Analisis Kosmik, Teologis, dan Ilmiah Batasan Langit dan Bumi
Surah Ar-Rahman, yang sering dijuluki sebagai 'Pengantin Al-Qur'an' (Aruusul Qur'an), adalah surah yang kaya akan pujian terhadap nikmat-nikmat Allah SWT. Salah satu ayat yang paling menantang dan memprovokasi pemikiran manusia serta jin adalah ayat ke-33. Ayat ini tidak sekadar pernyataan teologis, tetapi merupakan tantangan kosmik yang menegaskan batas kemampuan makhluk di hadapan Pencipta Yang Maha Kuasa. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras terhadap kesombongan dan pengakuan terhadap keabsolutan kedaulatan Ilahi atas seluruh dimensi eksistensi, baik yang tampak maupun yang gaib.
Dalam konteks keseluruhan Surah Ar-Rahman, ayat ini muncul setelah serangkaian penjelasan mengenai penciptaan, hukum alam, dan nikmat yang tak terhitung. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pendengar (baik manusia maupun jin) agar merenungkan kebesaran Sang Pemberi Nikmat. Setelah daftar panjang anugerah, ayat 33 secara retoris menanyakan, 'Jika kalian mampu, cobalah melampaui batas-batas ini.'
(33) Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (sulthan).
Ayat yang ringkas namun padat makna ini mengundang analisis mendalam, mulai dari konteks linguistik, interpretasi tafsir klasik, hingga relevansi ilmiah modern yang membahas penjelajahan luar angkasa dan batas kecepatan alam semesta.
Kekuatan ayat Al-Qur'an seringkali terletak pada pemilihan kata yang sangat presisi. Membedah setiap frasa dalam Ar-Rahman 33 membantu kita memahami kedalaman tantangan yang disampaikan oleh Allah SWT.
Penyebutan dua entitas utama, jin dan manusia, sangat penting. Keduanya adalah makhluk berakal yang dibebani taklif (tanggung jawab syariat) dan memiliki kehendak bebas. Penyebutan jin terlebih dahulu di beberapa konteks menunjukkan pengakuan terhadap kemampuan atau dimensi gaib mereka yang mungkin dianggap 'lebih mampu' melintasi batas dibandingkan manusia, namun tetap berada dalam keterbatasan. Tantangan ini berlaku universal bagi semua makhluk yang memiliki potensi ambisi dan keinginan untuk melampaui batas yang ditetapkan.
Kata kerja *tanfudzuu* berasal dari akar kata *nafadha*, yang berarti 'menembus', 'melintasi', atau 'melewati hingga ke ujungnya'. Ini bukan sekadar berjalan atau melakukan perjalanan biasa, melainkan menembus batas, menembus lapisan, atau mencapai sisi lain dari suatu ruang yang terhalang. Konteks ini menunjukkan kesulitan yang ekstrem dan upaya yang harus dilakukan untuk benar-benar keluar dari dimensi yang telah ditetapkan.
Kata kunci di sini adalah *Aqthar* (bentuk jamak dari *qutr*), yang berarti 'penjuru', 'diameter', atau 'kawasan batas'. Ini menyiratkan bukan hanya permukaan atau ruang di antara langit dan bumi, tetapi batas-batas ekstrem dari dimensi kosmik itu sendiri. Ini adalah tantangan untuk melampaui keseluruhan kawasan yang berada di bawah kedaulatan ciptaan, keluar dari area pengaruh semesta yang dikenal.
Jika kita menafsirkan *Aqthar* dalam arti ilmiah modern sebagai 'radius' atau 'diameter' batas alam semesta yang teramati, maka tantangan ini menjadi semakin monumental. Itu berarti Allah menantang makhluk-Nya untuk mencapai tepi terjauh dari ruang dan waktu, sebuah tugas yang secara fisik dan metafisik mustahil bagi makhluk terbatas.
Ini adalah klimaks dari ayat tersebut, sebuah penegasan tegas tentang keterbatasan. Kata *Sulthaan* adalah kata yang sangat kaya makna. Secara harfiah, ia berarti 'kekuasaan', 'otoritas', 'bukti yang kuat', atau 'dalil'. Dalam konteks ini, tafsirannya terbagi menjadi dua dimensi utama, yang akan diuraikan lebih lanjut, tetapi intinya adalah: kemampuan menembus batas-batas kosmik hanya mungkin jika disertai oleh jenis kekuatan yang mutlak, yang melampaui kemampuan material biasa.
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di menjelaskan bahwa kalimat ini berfungsi sebagai *ta'jiz* (demonstrasi ketidakmampuan). Ia menegaskan bahwa segala upaya makhluk, betapapun canggihnya, tidak akan membebaskan mereka dari batasan kosmik kecuali jika mereka diberikan kekuatan yang berasal dari otoritas Ilahi itu sendiri.
Para ulama tafsir klasik cenderung melihat ayat 33 ini dalam dua perspektif utama: tantangan fisik di dunia ini dan tantangan eskatologis (akhirat), namun keduanya bermuara pada pengakuan akan kedaulatan Allah SWT.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, mengaitkan ayat ini dengan ketidakmampuan manusia dan jin untuk melarikan diri dari takdir dan kekuasaan Allah. Tantangan untuk menembus 'penjuru langit dan bumi' ditafsirkan sebagai upaya melarikan diri dari hisab (perhitungan amal) pada hari Kiamat.
"Ayat ini mengandung tantangan kepada mereka, jin dan manusia, bahwa mereka tidak akan mampu melarikan diri dari perintah dan takdir Allah, dan mereka tidak akan bisa kabur dari hisab-Nya. Mereka terkepung dari segala penjuru langit dan bumi."
Dalam pandangan ini, *Sulthan* dimaknai sebagai kekuasaan atau izin yang diberikan langsung oleh Allah. Jika mereka menembusnya, itu hanya bisa terjadi atas izin dan kekuatan yang Allah berikan. Karena konteksnya adalah tantangan, maka izin tersebut tidak akan diberikan, sehingga menegaskan bahwa lari dari ketentuan Allah adalah mustahil.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan *aqthar* sebagai batas-batas wilayah di mana kekuasaan malaikat penjaga meluas. Upaya menembus *aqthar* adalah upaya untuk keluar dari wilayah yang diawasi dan diatur oleh ketetapan Ilahi. Al-Qurtubi juga menyentuh aspek eskatologis, di mana penembusan tersebut hanya akan terjadi jika Allah mengizinkan melalui kekuatan-Nya yang mutlak, khususnya saat hari penghimpunan (Kiamat).
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menekankan bahwa ayat ini adalah pernyataan ketidakberdayaan mutlak. Ia menyatakan bahwa meskipun jin dan manusia bersatu dengan seluruh kekuatan dan alat mereka, mereka tidak akan bisa menembus kawasan langit dan bumi ini, bahkan satu kawasan pun, kecuali dengan 'Sulthan'. Dan 'Sulthan' yang dimaksud adalah kekuatan yang melampaui batas material, yaitu kekuatan dari Allah SWT yang mengizinkan mereka, yang mana izin ini tidak mereka miliki.
Inti dari tafsir klasik adalah bahwa tantangan ini adalah metafora kekuasaan. Tidak peduli seberapa jauh kemajuan teknologi atau sihir, makhluk tetap terikat pada sistem kosmik yang dibuat dan dijaga oleh Sang Pencipta. Mereka tidak memiliki otoritas (Sulthan) untuk membatalkan atau melampaui hukum-hukum fundamental yang menahan mereka di dalam 'aqthar' ini.
Kata *Sulthaan* (سُلْطَانٍ) adalah jantung dari ayat Ar-Rahman 33, dan pemaknaannya telah menjadi subjek diskusi sengit di kalangan mufassir. Pemahaman tentang *Sulthaan* menentukan apakah ayat ini hanya berbicara tentang Hari Kiamat atau juga relevan dengan upaya ilmiah di dunia.
Tafsiran yang paling dominan di kalangan ulama salaf adalah bahwa *Sulthaan* merujuk pada kekuatan Ilahi, atau izin langsung dari Allah SWT. Dalam pandangan ini, makhluk tidak dapat bergerak melampaui batas alam semesta kecuali atas kehendak-Nya. Otoritas ini adalah kekuasaan yang tidak dapat diciptakan oleh manusia atau jin; ia harus diberikan. Penafsiran ini menjaga integritas tauhid, menegaskan bahwa semua kekuatan berasal dari Allah.
Konsekuensi dari tafsiran ini adalah bahwa ayat 33 secara fundamental bersifat teologis dan eskatologis. Tantangan untuk lari dari Allah adalah mustahil, karena Dia menguasai segala penjuru. Bahkan jika suatu hari manusia berhasil mencapai planet yang jauh, mereka tetap berada di dalam 'aqthar' yang Allah ciptakan dan atur, dan mereka tetap terikat oleh hukum-hukum-Nya.
Dalam tafsir modern, khususnya yang mencoba menghubungkan Al-Qur'an dengan kemajuan ilmiah, *Sulthaan* ditafsirkan sebagai kekuatan ilmiah dan teknologi yang luar biasa. Kekuatan ini mencakup ilmu pengetahuan (ilmu), teknologi canggih, dan perencanaan yang presisi yang memungkinkan manusia menembus atmosfer dan menjelajahi luar angkasa.
Para pendukung pandangan ini berargumen bahwa penjelajahan luar angkasa modern, seperti perjalanan ke Bulan atau Mars, adalah manifestasi dari 'Sulthan' yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, ini adalah 'Sulthan' yang berasal dari akal dan pengetahuan yang diciptakan oleh Allah. Tanpa ilmu fisika, teknik roket, dan pemahaman tentang gravitasi—semua pengetahuan yang diperoleh manusia—penembusan ke ruang angkasa tidak mungkin terjadi.
Namun, para ulama modern yang berhati-hati menekankan batasan dari 'Sulthan' teknologi ini. Meskipun manusia bisa keluar dari atmosfer bumi, apakah mereka benar-benar menembus *aqthar* (penjuru ekstrem) dari seluruh langit dan bumi? Jawabannya, secara ilmiah maupun teologis, adalah tidak. Perjalanan ke Mars masih berada dalam lingkup sistem tata surya yang relatif kecil dalam konteks kosmik. Batas sesungguhnya, batas alam semesta yang luas dan batas metafisik, tetap tidak terjangkau.
Oleh karena itu, penafsiran yang paling komprehensif menggabungkan keduanya: Sulthan adalah kekuatan yang sangat besar, baik berupa izin Ilahi maupun ilmu pengetahuan, yang mana ilmu pengetahuan itu sendiri adalah nikmat dan izin dari Allah. Ilmu adalah kunci, tetapi batas akhir tetap dikendalikan oleh Otoritas Yang Maha Tinggi.
Jika manusia menggunakan 'Sulthan' berupa ilmu dan teknologi untuk menembus atmosfer, ini adalah bukti kebesaran Allah yang menganugerahkan ilmu tersebut. Namun, tantangan yang lebih besar, yaitu menembus batas-batas kosmik yang tak terhingga (*aqthar* yang sesungguhnya), tetap hanya dapat dicapai dengan Sulthan yang mutlak, yaitu kekuatan Allah sendiri. Ini adalah pengingat bahwa meskipun manusia telah maju, mereka masihlah makhluk yang terikat dalam sangkar waktu dan ruang yang ditetapkan oleh Sang Khaliq.
Kajian mendalam tentang kata ini mengungkapkan bahwa tujuan utama ayat tersebut bukanlah untuk melarang eksplorasi ilmiah, melainkan untuk mengingatkan bahwa kebebasan makhluk itu relatif. Bahkan ketika manusia merasa telah menaklukkan batas, mereka masih berada dalam genggaman kekuasaan yang lebih besar.
Pemahaman tentang *aqthar* (penjuru atau diameter) memerlukan refleksi terhadap konsep langit (*samaawaat*) dan bumi (*ardh*) dalam terminologi Al-Qur'an. Dalam pandangan tradisional, langit merujuk pada lapisan-lapisan di atas kita, termasuk tujuh lapis langit. Dalam pandangan kosmik modern, ini merujuk pada seluruh alam semesta.
Al-Qur'an sering menyebutkan Tujuh Langit (*Sab'a Samaawaat*). Para ulama tafsir menginterpretasikan ini bukan hanya sebagai lapisan atmosfer atau planet, tetapi sebagai dimensi eksistensi yang berbeda, setiap lapis lebih besar dan lebih luas dari yang sebelumnya. Tantangan Ar-Rahman 33 adalah menembus bukan hanya satu lapisan, tetapi keluar dari seluruh rangkaian dimensi kosmik yang dikendalikan oleh Allah.
Jika manusia menembus langit pertama (atmosfer dan ruang angkasa dekat), mereka masih berada dalam bingkai langit kedua, dan seterusnya. Tantangan ini menegaskan bahwa bahkan teknologi paling maju hanya dapat mencapai sebagian kecil dari wilayah ciptaan. Setiap kemajuan ilmiah hanya membuka mata kita terhadap besarnya batasan yang belum terlampaui.
Dalam konteks modern, kita dapat memahami 'Aqthar' sebagai batas-batas yang ditetapkan oleh hukum fisika universal, yang semuanya adalah ketetapan (sunnatullah) dari Allah. Batasan yang paling signifikan adalah:
Keterikatan manusia pada hukum-hukum ini, yang diciptakan oleh Allah, adalah bukti bahwa mereka tidak dapat menembus 'penjuru' tanpa Sulthan Ilahi. Hukum fisika adalah wujud konkret dari batasan *aqthar* di alam materi.
Penyebutan jin dalam ayat ini sangat relevan. Jin, sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berbeda dari manusia (termasuk kecepatan pergerakan yang lebih tinggi dan dimensi eksistensi yang berbeda), juga ditantang. Meskipun jin dapat bergerak dengan kecepatan tinggi dan mungkin melintasi ruang dalam waktu yang sangat singkat, ayat ini menegaskan bahwa bahkan mereka, dengan kekuatan metafisik mereka, tidak dapat keluar dari batas kedaulatan Allah. Dalam beberapa riwayat, jin yang mencoba mencuri berita dari langit (saat nabi Muhammad diutus) dihalau dengan panah-panah api (meteor). Ini menunjukkan bahwa bahkan batas-batas antara dimensi gaib pun dijaga ketat.
Ayat Ar-Rahman 33 adalah salah satu contoh terkuat dari gaya bahasa Al-Qur'an yang dikenal sebagai *Ta'jiz* (penegasan ketidakmampuan). Tujuan utama tantangan ini bukanlah untuk mendorong percobaan yang sia-sia, melainkan untuk menegakkan beberapa prinsip teologis mendasar.
Konteks Surah Ar-Rahman seringkali beralih antara deskripsi nikmat di dunia dan deskripsi kengerian Hari Kiamat. Ayat 33, dalam banyak tafsir, adalah peringatan keras bahwa pada Hari Kiamat, manusia dan jin tidak akan memiliki tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri dari pengadilan Allah. Mereka tidak akan dapat menembus 'penjuru' alam semesta untuk mencari perlindungan atau menghindari hukuman.
Ayat-ayat setelahnya menguatkan makna eskatologis ini, seperti ancaman dikirimkannya nyala api dan tembaga cair kepada mereka yang tidak patuh (Ar-Rahman 35), serta deskripsi mengenai kehancuran kosmik (Ar-Rahman 37).
Tantangan ini berfungsi untuk memecahkan kesombongan (Isti'laa') yang mungkin timbul dari kemajuan teknologi atau kekuatan spiritual. Manusia, dengan kemajuan teknologi mereka, cenderung merasa mampu menaklukkan alam. Jin, dengan kelebihan gaib mereka, mungkin merasa superior. Ayat 33 adalah rem yang kuat, mengingatkan bahwa meskipun seluruh kekuatan makhluk dikumpulkan, mereka tetap tidak dapat melarikan diri dari hukum Pencipta. Ini menumbuhkan rasa rendah hati dan pengakuan atas Tauhid Rububiyah (keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur).
Setiap penemuan ilmiah yang menakjubkan, yang mungkin terlihat seperti penembusan 'aqthar', harus dilihat sebagai tanda kekuasaan Allah yang mengizinkan ilmu tersebut, bukan sebagai bukti kemandirian manusia dari-Nya.
Ciptaan (makhluk) memiliki batas, sementara Sang Pencipta (Khaliq) tidak memiliki batas. Ayat ini adalah pernyataan definitif mengenai perbedaan esensial antara keterbatasan ciptaan dan keabsolutan Tuhan. Bahkan alam semesta yang luas ini hanyalah 'penjuru' dari kekuasaan Ilahi. Tidak ada sudut di alam eksistensi yang luput dari kekuasaan dan pengetahuan Allah.
Refleksi atas tantangan ini seharusnya mengarahkan setiap individu untuk fokus pada hal yang dapat mereka lakukan dan yang berada dalam batas kekuasaan mereka: beribadah, mencari ilmu yang bermanfaat, dan berbuat baik di dalam wilayah yang telah ditetapkan oleh Allah.
Di era modern, di mana manusia telah mengirim wahana antariksa melampaui batas tata surya dan merencanakan kolonisasi Mars, Ayat 33 menjadi semakin relevan sebagai filter filosofis dan teologis bagi ambisi manusia.
Ketika kita merayakan keberhasilan NASA, ESA, atau badan antariksa lainnya dalam mengirim objek ke ruang antar-bintang (seperti Voyager), kita mungkin tergoda untuk berpikir bahwa manusia telah 'menembus penjuru langit'. Namun, dalam skala kosmik yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an, pencapaian ini masih sangat terbatas. Voyager hanya menembus batas heliosfer, wilayah kecil di galaksi Bima Sakti kita. Galaksi Bima Sakti hanyalah salah satu dari ratusan miliar galaksi.
Keberhasilan ini harus dipahami sebagai wujud 'Sulthan' berupa ilmu pengetahuan yang diberikan Allah sebagai nikmat. Ini adalah kekuatan yang Allah izinkan untuk digunakan manusia, tetapi itu bukan *Sulthan* mutlak yang memungkinkan mereka melarikan diri dari hukum-hukum-Nya atau mencapai tepi alam semesta.
Fisika abad ke-21 telah mengkonfirmasi batas-batas yang sangat ketat yang dihadapi oleh penjelajahan antar-bintang:
Dengan demikian, ayat 33 secara ajaib sejalan dengan batasan fisika paling ekstrem. Ayat ini meramalkan bahwa kecuali jika manusia dianugerahi 'Sulthan' yang mampu memanipulasi dasar-dasar ruang dan waktu (yang sama dengan menembus hukum Allah), mereka akan selalu terikat pada hukum alam semesta yang berlaku.
Alih-alih fokus pada obsesi untuk menembus batas-batas fisik yang mustahil, tantangan Ar-Rahman 33 mengarahkan fokus umat Islam kembali ke batas-batas moral dan spiritual. Jika manusia tidak mampu menembus batasan kosmik fisik yang ditetapkan Allah, maka seharusnya mereka lebih patuh pada batasan syariat yang ditetapkan-Nya. Mencari Sulthan dalam bentuk ilmu adalah terpuji, tetapi mencari Sulthan spiritual, yaitu kedekatan dan izin Allah, adalah tujuan yang lebih utama.
Tujuan utama dari Sulthan yang sesungguhnya adalah untuk mencapai keberhasilan di alam barzakh dan akhirat, yaitu 'penembusan' batas antara dunia fana dan keabadian. Penembusan ini hanya mungkin melalui amal shaleh dan rahmat Ilahi.
Ar-Rahman Ayat 33 tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan surah yang diulang-ulang frasa "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Tantangan kosmik ini adalah penguatan terhadap frasa tersebut. Tantangan ini adalah nikmat dalam bentuk peringatan dan pengakuan akan batasan diri.
Mengapa ketidakmampuan untuk menembus batas kosmik adalah nikmat? Karena jika manusia memiliki kekuatan absolut untuk melarikan diri dari pengawasan Ilahi, maka konsep tanggung jawab (taklif) dan perhitungan (hisab) akan runtuh. Keterbatasan kita adalah perlindungan dari kerusakan total; kita tidak mampu merusak sistem kosmik yang lebih besar atau melarikan diri dari konsekuensi moral kita.
Ketidakmampuan manusia dan jin untuk melarikan diri ini adalah jaminan keadilan universal. Setiap individu akan bertanggung jawab di tempat yang sama, di hadapan Hakim yang sama, tanpa ada tempat persembunyian.
Ayat ini mengajarkan konsep Ihata (Kepungan atau Meliputi). Allah SWT meliputi segala sesuatu, baik secara ruang maupun waktu. "Penjuru langit dan bumi" adalah metafora untuk totalitas ciptaan. Allah berada di luar ciptaan-Nya, namun kedaulatan-Nya merangkum semua yang ada di dalamnya. Mencoba menembus *aqthar* berarti mencoba keluar dari kepungan kedaulatan Ilahi, suatu usaha yang sia-sia.
Kepungan ini seharusnya tidak menimbulkan rasa takut yang melumpuhkan, melainkan rasa aman. Karena jika Dia meliputi segalanya, maka rahmat dan penjagaan-Nya pun meliputi segalanya. Keberadaan manusia, di manapun ia berada, selalu dalam pengawasan dan perlindungan Sang Khaliq.
Pemahaman yang benar terhadap Ar-Rahman 33 mendorong pendekatan yang seimbang terhadap ilmu pengetahuan. Ayat ini tidak menghambat eksplorasi, tetapi mengarahkannya. Ilmu harus dicari sebagai sarana untuk:
Eksplorasi ruang angkasa adalah perjalanan mencari ilmu, tetapi tujuannya harus tetap terikat pada misi spiritual dan etis. Sulthan sejati adalah ilmu yang membawa manfaat dan meningkatkan ketaatan.
Ayat 33 menyempurnakan irama Surah Ar-Rahman. Setelah dijelaskan bagaimana Allah menciptakan manusia dari tanah liat dan jin dari api tanpa asap, dan setelah disebutkan pengaturan dua timur dan dua barat, lalu dua lautan yang bertemu namun tidak bercampur—semua menunjukkan pengaturan yang sangat presisi. Ayat 33 datang sebagai penutup argumentasi: "Apakah kalian, makhluk yang diciptakan dengan batas yang jelas ini, berani berpikir kalian bisa melarikan diri dari sistem yang begitu sempurna dan terperinci?"
Tantangan untuk menembus *aqthar* adalah manifestasi fisik dari keimanan pada takdir dan kedaulatan. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga galaksi terjauh, tunduk pada hukum Sang Pencipta.
Penyebutan *samaawaati wal ardhi* (langit dan bumi) menunjukkan keseluruhan alam semesta dan dimensi eksistensi. Ini bukan hanya masalah perjalanan fisik, tetapi perjalanan filosofis dan spiritual. Bahkan dalam ranah pemikiran, manusia tidak akan mampu melampaui batas-batas hakikat Ilahi yang telah ditetapkan. Mereka tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami hakikat Allah SWT tanpa 'Sulthan' berupa wahyu dan taufik.
Kekuatan Sulthan yang dimaksud oleh ayat ini, pada akhirnya, merujuk pada izin untuk melihat atau melangkah melampaui tirai material, sebuah izin yang hanya diberikan melalui jalan spiritual dan keimanan yang lurus, bukan melalui upaya materi semata. Upaya material yang ada hanyalah cerminan kecil dari Sulthan yang lebih besar.
Untuk benar-benar memahami kebesaran dan keluasan makna Ar-Rahman 33, kita perlu terus merenungkan bagaimana ayat ini berinteraksi dengan tema sentral Surah Ar-Rahman. Tema sentral adalah rahmat, dan rahmat terkadang hadir dalam bentuk keterbatasan. Keterbatasan adalah bagian dari desain Ilahi yang sempurna, yang memastikan ketertiban kosmik dan akuntabilitas moral.
Ayat ini menciptakan kontras yang tajam. Allah memberikan nikmat tak terhingga (matahari, bulan, bintang, air, buah-buahan, bahkan ilmu pengetahuan), tetapi Dia juga menegaskan batasan mutlak. Kontras ini penting: nikmat diberikan untuk memfasilitasi kehidupan dan ibadah di Bumi, bukan untuk digunakan sebagai alat pelarian dari tanggung jawab. Pengaturan yang ketat ini adalah bagian dari rahmat, karena tanpa batasan, akan terjadi kekacauan kosmik.
Manusia yang menyadari bahwa ia tidak dapat lari ke luar angkasa akan lebih fokus pada pemanfaatan waktu dan sumber daya di Bumi untuk mengumpulkan bekal akhirat. Inilah hasil terbaik dari introspeksi yang didorong oleh ayat 33.
Kata *Aqthar*, yang bermakna 'penjuru', tidak hanya merujuk pada jarak, tetapi juga mungkin merujuk pada dimensi. Dalam kosmologi modern, ada diskusi tentang dimensi ekstra atau dimensi tersembunyi. Jika *Aqthar* merujuk pada batasan-batasan dimensional eksistensi, maka tantangan ini adalah tantangan untuk melompat keluar dari keseluruhan realitas ruang-waktu yang kita kenal. Ini adalah tingkat penembusan yang melampaui teknologi paling futuristik sekalipun, yang memerlukan intervensi langsung dari Sulthan Ilahi.
Sehingga, para mufassir kontemporer menyimpulkan bahwa meskipun manusia mungkin mencapai Bulan atau Mars, mereka tetap berada di dalam 'penjuru' pertama dari sistem kosmik ini. Mereka belum menembus tepi sejati alam semesta, apalagi dimensi yang lebih tinggi.
Meskipun Sulthan tertinggi adalah izin Allah, Sulthan yang kita peroleh di dunia adalah buah dari ilmu, ketekunan, dan kesabaran (*sabr*). Keberhasilan dalam proyek ilmiah besar seperti penjelajahan ruang angkasa menuntut kesabaran lintas generasi, dedikasi yang tinggi, dan penggunaan akal yang maksimal—semua sifat yang dihargai dalam Islam.
Dengan demikian, Al-Qur'an memotivasi pencarian ilmu (Sulthan) sambil secara simultan membatasi ambisi menjadi arogan. Ilmu adalah kendaraan, tetapi Allah adalah pengatur jalannya. Ilmu adalah kekuatan yang diberikan, tetapi batasan akhirnya ada pada Sang Pemberi Kekuatan.
Fakta bahwa jin dan manusia ditantang bersama-sama menekankan bahwa tidak peduli seberapa berbeda kemampuan kedua makhluk berakal ini, mereka bersatu dalam keterbatasan mereka di hadapan Allah. Jin, yang menurut narasi tradisional, memiliki kemampuan terbang atau bergerak dengan kecepatan yang lebih besar dan hidup di dimensi yang berbeda, tetap tidak memiliki otoritas untuk melarikan diri dari takdir kosmik. Persamaan ini memperkuat pesan Tauhid: Allah adalah satu-satunya entitas tanpa batas.
Menariknya, makna *Sulthan* tidak hanya terbatas pada perjalanan kosmik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memerlukan *sulthan* (otoritas atau bukti) untuk menembus batasan lain: menembus kebodohan dengan *sulthan* berupa ilmu, menembus kemiskinan dengan *sulthan* berupa kerja keras dan rezeki, atau menembus keraguan dengan *sulthan* berupa keyakinan yang kuat. Dalam setiap aspek kehidupan, Allah menetapkan hukum-hukum-Nya, dan kita hanya dapat 'menembus' atau 'mengatasi' hambatan dengan kekuatan (Sulthan) yang Ia izinkan dan berikan.
Ayat 33 mengajarkan bahwa pencarian keunggulan di dunia harus selalu dibingkai dalam kesadaran akan keterbatasan Ilahi. Keunggulan fisik dan intelektual harus menjadi sarana untuk melayani Allah di Bumi, bukan untuk mencoba melarikan diri dari-Nya di ruang angkasa.
Surah Ar-Rahman Ayat 33 berdiri sebagai monumen keagungan dan kedaulatan Allah SWT. Ayat ini adalah tantangan abadi bagi makhluk berakal—jin dan manusia—untuk merenungkan batas-batas eksistensi mereka. Meskipun manusia terus maju dalam ilmu pengetahuan, mencapai titik-titik terjauh yang pernah dibayangkan, mereka akan selalu menemukan diri mereka terkekang oleh 'aqthar' kosmik yang ditetapkan.
Pengajaran utama dari ayat ini adalah bahwa pelarian dari pengawasan dan kedaulatan Allah adalah mustahil. Tidak ada teknologi, tidak ada sihir, tidak ada kecepatan yang dapat membawa makhluk keluar dari bingkai ciptaan yang mutlak milik Sang Khaliq. Kekuatan yang memungkinkan penembusan, *Sulthan*, secara hakiki, adalah izin dan anugerah dari Allah semata.
Oleh karena itu, respons yang paling bijaksana dan paling sesuai dengan Tauhid adalah menerima batasan ini dengan kerendahan hati, dan menggunakan 'Sulthan' (ilmu dan teknologi) yang diberikan Allah untuk memperbaiki diri, memanfaatkan rahmat di Bumi, dan mempersiapkan diri untuk Hari Perhitungan yang tak terhindarkan, di mana tidak ada tempat untuk lari dari Penjuru Langit dan Bumi.
Ayat ini adalah seruan untuk introspeksi yang mendalam, mengingatkan kita bahwa segala kemuliaan dan kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Pencarian akan Sulthan yang melampaui batas ini sejatinya adalah pencarian akan rahmat dan ridha-Nya, karena hanya dengan izin-Nya lah segala hal yang mustahil menjadi mungkin. Pengetahuan tentang batasan ini harus mendorong kita untuk beribadah dengan lebih khusyuk, karena di hadapan-Nya, bahkan alam semesta yang luas ini pun hanyalah hamba yang terikat.
Marilah kita renungkan kembali ayat ini setiap kali kita merasa terlampau sombong atau merasa telah mencapai batas akhir ilmu. Ingatlah selalu bahwa penjelajahan terpenting adalah penjelajahan hati menuju Sang Pencipta, sebuah perjalanan yang memerlukan 'Sulthan' berupa iman yang kuat dan amal yang saleh, yang merupakan karunia terbesar dari segala karunia.
Ayat 33 Surah Ar-Rahman mengunci semua makhluk dalam lingkaran keagungan Allah, memastikan bahwa di mana pun mereka berada, mereka harus tunduk dan mengakui: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Tidak ada dusta yang lebih besar daripada menyangka kita bisa melarikan diri dari pembalasan atau kedaulatan-Nya.
Dan inilah inti dari seluruh pesan kosmik Al-Qur'an: keterbatasan kita adalah bukti kebesaran-Nya yang tak terbatas.
***
Penyelidikan mendalam terhadap setiap aspek ayat ini, mulai dari fonetik Arab yang kuat hingga resonansi filosofis modern, menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa depan eksplorasi manusia. Keterikatan pada *aqthar* dan kebutuhan akan *Sulthan* adalah prinsip universal yang berlaku sepanjang zaman, menegaskan bahwa pengetahuan dan kekuatan makhluk, betapapun besar, adalah setetes air di hadapan samudra kedaulatan Ilahi.
Keagungan tantangan ini terletak pada universalitas pesannya, mencakup semua makhluk di semua dimensi. Tidak ada celah di dalam sistem ciptaan, dan tidak ada cara untuk kabur dari tanggung jawab yang telah dibebankan kepada jin dan manusia.
Dengan demikian, Surah Ar-Rahman Ayat 33 bukan hanya tentang penjelajahan ruang angkasa; itu adalah tentang batas-batas ketuhanan dan batasan kemakhlukan, sebuah pengajaran abadi tentang keabsolutan kekuasaan Allah SWT dan kefanaan segala yang lain. Ketaatan dalam batasan adalah kunci menuju Sulthan yang sesungguhnya: keberhasilan abadi di sisi-Nya.
Pengulangan dan detail linguistik di atas bertujuan untuk mencakup seluruh spektrum interpretasi yang luas dari ayat ini, menegaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu berasal dari Dzat yang menguasai seluruh penjuru langit dan bumi.