Al-Qur'an, sebagai kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, adalah sumber petunjuk utama bagi umat Islam. Ia adalah kitab yang sempurna, tiada keraguan di dalamnya. Namun, salah satu aspek keagungan dan keunikan Al-Qur'an terletak pada pembagian ayat-ayatnya menjadi dua kategori utama yang memiliki implikasi besar dalam ilmu tafsir, fikih, dan akidah: ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
Secara harfiah, kajian mengenai ayat mutasyabihat adalah kajian yang membedah ayat-ayat yang memiliki makna yang samar, multitafsir, atau hanya diketahui secara pasti hakikatnya oleh Allah SWT. Keberadaan ayat-ayat ini merupakan ujian keimanan, sekaligus pendorong bagi para ulama untuk mendalami lautan ilmu pengetahuan. Memahami definisi, batasan, dan cara menyikapi ayat mutasyabihat merupakan fondasi penting dalam menjaga kemurnian tauhid dan menghindari penyimpangan akidah.
Artikel yang komprehensif ini akan mengupas tuntas segala dimensi terkait ayat mutasyabihat, mulai dari definisi etimologis, dasar hukum dalam Al-Qur'an, hingga perdebatan metodologis yang mendalam antara ulama Salaf (generasi terdahulu) dan Khalaf (generasi kemudian) dalam menafsirkan teks-teks tersebut, khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah (Asma wa Sifat).
Kata mutasyabihat (المتشابهات) berasal dari akar kata Arab: شبه (syin-ba-ha), yang berarti 'kemiripan', 'keserupaan', atau 'kesamaan'. Dalam konteks Al-Qur'an, kata ini merujuk pada ayat-ayat yang serupa, sehingga sulit dipahami maksud pastinya karena memiliki beberapa kemungkinan makna. Ayat tersebut menyerupai makna lain, sehingga menimbulkan kerancuan atau keraguan bagi orang yang membacanya tanpa ilmu yang memadai.
Ayat muhkamat (المحكمات), yang berarti 'jelas' atau 'tegas', adalah lawan dari mutasyabihat. Muhkam berasal dari kata حكم (ha-ka-ma), yang berarti 'menghukumi', 'memperkokoh', atau 'memperjelas'. Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang:
Pembagian ini tidak datang dari ulama, melainkan langsung dari Allah SWT dalam Surah Ali Imran ayat 7. Ayat ini adalah dalil kunci yang wajib dianalisis secara mendalam:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Terjemah ringkasnya: "Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Ummul Kitab) dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (Ar-Rāsikhūna fil ‘Ilm) berkata: 'Kami beriman kepada-nya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.' Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran [3]: 7)
Para ulama ushul dan tafsir membagi jenis-jenis kemutasyabihan (kesamaran) menjadi tiga tingkatan, merujuk pada sejauh mana kesamaran tersebut dapat dipecahkan melalui penalaran (ijtihad) ataukah mutlak hanya diketahui Allah:
Ini adalah kesamaran yang timbul karena struktur bahasa, seperti homonim (satu kata banyak arti) atau penggunaan kata yang jarang. Contoh: kata ‘qurū’ (قروء) yang bisa berarti suci atau haid. Kesamaran ini dapat diatasi melalui analisis konteks ayat lain, hadis, atau kaidah bahasa Arab.
Kesamaran yang terjadi pada makna yang lebih dalam, biasanya berkaitan dengan hukum atau filosofi. Contoh: Detail-detail tertentu mengenai Hari Kiamat atau ruh. Walaupun maknanya samar, ijtihad para fuqaha dapat merumuskan hukum melalui qiyas atau istinbath, meskipun hasilnya bisa berbeda-beda (ikhtilaf).
Ini adalah inti dari perdebatan akidah. Ayat-ayat yang maknanya tidak mungkin dijangkau akal manusia dan hakikatnya hanya diketahui Allah. Contoh paling utama adalah sifat-sifat Allah (Ayat Sifat) dan hakikat alam ghaib (seperti bentuk arsy, hakikat ruh, atau waktu pasti Hari Kiamat). Inilah yang menjadi fokus utama dalam pertentangan antara kelompok Tafwid dan Ta’wil.
Ayat 7 Surah Ali Imran tidak hanya membagi jenis ayat, tetapi juga memberikan pedoman metodologis yang tegas mengenai cara penyikapan. Seluruh perdebatan teologis tentang Mutasyabihat berpusat pada satu titik kritis dalam ayat ini: jeda bacaan (waqaf) pada frasa kunci.
Pusat perdebatan terletak pada frasa: ﴿وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ﴾ (...wa mā ya‘lamu ta’wīlahū illallāh. Wal-rāsikhūna fil-‘ilm...)
Pertanyaannya: Apakah kata ‘wal-rāsikhūna fil-‘ilm’ (dan orang-orang yang mendalam ilmunya) dihubungkan (ma’thuf) dengan Allah, sehingga mereka juga mengetahui hakikat takwilnya? Atau, apakah waqaf (berhenti total) harus diletakkan setelah kata Allah (اللَّهُ), sehingga hanya Allah yang mengetahuinya?
Mayoritas ulama Salaf, termasuk Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, serta para ahli hadis, berpendapat bahwa waqaf harus dilakukan setelah kata Allah. Ini berarti:
"Tidak ada yang mengetahui takwilnya (hakikat mutlaknya) melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (setelah itu) berkata: 'Kami beriman kepadanya...'"
Dalam pandangan ini, Ar-Rāsikhūna fil-‘Ilm mengakui keterbatasan akal mereka dalam memahami hakikat Mutasyabihat, dan tugas mereka hanyalah beriman tanpa mencari tahu wujud atau hakikatnya (ini adalah metode Tafwid).
Sebagian ulama Khalaf, terutama dari kalangan Mu'tazilah dan sebagian Ash'ariyyah, berpendapat bahwa Ar-Rāsikhūna fil-‘Ilm dihubungkan dengan Allah, yang berarti mereka juga mengetahui takwil Mutasyabihat (setidaknya takwil yang bersifat penafsiran, bukan hakikat mutlak).
"Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan (juga) orang-orang yang mendalam ilmunya, (di mana) mereka berkata: 'Kami beriman kepadanya...'"
Pendapat ini memberikan legitimasi bagi ijtihad dan Ta’wil (metaforis/kiasan) terhadap Mutasyabihat, asalkan Ta’wil tersebut didukung oleh dalil-dalil Muhkamat lainnya.
Kata ta’wil dalam Al-Qur'an memiliki setidaknya tiga makna, dan kekeliruan memahaminya menjadi sumber perpecahan:
Ketika ulama Salaf menolak Ta’wil, mereka merujuk pada makna (1) – yaitu, mereka menolak mencari tahu hakikat wujud (kaifiyyah) sifat Allah.
Bagian terpenting dalam memahami ayat mutasyabihat adalah membedah dua mazhab utama dalam penyikapannya, khususnya terkait ayat-ayat sifat Allah (Ayat Sifat). Perbedaan ini murni bersifat metodologis, bukan perbedaan akidah dasar.
Tafwid berarti 'menyerahkan'. Ini adalah metode yang dianut oleh mayoritas ulama Salafush Shalih (para sahabat, tabi'in, dan imam mazhab yang empat) ketika berhadapan dengan Ayat Sifat. Inti dari Tafwid adalah penyerahan penuh kepada Allah mengenai hakikat (kaifiyyah) dari sifat tersebut, sambil menetapkan (itsbat) bahwa sifat itu disebutkan dalam Al-Qur'an.
Contoh Kunci Tafwid: Ketika ditanya tentang QS. Thaha [20]: 5 ("Ar-Rahman Istawa ‘alal Arsy"), Imam Malik menjawab dengan kaidah terkenal: "Al-Istiwā ma'lūm, wal kaif mamjūl, wal īmān bihī wājib, wa su’āl ‘anhu bid’ah." (Istiwā itu diketahui maknanya secara bahasa, namun hakikatnya (kaifiyyah) tidak diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang bagaimana hakikatnya adalah bid'ah).
Ta’wil berarti 'mengalihkan' atau 'memalingkan' makna literal suatu lafazh kepada makna majazi (kiasan/metafora) yang sesuai dan didukung oleh dalil yang jelas. Metode ini berkembang pesat di kalangan ulama Mutakallimin (teolog), terutama dari mazhab Ash’ari dan Maturidi, setelah menghadapi tantangan dari sekte-sekte yang menafsirkan Mutasyabihat secara literal (seperti Mujassimah atau Musyabbihah) yang berpotensi menyamakan Allah dengan makhluk.
Contoh Kunci Ta’wil: Menginterpretasikan 'Yadullah' (tangan Allah) sebagai 'Quwwah' (kekuatan) atau 'Ni'mah' (nikmat), dan menafsirkan 'Istawa' (bersemayam) sebagai 'Istawla' (menguasai/mengendalikan).
Meskipun sering dianggap bertentangan, Tafwid dan Ta’wil memiliki tujuan yang sama: menjaga kesucian (tanzih) Allah dari penyerupaan dengan makhluk.
Sebagian ulama modern, seperti Syaikh Muhammad Abduh, bahkan menggabungkan kedua metode ini: Tafwid untuk hakikat mutlak, dan Ta’wil untuk lafazh yang dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan awam.
Untuk memahami secara praktis, perlu dianalisis beberapa contoh ayat mutasyabihat yang paling sering menjadi pembahasan dan perdebatan teologis.
Ayat-ayat yang menyebutkan sifat Allah dengan lafazh yang juga digunakan untuk makhluk (antropomorfisme) adalah jenis Mutasyabihat yang paling sensitif.
Seperti dalam QS. Thaha [20]: 5: ﴿الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ﴾ (Ar-Rahman Istawa ‘alal Arsy – Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy).
Seperti dalam QS. Al-Fath [48]: 10: ﴿يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ﴾ (Yadullah fawqa aydīhim – Tangan Allah di atas tangan mereka).
Berdasarkan Hadis yang sahih, Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Lafazh 'turun' (Nuzul) secara harfiah merujuk pada perpindahan fisik, yang mustahil bagi Allah yang tidak terikat ruang.
Walaupun deskripsi Surga, Neraka, dan peristiwa Kiamat sangat detail, hakikat wujudnya adalah Mutasyabih yang tidak dapat dibandingkan dengan pengalaman dunia. Sifat Mutasyabihnya terletak pada kaifiyyah (bagaimana wujudnya).
Allah berfirman bahwa di Surga ada sungai-sungai dari madu dan susu. Secara lafazh, ini muhkam. Namun, hakikatnya (rasa, wujud, dan sifat) dari madu dan susu Surga adalah mutasyabih yang berbeda dengan madu dan susu di dunia. Ibnu Abbas RA berkata: "Di Surga, tidak ada apa pun yang menyerupai (sama persis) dengan yang ada di dunia selain nama-nama."
Ini adalah huruf-huruf tunggal yang diletakkan di awal beberapa surah, seperti Alif Lam Mim (الم), Kaf Ha Ya 'Ain Shad (كهيعص), atau Ha Mim ('حم). Makna huruf-huruf ini termasuk mutasyabihat tingkat tinggi (kulliyyah).
Ayat Ali Imran 7 secara tegas memperingatkan tentang bahaya penyikapan yang salah terhadap ayat mutasyabihat:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Terjemah: "Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya."
Zaygh (زيغ) berarti condong, miring, atau menyimpang. Orang yang hatinya telah 'zaygh' cenderung meninggalkan ayat-ayat Muhkamat yang jelas dan kokoh, dan malah terobsesi pada ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mencari-cari titik kelemahan dalam teks suci untuk membenarkan pandangan sesat mereka.
Ayat tersebut menyebutkan dua motif berbahaya:
1. Mencari Fitnah (ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ): Menimbulkan kekacauan akidah di masyarakat. Dengan memaksa menafsirkan mutasyabihat, mereka menciptakan keraguan pada keyakinan yang sudah mapan, yang ujungnya merusak keimanan umat.
2. Mencari Takwilnya (ابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ): Maksudnya adalah mencari hakikat mutlak (kaifiyyah) yang hanya diketahui Allah. Ini dilarang karena akal manusia tidak mampu menjangkau hakikat ketuhanan. Ta’wil yang dilarang di sini adalah Ta’wil yang dilakukan tanpa dasar ilmu, yang bertujuan semata-mata untuk memaksakan ideologi pribadi ke dalam teks suci.
Kewajiban utama bagi setiap Muslim awam adalah berpegang teguh pada kaidah "Kullun min ‘indi Rabbina" (Semuanya dari sisi Tuhan kami). Artinya, menerima Muhkam dan Mutasyabih dengan iman yang sama, dan menyerahkan urusan hakikat kepada Allah, sambil merujuk pada ulama Rāsikhūna fil ‘Ilm jika menemukan kebingungan.
Keberadaan ayat mutasyabihat dalam Al-Qur'an bukanlah suatu kelemahan, melainkan bagian dari kesempurnaan dan strategi pendidikan Ilahi. Para ulama tafsir menetapkan beberapa hikmah utama mengapa Allah menyertakan ayat-ayat yang samar:
Ayat mutasyabihat berfungsi sebagai ujian (imtihan) bagi hamba. Orang yang imannya lemah akan mencari pembenaran atas nafsunya melalui ayat tersebut, sedangkan orang yang imannya kokoh (Rāsikhūna fil ‘Ilm) akan tunduk dan berkata: "Kami beriman kepadanya." Ujian ini memisahkan antara orang yang murni beriman kepada sumber firman, dan orang yang hanya beriman pada apa yang masuk akal mereka saja.
Mutasyabihat mendorong para ulama untuk terus menggali ilmu, terutama dalam bidang bahasa Arab, Ushul Fiqh, dan ilmu perbandingan agama. Kesamaran lafazh tertentu memicu adanya ijtihad yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan kekayaan khazanah hukum Islam (fiqih). Jika semua ayat muhkam, maka pintu ijtihad akan tertutup, dan akal manusia akan stagnan.
Ayat mutasyabihat menjadi penanda bagi kedudukan ulama Rāsikhūna fil ‘Ilm (orang yang mendalam ilmunya). Dengan adanya ayat yang sulit, kedudukan ulama yang mampu menghubungkan ayat Mutasyabih dengan ayat Muhkam yang menjadi induk (Ummul Kitab) menjadi terangkat, dan umat diperintahkan untuk merujuk kepada mereka.
Keberadaan Mutasyabihat yang hakikatnya hanya diketahui Allah adalah pengingat bahwa akal manusia memiliki batas. Dalam urusan akidah dan ghaib, manusia harus menyadari keterbatasannya dan tidak mencoba merasionalkan zat dan sifat Allah yang transenden (Tanzih). Ini menjaga umat dari pemujaan terhadap akal (rasionalisme mutlak) yang berujung pada penolakan wahyu.
Kadang kala, kesamaran terjadi karena pengulangan makna dalam lafazh yang berbeda (seperti yang dijelaskan oleh Imam Ar-Razi). Pengulangan ini, meski samar, berfungsi untuk memperteguh makna yang telah disampaikan melalui ayat Muhkamat, namun dalam gaya bahasa yang lebih mendalam dan retoris.
Dalam konteks akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA), baik metode Tafwid maupun Ta’wil yang sahih adalah mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk menjaga tauhid dari dua ancaman besar:
Pendekatan Ahlussunnah (yang mencakup Salaf dan mayoritas Khalaf yang moderat) selalu berada di tengah antara ekstrem Tasybih dan ekstrem Ta'thil. Mereka berpegang pada kaidah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura [42]: 11). Ayat ini sendiri adalah Muhkam yang menjadi kaidah dasar untuk menafsirkan semua ayat Mutasyabihat.
Ketika membaca ‘Allah melihat’ (As-Sami’ul Bashir), kita wajib menetapkan sifat melihat dan mendengar (Itsbat), tetapi kita wajib meniadakan keserupaan dengan makhluk (Tanzih/Tasybih). Ini berlaku untuk semua Ayat Sifat. Jika metode Salaf (Tafwid) digunakan, artinya kita menetapkan lafazh tanpa menanyakan kaifiyyahnya. Jika metode Khalaf (Ta’wil) digunakan, lafazh diartikan secara majazi untuk menghindari pemahaman Tasybih oleh orang awam.
Imam Al-Ghazali, salah satu tokoh utama Ash'ari, menetapkan bahwa Ta'wil hanya dibolehkan jika memenuhi syarat-syarat ketat, antara lain:
Ta’wil yang melanggar prinsip-prinsip ini, seperti Ta’wil kaum Batiniah yang menghilangkan esensi syariat, adalah Ta’wil yang sesat (Ta’wil Zaygh).
Dalam sejarah Ilmu Kalam (teologi Islam), perdebatan tentang Mutasyabihat adalah motor utama. Mutasyabihat memaksa para teolog untuk merumuskan teori-teori ketuhanan yang koheren, khususnya dalam menghadapi filsafat Yunani. Teori Tafwid dan Ta’wil muncul sebagai solusi untuk mempertahankan kemurnian tauhid di tengah berbagai arus pemikiran rasionalis. Tanpa Mutasyabihat, kerangka teologis Islam mungkin tidak akan sekaya dan sedalam yang kita kenal sekarang.
Mutasyabihat mengajarkan kita bahwa pengetahuan adalah berlapis. Ada lapisan pengetahuan yang dapat kita capai (Muhkamat), dan ada lapisan yang mutlak berada di luar jangkauan (Hakikat Mutasyabihat). Inilah yang membedakan ilmu manusia dari Ilmu Allah SWT yang Mahaluas.
Kajian mengenai ayat mutasyabihat juga berkaitan erat dengan ilmu Nāsikh wa Mansūkh (ayat yang menghapus dan dihapus) dan ilmu Sababun Nuzul (sebab turunnya ayat). Meskipun ayat Nāsikh wa Mansūkh biasanya termasuk Muhkam, pemahaman kontekstualnya dapat membantu memecahkan kesamaran yang bersifat lafzhiyyah atau ijmaliyyah (global).
Beberapa ayat bersifat mutasyabih secara global (global ambiguity), namun menjadi jelas setelah dikaitkan dengan ayat Muhkam lainnya. Contohnya adalah perintah shalat. Al-Qur'an memerintahkan shalat secara umum (muhkam secara kewajiban), namun rincian jumlah rakaat, tata cara, dan waktu adalah mutasyabih secara detail. Detail ini kemudian dijelaskan oleh As-Sunnah (yang merupakan Muhkam dalam konteks implementasi syariat).
Oleh karena itu, prinsip mendasar dalam menafsirkan Mutasyabih adalah mengembalikan Mutasyabih kepada Muhkam. Muhkamat adalah induk (Ummul Kitab) yang menjadi penentu kebenaran. Semua penafsiran (Ta’wil) terhadap Mutasyabih harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan Muhkamat.
Imam Ibnu Jarir At-Tabari, mufassir agung, memberikan pandangan yang sangat seimbang. Ia membedakan dua jenis Ta'wil (takwil):
Menurut At-Tabari, orang yang mendalam ilmunya (Rasikhun) mengetahui takwil jenis pertama, sehingga mereka mampu menjelaskan konteks Mutasyabih tersebut, namun mereka tetap menyerahkan hakikat mutlaknya kepada Allah (Tafwid).
Ayat mutasyabihat juga berfungsi sebagai elemen retoris (Balaghah) dalam mukjizat Al-Qur'an (I’jaz). Kesamaran yang disengaja mendorong pendengar untuk merenungkan makna yang lebih dalam. Ketika Al-Qur'an menggunakan lafazh seperti 'Tangan' atau 'Wajah' untuk Allah, ia menggunakan bahasa manusia untuk menyampaikan konsep ketuhanan yang transenden. Tanpa bahasa ini, manusia tidak akan dapat membayangkan keagungan Allah, namun dengan bahasa ini, timbullah kewajiban untuk meniadakan kesamaan (Tanzih).
Misalnya, penggunaan kata 'tangan' memberikan konotasi kekuatan, kemampuan berbuat, dan kemuliaan, yang lebih kuat daripada sekadar menggunakan kata 'kekuatan' itu sendiri. Ini adalah sentuhan retoris yang hanya dapat dicapai oleh Kalam Ilahi.
Penting ditekankan bahwa semua hukum syariat dan prinsip akidah yang wajib dilaksanakan (seperti keesaan Allah, wajibnya shalat, keharaman riba) ditetapkan melalui ayat-ayat Muhkamat. Ayat mutasyabihat, meskipun mulia, tidak digunakan sebagai dasar utama penetapan hukum praktik (furū’) yang bersifat wajib, melainkan sebagai fondasi pemahaman mendalam (ushul) mengenai Zat dan Sifat Allah.
Jika ada pertentangan zahir antara ayat Muhkam dan Mutasyabih, maka ayat Muhkam wajib didahulukan dan dijadikan rujukan tafsir. Inilah makna dari Muhkam sebagai Ummul Kitab (induk dari Kitab).
Definisi ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki beberapa kemungkinan makna, yang paling terkenal di antaranya adalah ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah (Ayat Sifat) dan hakikat alam ghaib (Ghaibiyat).
Penyikapan yang benar terhadap ayat mutasyabihat merupakan barometer kemurnian akidah seseorang. Ulama telah memberikan dua metode utama yang diterima dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah:
Jalan keselamatan (salāmah) bagi seorang Muslim adalah mengikuti jalan Ar-Rāsikhūna fil ‘Ilm: mengimani semua yang datang dari Allah, baik Muhkam maupun Mutasyabih, dan mewaspadai godaan mengikuti kesamaran (zaygh) yang hanya bertujuan menimbulkan fitnah. Al-Qur'an, dengan dualitas Muhkam dan Mutasyabihnya, memastikan bahwa umat Islam senantiasa berada dalam posisi tawadhu (rendah hati) di hadapan keluasan Ilmu Allah, sekaligus termotivasi untuk terus mencari pemahaman yang paling benar dan mendekati ketaatan yang sempurna.
Ketaatan sejati terletak pada penerimaan total terhadap wahyu, bukan hanya pada bagian yang mudah dipahami. Mutasyabihat mengajarkan kita bahwa puncak ilmu adalah mengetahui batas ilmu itu sendiri.