahagiaan." Pernyataan ini menunjukkan bahwa mereka melihat nikmat dan musibah sebagai siklus alam biasa, tanpa mengaitkannya dengan kehendak Ilahi. Ini adalah bentuk kufur nikmat kolektif.
Sebaliknya, janji dibukanya berkah dari langit dan bumi adalah manifestasi ziyadah (pertambahan) yang dijanjikan bagi orang yang bersyukur. Jika individu bersyukur, nikmatnya bertambah. Jika masyarakat bersyukur (beriman dan bertakwa), berkah kolektif akan tercurah, meliputi sumber daya alam yang melimpah (berkah bumi) dan hujan serta kemudahan urusan (berkah langit).
Syukur tidak terbatas pada saat kemakmuran. Justru, level syukur tertinggi dicapai ketika seseorang mampu melihat karunia di tengah cobaan. Syukur dalam kesulitan disebut ridha (kerelaan).
Meskipun tidak ada ayat yang secara eksplisit menyebut kata 'syukur' dalam kisah Nabi Ayyub, keseluruhan kisahnya adalah manifestasi syukur tertinggi dalam bentuk kesabaran yang luar biasa. Allah memuji Ayyub:
Syukur di sini diwujudkan melalui Shabr (kesabaran) dan Awwab (selalu kembali kepada Allah). Syukur di tengah musibah adalah pengakuan bahwa musibah itu adalah kehendak-Nya, dan pada saat yang sama mengakui bahwa Allah masih menyisakan nikmat yang tak terhitung jumlahnya (nikmat iman, nikmat akal, nikmat sisa anggota tubuh yang sehat, dll.). Seorang yang bersyukur saat diuji tidak fokus pada apa yang hilang, tetapi pada apa yang masih ada, dan lebih penting lagi, pada ganjaran yang menanti di akhirat atas kesabaran tersebut.
Ayat ini adalah realitas pahit. Manusia cenderung lalai dan kufur (zhalūmun kaffār) karena ia hanya menghitung apa yang belum ia miliki, bukan apa yang sudah ia miliki. Ketidakmampuan kita menghitung nikmat harusnya memicu kesadaran bahwa kita harus bersyukur secara umum, karena mustahil bersyukur secara spesifik atas setiap nikmat yang tak terhitung.
Bahkan dalam kemiskinan, seseorang masih memiliki nikmat kesehatan yang tidak dimiliki oleh raja yang sakit. Dalam kesendirian, seseorang masih memiliki nikmat waktu luang untuk beribadah yang tidak dimiliki oleh orang yang sibuk. Inilah hakikat Syukur di segala kondisi: selalu ada celah nikmat yang tersisa untuk diakui dan disyukuri.
Al-Quran juga memberikan panduan praktis tentang bagaimana syukur harus diimplementasikan, terutama dalam hal rezeki, hubungan antar manusia, dan ibadah.
Ini adalah satu-satunya ayat di mana Allah memerintahkan syukur kepada-Nya dan kepada makhluk (orang tua) dalam satu kalimat. Ini menunjukkan bahwa berbuat baik dan bersyukur kepada orang tua adalah level ketaatan tertinggi setelah ketaatan kepada Allah. Orang tua, terutama ibu, adalah perantara nikmat terbesar—nikmat kehidupan.
Syukur kepada orang tua diwujudkan dengan:
Durhaka kepada orang tua adalah bentuk kufur nikmat terhadap anugerah perantara kehidupan yang diberikan Allah.
Perintah ini menghubungkan secara eksplisit konsumsi makanan halal (thayyibāt) dengan syukur. Syukur atas rezeki bukan hanya mengucapkan Alhamdulillah setelah makan, tetapi juga memastikan bahwa rezeki yang masuk ke dalam tubuh adalah bersih, baik sumbernya, maupun cara mendapatkannya.
Syukur atas rezeki menuntut tiga hal:
Syukur memiliki nilai abadi. Para penghuni surga akan melanjutkan praktik syukur sebagai ungkapan kebahagiaan tertinggi mereka. Ini menunjukkan bahwa syukur adalah sifat permanen yang dibawa dari dunia hingga ke akhirat.
Ayat ini menutup Surah Az-Zumar dengan pemandangan Akhirat setelah semua penghuni surga dan neraka mendapatkan tempatnya. Kesimpulan dari seluruh drama penciptaan dan pertanggungjawaban adalah ucapan: "Alhamdulillāhi Rabbil ‘Ālamīn" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam). Pujian ini diucapkan oleh para malaikat, dan menjadi ucapan abadi bagi para penghuni surga.
Hal ini mengajarkan bahwa tujuan akhir dari seluruh kehidupan adalah mencapai kondisi di mana hati sepenuhnya dipenuhi oleh pujian dan syukur kepada Allah. Surga adalah alam di mana tidak ada lagi keluh kesah, hanya ada pengakuan sempurna atas kebaikan dan rahmat-Nya.
Ayat ini memuat pertanyaan retoris yang kuat: siksa tidak diperlukan jika manusia memilih jalan syukur dan iman. Ini menegaskan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia bukanlah untuk menyiksa, melainkan untuk melihat ketaatan dan rasa syukur mereka.
Yang luar biasa, ayat ini menggunakan salah satu Asmaul Husna: Asy-Syakūr (Maha Mensyukuri). Secara harfiah, Allah adalah Dzat yang Maha Mensyukuri. Dalam konteks ini, makna 'mensyukuri' adalah 'memberi balasan yang besar atas amal yang kecil'. Allah tidak butuh amal kita, tetapi Dia membalasnya dengan berlipat ganda, jauh melebihi usaha hamba-Nya. Ketika manusia bersyukur (mengakui nikmat), Allah membalas syukur itu dengan memberikan balasan yang jauh lebih besar (pertambahan nikmat dan pahala yang tak terhingga). Ini adalah puncak rahmat-Nya dan dorongan terbesar bagi manusia untuk senantiasa bersyukur.
Setelah menelaah ayat-ayat pilar, penting untuk merumuskan bagaimana konsep syukur ini dapat dihidupkan secara nyata dalam era modern yang seringkali ditandai dengan kecemasan, kecepatan, dan rasa kurang.
Dzikir adalah bentuk syukur lisan yang paling utama. Selain lafazh Alhamdulillah yang menjadi inti, ada beberapa dzikir spesifik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang secara langsung mengandung unsur syukur.
Salah satunya adalah doa syukur di pagi hari, atau doa setelah bangun tidur yang mengakui bahwa nyawa dan kesehatan telah dikembalikan, serta ucapan "Subhanallah wa Bihamdihi" (Maha Suci Allah dan dengan Pujian-Nya) yang merupakan tasbih dan hamd (pujian/syukur) yang senantiasa dilakukan oleh para malaikat.
Penting untuk mengubah Alhamdulillah dari sekadar kata yang otomatis diucapkan menjadi pengakuan yang didasari kesadaran penuh akan nikmat yang baru saja dirasakan, sekecil apa pun itu.
Syukur hati dicapai melalui Tafakkur (perenungan). Hal ini dapat dilakukan dengan meluangkan waktu sejenak setiap hari untuk merenungkan tiga hal yang sering terlewatkan:
Ini adalah bentuk syukur yang paling menantang. Syukur perbuatan atas nikmat waktu luang adalah dengan mengisinya dengan hal-hal bermanfaat, bukan dengan kesia-siaan (laghwun). Syukur atas nikmat teknologi adalah dengan menggunakannya untuk menyebarkan kebaikan dan ilmu, bukan untuk keburukan atau fitnah.
Semua nikmat yang kita terima harus diarahkan kembali kepada ketaatan. Jika kita makan untuk mendapatkan energi, maka energi itu harus digunakan untuk shalat, bekerja halal, dan membantu sesama. Inilah definisi syukur yang fungsional dan transformatif.
Syukur juga harus menjadi budaya, dimulai dari lingkup terkecil: keluarga. Para orang tua harus mengajarkan anak-anak untuk bersyukur bukan hanya ketika diberi hadiah, tetapi juga ketika mereka bangun di pagi hari, menemukan makanan di meja, atau mendapatkan perlindungan dari cuaca buruk. Pendidikan ini dimulai dengan mengajarkan doa sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, serta menekankan bahwa kekurangan yang dilihat oleh mata duniawi seringkali tersembunyi keberkahannya oleh mata spiritual.
Konsep syukur kolektif dalam keluarga menciptakan atmosfer positif, mengurangi keluhan, dan meningkatkan qana'ah (merasa cukup), yang merupakan musuh utama sifat kufur nikmat.
Syukur, sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Quran, adalah jauh lebih dari sekadar emosi positif. Ia adalah sebuah filosofi hidup, sebuah metode untuk mengelola realitas, dan sebuah syarat untuk mencapai kebahagiaan sejati yang abadi.
Ayat-ayat suci telah menetapkan dengan jelas: bersyukur adalah investasi (QS. Ibrahim 14:7). Kita tidak bersyukur karena kita diwajibkan untuk meringankan beban Allah; sebaliknya, kita bersyukur karena kita memerlukan pertambahan nikmat-Nya dan perlindungan dari azab-Nya.
Syukur adalah pengakuan atas kelemahan dan keterbatasan diri manusia, serta keagungan dan kemurahan Allah yang tak terbatas. Saat manusia bersyukur, ia menempatkan dirinya pada posisi yang benar di hadapan Rabb-nya, yaitu sebagai hamba yang mengakui, menerima, dan menggunakan segala anugerah untuk tujuan yang ditetapkan oleh Sang Pemberi.
Allah SWT telah menyediakan segala yang kita butuhkan di dunia ini, mulai dari panca indera (QS. An-Nahl 16:78), rezeki yang halal (QS. Al-Baqarah 2:172), hingga tuntunan para nabi yang menjadi teladan syukur (QS. An-Naml 27:19). Tugas kita hanya satu, yang diulang kembali dalam QS. Al-Baqarah 2:152: "Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar (kepada-Ku)."
Dengan memegang teguh ajaran syukur ini, setiap Muslim dapat memastikan bahwa ia tidak hanya menikmati nikmat yang diberikan saat ini, tetapi juga menjamin pertambahan dan keberkahan nikmat tersebut di masa depan, hingga mencapai puncak kebahagiaan abadi di Jannah, tempat di mana ucapan syukur menjadi nyanyian tiada akhir.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan hamba Allah yang sedikit, yang mampu menunaikan hak syukur dengan sepenuh hati, lisan, dan perbuatan. Amin.