Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup yang komprehensif, tidak hanya mengatur dimensi spiritual dan ritual, tetapi juga memberikan landasan teologis dan etis yang mendalam mengenai interaksi manusia dengan alam semesta. Salah satu ayat yang paling relevan dalam konteks krisis lingkungan dan sosial global adalah Surah Ar-Rum ayat 41. Ayat ini merupakan sebuah diagnosa ilahi yang menohok, menjelaskan akar masalah yang melanda bumi dan lautan, sekaligus menawarkan refleksi yang mendalam tentang kausalitas tindakan manusia.
Konteks Surah Ar-Rum sendiri seringkali berbicara tentang pertempuran antara kekuatan, baik dalam ranah politik, spiritual, maupun ekologis. Ayat ini hadir sebagai pengingat abadi bahwa segala kekacauan dan ketidakseimbangan yang tampak di hadapan mata—mulai dari bencana alam yang kian destruktif hingga degradasi moral yang sistemik—bermuara pada satu sumber tunggal: ‘apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia.’
I. Memahami Konsep Fasad (Kerusakan) dalam Bingkai Kosmologi Islam
Kata kunci sentral dalam ayat ini adalah Al-Fasad (الْفَسَادُ). Dalam bahasa Arab, fasad memiliki makna yang jauh lebih luas daripada sekadar "kerusakan" fisik. Ia mencakup kekacauan, ketidakberesan, kegagalan fungsi, dan pergeseran dari kondisi asli yang ideal atau fitrah. Kontras dari fasad adalah al-Islah (perbaikan atau reformasi).
Dalam perspektif Islam, Allah menciptakan alam semesta dalam keadaan tanzhim (keteraturan) dan tawazun (keseimbangan). Bumi dan segala isinya diciptakan dengan takaran yang sempurna. Ketika manusia, yang diberi amanah sebagai khalifah (pemimpin atau pengelola), melampaui batas dan bertindak sewenang-wenang, keseimbangan ini terganggu. Gangguan inilah yang disebut fasad.
A. Fasad: Kerusakan Ekologis dan Moral
Para mufassir (ahli tafsir) umumnya membagi makna fasad menjadi dua dimensi yang saling terkait erat, dan keduanya tercermin dalam kerusakan di darat dan laut:
1. Fasad Makro (Ekologis/Fisik): Ini adalah kerusakan yang nyata dan terukur pada lingkungan fisik—polusi air, erosi tanah, perubahan iklim, punahnya spesies. Kerusakan ini merusak sistem penopang kehidupan yang vital bagi kelangsungan seluruh makhluk.
2. Fasad Mikro (Sosial/Moral): Ini adalah kerusakan yang terjadi di dalam tatanan masyarakat dan jiwa manusia—ketidakadilan, penindasan, korupsi, penyebaran kejahatan, dan penyelewengan syariat. Ayat ini menyiratkan bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kerusakan moralitas dan spiritualitas manusia itu sendiri. Ketika hati manusia dipenuhi keserakahan dan kezaliman, dampaknya pasti akan meluber ke dunia luar.
Keseimbangan antara darat dan laut tidak hanya berbicara tentang ekosistem, tetapi juga tentang cara hidup manusia. Darat seringkali melambangkan stabilitas, tempat bermukim, dan sumber pangan utama (pertanian, hutan). Laut melambangkan mobilitas, sumber daya yang luas, dan misteri yang tak terbatas. Kerusakan di kedua domain ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang luput dari dampak buruk akibat keserakahan.
II. Tafsir Mendalam Ayat: Analisis Linguistik
Untuk menggali kedalaman Ar-Rum 41, kita harus menelaah setiap frasa kunci yang digunakan oleh Al-Qur’an:
A. Zhahara Al-Fasād (Telah Tampak Kerusakan)
Penggunaan kata kerja Zhahara (tampak, muncul, menjadi jelas) menunjukkan bahwa kerusakan bukanlah hal yang tersembunyi atau hipotetis. Kerusakan tersebut adalah realitas yang tidak dapat disangkal, sebuah bukti yang nyata dan kasat mata bagi siapa pun yang mau melihat. Ini menggarisbawahi urgensi masalah; kerusakan bukan ancaman masa depan, melainkan kondisi saat ini.
B. Fī Al-Barri wa Al-Bahri (Di Darat dan di Laut)
Penyebutan darat (Al-Bar) dan laut (Al-Bahr) secara spesifik menunjukkan totalitas. Ini adalah bahasa kiasan yang mencakup seluruh permukaan bumi yang didiami oleh manusia. Tidak ada sudut alam semesta yang luput dari intervensi negatif manusia. Fasad bukan fenomena lokal, melainkan fenomena global yang mempengaruhi seluruh planet.
Dalam beberapa interpretasi filosofis, Al-Bar juga melambangkan kehidupan yang stabil, sedangkan Al-Bahr melambangkan kehidupan yang bergerak, dinamis, atau bahkan wilayah yang penuh risiko dan tantangan (perdagangan, pelayaran). Jika kerusakan telah merasuk ke dalam dua ranah fundamental ini, artinya seluruh peradaban manusia sedang dalam bahaya.
C. Bimā Kasabat Aidī An-Nās (Disebabkan oleh Perbuatan Tangan Manusia)
Ini adalah frasa paling krusial, yang menegaskan prinsip kausalitas dan tanggung jawab. Kerusakan bukanlah takdir buta yang dijatuhkan dari langit, melainkan hasil langsung dari pilihan dan tindakan manusia. Frasa ‘tangan-tangan manusia’ (Aidī An-Nās) adalah metafora untuk usaha, daya upaya, kebijakan, dan keputusan yang dibuat oleh individu maupun kolektif. Ini menolak fatalisme dan menempatkan manusia sebagai agen moral utama di balik krisis.
D. Li-yudzīqahum ba’dha Alladzī ‘Amilū (Supaya Allah Merasakan kepada Mereka Sebagian dari Akibat Perbuatan Mereka)
Ayat ini kemudian menjelaskan tujuan ilahi di balik manifestasi fasad. Allah tidak langsung menghancurkan, tetapi "merasakan" kepada mereka sebagian saja dari akibat perbuatan mereka. Ini adalah manifestasi dari sifat rahmat dan keadilan-Nya. Hikmah di balik penderitaan akibat kerusakan (bencana, kelaparan, penyakit) adalah sebagai peringatan, bukan pembalasan total. Jika manusia merasakan sebagian kecil saja, bayangkan jika seluruh akibat dosa mereka ditimpakan sekaligus. Ini menegaskan bahwa bencana adalah pengingat untuk introspeksi.
E. La’allahum Yarji’ūn (Agar Mereka Kembali ke Jalan yang Benar)
Tujuan akhir dari teguran ini adalah at-taubah (kembali) atau al-ruju’. Allah ingin manusia berhenti dari kezaliman dan kembali kepada fitrah, kepada ajaran ilahi, dan kepada tugas hakiki mereka sebagai khalifah yang menjaga, bukan merusak. Penderitaan adalah katalisator untuk perubahan moral dan perilaku.
III. Manifestasi Fasad di Daratan (Al-Bar): Krisis Ekologi dan Sosial
Fasad di daratan (Al-Bar) mencakup seluruh sistem terestrial dan tatanan sosial-politik yang dibangun di atasnya. Kerusakan ini kini tampak dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengancam fondasi peradaban.
Fasad di Darat: Penebangan hutan liar dan polusi udara merupakan manifestasi langsung dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
A. Kehancuran Ekosistem Hutan
Deforestasi adalah salah satu contoh paling gamblang dari fasad di darat. Hutan, yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, regulator iklim, dan penyimpan karbon, dihancurkan demi keuntungan jangka pendek—baik untuk perkebunan monokultur, pertambangan, maupun pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan. Hilangnya hutan bukan hanya hilangnya pohon, tetapi hilangnya biodiversitas, terganggunya siklus air, dan meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Penebangan yang masif merusak struktur tanah, membuat tanah rentan terhadap erosi dan longsor. Ketika hujan deras datang, daratan yang telah kehilangan penyangga alaminya akan merespons dengan banjir bandang. Fenomena ini, yang sering kita anggap sebagai 'bencana alam', sesungguhnya adalah konsekuensi logis yang dipicu oleh 'perbuatan tangan manusia'. Ayat 41 mengingatkan bahwa siklus hidrologi dan geologi yang terganggu adalah teguran langsung atas intervensi yang melanggar batas.
B. Eksploitasi Sumber Daya Mineral dan Tanah
Eksploitasi sumber daya mineral yang serakah, seperti penambangan terbuka (open-pit mining), meninggalkan luka permanen pada bentang alam. Kawasan tambang seringkali menghasilkan limbah beracun yang merembes ke air tanah dan sungai, mencemari sumber kehidupan masyarakat lokal. Kerusakan ini tidak hanya fisik, tetapi juga sosial, karena seringkali merenggut hak ulayat masyarakat adat dan memicu konflik agraria.
Lebih jauh lagi, praktek pertanian modern yang terlalu bergantung pada bahan kimia sintetik—pestisida dan pupuk anorganik—menyebabkan degradasi kesuburan tanah. Tanah kehilangan kemampuan regenerasinya dan menjadi ‘kecanduan’ input kimiawi. Ini adalah bentuk fasad tersembunyi yang merusak kemampuan bumi untuk menyediakan pangan yang sehat bagi generasi mendatang, melanggar prinsip keberlanjutan (istiqamah) yang diajarkan Islam.
C. Fasad Sosial di Darat: Ketidakadilan dan Korupsi
Fasad di darat tidak berhenti pada aspek fisik; ia merasuk ke dalam tatanan sosial. Ayat 41 secara implisit mencakup kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi dan politik yang zalim. Korupsi, misalnya, adalah manifestasi utama dari fasad. Ketika pejabat publik atau elit ekonomi menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri, mereka secara efektif mencuri sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan umum. Tindakan ini memicu kemiskinan struktural, kesenjangan yang parah, dan hilangnya kepercayaan sosial.
Ketika hutan ditebang secara ilegal, atau ketika limbah dibuang tanpa izin, di balik tindakan fisik tersebut pasti ada rantai panjang korupsi dan kebijakan yang memfasilitasinya. Oleh karena itu, memperbaiki kerusakan lingkungan berarti harus terlebih dahulu memperbaiki kerusakan moral dan keadilan dalam masyarakat.
C.1. Urbanisasi dan Kerusakan Tata Ruang
Urbanisasi yang tak terkendali juga memicu fasad di darat. Pembangunan kota yang serampangan mengabaikan tata ruang hijau, menyegel resapan air dengan beton, dan membebani kapasitas alam di sekitarnya. Ini mengakibatkan banjir perkotaan yang kronis—sebuah ironi bahwa kemajuan teknologi justru memperburuk masalah yang seharusnya dapat diatasi dengan perencanaan yang bijak (hikmah) dan menghormati fungsi alami lingkungan.
IV. Manifestasi Fasad di Lautan (Al-Bahr): Krisis Kelautan Global
Laut, yang mencakup lebih dari dua pertiga permukaan bumi dan merupakan regulator iklim utama, menghadapi ancaman yang tak kalah serius dari daratan. Fasad di lautan adalah ancaman terhadap stabilitas pangan global, iklim, dan keanekaragaman hayati.
Fasad di Laut: Polusi plastik dan mikroplastik merusak rantai makanan dan mengancam kehidupan akuatik.
A. Polusi Plastik dan Kimiawi
Salah satu wujud fasad terbesar di laut adalah polusi sampah, terutama plastik. Jutaan ton plastik dibuang ke lautan setiap tahun. Plastik tidak hanya mencemari permukaan, membentuk ‘pulau sampah’ raksasa, tetapi juga terurai menjadi mikroplastik yang masuk ke dalam rantai makanan laut. Ketika manusia mengonsumsi hasil laut yang terkontaminasi, mereka secara harfiah ‘memakan’ kembali konsekuensi dari perbuatan tangan mereka sendiri. Ini adalah pengamalan langsung dari frasa li-yudzīqahum ba’dha alladzī ‘amilū.
Selain plastik, lautan juga menjadi tempat pembuangan limbah industri, limbah pertanian (nutrisi berlebih yang memicu alga bloom), dan tumpahan minyak. Pencemaran kimiawi ini mematikan terumbu karang, tempat perlindungan vital bagi kehidupan laut, dan merusak ekosistem pesisir seperti hutan bakau, yang sebenarnya berfungsi sebagai benteng pertahanan alami terhadap abrasi dan tsunami.
B. Eksploitasi Perikanan yang Tidak Bertanggung Jawab
Penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) adalah bentuk fasad yang menghancurkan keseimbangan populasi laut. Praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan jaring pukat harimau atau bom, tidak hanya menargetkan spesies tertentu tetapi juga menghancurkan habitat dasar laut dan menangkap spesies non-target (bycatch) secara sembarangan. Akibatnya, stok ikan global menurun drastis, mengancam mata pencaharian jutaan nelayan tradisional dan keamanan pangan miliaran orang.
Eksploitasi ini didorong oleh permintaan pasar yang tak terbatas dan sistem ekonomi yang memprioritaskan akumulasi kekayaan di atas konservasi. Ini adalah tindakan yang melanggar prinsip kehati-hatian (ihsan) dalam pengelolaan sumber daya. Sumber daya laut, sebagaimana sumber daya darat, adalah amanah yang harus dikelola dengan adil untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
C. Perubahan Iklim dan Asidifikasi Laut
Meskipun penyebabnya berakar di daratan (emisi gas rumah kaca dari industri dan transportasi), dampak paling parah dari perubahan iklim terasa di lautan. Peningkatan suhu global menyebabkan pemanasan air laut, yang memicu pemutihan (bleaching) terumbu karang secara massal. Karang adalah ekosistem paling rentan dan paling kaya di lautan; kehancurannya adalah malapetaka ekologis.
Selain itu, penyerapan karbon dioksida berlebih oleh air laut menyebabkan asidifikasi (peningkatan keasaman) lautan. Kondisi ini menyulitkan makhluk laut yang memiliki cangkang kalsium karbonat, seperti moluska dan plankton tertentu, untuk bertahan hidup. Fasad di darat (polusi udara) kini menjelma menjadi fasad di laut (perubahan komposisi kimia air), menunjukkan betapa terintegrasinya sistem bumi.
V. Dimensi Kausalitas dan Hukum Ilahi dalam Fasad
Ayat Ar-Rum 41 bukan sekadar deskripsi, melainkan pernyataan teologis tentang keterkaitan antara moralitas manusia dan keadaan alam. Al-Qur’an menetapkan bahwa tidak ada satu pun peristiwa di alam semesta yang terpisah dari tindakan manusia—terutama tindakan yang didorong oleh syirik (menyekutukan Allah) dan zulm (kezaliman).
A. Konsekuensi Hukum Tindakan (Jazā’)
Prinsip bimā kasabat aidī an-nās adalah penegasan hukum sebab-akibat (sunnatullah). Allah menciptakan alam dengan hukum fisika dan moral yang teguh. Ketika hukum-hukum ini dilanggar, konsekuensi buruk secara otomatis mengikuti. Jika manusia menebang hutan di hulu, banjir di hilir adalah konsekuensi yang dapat diprediksi, bukan hukuman arbitrer. Allah ‘membiarkan’ konsekuensi ini terjadi agar manusia belajar dari pengalaman pahit.
Para ulama tafsir kontemporer sering menekankan bahwa kerusakan alam merupakan ‘azab duniawi’ yang bersifat edukatif. Ia menunjukkan kegagalan model peradaban yang berlandaskan materialisme semata, yang menganggap alam hanya sebagai objek untuk dieksploitasi tanpa batas. Dengan merasakan musibah (kelaparan, kekeringan, bencana), manusia dipaksa untuk mengakui keterbatasan kekuatan mereka dan mengakui kedaulatan Allah atas alam semesta.
A.1. Kezaliman dan Hilangnya Berkah (Barakah)
Dalam pandangan Islam, ketika kezaliman (melanggar hak Allah dan hak makhluk) merajalela, Allah mencabut barakah (keberkahan) dari sumber daya tersebut. Meskipun kuantitas sumber daya mungkin masih besar (misalnya, banyak minyak atau banyak tangkapan ikan), hasilnya tidak membawa manfaat sejati, ketenangan, atau keadilan. Sebaliknya, sumber daya tersebut menjadi sumber konflik, korupsi, dan kehancuran. Inilah bentuk fasad spiritual yang menyebabkan fasad fisik.
B. Manusia sebagai Khalifah: Amanah yang Dilalaikan
Inti dari krisis fasad adalah pengabaian peran manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh. Tugas khalifah bukan untuk mendominasi, tetapi untuk mengelola, memelihara, dan menyeimbangkan. Tiga pilar utama amanah ini adalah:
- Tawhid (Keimanan): Mengakui bahwa semua sumber daya adalah milik Allah (QS. Al-Mulk: 1) dan manusia hanya meminjam. Ini mencegah kesombongan dan eksploitasi tanpa batas.
- ‘Adl (Keadilan): Mengelola sumber daya secara adil, memastikan distribusi yang merata, dan menghormati hak-hak semua makhluk, termasuk generasi mendatang.
- Istislah (Konservasi): Berusaha terus-menerus untuk memperbaiki dan menjaga keseimbangan (mizan) alam, bukan mencari keuntungan instan.
Ketika tangan manusia sibuk dengan praktik riba, penimbunan, dan pemborosan (israf), mereka telah melanggar semua pilar ini, dan hasilnya adalah fasad yang tampak di darat dan laut.
VI. Jalan Kembali: Islah (Reformasi) dan Tanggung Jawab Kolektif
Ayat 41 diakhiri dengan harapan: la’allahum yarji’ūn (agar mereka kembali). Ini menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya, tetapi panggilan untuk bertaubat dan melakukan islah (reformasi) total—baik pada tingkat individu, sosial, maupun struktural.
A. Taubat Ekologis: Perubahan Paradigma Individual
Kembali (ruju’) harus dimulai dari perubahan pandangan dunia (paradigma). Manusia harus beralih dari pandangan antroposentris (manusia adalah pusat alam semesta) menjadi pandangan teosentris (Allah adalah pusat, dan manusia adalah pengelola yang bertanggung jawab). Ini membutuhkan pengekangan diri dari konsumsi berlebihan dan keserakahan. Konsumsi yang bijak, menghindari pemborosan (israf), dan memilih produk yang berkelanjutan adalah bagian dari ibadah ekologis.
Setiap individu memiliki peran, betapapun kecilnya. Mengurangi jejak karbon, mendukung pertanian organik, atau berpartisipasi dalam program daur ulang adalah langkah-langkah konkret menuju islah pribadi yang berdampak pada keseluruhan sistem. Prinsip Islam mengajarkan bahwa niat yang tulus (ikhlas) dalam tindakan sekecil apa pun memiliki bobot besar di hadapan Ilahi.
B. Reformasi Struktural dan Keadilan Global
Karena fasad modern seringkali bersifat struktural dan global (didorong oleh perusahaan multinasional dan kebijakan negara), upaya islah juga harus bersifat struktural. Ini mencakup:
- Penegakan Hukum Lingkungan: Pemerintah harus memberlakukan dan menegakkan hukum yang melindungi ekosistem kritis dari eksploitasi, tanpa pandang bulu terhadap kekuatan politik atau ekonomi.
- Sistem Ekonomi Berbasis Keadilan: Mendorong sistem ekonomi yang menolak riba dan spekulasi yang mendorong eksploitasi sumber daya secara cepat, dan sebaliknya, mempromosikan ekonomi sirkular dan berbagi.
- Pendidikan Lingkungan: Mengintegrasikan kesadaran lingkungan dan etika khalifah dalam sistem pendidikan untuk menumbuhkan generasi yang menghormati alam sebagai tanda kebesaran Sang Pencipta.
Memerangi fasad juga berarti melawan korupsi. Jika sistem politik bersih dari korupsi, maka izin-izin eksploitasi yang merusak (seperti izin pertambangan di zona konservasi) tidak akan pernah dikeluarkan. Keadilan sosial dan keadilan ekologis adalah dua sisi mata uang yang sama dalam kerangka islah.
VII. Kedalaman Makna Simbolis Lautan dan Daratan
Interpretasi Ar-Rum 41 juga dapat diperluas melampaui makna harfiah geografis. Beberapa ulama tafsir mencoba memahami daratan dan lautan sebagai representasi dari dua tipe utama manusia atau institusi.
A. Daratan sebagai Kestabilan dan Tatanan Politik
Daratan, yang merupakan tempat di mana hukum, pemerintahan, dan tatanan sosial dibangun, dapat disimbolkan sebagai negara atau kekuasaan. Fasad di darat berarti kerusakan dalam sistem politik, hukum yang tidak adil, dan tirani penguasa. Dalam konteks ini, kerusakan adalah hasil dari hukum buatan manusia yang mengabaikan syariat Allah, menyebabkan penindasan internal dan ketidaksetaraan.
B. Lautan sebagai Perdagangan dan Dimensi Global
Lautan secara historis melambangkan perdagangan internasional, perjalanan, dan koneksi global. Fasad di laut dapat diartikan sebagai kerusakan dalam hubungan ekonomi global—perdagangan yang tidak adil, eksploitasi tenaga kerja lintas batas, dan ketidakseimbangan kekayaan antara Utara dan Selatan. Ini adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme global yang bersifat predatoris, yang mengeksploitasi sumber daya dari negara-negara miskin tanpa memberikan kompensasi yang adil, menciptakan kemiskinan dan ketergantungan abadi.
Jika dilihat dari perspektif ini, ayat 41 menjadi sangat relevan dalam kritik terhadap globalisasi yang tidak adil. Eksploitasi yang terjadi di ‘lautan’ (rantai pasok global) oleh ‘tangan manusia’ (korporasi raksasa) menciptakan fasad di ‘daratan’ (kemiskinan dan konflik di negara-negara produsen). Keterkaitan simbolis ini memperkuat pesan bahwa kerusakan adalah sebuah sistem yang terintegrasi, yang memerlukan solusi yang juga terintegrasi dan holistik.
VIII. Dampak Jangka Panjang Fasad: Ancaman terhadap Kemanusiaan
Peringatan dalam Surah Ar-Rum 41 bukanlah sekadar ancaman, melainkan proyeksi konsekuensi logis. Kegagalan untuk kembali ke jalan yang benar akan membawa dampak jangka panjang yang menghancurkan peradaban.
A. Ancaman Keamanan Pangan dan Air
Kerusakan tanah (erosi, salinisasi), kehancuran terumbu karang (tempat berkembang biak ikan), dan pencemaran air bersih secara kolektif mengancam keamanan pangan dan air. Negara-negara yang paling rentan terhadap fasad ekologis seringkali adalah negara-negara miskin, yang memperburuk ketidakadilan global. Kekurangan air bersih memicu penyakit dan migrasi massal, yang pada gilirannya menciptakan fasad sosial baru.
B. Migrasi Iklim dan Konflik Sumber Daya
Ketika daratan menjadi tandus dan air laut naik menenggelamkan wilayah pesisir (konsekuensi fasad), jutaan orang akan dipaksa meninggalkan rumah mereka. Migrasi iklim ini, yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia di negara-negara industri kaya, akan memicu konflik baru atas sumber daya yang tersisa. Konflik ini adalah manifestasi lain dari fasad yang diperingatkan oleh ayat, di mana manusia akhirnya saling menghancurkan karena kegagalan menjaga bumi.
C. Kehilangan Warisan Ilahi (Biodiversitas)
Setiap spesies yang punah akibat eksploitasi adalah kehilangan permanen dari keindahan dan kompleksitas ciptaan Allah. Dalam pandangan teologi Islam, alam semesta adalah ‘kitab terbuka’ yang mencerminkan nama-nama dan sifat-sifat Allah (ayatullah al-kawniyyah). Ketika manusia menyebabkan kepunahan, mereka telah merobek halaman-halaman dari ‘kitab’ ini, mengurangi kesempatan bagi manusia lain untuk merenungkan kebesaran Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya. Ini adalah bentuk fasad spiritual yang mendalam.
IX. Kesimpulan: Mandat Islah untuk Masa Depan
Surah Ar-Rum ayat 41 adalah seruan abadi yang melintasi zaman. Ini adalah pengakuan bahwa kita hidup dalam sistem yang saling terhubung—tindakan di darat memengaruhi laut, dan kerusakan moral di dalam hati memanifestasikan dirinya dalam kerusakan ekologis di luar. Kerusakan yang tampak di hadapan mata adalah sinyal peringatan yang penuh kasih (rahmah) dari Allah, yang dirancang untuk membangunkan kesadaran kita agar segera bertaubat dan kembali kepada islah.
Tanggung jawab sebagai khalifah menuntut kita untuk bergerak melampaui wacana; kita harus mengimplementasikan keadilan dalam setiap aspek kehidupan: dalam cara kita mengonsumsi, cara kita berbisnis, dan cara kita memerintah. Hanya dengan mengembalikan keadilan dan keseimbangan (mizan) yang ditetapkan oleh Ilahi, kita dapat berharap untuk meredakan dampak dari fasad dan mewujudkan bumi yang makmur, sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Jalan untuk ‘kembali’ (yarji’ūn) adalah jalan yang membutuhkan keberanian moral dan komitmen ekologis yang tak tergoyahkan.
Urgensi ayat ini semakin meningkat di era modern, di mana laju kerusakan melampaui kemampuan alam untuk memulihkan diri. Kerusakan di darat dan laut adalah warisan dari generasi yang terlalu serakah, dan tugas generasi sekarang adalah untuk berhenti, merenung, dan memulai perbaikan sebelum konsekuensi yang dijanjikan—yaitu ‘merasakan sebagian dari akibat perbuatan kita’—menjadi bencana total yang tak terhindarkan. Melalui ketaatan dan tanggung jawab ekologis, manusia dapat mengubah nasib mereka dan memulihkan barakah di seluruh penjuru alam.
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa solusi terhadap krisis lingkungan bukanlah semata-mata masalah teknologi atau sains, melainkan fundamentalnya adalah krisis spiritual dan moral. Sains mungkin menawarkan alat, tetapi Al-Qur'an memberikan peta jalan etis yang menunjukkan mengapa alat-alat tersebut harus digunakan, yaitu demi menegakkan keadilan dan menghindari fasad. Selama akar keserakahan dan kezaliman (bimā kasabat aidī an-nās) tidak dicabut dari jiwa kolektif, manifestasi kerusakan akan terus bertambah intens, terlepas dari kemajuan teknologi yang dicapai.
Peran individu dalam menanamkan kesadaran ini sangat vital. Ketika setiap pribadi Muslim menjalankan prinsip zuhud (sederhana) dan ihsan (berbuat baik) dalam interaksi sehari-hari dengan lingkungan—mulai dari cara membuang sampah hingga pilihan transportasi dan konsumsi energi—secara kolektif, mereka akan menciptakan kekuatan transformatif yang mampu melawan arus fasad struktural. Prinsip ini adalah janji Islam tentang kemampuan perubahan dari bawah ke atas.
Selain itu, perlu ditekankan bahwa fasad tidak selalu merujuk pada musibah berskala besar seperti gempa bumi atau tsunami, yang seringkali di luar kendali manusia, melainkan lebih spesifik pada akibat dari tindakan yang dapat dihindari. Contoh klasik yang sering dikutip para mufassir terdahulu adalah kekeringan akibat penimbunan air atau penjarahan hutan yang menyebabkan penurunan curah hujan lokal. Dalam konteks modern, ini mencakup perubahan pola cuaca ekstrem (banjir bandang, gelombang panas) yang secara ilmiah dapat diatribusikan pada aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca yang memanaskan atmosfer dan laut.
Jika kita menelisik lebih jauh pada frasa "li-yudzīqahum ba’dha alladzī ‘amilū", penekanan pada kata ‘sebagian’ memberikan pelajaran yang sangat kuat. Manusia hanya merasakan sebagian kecil dari konsekuensi penuh dosa dan kezaliman mereka. Sebagian ini berfungsi sebagai ‘rasa’ (yudzīqahum) yang berfungsi sebagai cicipan. Cicipan ini seharusnya cukup untuk menyadarkan akal dan hati, mendorong mereka untuk menghindari hidangan utama kehancuran yang menunggu jika mereka terus berjalan di jalur yang salah. Ini adalah manifestasi dari rahmat Ilahi yang mendahulukan peringatan sebelum hukuman penuh.
Kesadaran bahwa fasad adalah hasil kausalitas tindakan manusia juga menuntut pertanggungjawaban di Hari Akhir. Kegagalan sebagai khalifah di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karena itu, isu lingkungan dan sosial bukanlah masalah sekunder yang dapat diabaikan, melainkan inti dari pelaksanaan ibadah dan amanah di bumi. Keimanan yang benar pasti membuahkan perilaku yang menjaga keseimbangan alam.
Dalam konteks modern, upaya islah harus mencakup advokasi dan aktivisme. Diamnya orang baik dalam menghadapi eksploitasi dan kezaliman juga merupakan bentuk fasad pasif. Ayat ini memotivasi umat beriman untuk secara aktif menentang kebijakan dan praktik yang merusak, memperjuangkan keadilan ekologis, dan menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara—yaitu alam dan makhluk-makhluk yang rentan.
Kekuatan ayat Ar-Rum 41 terletak pada universalitas pesannya. Ini bukan hanya berlaku untuk umat Islam, tetapi menjadi prinsip moral universal tentang tanggung jawab manusia di bumi. Kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia tidak mengenal batas geografis atau agama; demikian pula, upaya untuk memperbaiki dan menjaga alam harus menjadi gerakan global yang didasari oleh prinsip-prinsip etika universal yang menekankan keberlanjutan dan keadilan.
Fasad di lautan, misalnya, seringkali luput dari perhatian karena jauh dari pandangan. Namun, lautan adalah sistem penyangga vital. Kita harus memahami bahwa setiap tetes minyak yang tumpah, setiap gram mikroplastik yang dibuang, adalah pelanggaran terhadap amanah. Konservasi laut menjadi barometer kesadaran manusia terhadap batas-batas alam yang harus dihormati. Pemahaman bahwa Al-Bahr adalah milik semua makhluk, bukan hanya milik mereka yang memiliki kapal pukat, adalah kunci untuk mengembalikan keadilan di lautan.
Mengakhiri refleksi panjang ini, kita kembali pada inti dari ruju’ (kembali). Kembali bukan hanya berarti berhenti merusak, tetapi secara aktif memperbaiki. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, yang menganjurkan penanaman pohon bahkan ketika hari kiamat telah tiba, islah adalah proses yang berkelanjutan, optimis, dan tidak pernah selesai. Kerusakan mungkin telah tampak di darat dan laut, tetapi peluang untuk bertaubat dan memperbaiki selalu terbuka, asalkan tangan-tangan manusia memilih untuk membangun, bukan menghancurkan.
Refleksi teologis ini mengajak kita untuk menyadari bahwa kepedulian terhadap lingkungan adalah ekspresi langsung dari iman. Ketika manusia mencintai Allah, mereka harus mencintai ciptaan-Nya, dan memeliharanya adalah bukti nyata dari kecintaan tersebut. Fasad di darat dan laut adalah cermin yang menunjukkan betapa jauhnya kita telah menyimpang dari peran yang Allah tetapkan bagi kita sebagai penjaga bumi.
Maka, seruan penutup dari ayat 41 adalah sebuah undangan abadi untuk melakukan introspeksi mendalam. Apakah kita, dengan setiap pilihan yang kita buat, berkontribusi pada fasad, ataukah kita menjadi agen islah? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan bukan hanya kualitas hidup kita di dunia, tetapi juga masa depan planet yang diamanahkan kepada kita.
Pengalaman krisis lingkungan dan sosial yang berkelanjutan—seperti pandemi global, kelangkaan air ekstrem, dan gelombang polusi udara—semakin mengkonfirmasi kebenaran profetik dari ayat ini. Bencana-bencana tersebut berfungsi sebagai 'rasa cicipan' yang memaksa umat manusia untuk menghentikan laju eksploitasi mereka yang tak berkesudahan. Kegagalan untuk membaca sinyal-sinyal ini, berarti mengabaikan rahmat Allah yang terkandung dalam peringatan tersebut.
Dalam skala mikro, kerusakan daratan seringkali berawal dari kegagalan dalam manajemen sampah rumah tangga. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akhirnya mencemari sungai (yang merupakan bagian dari sistem darat) dan kemudian bermuara di lautan. Rantai kausalitas yang sederhana ini membuktikan bahwa tindakan kecil individu memiliki efek kumulatif yang masif. Fasad global adalah agregasi dari jutaan keputusan individu yang keliru.
Sementara itu, kerusakan di lautan semakin diperparah oleh teknologi penangkapan ikan modern yang terlalu efisien dan tidak berkelanjutan. Penggunaan radar, sonar, dan kapal besar memungkinkan penangkapan ikan dalam jumlah yang melampaui kemampuan reproduksi laut. Ini adalah contoh sempurna dari 'tangan manusia' yang menggunakan kecerdasan dan teknologi untuk tujuan yang merusak, bukan memelihara. Keadilan dalam teknologi juga merupakan prasyarat untuk islah.
Konsep fasad juga mencakup ranah hukum internasional dan politik. Ketika negara-negara kuat memaksakan perjanjian perdagangan yang merugikan lingkungan negara-negara berkembang, itu adalah fasad struktural yang terlembaga. Perusakan alam demi kepentingan geopolitik, seperti pengeboran di wilayah kutub atau eksplorasi minyak di laut dalam yang berisiko tinggi, adalah tindakan yang jelas bertentangan dengan etika khalifah.
Oleh karena itu, perjuangan melawan fasad adalah perjuangan multidimensi. Ini adalah jihad melawan hawa nafsu (keserakahan) di tingkat individu, jihad melawan korupsi di tingkat sosial, dan jihad melawan ketidakadilan global di tingkat internasional. Semua ini merupakan bagian integral dari upaya untuk ‘kembali ke jalan yang benar’ (yarji’ūn).
Surah Ar-Rum 41 adalah dasar teologis bagi setiap gerakan konservasi dan keadilan iklim yang tulus. Ini memberikan motivasi ilahi bahwa upaya menjaga alam adalah ibadah, dan kerusakan alam adalah dosa. Dengan pemahaman ini, umat manusia didorong untuk menjadi penyembuh bumi, menggunakan anugerah akal dan teknologi yang diberikan Allah untuk memperbaiki apa yang telah rusak, dan bukan untuk memperparuhkannya.
Melalui refleksi yang mendalam terhadap ayat yang ringkas namun padat makna ini, kita diingatkan bahwa waktu terus berjalan, dan cicipan konsekuensi (yudzīqahum) akan terus meningkat intensitasnya hingga manusia benar-benar mengubah arah peradaban mereka menuju islah total. Keseimbangan darat dan laut menanti pemulihan melalui tangan-tangan yang insaf, yang memahami bahwa segala yang ada di bumi adalah milik Allah dan kita hanyalah pengelola sementara yang fana.
Keseimbangan yang sempurna (mizan) hanya dapat dipulihkan ketika hati manusia kembali kepada ketauhidan yang murni, menyadari bahwa hubungan dengan Pencipta tidak terpisahkan dari hubungan dengan ciptaan-Nya. Inilah pelajaran terpenting dari Surah Ar-Rum ayat 41: krisis ekologi adalah krisis spiritualitas, dan solusinya terletak pada reformasi moral secara menyeluruh.