"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah) dan rahmat (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
— Q.S. Ar Rum (30): 21
Surah Ar Rum ayat 21 bukanlah sekadar deskripsi ritual pernikahan; ia adalah deklarasi kosmologis tentang salah satu misteri terbesar dalam eksistensi manusia: pencarian ketenangan dan penyatuan jiwa. Ayat ini menempatkan ikatan suci antara dua individu, laki-laki dan perempuan, sebagai salah satu manifestasi paling nyata dari Tanda-Tanda Kekuasaan Ilahi (Ayatullah) yang tersebar di alam semesta. Pernikahan, dalam pandangan ayat ini, bukanlah hanya kontrak sosial atau biologis, melainkan sebuah laboratorium spiritual tempat tiga pilar agung—Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah—dilahirkan, dipelihara, dan dikembangkan.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu mengupas tuntas setiap elemennya. Tujuannya adalah melampaui pemahaman tekstual dan meresapi implementasi praktis dari filosofi pernikahan yang berorientasi pada ketuhanan dan keseimbangan fitrah. Ayat ini membuka pintu bagi refleksi mendalam mengenai fitrah manusia, kebutuhan fundamental akan pasangan, dan metode konkret untuk mencapai kebahagiaan sejati yang bersifat abadi, bukan sementara.
Pilar pertama dan tujuan utama dari ikatan pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, adalah Sakinah. Secara etimologis, Sakinah berarti ketenangan, kedamaian, atau ketenteraman jiwa. Kata ini menunjukkan keadaan hening dan stabil setelah sebelumnya mungkin ada gejolak atau kegelisahan. Dalam konteks pernikahan, Sakinah adalah hasil dari penemuan pasangan yang tepat, yang berfungsi sebagai ‘tempat berlabuh’.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "litaskunu ilaiha", yang berarti "supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya." Ini menegaskan bahwa sebelum adanya pasangan, manusia mengalami semacam kegelisahan eksistensial, sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh kehadiran pasangan yang diciptakan dari jenisnya sendiri. Ketenangan ini bukan sekadar absennya konflik, melainkan sebuah ketenangan positif yang memberdayakan.
Sakinah yang dihasilkan dalam pernikahan memiliki banyak dimensi. Pertama, dimensi psikologis: pasangan menjadi sumber dukungan emosional, tempat di mana seseorang dapat melepaskan topeng sosialnya dan menjadi dirinya yang paling autentik tanpa rasa takut dihakimi. Kedua, dimensi spiritual: pernikahan membebaskan energi spiritual yang sebelumnya terbuang dalam pencarian atau kegelisahan, mengarahkannya kembali pada ketaatan bersama dan peningkatan kualitas ibadah. Ketiga, dimensi fungsional: ketenangan muncul dari pembagian peran yang jelas dan komitmen untuk saling melengkapi, yang mengurangi beban hidup individual.
Tanpa Sakinah, pernikahan hanyalah sebuah ikatan yang rapuh. Konflik akan menjadi destruktif, bukan konstruktif. Oleh karena itu, mencari Sakinah adalah tugas aktif. Ini menuntut kesediaan untuk menjadi tenang (sakin) bagi pasangan, bukan hanya mengharapkan ketenangan dari pasangan. Ketenangan adalah hadiah yang diberikan setelah adanya usaha bersama dalam mencapai kejujuran dan penerimaan diri secara total.
Bagaimana Sakinah termanifestasi? Sakinah terlihat dalam cara pasangan bereaksi terhadap tekanan luar. Ketika badai kehidupan datang—kesulitan finansial, masalah karir, atau tantangan kesehatan—pasangan yang memiliki Sakinah tidak akan saling menyalahkan atau lari. Sebaliknya, mereka menjadi benteng pertahanan bagi satu sama lain. Sakinah menciptakan ruang aman di mana kerapuhan diizinkan. Ini adalah kesadaran bahwa, terlepas dari kekacauan dunia luar, ada satu tempat di bumi di mana jiwa dapat beristirahat.
Lebih jauh lagi, Sakinah terlihat dalam komunikasi non-verbal. Sebuah pandangan mata yang meyakinkan, sentuhan yang menenangkan, atau keheningan yang nyaman, semuanya merupakan bahasa Sakinah. Ini berarti pasangan telah mencapai tingkat kedekatan yang melampaui kata-kata, di mana kehadiran fisik satu sama lain sudah cukup untuk meredakan kecemasan. Mencapai level ini membutuhkan investasi waktu yang signifikan dalam memahami bahasa kasih pasangan, serta menghilangkan ego yang sering menjadi penghalang utama ketenangan.
Penting untuk dipahami bahwa Sakinah bukanlah kesempurnaan. Bahkan dalam pernikahan yang penuh Sakinah, akan ada gejolak kecil. Namun, Sakinah memastikan bahwa gejolak tersebut hanya seperti riak air, bukan gelombang tsunami. Fondasi kepercayaan dan penerimaan yang kuat membuat guncangan tersebut cepat reda, karena kedua belah pihak berkomitmen pada tujuan bersama: menjaga kedamaian rumah tangga sebagai prioritas spiritual tertinggi.
Setelah Sakinah tercapai, ayat tersebut beralih kepada dua emosi esensial yang harus tumbuh di antara pasangan: Mawaddah dan Rahmah. Mawaddah biasanya diterjemahkan sebagai 'kasih sayang' atau 'cinta yang intens'. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, Mawaddah memiliki nuansa yang lebih spesifik. Mawaddah adalah cinta yang aktif, terlihat, dan diwujudkan melalui tindakan nyata.
Mawaddah berbeda dari konsep cinta yang pasif. Ia adalah energi emosional yang kuat, seringkali bersifat gairah, yang mendorong pasangan untuk melakukan kebaikan, pengorbanan, dan perhatian yang berlimpah. Jika Sakinah adalah keadaan jiwa yang tenteram, Mawaddah adalah gerakan jiwa yang penuh antusiasme menuju pasangan. Ia mencakup ketertarikan fisik, emosional, dan intelektual.
Para ulama menafsirkan Mawaddah sebagai cinta yang muncul di awal pernikahan, seringkali didorong oleh daya tarik timbal balik, harapan masa depan, dan energi muda. Ini adalah cinta yang membuat pasangan rela berusaha keras untuk menyenangkan satu sama lain, menyiapkan kejutan kecil, atau berkorban besar untuk kebahagiaan bersama. Mawaddah adalah mesin yang menjaga dinamika hubungan tetap bersemangat dan jauh dari kebosanan rutin.
Bagaimana Mawaddah dipelihara? Mawaddah membutuhkan nutrisi yang konstan. Nutrisi ini datang dari penghargaan (affirmation), waktu berkualitas (quality time), dan keintiman (baik emosional maupun fisik). Tanpa upaya sadar untuk mempertahankan Mawaddah, hubungan dapat merosot menjadi sekadar kemitraan bisnis atau pertemanan tanpa gairah, yang pada akhirnya mengancam Sakinah itu sendiri.
Mawaddah menuntut adanya transparansi emosional. Pasangan yang saling mencintai secara Mawaddah tidak menyembunyikan kekecewaan atau kegembiraan mereka, tetapi menyampaikannya dengan cara yang konstruktif. Mawaddah juga berarti menempatkan kebutuhan pasangan di atas ego pribadi, bukan dalam artian subordinasi, tetapi dalam artian kemurahan hati emosional.
Dalam konflik, Mawaddah berperan sebagai ‘jaring pengaman’. Bahkan ketika pasangan sedang marah atau kecewa, Mawaddah memastikan bahwa dasar cinta dan komitmen tidak pernah goyah. Itu adalah pengingat bahwa tujuan dari pertengkaran bukanlah untuk menang, melainkan untuk memahami dan memperbaiki hubungan. Kegagalan memelihara Mawaddah seringkali berakibat pada komunikasi pasif-agresif atau penarikan diri emosional, yang merupakan racun bagi rumah tangga.
Sementara Mawaddah adalah api yang membakar gairah cinta, Rahmah adalah air yang memelihara kehidupan itu sendiri. Rahmah berarti rahmat, belas kasih, atau pengampunan. Ini adalah elemen yang memastikan hubungan bertahan melampaui masa-masa sulit ketika Mawaddah mungkin meredup akibat kelelahan hidup, penyakit, atau ujian berat.
Konsep Rahmah sangat fundamental dalam teologi Islam (Allah adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim). Menerapkan Rahmah dalam pernikahan berarti bahwa pasangan harus melihat hubungan mereka bukan hanya sebagai hak dan kewajiban timbal balik, tetapi sebagai kesempatan untuk meniru sifat belas kasih Ilahi dalam interaksi sehari-hari. Ini adalah cinta yang tidak bersyarat.
Rahmah masuk ketika Mawaddah diuji. Bayangkan pasangan yang menghadapi penyakit kronis, kerugian finansial yang parah, atau bahkan perubahan penampilan fisik yang drastis seiring bertambahnya usia. Dalam kondisi ini, daya tarik fisik atau Mawaddah awal mungkin berkurang. Rahmah-lah yang mengambil alih, mendorong pasangan untuk tetap melayani, merawat, dan menghormati pasangannya, bukan karena ia 'menyenangkan', tetapi karena ia 'layak dikasihi' sebagai hamba Allah dan belahan jiwa.
Rahmah adalah tentang penerimaan yang utuh, termasuk kekurangan, kelemahan, dan kesalahan masa lalu pasangan. Tanpa Rahmah, setiap kesalahan akan menjadi alasan untuk menjauh. Dengan adanya Rahmah, kesalahan menjadi pelajaran yang dimaafkan dan dilupakan, sehingga hubungan dapat bergerak maju tanpa beban dendam emosional.
Rahmah sangat menonjol dalam pernikahan yang telah memasuki usia senja. Pada fase ini, pasangan tidak lagi didorong oleh energi Mawaddah yang membara seperti di masa muda, melainkan oleh Rahmah yang tenang, damai, dan mendalam. Mereka menjadi pelayan satu sama lain, saling membantu dalam ibadah dan kebutuhan fisik. Ini adalah puncak dari Sakinah, di mana belas kasih telah menjadi kebiasaan, bukan sekadar emosi.
Salah satu wujud Rahmah yang paling krusial adalah pengampunan. Pernikahan yang panjang tak terhindarkan akan dipenuhi dengan luka kecil dan besar. Rahmah menyediakan alat untuk menyembuhkan luka-luka ini. Pengampunan sejati yang didasari oleh Rahmah memastikan bahwa isu-isu lama tidak terus diungkit, memungkinkan pasangan untuk memulai lembaran baru setiap hari. Belas kasih ini juga meluas pada diri sendiri—memaafkan kegagalan sendiri sebagai pasangan, yang penting untuk menjaga kesehatan mental dalam hubungan.
Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah bukanlah entitas yang berdiri sendiri; mereka adalah sistem ekologis yang saling bergantung. Sakinah adalah iklim, Mawaddah adalah energi, dan Rahmah adalah fondasi yang kokoh. Hilangnya salah satu dari ketiganya akan menyebabkan kerusakan pada dua pilar lainnya.
Pernikahan dimulai dengan janji Sakinah (tujuan untuk merasa tenteram). Upaya mencapai Sakinah ini kemudian memicu Mawaddah—cinta aktif yang timbul dari interaksi positif dan dukungan timbal balik. Ketika Mawaddah diuji oleh tantangan hidup, Rahmah muncul sebagai penolong, memastikan bahwa meskipun daya tarik fisik berkurang atau konflik muncul, komitmen dan belas kasih tetap utuh.
Rahmah, pada gilirannya, menjaga agar konflik tidak merusak, sehingga Sakinah tetap terjaga. Jika Rahmah hilang, konflik kecil akan menghancurkan kedamaian (Sakinah). Jika Sakinah hilang, Mawaddah akan berubah menjadi ketergantungan yang tidak sehat atau kepemilikan. Oleh karena itu, ketiga elemen ini harus dipupuk secara seimbang. Pernikahan yang hanya didasarkan pada Mawaddah (gairah) cenderung rentan terhadap badai; pernikahan yang hanya didasarkan pada Rahmah (belas kasih) berisiko kehilangan kegembiraan dan gairah hidup.
Membangun budaya ini membutuhkan komitmen bersama untuk mendahulukan empati. Empati adalah kemampuan untuk merasakan atau memahami apa yang dirasakan pasangan, yang merupakan jembatan antara Mawaddah dan Rahmah. Mawaddah mendorong kita untuk membahagiakan pasangan, sementara Rahmah mendorong kita untuk meringankan penderitaan pasangan.
Budaya ini juga diwujudkan melalui ritual harian. Ini mungkin berarti menghabiskan 15 menit tanpa gangguan untuk berbicara tentang hari yang telah dilewati (Mawaddah). Ini mungkin berarti dengan sabar merawat pasangan yang sedang sakit tanpa mengeluh (Rahmah). Kedua tindakan ini pada akhirnya menciptakan rasa aman dan penerimaan, yang merupakan esensi dari Sakinah.
Ayat Ar Rum 21 bukan hanya teori; ia adalah resep praktis. Penerapannya membutuhkan keterlibatan aktif yang berkelanjutan dari kedua belah pihak. Keterlibatan ini berpusat pada tiga area utama: komunikasi, pengelolaan konflik, dan pemenuhan kebutuhan fitrah.
Komunikasi adalah saluran di mana Mawaddah disalurkan dan Rahmah diungkapkan. Komunikasi yang menjaga Sakinah adalah komunikasi yang transparan tetapi penuh hormat. Ini berarti menghindari bahasa yang merendahkan atau menyalahkan, terutama di tengah emosi yang intens. Kualitas komunikasi lebih penting daripada kuantitasnya.
Teknik komunikasi kunci dalam rangka Ar Rum 21 meliputi:
Dalam komunikasi, Rahmah mencegah kita mengatakan hal-hal yang tidak dapat ditarik kembali dalam kemarahan, sementara Mawaddah mendorong kita untuk berbicara dengan lembut dan mesra ketika suasana hati sedang baik. Kedua hal ini memastikan lingkungan rumah tangga tetap menjadi sumber ketenangan.
Konflik tidak dapat dihindari, tetapi kehancuran akibat konflik adalah pilihan. Pasangan yang berhasil menerapkan Ar Rum 21 melihat konflik sebagai kesempatan untuk memperdalam Rahmah. Ketika konflik muncul, fokusnya harus bergeser dari "Siapa yang salah?" menjadi "Bagaimana kita memperbaiki sistem ini?"
Rahmah memungkinkan pasangan untuk mengakui bahwa mereka adalah tim melawan masalah, bukan lawan satu sama lain. Proses resolusi konflik yang berlandaskan Rahmah mencakup:
Kegagalan menerapkan Rahmah dalam konflik sering menghasilkan kepahitan yang menumpuk. Kepahitan ini adalah antitesis dari Sakinah, karena ia secara perlahan mengikis rasa aman dan kepercayaan yang dibangun dengan susah payah.
Mawaddah sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, termasuk keintiman. Keintiman dalam pernikahan adalah ekspresi Mawaddah yang paling mendalam, di mana kerentanan dan kepercayaan mencapai puncaknya. Mengabaikan atau meremehkan aspek ini adalah mengabaikan salah satu saluran utama nutrisi Mawaddah.
Keintiman yang sehat dan Mawaddah yang kuat memerlukan perhatian terhadap:
Ayat Ar Rum 21 menutup dengan penegasan bahwa semua dinamika ini—penciptaan pasangan, Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah—adalah Ayatullah, tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Mengapa sebuah ikatan personal diletakkan pada tingkat yang sama dengan tanda-tanda kosmis seperti rotasi bumi atau penciptaan langit dan bumi?
Pernikahan adalah laboratorium kecil yang mencerminkan harmoni dan dualitas alam semesta. Sama seperti alam semesta beroperasi berdasarkan keseimbangan kekuatan yang berlawanan (siang dan malam, panas dan dingin), pernikahan juga mencapai kesempurnaan melalui penyatuan dua polaritas (laki-laki dan perempuan). Pasangan menjadi cerminan bagi satu sama lain, mengungkapkan kelemahan dan kekuatan yang mungkin tidak disadari oleh individu.
Keseimbangan antara Mawaddah dan Rahmah mencerminkan keseimbangan antara keadilan (Rahmah yang mengatur hak) dan kemurahan hati (Mawaddah yang melampaui kewajiban). Keseimbangan ini adalah cetak biru untuk ketertiban kosmik. Ketika pasangan berhasil mencapai Sakinah, mereka telah berhasil menciptakan ketertiban kecil di tengah kekacauan dunia, dan inilah yang menjadikannya bukti kekuasaan Allah yang nyata.
Penekanan "bagi kaum yang berpikir" (Liqawmin yatafakkaruun) menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah takdir pasif yang hanya dijalani, melainkan sebuah subjek studi yang memerlukan refleksi dan upaya intelektual. Orang yang berpikir tidak hanya merasakan cinta, tetapi juga menganalisis dari mana cinta itu datang, bagaimana ia dipertahankan, dan apa peranannya dalam tujuan hidup yang lebih besar.
Refleksi ini mencakup:
Bagi kaum yang berpikir, kegagalan dalam pernikahan tidak dilihat sebagai kegagalan pribadi semata, tetapi sebagai sinyal bahwa mekanisme Mawaddah atau Rahmah telah terganggu, dan perlu diperbaiki melalui ilmu, kesabaran, dan doa.
Salah satu hambatan terbesar dalam mencapai Sakinah yang langgeng adalah Ego. Ego menuntut kebenaran, menuntut pengakuan, dan menolak pengorbanan. Rahmah adalah senjata utama melawan ego, karena ia mewajibkan kerendahan hati dan kemauan untuk memberi tanpa mengharapkan balasan segera.
Dalam pernikahan, seringkali kemenangan logis dalam sebuah argumen terasa hampa jika ia merenggut kedamaian (Sakinah) dari rumah tangga. Rahmah mengajarkan pasangan untuk memprioritaskan harmoni hubungan di atas keinginan untuk selalu "benar." Melepaskan hak untuk memenangkan perdebatan adalah pengorbanan kecil yang menghasilkan Rahmah besar.
Ego seringkali membuat kita menghitung-hitung kontribusi: "Saya sudah melakukan ini, mengapa dia tidak melakukan itu?" Rahmah mengganti mentalitas "perdagangan" ini dengan mentalitas "pemberian tak bersyarat." Mawaddah yang sejati adalah ketika memberi tanpa syarat, meniru sifat kemurahan hati Ilahi.
Pengorbanan dalam pernikahan jarang berupa tindakan heroik yang dramatis, melainkan serangkaian tindakan kecil yang berkelanjutan: memilih untuk diam ketika marah, membatalkan rencana pribadi demi membantu pasangan, atau melakukan tugas yang tidak disukai demi meringankan beban pasangan. Setiap pengorbanan kecil ini adalah investasi langsung ke dalam rekening Rahmah. Seiring waktu, akumulasi Rahmah ini menjadi jaminan asuransi terbesar terhadap kehancuran hubungan.
Ketika Mawaddah mulai meredup, karena kelelahan atau rutinitas, Rahmah yang telah terakumulasi memastikan bahwa pasangan tetap bersikap baik dan penuh hormat. Rahmah adalah janji yang ditepati bahkan ketika emosi sedang berlibur. Inilah perbedaan mendasar antara cinta yang didasarkan pada perasaan (yang fluktuatif) dan cinta yang didasarkan pada komitmen (yang stabil).
Pernikahan yang berhasil mengimplementasikan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah tidak hanya membawa manfaat bagi pasangan itu sendiri, tetapi juga memberikan warisan tak ternilai bagi generasi berikutnya. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi ketiga pilar ini akan memiliki model hubungan yang sehat dan stabil.
Lingkungan yang kaya Sakinah adalah 'basis aman' (safe base) bagi perkembangan psikologis anak. Anak-anak yang melihat orang tua mereka menyelesaikan konflik dengan Rahmah dan menunjukkan Mawaddah melalui kasih sayang terbuka cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi dan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik.
Sebaliknya, rumah tangga yang dipenuhi Mawaddah (gairah) tetapi miskin Rahmah (belas kasih) dapat menjadi tempat yang volatile, di mana cinta datang dan pergi seiring suasana hati orang tua. Anak-anak membutuhkan kestabilan Sakinah, yang hanya dapat dipertahankan oleh konsistensi Rahmah.
Anak-anak belajar tentang Rahmah melalui cara orang tua mereka memperlakukan satu sama lain ketika salah satu sedang lemah, sakit, atau membuat kesalahan besar. Ketika seorang anak menyaksikan ayahnya dengan sabar merawat ibunya yang sakit, atau sebaliknya, ia tidak hanya melihat sebuah tindakan kebaikan; ia melihat definisi nyata dari belas kasih tanpa syarat.
Pewarisan nilai ini adalah tujuan akhir dari ayat tersebut—bukan hanya kebahagiaan pribadi, tetapi pembangunan unit sosial yang stabil yang mampu menghasilkan individu-individu yang sehat secara spiritual dan emosional. Keluarga yang berpondasikan Ar Rum 21 adalah fondasi bagi masyarakat yang damai dan beradab.
Memandang pernikahan melalui lensa Ar Rum 21 memerlukan perspektif filosofis bahwa ikatan ini adalah sebuah perjalanan evolusi spiritual. Ketiga pilar tersebut harus berevolusi seiring berjalannya waktu, menyesuaikan diri dengan fase-fase kehidupan yang berbeda.
Mawaddah di tahun-tahun awal cenderung didominasi oleh gairah dan romantisme. Namun, seiring waktu, Mawaddah harus matang menjadi bentuk persahabatan yang dalam dan saling menghormati secara intelektual. Mawaddah yang matang adalah ketika pasangan merasa nyaman berbagi impian, ketakutan, dan bahkan kebosanan sehari-hari. Ia berubah dari "api yang membakar" menjadi "kehangatan yang abadi."
Kegagalan untuk membiarkan Mawaddah berevolusi seringkali menyebabkan kekecewaan, di mana pasangan mencari sensasi cinta awal yang kini telah hilang. Ar Rum 21 menantang kita untuk menemukan keindahan dan kegembiraan baru dalam setiap fase hubungan, menyadari bahwa Mawaddah yang hakiki adalah Mawaddah yang mampu beradaptasi.
Di awal, Rahmah mungkin terasa seperti upaya sadar untuk memaafkan. Namun, setelah puluhan tahun, Rahmah seharusnya tidak lagi menjadi sebuah tindakan, melainkan sebuah identitas. Pasangan telah menjadi cerminan belas kasih bagi satu sama lain sehingga tindakan memaafkan menjadi otomatis, bukan lagi perjuangan. Rahmah telah menjadi bahasa default hubungan.
Inilah yang dimaksud dengan Sakinah sejati—kedamaian yang berasal dari pengetahuan pasti bahwa pasangan kita adalah tempat teraman di dunia, karena kasih sayang dan belas kasih mereka telah teruji dan terbukti tidak akan goyah, terlepas dari kelemahan kita.
Ayat Ar Rum 21 adalah pengingat bahwa pernikahan adalah lebih dari sekadar urusan pribadi; ia adalah tanggung jawab spiritual yang diletakkan di pundak pasangan. Ketika dua individu berhasil menyatukan hidup mereka dan menumbuhkan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah, mereka telah melakukan sesuatu yang monumental—mereka telah membuktikan kebenasan dan keindahan dari rancangan Ilahi.
Menjaga komitmen terhadap ketiga pilar ini adalah ibadah yang berkelanjutan. Ia menuntut kesabaran yang tak terhingga, kerendahan hati untuk mengakui kesalahan, dan keberanian untuk mencintai secara aktif dan tanpa syarat. Dalam setiap senyum, setiap pelukan, setiap pengampunan, dan setiap malam yang dilewati dalam ketenangan, pasangan sedang mengukir Tanda Kekuasaan Ilahi di dinding rumah mereka.
Semoga setiap rumah tangga dapat menjadi mercusuar Sakinah, yang cahayanya dipancarkan oleh Mawaddah dan ditopang oleh Rahmah, sehingga setiap pasangan benar-benar menjadi tempat tenteram yang telah dijanjikan oleh Sang Pencipta.
Pilar Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan teori psikologi modern mengenai ikatan dan keterikatan (attachment theory). Sakinah mencerminkan kebutuhan fundamental manusia akan rasa aman (secure base). Pasangan berfungsi sebagai figur keterikatan utama, menggantikan orang tua. Apabila figur keterikatan ini stabil dan responsif, individu akan merasa cukup aman untuk menjelajah dunia luar dan menghadapi tantangan hidup, tahu bahwa mereka memiliki tempat yang pasti untuk kembali.
Kegagalan Mawaddah dan Rahmah dalam penerapannya seringkali menghasilkan gaya keterikatan yang cemas atau menghindar. Jika Mawaddah tidak diungkapkan secara konsisten (kurangnya kehangatan atau validasi), pasangan mungkin mengembangkan kecemasan—selalu khawatir akan ditinggalkan atau dicintai secara bersyarat. Sebaliknya, jika Rahmah tidak ada (kurangnya toleransi terhadap kerapuhan), pasangan dapat menjadi defensif dan menghindar, menutup diri dari keintiman sejati demi melindungi diri dari kritik atau rasa sakit.
Oleh karena itu, membangun Sakinah melalui Mawaddah dan Rahmah adalah tindakan terapeutik bagi kedua belah pihak. Ini adalah proses penyembuhan luka-luka emosional masa lalu, di mana hubungan pernikahan yang sehat memberikan pengalaman pertama dari kasih sayang yang benar-benar stabil dan dapat diandalkan. Validasi emosional—pengakuan bahwa perasaan pasangan adalah sah, bahkan jika kita tidak sepenuhnya memahaminya—adalah wujud Rahmah yang paling efektif dalam komunikasi psikologis. Ketika pasangan berkata, "Aku mengerti mengapa kamu merasa begitu," meskipun dia tidak setuju, itu adalah jaminan Sakinah.
Pernikahan seringkali menjadi cermin yang menakutkan, menampilkan kembali kelemahan dan bayangan (shadow self) kita yang tidak kita sadari. Mawaddah yang kuat memungkinkan pasangan untuk menerima kelemahan ini. Mawaddah dan Rahmah harus bekerja sama di sini: Mawaddah memberikan keberanian untuk menunjukkan kerapuhan, dan Rahmah memberikan penerimaan tanpa syarat terhadap kerapuhan tersebut. Tanpa Rahmah, setiap kelemahan yang terekspos akan menjadi amunisi untuk konflik di masa depan, menghancurkan Sakinah.
Proyeksi—ketika kita menyalahkan pasangan atas perasaan atau kekurangan kita sendiri—adalah pembunuh Sakinah. Penerapan Rahmah menuntut kejujuran radikal dengan diri sendiri. Pasangan harus mampu bertanya: "Apakah kritik saya terhadapnya berasal dari kekecewaan saya sendiri?" Proses introspeksi kolektif inilah yang mengubah pernikahan dari sekadar hidup bersama menjadi perjalanan penyucian jiwa.
Dalam masyarakat modern, tekanan ekonomi dan sosial seringkali menjadi beban berat bagi institusi pernikahan. Ayat Ar Rum 21 memberikan kerangka kerja untuk mengelola tekanan eksternal ini, memastikan bahwa rumah tangga berfungsi sebagai benteng, bukan sebagai medan perang kedua.
Tantangan finansial adalah penyebab utama perceraian. Namun, pasangan yang berlandaskan Rahmah melihat kesulitan ekonomi sebagai ujian kolektif, bukan kegagalan individu. Rahmah mengajarkan kepuasan (qana'ah) dan membatasi tuntutan materialistis yang tidak realistis terhadap pasangan. Mawaddah, di sisi lain, memotivasi pasangan untuk bekerja sama dan mendukung usaha satu sama lain untuk mencapai stabilitas.
Sakinah tercipta ketika ada transparansi finansial dan komitmen untuk mengatasi kemiskinan atau utang bersama-sama, tanpa saling menyalahkan atau menyembunyikan masalah. Rahmah dalam hal ekonomi adalah kesediaan untuk berkorban gaya hidup demi keamanan jangka panjang keluarga, mengakui bahwa kekayaan sejati keluarga terletak pada keharmonisan batin, bukan pada jumlah harta benda.
Sakinah rumah tangga sering terancam oleh intervensi eksternal yang tidak sehat, terutama dari keluarga besar. Mawaddah dan Rahmah menuntut pasangan untuk membangun batasan yang jelas. Mawaddah memupuk kesatuan tim: "Kami adalah tim, dan kami harus melindungi unit kami." Rahmah memberikan belas kasih terhadap keluarga besar sambil tetap mempertahankan otonomi dan privasi rumah tangga.
Keputusan untuk selalu memihak pasangan di hadapan pihak ketiga, bahkan ketika pasangan membuat kesalahan kecil, adalah wujud Mawaddah dan Rahmah yang fundamental. Kritik internal dapat ditangani secara privat, namun di mata dunia, pasangan harus hadir sebagai front yang bersatu. Ini adalah cara menjaga Sakinah agar tidak terkikis oleh opini atau tekanan luar.
Ayat Ar Rum 21 diawali dengan frasa "Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan (azwājā) dari jenismu sendiri." Ini merujuk pada konsep Tazawwuj (berpasangan), yang meluas melampaui pernikahan manusia. Tazawwuj adalah prinsip kosmik, bahwa segala sesuatu diciptakan berpasangan (Q.S. Adz Dzariyat: 49).
Dalam konteks manusia, Tazawwuj menegaskan bahwa individu tidak sempurna dalam isolasi. Pasangan diciptakan untuk saling melengkapi kekurangan, baik secara spiritual, emosional, maupun fungsional. Laki-laki dan perempuan membawa kekuatan dan kelemahan yang berbeda, dan penyatuan mereka (melalui Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah) menciptakan keseluruhan yang utuh dan berfungsi. Ini adalah rahmat terbesar: pasangan kita adalah penyeimbang kita.
Tazawwuj menolak konsep kemandirian total dalam pernikahan. Ia menegaskan saling ketergantungan yang sehat. Mawaddah dalam hal ini adalah mengakui bahwa kebutuhan kita dipenuhi oleh pasangan, dan Rahmah adalah kerelaan untuk memenuhi kebutuhan pasangan tanpa hitungan.
Frasa "dari jenismu sendiri" (min anfusikum) menekankan kesamaan hakiki. Meskipun laki-laki dan perempuan berbeda secara fisiologis dan psikologis, mereka berbagi esensi spiritual dan kemanusiaan yang sama. Ini adalah dasar untuk empati yang mendalam. Karena kita diciptakan dari jenis yang sama, kita memiliki kemampuan bawaan untuk memahami kebutuhan Sakinah pasangan, mengaktifkan Mawaddah, dan mengulurkan Rahmah, karena kita pada dasarnya mengetahui apa yang dibutuhkan oleh jiwa kita sendiri.
Penghargaan terhadap kesamaan dan perbedaan ini adalah kunci untuk memelihara Sakinah. Menghargai perbedaan memicu Mawaddah (daya tarik dan pelengkap), dan mengingat kesamaan memicu Rahmah (belas kasih dan pengertian fundamental).
Mawaddah, karena sifatnya yang aktif dan berenergi, adalah pilar yang paling rentan terhadap erosi oleh rutinitas hidup. Memelihara Mawaddah di tengah monoton memerlukan kreativitas dan upaya yang terus-menerus. Ini adalah tugas seumur hidup yang menuntut komitmen untuk tidak pernah berhenti berkencan dengan pasangan.
Mawaddah dipelihara ketika pasangan terus-menerus menemukan hal-hal baru tentang satu sama lain dan tentang dunia bersama. Ini bisa berupa pengembangan hobi bersama, pembelajaran ilmu baru, atau menetapkan tujuan spiritual kolektif (misalnya, menghafal Al-Qur'an bersama). Kegiatan bersama yang bermakna menciptakan 'memori Mawaddah' yang kaya, yang dapat dijadikan cadangan emosional saat masa sulit datang.
Kreativitas dalam Mawaddah berarti melanggar rutinitas yang membosankan. Mawaddah mati ketika pasangan mulai saling menganggap remeh dan berhenti berinvestasi dalam kejutan, apresiasi, atau usaha untuk tampil menarik di mata pasangan, baik secara fisik maupun intelektual.
Dalam era digital, Mawaddah juga harus dipertahankan dari gangguan dan godaan luar. Kualitas waktu yang dipenuhi dengan kehadiran penuh sangat penting. Pasangan yang menerapkan Mawaddah dan Rahmah akan menetapkan batasan yang menjaga hubungan mereka, misalnya, menetapkan waktu bebas gawai untuk berbicara atau berinteraksi. Mawaddah menuntut prioritas: jika pasangan adalah ‘tempat kembali’ (Sakinah), maka pasangan harus selalu menjadi ‘prioritas utama’ di atas pekerjaan, hobi, atau bahkan hubungan lain.
Mawaddah yang tulus juga mencakup menjaga kehormatan pasangan di mata orang lain dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak kepercayaan. Kepercayaan yang hilang adalah racun yang membunuh Mawaddah dan membuat Rahmah menjadi sangat sulit untuk diterapkan.
Rahmah sering disalahartikan sebagai pasif atau lemah. Padahal, Rahmah yang sejati dalam pernikahan adalah energi yang kuat dan menegakkan keadilan. Belas kasih tidak berarti toleransi terhadap ketidakadilan atau penindasan emosional.
Pasangan yang beriman diwajibkan untuk menunaikan hak pasangannya. Rahmah memandu cara hak itu dituntut atau dipertahankan. Jika seorang istri membutuhkan lebih banyak dukungan emosional, menuntutnya dengan Rahmah berarti menyampaikannya dengan lembut, menjelaskan kebutuhan alih-alih menyerang kekurangan pasangan. Jika seorang suami membutuhkan rasa hormat yang lebih besar di hadapan umum, menyampaikannya dengan Rahmah berarti membangun batasan tanpa mengancam atau mendominasi.
Keadilan (al-adl) adalah bagian tak terpisahkan dari Rahmah. Keadilan dalam pernikahan adalah kesetaraan martabat, bukan kesamaan peran. Pasangan harus merasa dihargai secara setara, meskipun peran fungsional mereka berbeda. Keadilan ini memastikan tidak ada pihak yang merasa dieksploitasi atau diabaikan, yang merupakan prasyarat mutlak bagi terciptanya Sakinah.
Bahkan ketika pernikahan harus berakhir (misalnya melalui perceraian), Ar Rum 21 menuntut Rahmah untuk tetap dipertahankan. Rahmah memastikan perpisahan dilakukan secara damai dan bermartabat, dengan mempertimbangkan kesejahteraan anak-anak dan kehormatan mantan pasangan. Ini adalah ujian terbesar dari Rahmah—mampukah belas kasih tetap ada bahkan ketika Mawaddah telah padam dan Sakinah tidak dapat dipulihkan?
Kesediaan untuk melepaskan dengan Rahmah menunjukkan kematangan spiritual tertinggi, membuktikan bahwa komitmen terhadap belas kasih melampaui kepentingan pribadi dan konflik. Hal ini memastikan bahwa meskipun ikatan suami-istri terputus, ikatan kemanusiaan dan spiritual tetap dihormati, menjaga integritas spiritual dan psikologis semua pihak yang terlibat.
Inilah hikmah mendalam dari Ar Rum 21: pernikahan sebagai sebuah manifestasi Ilahiah yang menuntut kebijaksanaan, kesabaran, dan cinta tanpa batas.