Menggali Kedalaman Ar-Rum 30: Fitrah sebagai Landasan Agama yang Lurus

I. Pengantar: Pilar Sentral Pemahaman Eksistensi

Di antara sekian banyak ayat dalam Al-Qur'an yang membahas hakikat penciptaan manusia dan tujuannya, Surah Ar-Rum ayat 30 menempati posisi yang sangat fundamental. Ayat ini, yang dikenal luas sebagai landasan teologis konsep fitrah, menawarkan panduan eksplisit mengenai orientasi eksistensial manusia. Ayat ini tidak hanya memerintahkan penyerahan diri kepada Yang Maha Esa, tetapi juga menegaskan bahwa penyerahan tersebut bukanlah paksaan eksternal, melainkan harmonisasi dengan desain internal, cetak biru asli yang telah ditanamkan oleh Sang Pencipta pada setiap individu.

Lafazh Ar-Rum 30 secara harfiah menyatakan: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Kalimat ini mengandung seruan ganda: perintah (menghadapkan wajah secara lurus) dan justifikasi filosofis (karena ia selaras dengan fitrah). Dengan demikian, agama yang lurus (al-Dīn al-Qayyim) bukanlah konstruksi sosial atau budaya semata, melainkan manifestasi sempurna dari kebutuhan spiritual dan kognitif bawaan yang melekat pada struktur kemanusiaan itu sendiri.

Kajian ini akan membedah secara komprehensif konsep *fitrah* sebagaimana diuraikan oleh ayat kunci ini. Kita akan menyelami implikasi linguistik, teologis, psikologis, dan sosiologis dari pernyataan "Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah," sebuah pernyataan yang menegaskan universalitas dan kekekalan hukum penciptaan spiritual. Pemahaman yang mendalam terhadap Ar-Rum 30 adalah kunci untuk memahami mengapa pesan-pesan kenabian, yang seringkali berjarak ribuan mil dan ribuan tahun, selalu membawa inti pesan yang sama: monoteisme (tauhid) dan etika moralitas universal. Inti dari segala ajaran adalah pengembalian manusia kepada keadaan aslinya, keadaan yang damai dan selaras dengan alam semesta.

Fitrah: Keterhubungan Manusia dengan Sumber Penciptaan Keadaan Asli (Fitrah)

II. Konsep Fitrah: Sebuah Eksplorasi Teologis dan Linguistik

Memahami Ar-Rum 30 memerlukan pembedahan mendalam terhadap istilah sentral: Fitrah. Secara linguistik, kata ini berasal dari akar kata *fa-ṭa-ra*, yang berarti 'menciptakan', 'memulai', atau 'membelah sesuatu yang tertutup' untuk pertama kalinya. Dengan demikian, fitrah merujuk pada mode penciptaan awal, kondisi asli, atau sifat bawaan yang belum terkontaminasi oleh faktor eksternal. Ini adalah cetakan spiritual yang ditanamkan pada manusia saat ia pertama kali dibentuk.

2.1. Fitrah dan Konsep Tauhid

Dalam konteks teologis Islam, fitrah secara universal diartikan sebagai pengenalan bawaan terhadap Tauhid (keesaan Allah). Setiap bayi yang lahir membawa pengakuan primordial ini dalam dirinya. Konsep ini diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Hadis ini sangat penting karena secara tegas memisahkan *fitrah* (kondisi default tauhid) dari *lingkungan* (faktor yang mengubah orientasi tersebut). Fitrah bukanlah sekadar potensi untuk beragama, melainkan kecenderungan aktif dan intrinsik untuk mencari Kebenaran Yang Tunggal.

Para ulama klasik, seperti Imam Al-Ghazali, telah banyak membahas bagaimana fitrah ini beroperasi. Mereka menjelaskan bahwa fitrah adalah *al-qalb al-salīm* (hati yang bersih atau sehat), yang secara otomatis cenderung kepada keadilan, kebaikan, dan monoteisme. Ketika manusia melakukan kejahatan atau kesyirikan, ia sebenarnya sedang menindas dan membelokkan fitrahnya sendiri. Proses pengembalian kepada agama yang lurus, sebagaimana diperintahkan dalam Ar-Rum 30, adalah proses membersihkan lapisan-lapisan kotoran (syahwat, keraguan, taklid buta) yang menutupi cermin fitrah yang sejatinya sudah mengkilap.

Kecenderungan alami ini dapat dilihat dalam manifestasi universalitas moralitas. Meskipun budaya dan hukum berbeda, gagasan bahwa membunuh tanpa alasan adalah salah, atau bahwa keadilan adalah hal yang baik, hampir diterima di seluruh peradaban manusia. Ini adalah bukti nyata bahwa ada kode etik universal yang ditanamkan secara mendalam, dan kode tersebut berakar pada fitrah yang mengarahkan pada tatanan kosmik yang adil dan benar, tatanan yang berasal dari satu Sumber Hukum.

2.2. Fitrah Versus Insting dan Naluriah

Penting untuk membedakan fitrah dari konsep-konsep biologis semata seperti *insting* atau *naluriah*. Insting (misalnya, mencari makan, bereproduksi, bertahan hidup) adalah kebutuhan fisik dan biologis yang dimiliki bersama oleh manusia dan hewan. Fitrah, sebaliknya, adalah dimensi spiritual dan transenden yang khas manusia. Ia adalah kebutuhan untuk makna, kebutuhan untuk beribadah, dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk secara moral (kesadaran moral atau *dhamir*).

Jika insting memastikan kelangsungan hidup fisik, fitrah memastikan kelangsungan hidup spiritual dan moralitas peradaban. Ketika kebutuhan spiritual ini diabaikan—ketika manusia menolak untuk menghadap ke arah agama yang lurus—kekosongan yang terjadi tidak dapat diisi oleh pemenuhan insting semata (kekayaan, kekuasaan, kenikmatan). Kekosongan inilah yang seringkali memicu krisis eksistensial, meskipun secara materi hidupnya serba berkecukupan. Hal ini membuktikan bahwa dimensi fitrah membutuhkan pemenuhan khusus, yaitu pengakuan dan penyembahan kepada Sang Pencipta, selaras dengan perintah yang termaktub dalam Ar-Rum 30.

III. "Tidak Ada Perubahan pada Ciptaan Allah": Konstansi dan Hukum Kosmik

Ayat Ar-Rum 30 tidak berhenti pada definisi fitrah, tetapi menambahkan sebuah pernyataan monumental: "Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah." Kalimat ini adalah penegasan ontologis mengenai kekekalan dan stabilitas hukum-hukum ilahiah, baik di alam semesta fisik maupun dalam struktur spiritual manusia.

3.1. Implikasi Ontologis

Pernyataan ini menegaskan bahwa desain fundamental manusia—yaitu kecenderungan pada tauhid—tidak dapat dibatalkan atau diubah secara fundamental oleh waktu, evolusi, atau intervensi manusia. Meskipun manusia dapat 'melupakan' fitrahnya, menindasnya, atau menutupinya dengan kebiasaan buruk, esensi fitrah itu sendiri tetap utuh, tersembunyi di kedalaman jiwa, siap untuk dibangkitkan kembali melalui wahyu dan refleksi. Hukum-hukum yang mengatur hati manusia sama abadi dan pastinya seperti hukum gravitasi yang mengatur planet. Fitrah adalah arsitektur spiritual yang tidak memiliki ‘cacat desain’.

Dalam konteks yang lebih luas, "Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah" juga merujuk pada sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang mengatur alam. Matahari akan terus terbit dari timur, air akan tetap mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan moralitas yang benar akan tetap relevan di setiap zaman. Stabilitas ini memberi manusia dasar yang kokoh untuk membangun kehidupan, baik secara ilmiah (melalui observasi hukum alam) maupun secara spiritual (melalui kepatuhan pada hukum moral fitrah).

3.2. Penolakan terhadap Relativisme Mutlak

Pernyataan ini secara tegas menolak pandangan yang menganggap bahwa kebenaran spiritual, etika, dan agama dapat diubah sepenuhnya atau bersifat relatif tanpa batas. Meskipun praktik dan interpretasi kultural dapat bervariasi, inti dari agama—Tauhid dan etika dasarnya—bersifat tetap. Jika fitrah bisa berubah, maka tidak akan ada landasan universal bagi moralitas, dan setiap peradaban dapat mengklaim bahwa kebenaran mereka adalah yang paling benar tanpa adanya standar pembanding. Namun, karena fitrah adalah konstan, maka ada standar kebenaran yang obyektif dan inheren dalam diri kita semua, standar yang dikenal sebagai *al-Dīn al-Qayyim* (agama yang lurus).

Kegagalan manusia untuk hidup sesuai fitrah bukanlah kegagalan desain ilahi, melainkan kegagalan kehendak bebas manusia untuk memilih jalan yang selaras dengan desain tersebut. Ini adalah pertarungan terus-menerus antara pengaruh eksternal (lingkungan sosial, hawa nafsu) dan tuntutan internal dari hati yang fitri. Proses pendewasaan spiritual adalah perjalanan kembali, atau *tawajjuh* (menghadapkan wajah), kepada orientasi asli ini.

Ketetapan Penciptaan yang Abadi لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ Ketetapan yang Tidak Berubah

IV. Manifestasi Fitrah dalam Berbagai Bidang Kehidupan

Karena fitrah adalah struktur dasar kemanusiaan, ia termanifestasi tidak hanya dalam ibadah formal, tetapi juga dalam etika, estetika, dan pencarian ilmu pengetahuan. Ar-Rum 30 mengajarkan bahwa seluruh aspek kehidupan yang sehat dan benar harus berakar pada orientasi fitrah ini.

4.1. Fitrah dan Ilmu Pengetahuan (Epistemologi)

Pencarian pengetahuan, atau epistemologi, adalah salah satu manifestasi paling jelas dari fitrah. Rasa ingin tahu yang tak terbatas, kebutuhan untuk memahami tatanan kosmik, dan hasrat untuk menemukan kebenaran adalah dorongan fitri. Manusia tidak puas dengan sekadar mengetahui 'bagaimana' (mekanisme), tetapi juga ingin tahu 'mengapa' (tujuan). Ilmu pengetahuan modern, dengan fokusnya pada penemuan hukum-hukum alam yang konsisten, sebenarnya sedang memverifikasi aspek dari 'tidak ada perubahan pada ciptaan Allah'. Ketika seorang ilmuwan menemukan formula yang berlaku universal, ia sedang menyaksikan stabilitas ilahiah.

Fitrah menuntut koherensi. Oleh karena itu, agama yang lurus harus selaras dengan akal yang sehat dan observasi yang cermat terhadap alam semesta. Konflik antara sains dan agama seringkali muncul bukan karena konflik antara Wahyu dan Fitrah, melainkan karena interpretasi Wahyu yang kaku atau penyalahgunaan sains yang menolak dimensi transenden. Fitrah mendorong kita untuk melihat alam semesta sebagai sebuah 'Kitab Terbuka' (ayat-ayat kauniyah) yang konsisten dengan Kitab Tertulis (ayat-ayat qauliyah).

4.2. Fitrah dan Etika (Aksiology)

Moralitas adalah bahasa universal fitrah. Sebelum adanya hukum tertulis, manusia sudah memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban. Rasa malu, rasa bersalah, dan kecenderungan untuk berempati adalah mekanisme pertahanan fitrah. Ketika masyarakat mulai mendefinisikan yang benar sebagai yang disepakati mayoritas, atau yang salah sebagai yang tidak menguntungkan, mereka secara aktif merusak fondasi fitrah. Ar-Rum 30 menyerukan agar tatanan sosial didasarkan pada keadilan ilahi yang abadi, bukan pada kepentingan sesaat manusia.

Konsep keadilan (al-adl) adalah inti dari fitrah. Seorang bayi, bahkan sebelum belajar bicara, menunjukkan ketidaknyamanan ketika diperlakukan tidak adil. Ini menunjukkan bahwa standar keadilan ditanamkan sejak awal. Ketika individu atau komunitas menyimpang dari keadilan, ketidaknyamanan dan kekacauan muncul, yang merupakan sinyal kosmik bahwa mereka telah menyalahi janji primordial fitrah.

4.3. Fitrah dan Estetika (Seni dan Keindahan)

Daya tarik manusia terhadap keindahan, simetri, dan harmoni juga merupakan manifestasi fitrah. Keindahan alam semesta adalah refleksi dari keindahan dan kesempurnaan Sang Pencipta. Fitrah mendorong manusia untuk menciptakan seni, arsitektur, dan musik yang elegan dan tertata. Ketika seni digunakan untuk glorifikasi hal-hal yang fana atau kotor, fitrah mengalami penolakan. Sebaliknya, seni yang benar dan luhur, yang mencerminkan harmoni kosmik, berfungsi sebagai pengingat visual dan auditori tentang *al-Dīn al-Qayyim*.

V. Tantangan dan Ancaman terhadap Fitrah Manusia

Meskipun fitrah tidak dapat diubah (la tabdīla li-khalqillah), ia dapat ditutupi, dikotori, dan dibelokkan. Proses penyimpangan dari fitrah inilah yang dijelaskan di bagian akhir ayat: "tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Ketidaktahuan ini bukanlah kekurangan informasi semata, melainkan pengabaian aktif terhadap suara hati internal.

5.1. Peran Lingkungan (Al-Walidayn)

Sebagaimana ditegaskan dalam hadis, lingkungan sosial—terutama orang tua (al-walidayn)—memiliki peran krusial dalam membentuk orientasi keagamaan dan moral anak. Lingkungan berfungsi sebagai filter yang dapat memperkuat atau melemahkan fitrah bawaan. Jika anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh syirik, keraguan, atau nihilisme, fitrahnya akan tertutup oleh tradisi yang keliru. Tugas pendidikan dalam Islam, oleh karena itu, bukanlah 'menanamkan' agama, melainkan 'menyirami' dan 'membebaskan' fitrah yang sudah ada agar ia dapat berkembang secara alami.

Pengaruh media massa, sistem pendidikan sekuler yang ekstrem, dan filosofi hidup materialistis saat ini merupakan 'orang tua' kolektif yang berpotensi merusak fitrah dalam skala global. Mereka menciptakan narasi bahwa makna hidup hanya terbatas pada materi dan kenikmatan indrawi, menenggelamkan kebutuhan transenden yang merupakan inti dari fitrah.

5.2. Penyakit Hati dan Syahwat

Ancaman internal terbesar terhadap fitrah adalah dominasi syahwat (nafsu rendah) dan penyakit hati (seperti kesombongan, iri hati, dan cinta dunia). Syahwat, jika tidak dikendalikan, dapat mereduksi manusia menjadi makhluk instingtif semata, menumpulkan kesadaran moralnya, dan mengalihkan fokus dari kebenaran abadi kepada kenikmatan sesaat. Ketika hati menjadi keras karena dosa yang menumpuk, ia tidak lagi mampu menerima cahaya petunjuk, dan fitrah menjadi tersembunyi jauh di bawah lapisan-lapisan kegelapan. Inilah yang menyebabkan seseorang yang secara intelektual tahu kebenaran, namun secara moral tidak mampu mengikutinya.

Ayat Ar-Rum 30 merupakan seruan untuk tawajjuh (menghadapkan wajah dengan lurus). 'Menghadapkan wajah' adalah metafora untuk orientasi totalitas diri: pikiran, hati, dan tindakan harus diarahkan ke satu titik fokus. Ketika fokus ini terpecah karena godaan duniawi, fitrah pun mulai goyah.

VI. Mekanisme Restorasi dan Pemeliharaan Fitrah

Jika fitrah dapat ditutupi, maka perlu ada mekanisme sistematis untuk mengungkapnya kembali. Agama yang lurus, *al-Dīn al-Qayyim*, adalah metode yang Allah turunkan untuk memfasilitasi proses restorasi ini, memastikan bahwa manusia dapat kembali kepada desain aslinya.

6.1. Ibadah: Penyiraman dan Pengasahan Fitrah

Ibadah (shalat, puasa, zakat, haji) adalah praktik yang dirancang untuk membersihkan hati dan mengasah kesadaran fitri. Misalnya, shalat adalah tindakan yang secara fisik, mental, dan spiritual menghadap ke arah kiblat, sebuah manifestasi konkret dari perintah 'hadapkanlah wajahmu dengan lurus'. Shalat secara teratur berfungsi sebagai 'check-up' spiritual, memaksa individu untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi dan terhubung kembali dengan Sumber Penciptaan.

Puasa melatih manusia untuk mengendalikan syahwat dan insting biologis, membuktikan bahwa manusia adalah entitas yang lebih tinggi daripada sekadar makhluk biologis. Ketika insting dikendalikan, fitrah spiritual mendapatkan ruang untuk berbicara. Zakat dan sedekah, pada gilirannya, membersihkan fitrah dari penyakit cinta harta dan kesombongan, memperkuat kecenderungan alami manusia terhadap keadilan sosial dan kasih sayang.

6.2. Tafakkur (Refleksi Mendalam)

Fitrah juga dipelihara melalui refleksi atau tafakkur, khususnya perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Ketika manusia merenungkan keteraturan alam, keindahan kosmik, dan kompleksitas kehidupan, ia secara intuitif diarahkan pada pengakuan akan Sang Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Proses ini memperkuat kesadaran tauhid yang merupakan inti fitrah.

Tanpa refleksi, alam semesta hanya dilihat sebagai rangkaian peristiwa acak, yang pada akhirnya menuntun pada kekosongan makna. Fitrah, yang menuntut adanya tujuan, akan menderita dalam nihilisme semacam itu. Oleh karena itu, Al-Qur'an berulang kali menyerukan kepada manusia untuk 'berpikir', 'melihat', dan 'memahami', karena kegiatan kognitif ini adalah jembatan yang menghubungkan akal (yang berproses) dengan fitrah (yang mengetahui).

VII. Fitrah sebagai Fondasi Persatuan Umat Manusia

Salah satu implikasi paling mendalam dari Ar-Rum 30 adalah bahwa fitrah menyediakan landasan universal bagi persatuan umat manusia. Jika semua manusia dilahirkan dengan kecenderungan yang sama terhadap Tauhid, maka perbedaan ras, bahasa, dan budaya hanyalah aksen pada melodi tunggal yang sama.

7.1. Kesatuan Pesan Kenabian

Semua Nabi dan Rasul, dari yang pertama hingga yang terakhir, membawa pesan yang intinya adalah seruan untuk kembali kepada fitrah: sembahlah hanya Allah Yang Esa. Perbedaan syariat (hukum praktis) yang mereka bawa hanyalah penyesuaian terhadap kondisi sosial dan waktu tertentu. Namun, inti dari 'agama yang lurus' (al-Dīn al-Qayyim) selalu tetap sama: Tauhid. Ini membuktikan bahwa Allah tidak menciptakan ribuan fitrah yang berbeda; Ia menciptakan satu jenis fitrah, dan karenanya Ia menurunkan satu jenis pesan esensial yang abadi.

Ketika dialog antaragama terjadi berdasarkan pengakuan terhadap fitrah ini, titik temu dapat ditemukan. Daripada berfokus pada detail ritual yang berbeda, fokus dapat dialihkan pada nilai-nilai etika universal dan pengakuan terhadap realitas Transenden yang merupakan kebutuhan fitri setiap manusia.

7.2. Membangun Peradaban Berdasarkan Fitrah

Peradaban yang dibangun di atas prinsip fitrah adalah peradaban yang berorientasi pada keseimbangan, keadilan, dan kelestarian. Ia menghormati hak individu (karena setiap jiwa diciptakan dalam fitrah yang suci) dan menjaga tatanan sosial (karena keadilan adalah tuntutan fitrah). Dalam peradaban seperti ini, kemajuan materi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan spiritualitas. Kegagalan peradaban modern seringkali terletak pada pengagungan produk-produk akal (sains, teknologi) sambil mengabaikan sumbernya, yaitu fitrah. Ar-Rum 30 adalah peta jalan untuk membangun peradaban yang seimbang (*ummatan wasaṭan*), di mana tuntutan jasmani dan spiritual dipenuhi secara harmonis.

Pengabaian fitrah pada skala peradaban menghasilkan berbagai bentuk *fasād* (kerusakan) yang meluas, baik kerusakan lingkungan (karena eksploitasi tanpa batas) maupun kerusakan sosial (karena ketidakadilan dan kekerasan). Ketika manusia melanggar hukum penciptaan spiritual, ia juga melanggar hukum penciptaan fisik, membuktikan kembali bahwa alam semesta dan manusia adalah satu kesatuan yang diatur oleh hukum-hukum Allah yang tidak berubah.

VIII. Pendalaman Filosofis: Makna Pilihan dan Tanggung Jawab Fitri

Jika fitrah sudah condong ke kebenaran, mengapa manusia diberikan kehendak bebas untuk menyimpang? Ar-Rum 30 secara implisit menjawab bahwa kesempurnaan penciptaan tidak berarti ketiadaan ujian. Justru karena fitrah itu abadi dan lurus, ujian untuk mempertahankan kelurusan tersebut menjadi sangat bermakna. Manusia diberi *ikhtiar* (pilihan) agar proses penghadapan wajah (*tawajjuh*) menjadi sebuah tindakan kesadaran dan ketaatan yang bernilai tinggi.

8.1. Mengapa "Kebanyakan Manusia Tidak Mengetahui"?

Akhir dari ayat Ar-Rum 30, "tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui," adalah peringatan. Ketidaktahuan ini bukanlah ketidakhadiran fitrah, melainkan kondisi di mana fitrah terkubur di bawah dominasi kebiasaan buruk, tradisi yang menyesatkan, dan pengaruh eksternal yang menyesatkan. Manusia cenderung memilih jalan yang mudah, yaitu mengikuti arus mayoritas atau memenuhi keinginan instingtif tanpa refleksi. Ketidaktahuan ini adalah hasil dari keengganan untuk menggunakan akal (*‘aql*) yang seharusnya menjadi alat untuk menyingkap fitrah.

Banyak manusia hidup dalam ilusi bahwa kebahagiaan terletak pada pencapaian materi eksternal. Mereka terus mencari kepuasan di luar diri, padahal kunci untuk *al-Dīn al-Qayyim* sudah tertanam di dalam. Mereka tidak 'mengetahui' karena mereka tidak pernah meluangkan waktu untuk mendengarkan bisikan fitrah mereka sendiri, yang menuntut koneksi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

8.2. Implikasi Terhadap Pendidikan dan Dakwah

Berdasarkan Ar-Rum 30, dakwah dan pendidikan tidak seharusnya dipahami sebagai proses 'memasukkan' informasi baru yang sepenuhnya asing ke dalam benak seseorang. Sebaliknya, dakwah adalah proses 'mengingatkan' dan 'mengaktifkan' pengetahuan yang sudah ada (fitrah). Dai atau pendidik adalah fasilitator yang membantu seseorang menyingkap kembali kebenaran yang sudah mereka bawa sejak lahir.

Pendekatan ini mengubah strategi komunikasi. Alih-alih berfokus pada perdebatan teologis yang kompleks, fokus utama haruslah pada penyentuhan hati dan akal, mendorong refleksi mendalam, dan menciptakan lingkungan yang kondusif agar fitrah dapat bernafas. Jika pesan yang disampaikan selaras dengan fitrah, ia akan menemukan resonansi yang kuat, karena ia adalah suara yang dikenal oleh jiwa, meskipun telah lama dilupakan.

IX. Penutup: Keabadian Panggilan Fitrah

Surah Ar-Rum ayat 30 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang menjelaskan hubungan esensial antara manusia dan Tuhannya. Ia menegaskan bahwa agama yang lurus, Islam—dalam artian penyerahan diri yang murni—bukanlah sekadar pilihan historis atau budaya, melainkan sebuah keharusan metafisik yang berakar pada desain fundamental manusia.

Perintah "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)" adalah seruan untuk konsistensi, integritas, dan pengarahan tujuan hidup. Konsistensi ini dijamin oleh pernyataan bahwa "Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah," yang menjamin bahwa fitrah—kecenderungan abadi pada Tauhid—akan selalu menjadi kompas moral dan spiritual yang berfungsi, asalkan manusia memilih untuk mendengarkannya.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa perjuangan spiritual setiap individu adalah perjuangan untuk mempertahankan dan memulihkan fitrahnya. Ketika seorang Muslim melaksanakan ibadah, berbuat adil, mencari ilmu yang bermanfaat, dan menghindari kerusakan, ia sedang menjalankan tugas tertinggi dalam eksistensinya: hidup selaras dengan *al-Dīn al-Qayyim*, agama yang lurus, yang merupakan cetak biru kebahagiaan sejati. Fitrah, dengan demikian, adalah janji primordial Allah yang terukir di dalam hati, dan Ar-Rum 30 adalah pengingat abadi akan janji tersebut.

Setiap desahan, setiap pemikiran, setiap keputusan harus menjadi bagian dari proses *tawajjuh*—menghadapkan wajah dengan lurus, kembali kepada Sumber, dan hidup dalam harmoni dengan hukum penciptaan yang tidak pernah berubah. Inilah jalan keselamatan, dan inilah inti dari Surah Ar-Rum 30.


IX.I. Epilog Mendalam: Fitrah dan Krisis Modernitas

Dalam konteks modern, di mana manusia dihadapkan pada derasnya arus informasi yang sering kali kontradiktif dan filosofi kehidupan yang bersifat materialistik, konsep fitrah yang diusung oleh Ar-Rum 30 menjadi semakin relevan sebagai jangkar penyelamat. Krisis identitas, meningkatnya masalah kesehatan mental, dan penyebaran nihilisme di berbagai lapisan masyarakat seringkali ditelusuri kembali pada satu sumber: pemutusan hubungan antara manusia dengan inti spiritualnya, yaitu fitrah. Masyarakat yang secara kolektif mengabaikan dimensi spiritual ini akan menghasilkan individu-individu yang, meskipun kaya secara material, miskin secara eksistensial. Mereka kehilangan orientasi yang lurus (*al-Dīn al-Qayyim*).

Filosofi Konsumsi, misalnya, mengajarkan bahwa makna dapat ditemukan melalui akumulasi barang dan pengalaman indrawi yang terus menerus. Namun, fitrah manusia dirancang untuk mencari Keabadian, bukan kenikmatan fana. Ketika objek fana dijadikan tuhan (syirik modern), fitrah memberontak melalui rasa kekosongan yang tak terpuaskan. Semakin banyak konsumsi, semakin besar kekosongan tersebut. Ar-Rum 30 menawarkan obat mujarab: hadapkan wajah kepada Yang Maha Abadi, dan kebutuhan fitri akan makna akan terpuaskan sepenuhnya. Ini adalah solusi struktural terhadap krisis spiritual yang melanda peradaban.

Relevansi ayat ini juga mencakup bidang psikologi transpersonal. Banyak pendekatan psikoterapi modern, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah 'fitrah', berusaha mengembalikan pasien pada 'diri sejati' atau 'potensi diri' mereka. Dalam kerangka Islam, 'diri sejati' inilah yang disebut fitrah. Proses terapi spiritual adalah pembersihan debu yang menutupi cermin hati, sehingga refleksi kebenaran dapat terlihat kembali. Pengakuan bahwa manusia pada dasarnya 'baik' atau 'mencari kebenaran' sesuai dengan Ar-Rum 30 yang menyatakan bahwa cetak biru itu lurus dan tidak berubah.

Kita harus menyadari bahwa perjuangan untuk memelihara fitrah adalah perjuangan yang multidimensi. Ia menuntut tindakan individu yang konsisten (ibadah, dzikir), serta upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung. Sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan kejujuran adalah masyarakat yang memudahkan anggotanya untuk tetap berada di atas fitrah. Sebaliknya, masyarakat yang dibangun di atas kebohongan, eksploitasi, dan ketidakadilan secara inheren akan memaksa individu untuk mengkompromikan fitrah mereka, hanya untuk bertahan hidup. Ini adalah ujian terbesar bagi umat manusia di setiap zaman: apakah kita akan tunduk pada godaan lingkungan yang korup, ataukah kita akan berpegang teguh pada cetak biru ilahi yang tidak dapat diubah?

Penyimpangan fitrah, meskipun seringkali tampak sebagai kebebasan, pada akhirnya adalah bentuk perbudakan kepada hawa nafsu dan kesesatan. Kebebasan sejati, menurut ajaran Ar-Rum 30, hanya ditemukan dalam penyerahan diri total kepada Sang Pencipta, karena hanya dengan begitu manusia berada dalam harmoni sempurna dengan dirinya sendiri, dengan alam semesta, dan dengan Tuhannya. *Al-Dīn al-Qayyim* adalah kebebasan tertinggi karena ia membebaskan manusia dari penyembahan kepada apapun yang fana dan tidak layak disembah. Inilah kedalaman makna dari pernyataan abadi dalam Surah Ar-Rum 30, sebuah panggilan yang bergema dari kedalaman jiwa setiap manusia.

IX.II. Fitrah dalam Filsafat Perbandingan dan Teori Kontrak Sosial

Dalam sejarah filsafat, konsep fitrah dapat dibandingkan dengan ide-ide seperti tabula rasa (walaupun ada perbedaan fundamental, karena fitrah bukan ‘kosong’ melainkan ‘berisi kecenderungan’), atau 'hukum alam' yang dibahas oleh para filsuf Pencerahan. Namun, fitrah dalam Ar-Rum 30 jauh melampaui konsep sekuler tentang hukum alam. Hukum alam dalam Islam tidak hanya menetapkan kebenaran fisik, tetapi juga kebenaran moral dan spiritual. Teori kontrak sosial Barat sering berasumsi bahwa moralitas adalah hasil kesepakatan rasional antar manusia untuk menghindari kekacauan, yang berarti moralitas bersifat artifisial. Ar-Rum 30, sebaliknya, menegaskan bahwa moralitas dan Tauhid adalah *bawaan pabrik*, bukan hasil kesepakatan pasca-fakta. Kontrak sosial yang benar harus didasarkan pada pemenuhan fitrah ini, bukan hanya pada kepentingan pragmatis semata.

Jika kita menerima bahwa fitrah adalah kecenderungan monoteistik yang konstan dan universal, maka semua bentuk penyembahan berhala—dari animisme kuno hingga pemujaan materi modern—adalah penyakit. Mereka adalah upaya yang salah arah untuk memenuhi kebutuhan spiritual yang hanya bisa dipenuhi oleh Allah. Pemujaan idola batu, uang, kekuasaan, atau ego adalah manifestasi dari fitrah yang sakit dan terdistorsi, yang mencari ketuhanan di tempat yang salah. Dengan demikian, tugas dakwah adalah terapi spiritual yang mengarahkan kembali pencari makna kepada Sumber yang benar, selaras dengan arsitektur jiwa mereka sendiri.

Analisis yang lebih jauh mengungkapkan bahwa konflik batin yang dirasakan oleh individu yang ragu-ragu dalam keimanan seringkali merupakan pertarungan antara akal yang dipengaruhi skeptisisme lingkungan, dan hati yang masih memegang teguh pengetahuan primordial fitrah. Ketika hati dan akal menemukan harmoni di bawah naungan Wahyu, barulah tercapai ketenangan jiwa (*nafs al-muṭma’innah*). Proses ini adalah puncak dari penyerahan diri yang lurus yang diperintahkan dalam Ar-Rum 30.

Kajian mendalam tentang konsep *fitrah* juga membuka jalan untuk memahami mengapa keindahan dalam ibadah memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa. Shalat yang dilakukan dengan *khushu'* (kekhusyukan) adalah pengalaman ketika seluruh diri, luar dan dalam, lurus dan selaras. Ini adalah momen ketika tidak ada jarak antara kehendak manusia dan desain penciptaannya. Dalam momen keselarasan ini, manusia merasakan kedamaian absolut. Kedamaian inilah bukti eksperimental bahwa fitrah memang condong kepada *al-Dīn al-Qayyim*. Setiap kali seseorang merasakan kedamaian sejati setelah melakukan kebaikan atau ibadah, ia sedang menerima validasi langsung dari Allah bahwa ia telah kembali ke jalan yang lurus.

Maka, pesan utama Ar-Rum 30 bukanlah sekadar dogma teologis yang harus dihafal, melainkan sebuah peta psikospiritual yang harus dijalani. Ia adalah kunci untuk memahami diri sendiri, memahami orang lain, dan memahami tujuan keberadaan. Ia adalah landasan abadi yang menjamin bahwa, meskipun dunia terus berubah, kebenaran tentang siapa kita dan mengapa kita ada tetap utuh dan menunggu untuk ditemukan kembali oleh hati yang mau tawajjuh.

Penting untuk menggarisbawahi bagaimana fitrah berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Ketika manusia terpapar oleh ideologi yang bertentangan dengan kemanusiaan, seperti kekejaman atau ekstremisme yang melanggar hak asasi manusia, reaksi jijik dan penolakan yang muncul secara spontan dalam diri banyak orang adalah suara fitrah yang berteriak. Reaksi spontan ini membuktikan bahwa moralitas tidak perlu diajarkan dari awal; ia hanya perlu diingatkan dan disuburkan. Kekuatan fitrah inilah yang memberikan harapan abadi bahwa kebaikan dapat selalu menang, karena akarnya tertanam jauh di dalam jiwa setiap individu, terlepas dari seberapa parah lingkungan berusaha mencabutnya.

Para filsuf Islam telah lama membahas perbedaan antara *Fitrah* dan *Mīl* (kecenderungan yang diakuisisi). *Mīl* adalah apa yang kita pelajari dan serap dari dunia, sedangkan *Fitrah* adalah apa yang kita bawa sejak lahir. Keseimbangan spiritual menuntut agar *Mīl* tunduk pada panduan *Fitrah*. Ketika kecenderungan yang dipelajari (misalnya, prasangka rasial, kebiasaan buruk yang menipu) mendominasi, konflik batin terjadi. Ar-Rum 30 memerintahkan reorganisasi diri di mana *Fitrah* kembali menjadi otoritas tertinggi, yang dibimbing oleh Wahyu Ilahi, menjadikan agama sebagai panduan eksternal yang selaras dengan kebenaran internal. Ini adalah konsep korespondensi yang sempurna: kebenaran di dalam (Fitrah) sesuai dengan kebenaran di luar (Wahyu/Dīn).

Konsep fitrah juga berhubungan erat dengan konsep amanah. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menerima amanah (tanggung jawab spiritual) karena mereka adalah satu-satunya yang memiliki potensi untuk memilih dan melanggar fitrahnya. Makhluk lain tunduk pada hukum alam secara instingtif dan tanpa kesadaran moral transenden. Pilihan manusia untuk menaati fitrahnya, meskipun ada godaan, adalah bentuk tertinggi dari ketaatan yang membedakannya. Jika tidak ada pilihan untuk menyimpang, maka tidak ada pahala atas ketaatan. Inilah mengapa Ar-Rum 30, meskipun menekankan kesempurnaan penciptaan, tetap menyertakan perintah untuk 'menghadapkan wajah', sebuah perintah yang mengakui adanya kehendak bebas.

Kajian modern juga bisa melihat fitrah dari perspektif neurosains dan psikologi kognitif. Meskipun para ilmuwan mungkin tidak menggunakan istilah teologis, temuan tentang area otak yang terkait dengan altruisme, empati, dan spiritualitas menunjukkan adanya substrat biologis untuk kecenderungan moral yang universal. Fitrah menyediakan kerangka teologis untuk memahami mengapa substrat ini ada. Ia ada karena Sang Pencipta merancangnya demikian: manusia dirancang untuk mencari koneksi, makna, dan keadilan. Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan ini tidak hanya menyebabkan penyakit spiritual tetapi juga seringkali berujung pada disfungsi psikologis dan sosial.

Dengan demikian, Ar-Rum 30 adalah deklarasi universal tentang sifat manusia. Ia adalah landasan bagi teologi, etika, dan psikologi. Ia mengundang setiap individu, terlepas dari latar belakangnya, untuk melihat ke dalam dirinya, mengenali suara hati yang lurus, dan mengambil langkah berani untuk mengarahkan hidupnya sesuai dengan cetak biru keabadian. Hanya dengan kembali kepada fitrah, manusia dapat menemukan jawaban atas pertanyaan paling mendasar tentang keberadaan. Inilah warisan tak ternilai dari ayat yang singkat namun sarat makna ini.

Setiap detail penciptaan, baik mikrokosmos maupun makrokosmos, bersaksi tentang kebenaran Ar-Rum 30. Lihatlah pada atom yang stabil, pada orbit planet yang teratur, atau pada siklus kehidupan yang seimbang—semuanya mematuhi hukum yang tidak berubah. Manusia, sebagai puncak penciptaan, juga memiliki hukum spiritual yang sama pastinya. Ketika kita melanggar tatanan spiritual (fitrah), kita menciptakan entropi dalam jiwa. Ketika kita kembali ke tatanan, kita menciptakan harmoni dan kedamaian. Ini adalah prinsip universal yang menjadi janji sekaligus tantangan bagi setiap generasi.

Filosofi hidup yang benar harus berpusat pada fitrah. Segala upaya reformasi diri, keluarga, dan masyarakat harus dimulai dari pengakuan bahwa cetak biru itu sempurna, dan tugas kita hanyalah membersihkan kekotoran yang menimpanya. Tanpa pengakuan ini, kita akan terus mencari solusi di tempat yang salah, mencoba 'memperbaiki' desain yang sejatinya sudah sempurna. Ar-Rum 30 adalah undangan untuk mengakhiri pencarian yang sia-sia dan memulai perjalanan pulang menuju inti diri yang sejati.

🏠 Kembali ke Homepage