Fluktuasi harga ayam kampung di pasar tradisional dan modern.
Ayam kampung, sebagai salah satu komoditas protein hewani premium di Indonesia, memiliki dinamika harga yang sangat kompleks. Berbeda jauh dengan ayam broiler yang harganya cenderung stabil karena sistem industri yang terintegrasi, harga ayam kampung per kilogram dipengaruhi oleh ribuan variabel, mulai dari skala peternakan rakyat, biaya pakan mandiri, hingga isu logistik di daerah terpencil. Artikel ini akan membedah secara mendalam struktur penetapan harga ayam kampung 1 kg, menganalisis faktor-faktor fundamental yang menyebabkannya fluktuatif, serta membandingkan variasi harga di berbagai wilayah utama Indonesia.
Ketika konsumen mencari angka pasti untuk "harga ayam kampung 1 kg", mereka akan dihadapkan pada rentang yang lebar. Harga di tingkat peternak mungkin jauh di bawah harga yang terpampang di pasar swalayan premium di kota metropolitan. Rentang umum harga per kilogram (bobot hidup atau karkas utuh) seringkali berada di antara Rp 45.000 hingga Rp 85.000, tergantung pada beberapa faktor kritis yang akan kita ulas secara rinci.
Ayam kampung (Gallus domesticus) atau sering disebut juga ayam buras (bukan ras) adalah jenis ayam yang dipelihara secara tradisional atau semi-intensif. Keunggulan utamanya terletak pada tekstur daging yang lebih padat, kandungan lemak yang lebih rendah, serta persepsi rasa yang lebih autentik dan gurih dibandingkan ayam broiler. Kualitas ini menjadikan ayam kampung dicari, terutama untuk hidangan khas, masakan rumahan, dan kebutuhan ritual tertentu, yang secara langsung menaikkan nilai jualnya per kilogram.
Perlu ditekankan, saat ini istilah 'ayam kampung' seringkali terbagi menjadi dua kategori utama yang sangat memengaruhi harga 1 kg: Ayam Kampung Asli (Murni) dan Ayam Jowo Super (Joper). Ayam Joper, hasil persilangan antara ayam kampung dengan ras petelur, memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan efisien pakan, sehingga biaya produksinya lebih rendah. Sebaliknya, Ayam Kampung Murni memerlukan waktu pemeliharaan 4 hingga 6 bulan untuk mencapai bobot 1 kg, menjadikannya komoditas yang lebih langka dan mahal.
Dalam perdagangan ayam kampung, bobot 1 kg seringkali menjadi acuan standar, baik itu bobot hidup (di kandang) maupun bobot karkas (setelah disembelih dan dibersihkan). Namun, yang paling sering dibeli oleh konsumen rumah tangga adalah karkas utuh dengan berat berkisar antara 0.8 kg hingga 1.2 kg. Penetapan harga per kilogram ini menjadi krusial. Jika harga standar karkas ditetapkan Rp 60.000/kg, maka ayam dengan bobot 1.1 kg akan dijual seharga Rp 66.000. Standarisasi ini memudahkan pengecer, tetapi juga dapat menjadi titik perdebatan ketika bobot yang tersedia tidak ideal.
Permintaan pasar yang tinggi untuk ayam kampung dengan berat karkas 1 kg didorong oleh idealitas ukuran porsi. Ayam dengan ukuran ini dianggap pas untuk satu kali masak besar atau cukup untuk beberapa porsi keluarga, sementara ayam yang terlalu kecil (di bawah 0.8 kg) dianggap kurang menguntungkan secara nilai, dan ayam yang terlalu besar (di atas 1.5 kg) seringkali memiliki tekstur daging yang terlalu liat, mengurangi nilai jualnya, meskipun bobotnya lebih berat.
Untuk memahami mengapa harga ayam kampung 1 kg bisa melonjak drastis, kita harus menelusuri rantai biaya produksinya. Biaya-biaya ini bersifat akumulatif dan sangat sensitif terhadap perubahan ekonomi mikro dan makro.
Pakan menyumbang 60% hingga 75% dari total biaya produksi ayam kampung. Meskipun ayam kampung dikenal mampu mencari pakan sendiri (hijauan, serangga), peternakan skala semi-intensif tetap membutuhkan pakan komersial (voer/pelet) untuk menjamin pertumbuhan yang optimal dan stabil. Kenaikan harga jagung, kedelai, atau bahkan vitamin premix impor akan langsung memicu kenaikan harga jual akhir per kilogram.
Indonesia, meskipun merupakan penghasil jagung, seringkali mengalami ketidakstabilan pasokan yang memaksa peternak bersaing dengan kebutuhan industri pakan lain. Ketika harga jagung kering pipil melonjak, peternak ayam kampung (terutama yang mengadopsi sistem semi-intensif) terpaksa menaikkan target harga jual mereka. Untuk mencapai bobot 1 kg, ayam kampung murni bisa menghabiskan pakan hingga 3 kg atau lebih selama masa pemeliharaan yang panjang. Rasio konversi pakan (FCR) yang buruk ini (dibandingkan broiler yang FCR-nya 1.6-1.8) secara fundamental menjadikan biaya per kilogram ayam kampung jauh lebih tinggi.
Seperti yang disinggung di atas, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot 1 kg bagi ayam kampung murni adalah isu kritis. Semakin lama masa pemeliharaan, semakin besar risiko yang ditanggung peternak, seperti wabah penyakit (ND, Gumboro), perubahan cuaca ekstrem, atau serangan predator. Risiko mortalitas yang tinggi ini harus dicover dalam harga jual per kg dari ayam yang selamat. Jika peternak mengalami kerugian 20% dari populasi, 20% biaya pakan yang hilang tersebut harus dibebankan ke harga jual 1 kg ayam yang tersisa agar peternak tetap impas atau untung.
Sistem distribusi ayam kampung cenderung terfragmentasi. Ayam kampung sering dipasok dari peternak rakyat kecil di pedesaan, membutuhkan pengumpulan oleh pengepul, kemudian didistribusikan ke pasar kota. Setiap tahapan ini menambah biaya logistik dan margin. Untuk wilayah Jakarta, misalnya, harga 1 kg ayam kampung sudah mencakup biaya transportasi dari Jawa Barat atau Jawa Tengah, tol, bahan bakar, dan risiko ayam stres atau mati dalam perjalanan. Logistik ini dapat menambah 5% hingga 15% pada harga akhir 1 kg.
Permintaan akan ayam kampung sangat elastis terhadap peristiwa musiman. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, atau perayaan tertentu (seperti acara adat atau pernikahan), permintaan melonjak drastis. Karena siklus produksi ayam kampung yang panjang, peternak tidak bisa merespons kenaikan permintaan mendadak ini dalam waktu singkat. Akibatnya, stok terbatas dan harga 1 kg dapat melonjak hingga 30% dari harga normal dalam hitungan minggu. Lonjakan ini murni didorong oleh tekanan permintaan, bukan peningkatan biaya produksi.
Perbedaan infrastruktur, tingkat konsumsi, dan sumber pasokan lokal menciptakan disparitas harga yang mencolok di seluruh nusantara. Harga 1 kg ayam kampung di Jawa bisa jauh berbeda dengan harga di Maluku karena faktor logistik dan ketersediaan pakan lokal.
Jawa adalah pusat produksi ayam kampung terbesar, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Ketersediaan pakan yang relatif stabil dan jaringan distribusi yang padat membuat harga cenderung lebih kompetitif dan stabil dibandingkan wilayah lain. Namun, Jakarta dan Surabaya sebagai kota konsumen besar memiliki harga yang lebih tinggi akibat biaya pengecer dan margin pasar modern. Harga rata-rata 1 kg karkas di Jawa berkisar antara Rp 55.000 hingga Rp 70.000.
Sumatera memiliki pasar yang sangat bervariasi. Wilayah yang memiliki populasi padat seperti Medan dan Palembang memiliki permintaan tinggi. Sementara wilayah Riau dan Jambi sering mengandalkan pasokan dari luar provinsi. Distribusi pakan di Sumatera juga sering terganggu, terutama di pedalaman. Harga 1 kg ayam kampung di Sumatera sering berada di rentang Rp 60.000 hingga Rp 78.000.
Di Aceh, terdapat pula varian lokal yang memiliki harga premium karena sistem budidaya yang sangat tradisional, bahkan harga per ekornya dapat melebihi perhitungan 1 kg standar. Konsumsi ayam kampung di Sumatera juga sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi, menambah tekanan permintaan pada momen-momen tertentu, yang menaikkan harga per kilogram hingga mencapai titik tertingginya.
Kalimantan, dengan wilayah yang luas dan populasi yang tersebar, menghadapi tantangan logistik yang unik. Biaya transportasi dari pelabuhan ke sentra peternakan di pedalaman sangat tinggi. Sebagian besar bahan baku pakan, jika tidak diproduksi lokal, harus didatangkan dari Jawa atau bahkan impor. Harga rata-rata di Kalimantan seringkali dimulai dari Rp 65.000 hingga mencapai Rp 85.000 per kg di wilayah pedalaman seperti Kalimantan Tengah atau Utara, di mana rantai pasoknya sangat panjang.
Konsumsi di kota-kota besar seperti Balikpapan dan Pontianak mungkin sedikit lebih stabil, namun ayam kampung 1 kg tetap dianggap komoditas premium dibandingkan dengan daging ayam ras yang lebih murah dan mudah didapat. Margin keuntungan pengecer di Kalimantan harus lebih besar untuk menutupi biaya penyusutan dan kerusakan selama distribusi jarak jauh. Struktur biaya ini memastikan bahwa harga 1 kg di tingkat konsumen akhir selalu lebih tinggi daripada di Jawa.
Di Sulawesi, Maluku, dan Papua, biaya logistik menjadi faktor dominan. Harga 1 kg ayam kampung di Makassar atau Manado sudah mencakup biaya pengiriman pakan yang mahal. Sementara di daerah kepulauan terpencil, harga bisa melonjak jauh lebih tinggi. Di beberapa daerah di Papua, harga 1 kg ayam kampung dapat mencapai Rp 90.000 hingga Rp 120.000, terutama jika ayam tersebut didatangkan dari pulau lain.
Kondisi geografis yang ekstrem di Indonesia Timur menuntut adanya penyesuaian harga yang signifikan. Peternak lokal seringkali beroperasi dalam skala subsisten dan kesulitan mencapai efisiensi skala ekonomi. Walaupun mereka mungkin menggunakan pakan alternatif lokal (misalnya sagu), ketidakstabilan pasokan pakan komersial tetap memaksa harga 1 kg ayam kampung berada di level premium. Penetapan harga di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh biaya pelayaran antar pulau dan penanganan kargo yang sensitif terhadap suhu.
Penting untuk membedakan antara Harga Jual Peternak (HJP) dan Harga Jual Konsumen (HJK). Selisih antara keduanya adalah margin yang dibagi oleh rantai pasok (pengepul, pemotong, distributor, pengecer pasar, atau supermarket).
Misalnya, jika Biaya Produksi Peternak (BPP) untuk 1 kg ayam kampung adalah Rp 40.000, maka HJP yang ideal mungkin adalah Rp 45.000 (margin 12.5%). Namun, sebelum sampai di piring konsumen, harga ini melewati beberapa pos:
Kesenjangan harga ini menjelaskan mengapa peternak sering mengeluhkan harga beli yang rendah, sementara konsumen mengeluhkan harga jual yang tinggi. Kurangnya integrasi vertikal dalam peternakan ayam kampung membuat rantai pasok menjadi panjang dan mahal, yang pada akhirnya membebani harga per kilogram.
Harga 1 kg ayam kampung juga sangat sensitif terhadap jenis ayam yang dijual dan standar kualitasnya. Konsumen yang cerdas akan membedakan tiga jenis utama yang sering disebut 'ayam kampung' di pasar.
Ini adalah ayam yang dibudidayakan murni dari genetik lokal, seringkali dilepas liarkan atau diumbar. Dagingnya sangat padat, rendah lemak, dan memerlukan waktu masak yang lebih lama. Harga jualnya per 1 kg adalah yang tertinggi, bisa mencapai batas atas rentang regional (misalnya, Rp 75.000 di Jawa atau Rp 90.000 di Kalimantan). Keunggulan genetik dan durasi pemeliharaan yang panjang membenarkan harga premium ini.
Ayam Joper adalah solusi pasar untuk memenuhi permintaan ayam kampung dengan harga yang lebih terjangkau. Karena pertumbuhannya cepat (sekitar 60-90 hari untuk mencapai 1 kg) dan FCR yang lebih baik, biaya produksinya lebih rendah. Ini memungkinkan Joper dijual dengan harga di batas bawah rentang (misalnya, Rp 50.000 - Rp 60.000 per kg karkas di Jawa). Secara tekstur, Joper berada di tengah-tengah antara broiler dan kampung murni, menjadikannya pilihan populer bagi restoran yang ingin menekan biaya namun tetap menawarkan cita rasa 'kampung'.
Jenis ini dibudidayakan di kandang tertutup dengan manajemen pakan yang lebih ketat, tetapi masih menggunakan genetik kampung. Kualitasnya berada di antara murni dan Joper. Harganya menyesuaikan antara dua jenis tersebut. Keuntungan utama dari metode ini adalah pasokan yang lebih stabil, membantu menstabilkan harga 1 kg di pasar dari waktu ke waktu, terutama di luar musim puncak permintaan.
Konsumen perlu memastikan jenis ayam yang mereka beli, karena perbedaan Rp 10.000 hingga Rp 20.000 per kg karkas seringkali didasarkan pada apakah ayam tersebut Joper atau Kampung Murni, yang mungkin sulit dibedakan hanya dari penampakan luar di lapak pedagang.
Kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan impor bahan baku pakan dan stabilisasi harga komoditas strategis, memiliki efek langsung dan tidak langsung pada harga 1 kg ayam kampung.
Pemerintah sering berupaya menstabilkan harga jagung sebagai bahan baku utama pakan. Jika upaya stabilisasi ini berhasil, biaya produksi peternak akan lebih rendah, yang idealnya akan menekan harga jual 1 kg ayam kampung. Namun, jika regulasi harga beli jagung petani (HAP) terlalu rendah, petani jagung bisa enggan menanam, menyebabkan kelangkaan dan memaksa peternak membayar harga pasar yang tinggi, yang kemudian diteruskan ke konsumen akhir.
Beberapa inisiatif pemerintah bertujuan meningkatkan populasi ayam kampung lokal dan mendistribusikan bibit unggul (DOC). Jika program ini berhasil meningkatkan pasokan secara masif dan efisien, maka harga 1 kg di pasar domestik akan cenderung turun atau setidaknya menjadi lebih stabil. Peningkatan efisiensi melalui bantuan teknologi kandang atau nutrisi juga dapat mengurangi FCR, menurunkan BPP, dan pada akhirnya, menurunkan HJK.
Pada saat-saat permintaan puncak (seperti Hari Raya), pemerintah sering melakukan pengawasan untuk mencegah penimbunan atau praktik kartel. Meskipun praktik ini lebih umum terjadi pada ayam broiler, fluktuasi harga ayam kampung yang drastis juga dapat menjadi target pengawasan. Pengawasan ini bertujuan menjaga agar lonjakan harga per 1 kg tetap berada dalam batas wajar dan tidak merugikan konsumen.
Namun, harus diakui, karena sebagian besar peternakan ayam kampung berada di tangan peternak rakyat skala kecil, intervensi pemerintah dalam rantai pasoknya jauh lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan industri broiler yang terstruktur dan terintegrasi penuh. Hal ini adalah salah satu alasan utama mengapa harga 1 kg ayam kampung selalu lebih volatil dan cenderung lebih mahal.
Melihat tren peningkatan kesadaran kesehatan dan minat terhadap pangan lokal, permintaan terhadap ayam kampung diperkirakan akan terus meningkat. Namun, harga 1 kg tidak akan turun drastis tanpa perubahan mendasar dalam sistem budidayanya.
Masa depan harga ayam kampung yang lebih stabil bergantung pada kemampuan peternak beralih dari sistem tradisional murni ke sistem semi-intensif yang lebih terkelola. Jika peternak dapat mengadopsi teknologi pakan yang lebih efisien dan manajemen kesehatan yang lebih baik (sehingga mengurangi mortalitas), biaya produksi per 1 kg dapat ditekan. Integrasi ini juga harus melibatkan kemitraan yang kuat dengan penyedia pakan agar pasokan pakan menjadi lebih terjamin harganya.
Diperkirakan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, Ayam Jowo Super (Joper) akan semakin mendominasi pasar ayam kampung, karena mampu mencapai bobot 1 kg dengan biaya dan waktu yang jauh lebih efisien. Hal ini akan menciptakan dua segmen harga yang jelas: ayam kampung murni (super premium) dan Joper (premium reguler).
Perubahan iklim global juga akan terus memberikan tekanan pada harga pakan. Kekeringan dapat mengganggu panen jagung lokal, memaksa Indonesia mengandalkan impor pakan yang harganya dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Setiap depresiasi Rupiah akan membuat biaya pakan (yang merupakan komponen terbesar harga 1 kg ayam) melonjak, dan peternak tidak punya pilihan selain menaikkan harga jual di tingkat konsumen.
Mari kita lakukan simulasi sederhana untuk menunjukkan bagaimana biaya pakan tunggal dapat mendefinisikan harga 1 kg. Asumsikan kita menggunakan Ayam Kampung Murni yang membutuhkan 150 hari pemeliharaan untuk mencapai bobot hidup 1.2 kg (setara 1 kg karkas) dan memiliki FCR rata-rata 3.5 (artinya butuh 3.5 kg pakan total).
Komposisi Pakan selama 150 hari dibagi menjadi tiga fase, masing-masing dengan harga yang berbeda:
Total Biaya Pakan Per Ekor (mencapai 1.2 kg hidup): Rp 7.500 + Rp 18.000 + Rp 16.500 = Rp 42.000.
Ini baru biaya pakan untuk satu ekor. Kita belum memperhitungkan biaya DOC (Anak Ayam Umur Sehari), biaya vaksinasi dan obat, biaya listrik, tenaga kerja, serta yang paling penting, biaya mortalitas. Jika mortalitas 15%, maka biaya pakan dari ayam yang mati (15% dari Rp 42.000) harus didistribusikan ke ayam yang selamat. Dengan mempertimbangkan semua biaya non-pakan dan risiko, Biaya Produksi Peternak (BPP) bisa mencapai Rp 50.000 hingga Rp 55.000 per ekor (1 kg karkas). Inilah dasar mengapa harga jual konsumen untuk 1 kg ayam kampung harus berada di atas Rp 60.000.
Harga ayam kampung 1 kg juga sangat dipengaruhi oleh lokasi pembelian. Terdapat perbedaan signifikan antara pasar tradisional, pasar modern (swalayan), dan pembelian langsung dari peternak.
Harga di pasar tradisional cenderung paling fleksibel dan bisa dinegosiasikan. Harga biasanya sedikit lebih rendah daripada supermarket karena biaya operasional yang minimal dan margin yang lebih kecil. Kelemahan utamanya adalah standarisasi kualitas. Pedagang mungkin tidak selalu bisa menjamin apakah ayam yang dijual adalah kampung murni atau Joper. Rentang harga: Rp 55.000 - Rp 70.000/kg.
Di sini, harga 1 kg ayam kampung selalu berada di batas atas, bahkan seringkali mencapai Rp 75.000 - Rp 85.000 per kg. Kenaikan harga ini disebabkan oleh:
Meskipun lebih mahal, konsumen di pasar modern mendapatkan jaminan kebersihan, keutuhan, dan bobot yang terstandarisasi (misalnya, tertulis jelas 1.0 kg karkas).
Pembelian langsung dapat menawarkan harga terbaik, mendekati HJP (Harga Jual Peternak), berkisar antara Rp 45.000 - Rp 55.000/kg (bobot hidup atau karkas sederhana). Namun, ini memerlukan konsumen membeli dalam jumlah besar atau berada dekat dengan lokasi peternakan. Pembelian langsung seringkali dihindari oleh konsumen karena harus menanggung biaya pemotongan dan pembersihan sendiri.
Kesimpulannya, selisih harga Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per kilogram antara pasar tradisional dan modern bukanlah semata-mata margin keuntungan, melainkan refleksi dari layanan tambahan, jaminan kualitas, dan biaya operasional rantai pendingin yang ditawarkan kepada konsumen.
Harga 1 kg ayam kampung tidak hanya dipengaruhi oleh mikroekonomi peternakan, tetapi juga oleh kondisi makroekonomi negara.
Ayam kampung adalah komoditas dengan elastisitas harga yang relatif tinggi. Ketika inflasi meningkat dan daya beli masyarakat menurun, konsumen cenderung beralih ke sumber protein yang lebih murah, seperti ayam broiler atau telur. Penurunan permintaan ini, secara teoritis, dapat menekan harga 1 kg ayam kampung, tetapi karena biaya produksi (pakan) juga naik akibat inflasi, harga dasar ayam kampung tetap sulit turun.
Ketergantungan Indonesia pada impor bahan baku pakan (kedelai, premix vitamin, beberapa komponen jagung) berarti setiap pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan meningkatkan biaya pembelian bahan baku tersebut. Peningkatan biaya pakan ini langsung diinternalisasi oleh peternak, yang kemudian wajib menaikkan HJP untuk mencapai bobot 1 kg dengan keuntungan. Ini adalah salah satu alasan struktural mengapa harga ayam kampung, meskipun merupakan produk lokal, sangat rentan terhadap krisis moneter.
Akhir-akhir ini muncul tren ayam kampung yang dibudidayakan secara organik (tanpa antibiotik dan menggunakan pakan non-kimia). Ayam jenis ini memiliki biaya produksi yang jauh lebih tinggi karena pakan organik harganya mahal dan pertumbuhan ayam lebih lambat. Ayam kampung organik 1 kg karkas bisa mencapai harga Rp 95.000 hingga Rp 110.000 di pasar premium Jakarta dan Bali. Meskipun segmennya kecil, ini menunjukkan bahwa pasar bersedia membayar harga yang sangat tinggi untuk jaminan kualitas dan metode budidaya tertentu.
Analisis yang mendalam ini memperkuat kesimpulan bahwa harga ayam kampung 1 kg adalah hasil dari perpaduan faktor biologis (lama panen), ekonomis (biaya pakan dan modal), dan geografis (logistik dan distribusi). Konsumen harus memahami bahwa harga yang tinggi mencerminkan proses produksi yang panjang, berisiko, dan tidak seefisien produksi ayam ras modern.
Untuk menstabilkan harga jual 1 kg mereka dan memastikan keuntungan yang berkelanjutan, peternak harus fokus pada efisiensi:
Mencapai stabilitas harga 1 kg ayam kampung adalah tantangan kolektif yang melibatkan pemerintah, peternak, dan konsumen. Selama karakteristik premium (alami, tekstur padat, budidaya tradisional) dipertahankan, harga ayam kampung akan selalu berada di atas komoditas unggas lainnya, tetapi melalui efisiensi rantai pasok, rentang harga yang tidak rasional dapat diminimalisir.
Pulau Bali, yang sangat bergantung pada sektor pariwisata, memiliki permintaan ayam kampung yang tinggi, khususnya dari sektor restoran dan hotel yang menyajikan masakan tradisional Bali atau makanan sehat. Namun, pasokan ayam kampung di Bali sering menghadapi kendala logistik dari Jawa, menempatkan harganya pada level premium, serupa dengan Jakarta.
Di Bali, harga 1 kg karkas ayam kampung rata-rata berkisar antara Rp 68.000 hingga Rp 80.000. Faktor yang paling menaikkan harga adalah standar kebersihan dan pemotongan yang sangat ketat, terutama untuk pasar ekspor pariwisata, yang menambah biaya prosesing. Ayam kampung di Bali juga memiliki nilai kultural yang kuat, sering digunakan untuk upacara adat, yang meningkatkan permintaan musiman secara signifikan, jauh melampaui kebutuhan konsumsi harian.
Situasi di Nusa Tenggara berbeda. NTB (misalnya Lombok) memiliki sentra peternakan rakyat yang cukup besar, yang dapat memasok kebutuhan lokal, menjaga harga di level yang lebih terjangkau dibandingkan Bali (sekitar Rp 60.000 – Rp 75.000/kg). Namun, di NTT, khususnya pulau-pulau terluar (seperti Sumba atau Flores), tantangan logistik pakan sangat parah. Biaya transportasi pakan dari Surabaya atau Bali ke Kupang, lalu didistribusikan lagi ke pedalaman, menyebabkan harga 1 kg ayam kampung melonjak tinggi, bahkan melebihi harga di Makassar.
Peternak di NTT sering mengandalkan pakan non-konvensional, seperti sorgum atau hasil samping pertanian, untuk menekan biaya. Namun, metode ini seringkali menghasilkan pertumbuhan yang lebih lambat dan bobot yang tidak standar, menambah variasi harga di pasar. Harga 1 kg ayam kampung di beberapa pasar di NTT dapat mencapai Rp 75.000 hingga Rp 95.000.
Persepsi bahwa ayam kampung lebih sehat juga menjadi daya dorong mengapa harga 1 kg-nya dapat diterima lebih tinggi oleh konsumen kelas menengah ke atas. Ayam kampung dianggap:
Kesediaan konsumen untuk membayar harga premium Rp 70.000 atau lebih per kg adalah investasi pada kualitas dan keamanan pangan. Fenomena ini menciptakan pasar yang stabil untuk peternak yang fokus pada kualitas, meskipun biayanya lebih tinggi.
Dalam keseluruhan analisis harga ayam kampung 1 kg, kita melihat adanya keseimbangan rapuh antara biaya produksi yang inheren tinggi (dipengaruhi FCR, waktu, dan pakan) dan sensitivitas permintaan pasar terhadap fluktuasi ekonomi. Struktur harga ini adalah cerminan langsung dari sistem pangan Indonesia yang terdiri dari ribuan produsen skala kecil yang menghadapi tantangan logistik dan infrastruktur yang besar, menjadikannya salah satu komoditas protein yang paling menarik untuk dikaji.