Menyelami Kedalaman Makna Surah Ar-Rahman Ayat 13: Pertanyaan Abadi Mengenai Syukur

Surah Ar-Rahman, yang dikenal sebagai ‘pengantin Al-Qur'an’, adalah sebuah mahakarya sastra dan spiritual yang memukau. Surah ini secara unik menyoroti limpahan karunia dan rahmat ilahi yang dianugerahkan kepada seluruh makhluk, khususnya manusia dan jin. Inti dari surah ini terletak pada sebuah pertanyaan retoris yang diulang sebanyak 31 kali. Pertanyaan ini bukanlah sekadar kalimat biasa, melainkan sebuah penekanan yang menusuk kalbu, memaksa pendengarnya untuk merenung dan mengakui keagungan Sang Pencipta. Ayat ke-13 adalah lokasi pertama dari pengulangan krusial ini, yang menjadi pembuka pintu kesadaran spiritual bagi setiap pembaca.

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman: 13)

Ayat ini berfungsi sebagai poros utama dalam seluruh rangkaian surah. Setiap kali Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan suatu nikmat, baik itu penciptaan alam semesta, hukum keseimbangan (mizan), buah-buahan surga, atau bahkan keindahan dua lautan yang bertemu, Dia langsung menyusulnya dengan pertanyaan yang menggugat ini. Pengulangan yang begitu intensif ini bukan tanpa tujuan. Ia adalah strategi retorika ilahi untuk membangun kesadaran kumulatif—memperkuat pengakuan akan kemurahan Tuhan hingga tidak ada ruang lagi untuk pengingkaran dalam hati makhluk-Nya.

Analisis Linguistik Ayat 13: Membongkar Kekuatan Kata

Untuk memahami sepenuhnya dampak spiritual dari ayat ini, kita perlu membedah setiap komponen katanya dalam bahasa Arab. Komposisi kalimat ini sangat ringkas namun sarat makna, mencerminkan keindahan dan ketepatan bahasa Al-Qur'an.

1. Fa (فَ): Kata Penghubung dan Penekanan

Kata ‘Fa’ adalah partikel penghubung yang berfungsi sebagai penekanan, sering kali diartikan sebagai ‘maka’ atau ‘sehingga’. Dalam konteks ini, ‘Fa’ menghubungkan pernyataan nikmat sebelumnya dengan pertanyaan retoris ini. Ini mengindikasikan bahwa karena adanya nikmat yang baru saja disebutkan (dalam ayat 1-12), maka pertanyaan ini harus segera diajukan. Ia memaksa respons yang cepat dan langsung dari pendengar, seolah tidak ada waktu untuk menunda pengakuan.

2. Bi'ayyi (بِأَيِّ): Dengan yang Mana?

Kata ‘Bi’ (بِ) berarti ‘dengan’ atau ‘melalui’, dan ‘ayyi’ (أَيّ) berarti ‘yang mana’ atau ‘apa pun’. Gabungan keduanya membentuk sebuah pertanyaan yang menantang: "Dengan yang mana di antara nikmat-nikmat ini?" Ini menyiratkan bahwa nikmat yang diberikan oleh Allah sangatlah banyak, dan pendengar diajak untuk mencari—jika mereka bisa—satu saja nikmat yang dianggap remeh atau tidak layak disyukuri. Tentu saja, pencarian itu akan sia-sia, karena semua nikmat adalah agung.

3. Ālā'i (آلَاءِ): Nikmat atau Tanda Kekuatan

Ini adalah kata kunci sentral dalam ayat ini. ‘Ālā'i’ (jamak dari ālah) tidak hanya berarti ‘nikmat’ atau ‘anugerah’, tetapi juga mengandung makna ‘tanda-tanda kekuasaan’ (ayat) dan ‘keajaiban’. Dengan memilih kata ini, Allah tidak hanya bertanya tentang hadiah materi, tetapi juga menanyakan tentang keajaiban penciptaan, hukum alam, dan manifestasi kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Pertanyaannya menjadi: "Tanda kekuasaan Tuhanmu yang manakah yang berani kamu dustakan?" Pemilihan kata ini memperluas cakupan pertanyaan dari sekadar hal-hal yang bersifat konsumsi menjadi hal-hal yang bersifat eksistensial dan kosmis.

4. Rabbikumā (رَبِّكُمَا): Tuhan Kamu Berdua

Kata ini sangat penting karena mengandung dualitas dalam penyampaian. ‘Rabb’ berarti Tuhan, Pemelihara, dan Pendidik. Sufiks ‘kumā’ (كُمَا) merujuk kepada dua pihak (dualitas). Dalam Surah Ar-Rahman, kedua pihak yang dimaksud adalah manusia (al-ins) dan jin (al-jinn). Ini adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit dan berulang-ulang menyapa kedua jenis makhluk berakal ini. Dengan menyasar kedua entitas, Al-Qur'an menegaskan bahwa rahmat dan kekuasaan Allah meliputi kedua alam eksistensi, dan tanggung jawab untuk bersyukur adalah universal bagi mereka yang memiliki kehendak bebas.

5. Tukażżibān (تُكَذِّبَانِ): Kalian Berdua Mengingkari/Mendustakan

Berasal dari akar kata *każaba* (dusta), kata ini juga dalam bentuk dualitas. ‘Tukażżibān’ berarti ‘kamu berdua mendustakan’ atau ‘kamu berdua mengingkari’. Kata ini tidak merujuk pada dusta lisan semata, tetapi juga pengingkaran hati, sikap tidak peduli, atau penggunaan nikmat yang diberikan untuk hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Ilahi. Ini adalah peringatan tajam: pengingkaran nikmat sama berbahayanya dengan mendustakan kebenaran fundamental.

Kontekstualitas Ayat 1-12: Daftar Nikmat Pembuka

Ayat 13 Surah Ar-Rahman tidak muncul dalam kekosongan. Ia muncul setelah sebuah daftar nikmat fundamental yang membentuk pondasi eksistensi. Ayat-ayat sebelumnya (1-12) menyajikan hierarki nikmat, dimulai dari yang tertinggi hingga yang mengatur alam semesta. Pemahaman terhadap konteks ini sangat esensial:

Nikmat Agung I: Pemberian Petunjuk (Ayat 1-4)

Ayat dimulai dengan Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih). Kasih sayang-Nya yang pertama dan terbesar bukanlah harta atau makanan, melainkan:

Setelah tiga nikmat fundamental ini (Kitab, Penciptaan, dan Komunikasi), pertanyaannya muncul: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS 55:13). Bagaimana mungkin seseorang mendustakan sumber petunjuk, eksistensi dirinya, atau kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran?

Nikmat Agung II: Keseimbangan Kosmis (Ayat 5-12)

Selanjutnya, fokus beralih ke alam semesta yang diatur dengan presisi:

Ayat 13, dengan demikian, berfungsi sebagai interupsi spiritual setelah setiap kategori nikmat diperkenalkan. Ini adalah panggilan untuk segera bersaksi, bukan hanya sekadar membaca. Pertanyaan ini menjadi pengingat bahwa ketidakseimbangan kosmis atau kehancuran eksistensi tidak akan terjadi jika bukan karena Rahmat dan Pengawasan-Nya yang konstan.

Simbol Keseimbangan dan Rahmat Ilustrasi stilistik yang mewakili Mizan (Keseimbangan) dan Rahmat (Ar-Rahman).

Visualisasi Keseimbangan (Mizan) dan Keteraturan Ilahi

Mengapa Diulang 31 Kali? Retorika Spiritual

Pengulangan "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" sebanyak 31 kali dalam 78 ayat adalah fenomena sastra yang unik. Para ulama dan ahli tafsir telah menawarkan berbagai interpretasi mengenai maksud dari pengulangan yang sedemikian intensif ini. Alasan utama terletak pada fungsi retorika dan psikologisnya:

1. Penekanan dan Penguatan Argumentasi

Dalam tradisi sastra Arab kuno, pengulangan berfungsi untuk penekanan. Setiap kali nikmat baru diperkenalkan, pengulangan ini berfungsi sebagai palu godam spiritual yang mengukir kesadaran syukur ke dalam hati. Ini memastikan bahwa pendengar tidak bisa melewati satu pun anugerah tanpa mengakui sumbernya.

2. Struktur Simetris Neraka dan Surga

Pengulangan ini dibagi menjadi beberapa bagian utama yang menggarisbawahi keadilan dan rahmat Allah:

Total pengulangan adalah 8 + 7 + 8 + 8 = 31 kali. Angka ini mencerminkan keseimbangan yang sempurna antara peringatan (7 kali di tengah-tengah kiamat) dan janji (8 + 8 + 8 di bagian lain). Ini mengajarkan bahwa nikmat dan rahmat Allah adalah sistematis dan terstruktur, tidak acak, dan pengingkaran di dunia pasti akan berhadapan dengan keadilan di akhirat.

3. Respons terhadap Pengingkaran

Surah ini turun di Mekkah, pada masa-masa di mana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi banyak penolakan dan pengingkaran dari kaum musyrikin. Setiap pertanyaan retoris ini berfungsi sebagai tamparan spiritual terhadap sikap angkuh dan tidak tahu berterima kasih dari mereka yang menolak kebenaran, meskipun bukti keagungan-Nya terhampar di hadapan mata mereka.

Manifestasi Nikmat (Ālā'i): Kajian Mendalam

Untuk benar-benar menginternalisasi makna dari ayat 13, kita harus merenungkan jenis-jenis nikmat yang Allah maksudkan, jauh melampaui kebutuhan dasar sehari-hari. Nikmat (Ālā'i) dibagi menjadi berbagai kategori, masing-masing menuntut tingkat syukur yang berbeda:

A. Nikmat Eksistensial dan Fisik

Ini adalah nikmat dasar yang memungkinkan kita untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia. Mendustakannya adalah mendustakan tubuh kita sendiri.

1. Penciptaan Tubuh dan Anggota Gerak

Bagaimana kita mendustakan nikmat sepasang mata yang memungkinkan kita melihat warna dan bentuk, atau telinga yang membedakan suara lembut dari gemuruh badai? Kaki yang membawa kita menuju tempat ibadah, atau tangan yang mampu menulis, bekerja, dan berbuat baik. Tubuh adalah sebuah mesin biologis sempurna yang beroperasi tanpa perlu instruksi sadar dari kita (jantung yang berdetak, paru-paru yang bernapas). Kegagalan untuk mengakui keajaiban ini adalah bentuk pengingkaran.

2. Kesehatan dan Kekebalan

Kesehatan adalah mahkota yang hanya bisa dilihat oleh orang sakit. Setiap hari tanpa rasa sakit yang melumpuhkan, setiap sistem imun yang berhasil menangkis jutaan virus, adalah nikmat yang seringkali dilupakan. Ketika Allah bertanya, "Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Dia mengingatkan kita bahwa kemampuan untuk bangun, bergerak, dan merasakan vitalitas adalah karunia yang sangat besar.

3. Akal dan Kesadaran

Kemampuan untuk berpikir, merenung, memecahkan masalah, dan memiliki kesadaran diri (self-awareness) adalah nikmat yang membedakan manusia. Nikmat ini memungkinkan kita memahami konsep ketuhanan, membaca Al-Qur'an, dan melakukan ibadah. Mendustakan akal adalah dengan menggunakannya untuk keburukan atau menolak kebenanan yang jelas terpapar di alam semesta.

B. Nikmat Kosmis dan Alam Semesta

Nikmat ini adalah sistem pendukung kehidupan yang luas. Mereka mengatur waktu dan ruang, memastikan keberlanjutan eksistensi.

4. Keteraturan Kosmis (Sistem Tata Surya)

Gravitasi menahan kita di Bumi; matahari memberikan energi pada jarak yang sempurna, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Bulan mengatur pasang surut air laut. Keteraturan waktu ini memungkinkan pertanian, navigasi, dan perhitungan ibadah. Apakah kita berani mendustakan sistem kosmik yang mencegah kita terlempar ke luar angkasa atau terbakar oleh panas yang berlebihan?

5. Air (Sumber Kehidupan)

Air tawar yang tersedia untuk minum, mencuci, dan mengairi tanaman adalah keajaiban hidrologi. Siklus air memastikan air terus berputar, membersihkan dan menyegarkan kehidupan di Bumi. Dalam ayat lain, Allah menantang manusia untuk menciptakan satu tetes air. Ini adalah nikmat yang sangat mendasar, yang ketiadaannya akan segera melumpuhkan seluruh kehidupan.

6. Bumi yang Dihamparkan (Tempat Tinggal)

Bumi memiliki kerak yang stabil, atmosfer yang dapat bernapas, dan tanah yang subur. Di dalamnya terdapat mineral, sumber energi, dan tempat berlindung. Allah menciptakan gunung sebagai pasak agar bumi tidak berguncang (nampaknya dalam bentuk pengingat dalam Al-Qur'an), dan ini adalah manifestasi lain dari *ālā'i* yang tak terhitung.

C. Nikmat Sosial dan Emosional

Manusia adalah makhluk sosial, dan banyak nikmat datang melalui interaksi dan hubungan.

7. Keluarga dan Pasangan

Cinta, kasih sayang, dan ketenangan yang ditemukan dalam hubungan suami-istri (sakinah, mawaddah, wa rahmah) adalah nikmat emosional yang mendalam. Anak-anak yang menjadi penyejuk mata adalah anugerah yang tak ternilai. Ini adalah jaringan pendukung yang mencegah kita hidup dalam kesendirian yang menyiksa.

8. Rasa Aman dan Kedamaian

Kemampuan untuk tidur nyenyak di malam hari tanpa takut diserang atau dizalimi adalah nikmat yang mahal, terutama di tengah konflik dunia. Keberadaan hukum, komunitas, dan stabilitas sosial adalah perlindungan yang Allah berikan melalui sistem yang Dia izinkan untuk berfungsi.

D. Nikmat Spiritual (Tertinggi)

Ini adalah nikmat yang menjamin kesuksesan abadi, yang telah disebutkan di awal Surah Ar-Rahman.

9. Al-Qur'an dan Sunnah (Petunjuk)

Pemberian petunjuk yang jelas untuk membedakan jalan menuju surga dan neraka adalah nikmat yang melampaui semua nikmat materi. Tanpa wahyu, manusia akan tersesat dalam kegelapan filosofis dan moral. Kemampuan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran Al-Qur'an adalah *ālā'i* yang tak terhingga nilainya.

10. Kesempatan Bertaubat

Pintu taubat yang selalu terbuka adalah refleksi langsung dari sifat Ar-Rahman. Meskipun manusia sering berbuat salah, Allah selalu memberikan kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Mendustakan nikmat ini adalah menganggap diri kita terlalu buruk untuk dimaafkan, padahal kemurahan Allah jauh lebih luas.

Menjawab Pertanyaan Ayat 13: Implikasi Praktis Syukur

Karena ayat 13 adalah pertanyaan retoris, ia tidak menuntut jawaban lisan, melainkan respons melalui perbuatan. Jawaban yang diharapkan dari manusia dan jin adalah pengakuan tulus, yang terwujud dalam syukur (syukr) dan ibadah.

Syukur Lisan (Qaulī)

Syukur lisan adalah mengakui secara verbal bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah, diucapkan melalui *Alhamdulillah*. Ini harus diucapkan bukan hanya setelah mendapatkan sesuatu yang baik, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap nikmat yang terus-menerus kita nikmati (seperti bernapas).

Syukur Hati (Qalbī)

Syukur hati adalah menyadari sepenuhnya di dalam hati bahwa Allah adalah satu-satunya sumber rezeki dan rahmat. Ini berarti menghilangkan kesombongan dan klaim bahwa kesuksesan datang murni dari usaha kita sendiri. Syukur hati melahirkan kerendahan hati dan ketenangan batin.

Syukur Perbuatan (Fi'lī)

Inilah bentuk syukur yang paling menantang: menggunakan nikmat yang diberikan sesuai dengan tujuan Sang Pemberi. Jika Allah memberi nikmat kesehatan, syukurnya adalah menggunakannya untuk beribadah dan membantu orang lain. Jika Dia memberi nikmat kekayaan, syukurnya adalah menunaikan zakat dan bersedekah. Mendustakan nikmat, dalam konteks ini, berarti menggunakan nikmat tersebut untuk melanggar perintah-Nya (misalnya, menggunakan kesehatan untuk berbuat maksiat).

Dampak Pengingkaran (Takżīb)

Jika ayat 13 adalah pertanyaan yang menuntut pengakuan, maka kebalikannya adalah Takżīb (pengingkaran atau pendustaan). Pengingkaran nikmat memiliki konsekuensi serius, baik di dunia maupun di akhirat.

1. Hilangnya Keberkahan

Allah berfirman dalam Surah Ibrahim, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS 14:7). Pengingkaran menyebabkan hilangnya keberkahan (barakah) dari nikmat yang ada, bahkan jika nikmat materi itu masih terlihat.

2. Ketidakpuasan Abadi

Orang yang mendustakan nikmat adalah orang yang gagal melihat kebaikan yang ada dalam hidupnya. Mereka selalu fokus pada apa yang kurang, bukan pada apa yang dimiliki. Hal ini melahirkan penyakit hati seperti ketidakpuasan, iri hati, dan keserakahan, yang menghancurkan kedamaian batin.

3. Konsekuensi Akhirat (Neraka)

Pengulangan ayat 13 juga diselingi dengan deskripsi azab di neraka bagi mereka yang mengingkari kebenaran (QS 55:35-45). Pengingkaran terhadap *ālā'i Rabbikumā* dapat mengacu pada pengingkaran terhadap bukti-bukti tauhid dan kenabian. Hukuman yang menanti para pendusta adalah api neraka, air mendidih, dan kehancuran.

Sistematisasi Nikmat dalam Surah Ar-Rahman: Sebuah Katalog Kasih Sayang

Untuk memahami kedalaman pengulangan ayat 13, kita harus menghitung dan merenungkan kelompok-kelompok nikmat yang disajikan secara berurutan dalam surah ini. Setiap kelompok adalah alasan baru untuk bersyukur, dan setiap pengulangan adalah penolakan terhadap dalih pengingkaran.

Kelompok 1: Nikmat Fundamental (Ayat 1-12)

Meliputi Al-Qur'an, penciptaan manusia, kemampuan berbicara, matahari/bulan, langit, mizan, bumi, buah-buahan, dan kurma. Ayat 13 diulang pertama kali setelah ini, menegaskan bahwa dasar-dasar kehidupan dan petunjuk tidak boleh didustakan.

Kelompok 2: Asal Muasal dan Keterbatasan (Ayat 14-25)

Fokus pada asal mula penciptaan makhluk: manusia dari tanah kering (seperti tembikar) dan jin dari api yang membara. Kemudian, surah beralih ke nikmat lautan:

Pengulangan ayat 13 di sini menekankan bahwa bahkan perbedaan asal usul (tanah vs. api) dan fenomena alam yang luar biasa (dua lautan yang tak bercampur) adalah bagian dari rahmat-Nya.

Kelompok 3: Keterbatasan Eksistensi dan Keabadian (Ayat 26-30)

Semua makhluk di bumi akan binasa. Hanya Wajah Tuhan yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan yang kekal. Setiap hari, Dia dalam keadaan mengurus segala urusan. Ini adalah titik balik filosofis:

Nikmat terbesar di sini adalah mengetahui bahwa segala sesuatu bersifat fana, sehingga kita diarahkan pada yang kekal (Allah). Pengulangan ayat 13 setelah ini berfungsi sebagai kesadaran: jika semua akan fana, bagaimana mungkin kita mendustakan nikmat yang diberikan dalam waktu yang terbatas ini?

Kelompok 4: Peringatan Kiamat dan Akuntabilitas (Ayat 31-45)

Bagian ini adalah bagian ancaman, di mana fokus beralih pada hari perhitungan bagi manusia dan jin. Langit akan terbelah, dan dosa akan ditanyakan. Ancaman neraka Jahannam diperkenalkan, tempat para pendusta (al-mukadzdzibun) akan berhadapan dengan panas mendidih dan minuman yang sangat panas. Pengulangan ayat 13 di bagian ini berfungsi sebagai peringatan: penyesalan di hari itu tidak akan ada gunanya, dan pertanyaan retoris ini menjadi tuduhan yang tak terbantahkan.

Kelompok 5: Deskripsi Surga (Nikmat Puncak) (Ayat 46-77)

Surah ini diakhiri dengan deskripsi rinci tentang surga, yang merupakan puncak dari nikmat dan pahala bagi mereka yang takut kepada Tuhannya. Deskripsi dibagi menjadi dua pasangan surga, masing-masing dengan karakteristik yang berbeda (kebun, sungai, bidadari, buah-buahan). Setiap detail surga diselingi oleh ayat 13:

Dalam bagian ini, pengulangan ayat 13 mencapai klimaksnya. Di tengah kenikmatan abadi surga, manusia dan jin diajak untuk merenung: setelah semua yang telah Dia berikan, bahkan keindahan surga ini, apakah masih ada keraguan atau pengingkaran?

Ar-Rahman Ayat 13 dalam Kehidupan Sehari-hari

Pesan dari Surah Ar-Rahman ayat 13 memiliki relevansi yang tak lekang oleh waktu, memaksa kita untuk mengintegrasikan syukur ke dalam setiap aspek kehidupan modern yang serba cepat dan seringkali penuh keluhan.

Melawan Budaya Konsumerisme

Masyarakat modern didominasi oleh keinginan untuk memiliki lebih banyak. Hal ini menciptakan siklus ketidakpuasan abadi. Ayat 13 adalah penawar bagi konsumerisme. Ketika kita tergoda untuk merasa tidak cukup, ayat ini mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan menghitung *ālā'i* yang sudah kita miliki. Kita cenderung mendefinisikan nikmat sebagai apa yang kita inginkan, padahal nikmat sejati adalah apa yang kita butuhkan dan yang sudah disediakan (kesehatan, air, oksigen).

Etika Lingkungan

Mendustakan nikmat Tuhan juga dapat diwujudkan melalui perusakan lingkungan. Penciptaan bumi, air, dan tanaman adalah *ālā'i* yang Allah titipkan. Ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam secara serakah, mencemari lautan, atau merusak keseimbangan ekologis (Mizan), mereka secara tidak langsung mendustakan nikmat-nikmat ini, menunjukkan rasa tidak peduli terhadap karunia penciptaan.

Pengakuan Ilmiah

Setiap penemuan ilmiah, dari struktur DNA hingga hukum fisika kuantum, adalah bukti nyata dari perhitungan dan keseimbangan yang ditetapkan oleh Allah. Ilmu pengetahuan adalah jalan untuk memahami kedalaman *ālā'i*. Seorang ilmuwan yang merenungkan kompleksitas alam semesta, namun gagal mengakui keberadaan Sang Pengatur, berada dalam bahaya mendustakan nikmat pengetahuan dan akal yang dianugerahkan kepadanya.

Kesimpulan: Syukur sebagai Pengakuan

Surah Ar-Rahman ayat 13 adalah seruan tak berkesudahan untuk kesadaran dan pengakuan. Ia menempatkan kita dalam dialog langsung dengan Sang Pencipta, di mana setiap anugerah yang kita terima secara otomatis memicu pertanyaan ini. Pengulangan 31 kali bukanlah beban, melainkan hadiah, sebuah mekanisme spiritual yang dirancang untuk mencegah hati kita menjadi keras dan lupa.

Ketika kita merenungkan pertanyaan, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?", kita diajak untuk melihat hidup kita sebagai sebuah karunia yang utuh dan terintegrasi. Tidak ada satu pun bagian dari penciptaan, dari nafas pertama hingga janji surga abadi, yang layak untuk diabaikan atau disangkal. Jawaban sejati kita terhadap ayat ini adalah menjalani hidup dengan kerendahan hati, memanfaatkan setiap anugerah (ālā'i) untuk mendekatkan diri kepada Rabbukumā (Tuhan kita berdua), sehingga kita dapat lolos dari kategori *al-mukadzdzibun* (para pendusta) dan termasuk dalam golongan *al-shakirin* (orang-orang yang bersyukur).

Merenungkan ayat ini secara mendalam membuka mata kita pada fakta bahwa hidup ini penuh dengan keajaiban yang tak terhitung. Dari detail terkecil dalam sel tubuh kita hingga pergerakan galaksi yang masif, semuanya adalah bukti yang menunjuk pada sifat Ar-Rahman—Sang Maha Pengasih—yang tak pernah berhenti memberi, meskipun kita sering kali lalai dalam bersyukur.

Pengulangan yang begitu mendalam dan sistematis ini, dari nikmat hidayah Al-Qur'an, tata surya yang teratur, hingga hasil bumi yang melimpah, hingga ancaman neraka bagi yang mengingkari, hingga janji surga yang berlimpah, semua didorong oleh satu pertanyaan sentral: Apakah kamu berani menyangkal semua ini? Dan bagi seorang hamba yang berakal, jawabannya hanya bisa satu: "Tidak ada satu pun, ya Rabb, yang kami dustakan. Segala puji hanya bagi-Mu."

Kita harus terus menerus mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan rasa syukur kita. Apakah itu melalui sedekah yang membersihkan harta, melalui shalat yang menenangkan jiwa, atau melalui kebaikan yang kita sebarkan kepada sesama manusia dan jin. Setiap perbuatan baik yang timbul dari kesadaran bahwa kita adalah penerima nikmat yang berlimpah adalah bentuk jawaban praktis terhadap tantangan retoris Surah Ar-Rahman ayat 13.

Ayat ini adalah cermin bagi jiwa. Ia mengundang kita untuk melihat ke dalam diri dan menilai, apakah kita telah menjadi manusia yang adil terhadap nikmat Tuhannya, ataukah kita termasuk golongan yang zalim karena melupakan sumber segala karunia. Semoga kita semua dijadikan hamba yang selalu mengingat, mengakui, dan menggunakan segala *ālā'i Rabbikumā* dalam ketaatan penuh.

***

Elaborasi Filosofis tentang Nikmat dan Pengingkaran

Ketika kita berbicara tentang konsep nikmat dalam Islam, khususnya yang ditekankan dalam ayat 13 Surah Ar-Rahman, kita tidak hanya membicarakan barang-barang materi seperti makanan atau rumah. Nikmat yang lebih mendalam, yang disebut sebagai *ālā'i*, mencakup prinsip-prinsip fundamental yang memungkinkan eksistensi teratur. Pertimbangkan nikmat waktu. Waktu, yang diukur dengan pergerakan matahari dan bulan, adalah anugerah terbesar karena ia adalah modal yang dengannya kita dapat beramal. Mendustakan nikmat waktu adalah dengan menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang tidak produktif atau maksiat. Berapa banyak manusia yang menyadari bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang tidak akan pernah kembali? Pengingkaran terhadap waktu adalah pengingkaran terhadap potensi ibadah yang tak terbatas.

Selanjutnya, mari kita telaah nikmat ketenangan batin (*sakinah*). Di dunia yang penuh gejolak, ketenangan batin yang diperoleh dari keimanan adalah harta yang tak ternilai. Ini adalah nikmat yang tidak dapat dibeli dengan uang, namun ia adalah hasil langsung dari janji Allah untuk menjaga hati orang-orang yang beriman. Ketika seseorang memilih untuk mengisi hatinya dengan kegelisahan, iri hati, dan ketidakpercayaan terhadap janji Allah, ia secara halus mendustakan nikmat ketenangan yang ditawarkan secara gratis melalui zikir dan shalat. Ayat 13 menyerukan kita untuk mengakui bahwa sumber ketenangan sejati bukanlah faktor eksternal, melainkan hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta.

Pembahasan mengenai dualitas manusia dan jin (*Rabbikumā*) juga menuntut elaborasi. Mengapa Allah secara spesifik menyapa kedua makhluk ini? Karena keduanya adalah makhluk yang dianugerahi kehendak bebas (*ikhtiar*). Malaikat bersyukur dan taat secara fitrah, tanpa pilihan. Hewan bertindak berdasarkan insting. Hanya manusia dan jin yang memiliki kapasitas untuk memilih antara syukur dan kufur (pengingkaran). Oleh karena itu, tantangan untuk tidak mendustakan nikmat Tuhan menjadi sangat berat bagi kedua spesies ini. Setiap pengulangan ayat 13 adalah pengujian kehendak bebas: "Apakah kamu akan menggunakan kebebasanmu untuk bersyukur, atau untuk mengingkari anugerah ini?"

Pengingkaran bukan selalu berupa penolakan eksplisit terhadap Tuhan. Seringkali, pengingkaran muncul dalam bentuk ketidakpedulian. Misalnya, memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, namun memilih untuk tetap dalam kebodohan dan takhayul. Atau, memiliki kekayaan, namun membiarkan tetangga kelaparan. Ini adalah *takżīb* dalam tindakan. Allah telah memberikan sumber daya yang cukup untuk mengatasi penderitaan di dunia, namun ketika manusia menahan sumber daya tersebut karena keserakahan, mereka mendustakan nikmat kecukupan yang telah diatur oleh-Nya.

Nikmat terbesar dalam konteks Surah Ar-Rahman adalah rahmat itu sendiri, yang tercermin dalam nama pertama surah tersebut. Rahmat Allah mendahului murka-Nya. Rahmat ini adalah payung yang melindungi kita dari konsekuensi penuh dosa-dosa kita. Tanpa rahmat ini, tidak ada satu pun makhluk yang dapat bertahan hidup. Mendustakan Rahmat adalah berpikir bahwa kita layak mendapatkan penderitaan, padahal setiap hari yang kita jalani adalah perpanjangan dari kesabaran dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Ayat 13 adalah pengakuan bahwa Rahmat ini adalah fundamental dan tak dapat dipungkiri oleh akal sehat manapun.

Mari kita bayangkan dunia tanpa hukum keseimbangan (*mizan*). Jika hukum fisika berubah setiap hari, jika gravitasi tidak konstan, jika air membeku pada suhu yang berbeda setiap saat, kehidupan akan menjadi kekacauan total. Nikmat keteraturan, presisi, dan prediktabilitas inilah yang memungkinkan peradaban untuk dibangun. Mendustakan nikmat ini adalah bertindak seolah-olah tatanan adalah kebetulan, bukan desain ilahi. Dengan demikian, setiap upaya manusia untuk mencari keteraturan, baik dalam sains, matematika, atau seni, adalah pengakuan implisit terhadap *mizan* yang telah ditetapkan-Nya. Pengulangan ayat 13 menantang kita untuk mengakui bahwa keteraturan ini bukanlah hasil dari kebetulan statistik, melainkan kehendak dari Ar-Rahman.

Dalam konteks modern, kita juga harus merenungkan nikmat teknologi dan kemudahan komunikasi. Dalam satu abad terakhir, kita telah menyaksikan lonjakan kemampuan yang tak tertandingi untuk menghubungkan dunia, berbagi pengetahuan, dan meringankan penderitaan. Namun, apakah kita telah bersyukur atas nikmat ini? Seringkali, teknologi digunakan untuk menyebarkan kebencian, ketidakjujuran, dan kesia-siaan. Menggunakan anugerah komunikasi ilahi (al-bayan, yang disebutkan di awal surah) untuk menyebarkan kebohongan adalah bentuk pengingkaran yang sangat menyakitkan terhadap inti dari Surah Ar-Rahman. Ayat 13 hadir sebagai sensor moral: gunakanlah kemampuanmu untuk berbagi kebenaran, kebaikan, dan rasa syukur.

Pengulangan 31 kali juga dapat dilihat sebagai penguatan spiritual yang berulang, membersihkan hati dari lapisan-lapisan kelalaian. Setiap pengulangan adalah kesempatan baru untuk bertaubat dari kelalaian sebelumnya. Seolah-olah setiap jeda pertanyaan ilahi itu memberikan ruang bagi jiwa untuk bernapas, merenung, dan menegaskan kembali komitmennya kepada Tuhan. Ini adalah proses penyucian yang berulang, memastikan bahwa pesan surah tidak hanya dipahami secara kognitif, tetapi juga dihayati dalam relung jiwa yang terdalam.

Ketika kita memikirkan tentang penciptaan jin dari api yang membara, ini adalah pengingat tentang keragaman ciptaan Allah. Bahkan di antara makhluk berakal, ada perbedaan fundamental dalam unsur penciptaan. Nikmat keragaman ini mengajarkan kita tentang kebesaran Allah. Manusia cenderung menginginkan homogenitas, tetapi Allah menunjukkan keagungan-Nya melalui keragaman yang sempurna dan harmonis. Mendustakan keragaman adalah mendustakan hikmah di balik penciptaan yang unik ini, dan ini adalah salah satu bentuk *takżīb* sosial.

Selanjutnya, mari kita pertimbangkan nikmat keamanan dalam beribadah. Di banyak belahan dunia, menjalankan ibadah harian seperti shalat adalah sebuah perjuangan yang penuh risiko. Di sisi lain, bagi banyak orang, beribadah adalah hal yang rutin dan aman. Kemudahan dalam menjalankan rukun Islam ini adalah nikmat yang sering terabaikan. Mendustakan nikmat ini adalah dengan menunda atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama, seolah-olah kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan Sang Pencipta melalui ibadah adalah hal yang dapat ditangguhkan.

Konsep *Mizan* (keseimbangan) yang disinggung di awal surah dan terus ditekankan oleh ayat 13, adalah kunci moralitas. Keseimbangan bukan hanya tentang keadilan di pengadilan, tetapi juga keadilan dalam setiap interaksi: adil dalam berdagang, adil dalam berbicara, adil dalam menghakimi diri sendiri dan orang lain. Ketidakadilan, kezaliman, dan penindasan adalah bentuk pengingkaran paling keras terhadap nikmat *mizan* yang diberikan Allah. Setiap tindak kezaliman adalah pernyataan bahwa orang tersebut mendustakan prinsip dasar yang menopang alam semesta.

Penyebutan dua surga bagi golongan *al-Muqarrabun* dan dua surga bagi *Ashab al-Yamin* (di akhir surah) juga membawa makna penting. Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah berjenjang sesuai dengan tingkat ketaatan dan kesyukuran hamba-Nya. Bahkan di dalam surga, nikmat-nikmat tersebut berbeda dan berlimpah ruah. Ayat 13 di tengah deskripsi surga memastikan bahwa kenikmatan abadi itu tidak akan menghasilkan kelupaan, melainkan syukur yang kekal dan tak terhenti. Di surga, pertanyaan retoris ini menjadi pengakuan bahagia, bukan lagi gugatan peringatan.

Nikmat matahari dan bulan yang bergerak dengan perhitungan (*husban*) adalah dasar dari kalender Islam dan pengaturan waktu. Tanpa perhitungan yang presisi ini, penetapan awal puasa, hari raya, dan waktu shalat akan kacau. Keteraturan ini adalah nikmat ilmiah yang menjadi landasan bagi praktik keagamaan. Mendustakan nikmat ini adalah dengan menganggap perhitungan kosmik sebagai sesuatu yang sepele, padahal ia adalah sistem navigasi spiritual yang tak tergantikan. Surah Ar-Rahman, dan khususnya ayat 13, menuntut agar kita merangkul ilmu pengetahuan sebagai jembatan menuju pengakuan ketuhanan.

Akhirnya, marilah kita fokus pada kata *tukażżibān* (kalian berdua mendustakan). Dusta di sini adalah pengingkaran terhadap realitas. Realitasnya adalah bahwa kita sepenuhnya tergantung pada Ar-Rahman. Ketika kita hidup dengan ilusi kemandirian, kekuasaan pribadi, atau keberuntungan semata, kita mendustakan nikmat ketergantungan yang sehat pada Ilahi. Ayat 13 mengajarkan kerendahan hati: tanpa Rabbukumā, kita tidak ada apa-apanya. Pengakuan ini adalah awal dari semua kebahagiaan sejati dan kunci untuk membuka pintu keberkahan yang lebih besar lagi.

Kita harus terus menerus mengingat dan menghitung setiap anugerah, sekecil apapun itu. Mulai dari kemampuan untuk menghirup udara bersih, hingga kesempatan untuk membaca Al-Qur'an ini sendiri. Setiap kata, setiap jeda, setiap pemahaman yang kita dapatkan adalah *ālā'i* yang tak boleh didustakan. Melalui kesadaran yang terus menerus ini, kita berharap dapat memenuhi tujuan penciptaan, yaitu menjadi hamba yang bersyukur dan tidak termasuk golongan yang lupa apalagi mendustakan nikmat-nikmat Tuhannya yang tiada tara. Kekuatan Surah Ar-Rahman, yang dimanifestasikan dalam pengulangan ayat 13, adalah bahwa ia mengubah pembaca dari penonton pasif menjadi peserta aktif dalam drama kosmis antara Rahmat dan Pengingkaran.

Di masa-masa sulit, ketika musibah melanda, kecenderungan untuk mendustakan nikmat menjadi lebih kuat. Namun, bahkan di tengah kesedihan atau kehilangan, Surah Ar-Rahman mengingatkan kita bahwa nikmat terbesar—nikmat iman, petunjuk, dan harapan akan kehidupan abadi—tetap tidak terenggut. Kesabaran (sabr) di saat kesulitan adalah bentuk tertinggi dari syukur, karena ia adalah pengakuan bahwa Allah masih layak dipuji, meskipun dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Ayat 13 mengajarkan kita untuk mencari nikmat yang tersisa, bahkan ketika sebagian nikmat telah dicabut, karena sumber Rahmat tidak pernah kering.

Penciptaan Bumi dengan segala isinya, termasuk sumber daya alam, keanekaragaman hayati, dan tanah yang subur, adalah bukti kemurahan hati Ilahi. Ketika Surah Ar-Rahman menyebutkan adanya biji-bijian yang berkulit dan biji-bijian yang tidak berkulit, ini menunjukkan detail perhatian Allah pada setiap aspek pangan yang kita konsumsi. Mendustakan nikmat ini adalah menyia-nyiakan makanan, merusak tanah, atau mengonsumsi secara berlebihan. Tanggung jawab etika pangan ini adalah implikasi langsung dari pertanyaan: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Pemahaman mendalam terhadap *ālā'i* juga mencakup kesadaran tentang nikmat kebebasan beragama. Untuk umat Islam yang hidup dalam masyarakat yang menghormati hak-hak keagamaan, kemampuan untuk shalat tanpa rasa takut, berpuasa secara terbuka, dan mengenakan pakaian sesuai syariat adalah nikmat yang harus disyukuri dengan sepenuh hati. Pengingkaran akan hal ini mungkin berupa sikap apatis terhadap pemeliharaan hak-hak tersebut atau kegagalan untuk menggunakan kebebasan tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Ayat 13 mengajak kita untuk menghargai setiap inci kebebasan yang diberikan oleh konteks sosial atau politik kita sebagai perpanjangan dari Rahmat Ilahi.

Setiap sel dalam tubuh kita berinteraksi melalui proses kimia yang rumit dan sempurna. Sistem peredaran darah, sistem saraf, dan kemampuan penyembuhan alami tubuh adalah mukjizat mikro. Jika kita merenungkan bagaimana tubuh memperbaiki dirinya sendiri setelah luka atau penyakit, kita menyaksikan *ālā'i* yang terus bekerja tanpa kita sadari. Mendustakan nikmat kesehatan ini adalah dengan mengabaikan perawatan tubuh, memasukkan zat berbahaya, atau menyalahgunakan fungsi-fungsi biologis yang telah diatur dengan presisi. Syukur atas tubuh adalah menjaga amanah fisik yang telah diberikan oleh Rabbikumā.

Dalam konteks akhirat, pengulangan ayat 13 di tengah deskripsi neraka (seperti penggunaan besi panas dan air mendidih) berfungsi sebagai penyesalan yang terlambat. Di dunia, pertanyaan itu adalah kesempatan; di neraka, pertanyaan itu adalah penghakiman. Betapa dahsyatnya kondisi di mana seseorang harus mengakui, di tengah azab yang paling pedih, bahwa ia telah mendustakan nikmat yang telah diulang-ulang peringatannya sebanyak 31 kali. Oleh karena itu, tujuan utama dari renungan ayat 13 adalah untuk menghindari penyesalan abadi ini dan menjadikan pengakuan syukur sebagai gaya hidup.

Penelitian oleh para linguis menunjukkan bahwa struktur ritmis dari Surah Ar-Rahman, didukung oleh pengulangan ayat 13, memiliki efek menenangkan dan menghipnotis secara positif pada pendengar, seolah-olah surah ini dirancang untuk menembus hati yang paling keras sekalipun. Ritme ini memaksa pendengar untuk mengheningkan sejenak kegaduhan dunia dan fokus pada suara kebenaran yang berulang. Ini adalah nikmat pendengaran yang digunakan untuk tujuan tertinggi. Mendustakan ritme ilahi ini adalah dengan mengisi pendengaran kita dengan hal-hal yang melalaikan dan merusak spiritualitas.

Marilah kita ambil contoh nikmat tidur. Tidur adalah mekanisme pemulihan yang penting, di mana tubuh dan pikiran diberi istirahat dari kelelahan harian. Tidur adalah bentuk kematian sementara, dan bangun adalah kehidupan kedua. Setiap kali kita bangun di pagi hari, kita menerima nikmat kehidupan yang diperbarui. Mendustakan nikmat tidur adalah dengan mengabaikan kebutuhan istirahat yang seimbang, yang pada akhirnya merusak kesehatan fisik dan mental yang merupakan anugerah dari Allah. Syukur atas tidur adalah memanfaatkan energi yang dipulihkan untuk beribadah dan berbuat baik.

Ketika Allah menyebutkan "buah-buahan yang berpasangan" di surga, ini menggambarkan kesempurnaan kenikmatan. Di dunia, tidak ada kenikmatan yang sepenuhnya sempurna atau bebas dari cacat. Namun di surga, segala sesuatu adalah kebalikannya—kenikmatan yang tak terbayangkan dan tak pernah berakhir. Perbandingan antara nikmat dunia yang fana dan nikmat surga yang kekal adalah cara lain untuk menekan makna ayat 13: "Jika kamu mendustakan nikmat yang sedikit dan fana ini, bagaimana mungkin kamu layak mendapatkan nikmat yang abadi dan tak terhingga?"

Akhirnya, penekanan pada *Rabb* (Tuhan, Pemelihara, Pendidik) dalam kalimat *Rabbikumā* sangatlah penting. Allah tidak hanya memperkenalkan diri sebagai Sang Pencipta, tetapi sebagai Sang Pemelihara yang aktif mengelola kehidupan kita setiap saat. Setiap rezeki, setiap perlindungan, setiap pelajaran yang kita terima, berasal dari fungsi-Nya sebagai Rabb. Mendustakan nikmat-Nya adalah mendustakan sifat pemeliharaan-Nya, dan ini adalah akar dari segala kesombongan dan keangkuhan manusia. Ayat 13 adalah pengakuan agung atas pemeliharaan abadi Allah terhadap makhluk-Nya.

Dengan demikian, Surah Ar-Rahman ayat 13 bukanlah sekadar pertanyaan. Ia adalah sebuah instrumen spiritual yang mengubah cara kita melihat dunia, mengubah keluhan menjadi pengakuan, dan mengubah kepasrahan menjadi syukur yang aktif dan berkelanjutan. Ia adalah inti sari dari ajaran tauhid yang mengajarkan bahwa setiap aspek eksistensi kita adalah bukti nyata akan kemurahan Tuhan, dan pengingkaran terhadap salah satu dari buktinya adalah pengingkaran terhadap keseluruhan.

Kita harus terus menerus mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan rasa syukur kita. Apakah itu melalui sedekah yang membersihkan harta, melalui shalat yang menenangkan jiwa, atau melalui kebaikan yang kita sebarkan kepada sesama manusia dan jin. Setiap perbuatan baik yang timbul dari kesadaran bahwa kita adalah penerima nikmat yang berlimpah adalah bentuk jawaban praktis terhadap tantangan retoris Surah Ar-Rahman ayat 13. Setiap hari adalah kesempatan untuk menjawabnya, setiap nafas adalah pengakuan, dan setiap sujud adalah penegasan, "Kami tidak mendustakan nikmat-Mu, ya Rabb."

Berapa banyak dari kita yang menghargai kemampuan kita untuk merasakan sakit? Rasa sakit, meskipun tidak menyenangkan, adalah nikmat berupa sistem peringatan tubuh yang memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang salah. Tanpa rasa sakit, luka kecil bisa berkembang menjadi bahaya besar tanpa disadari. Mendustakan nikmat ini adalah mengabaikan peringatan tubuh atau mengeluh secara berlebihan tanpa mengambil tindakan korektif. Ayat 13 mengajarkan kita untuk mencari hikmah di balik setiap pengalaman, termasuk pengalaman yang tidak nyaman.

Penciptaan jin dari api yang membara adalah contoh kekuasaan ilahi yang melampaui pemahaman manusia. Walaupun manusia diciptakan dari tanah yang relatif stabil, jin diciptakan dari energi api. Ini menandakan perbedaan fundamental dalam sifat dan kemampuan mereka. Namun, meskipun berbeda, keduanya sama-sama tunduk pada hukum-hukum Allah dan sama-sama harus menghadapi pertanyaan retoris yang sama. Ini menyiratkan kesetaraan dalam tanggung jawab spiritual meskipun ada perbedaan dalam asal material. Ayat 13 adalah penegasan universalitas hukum ilahi bagi semua makhluk berakal.

Nikmat terbesar yang sering dilupakan adalah nikmat kelupaan. Jika manusia mengingat setiap kesalahan, setiap kegagalan, dan setiap rasa sakit masa lalu dengan intensitas yang sama seperti saat itu terjadi, hidup akan menjadi beban yang tak tertahankan. Kemampuan otak untuk memproses, menyimpan, dan secara selektif melupakan trauma dan kesalahan adalah anugerah yang membebaskan. Ia memungkinkan kita untuk memulai kembali, bertaubat, dan melanjutkan hidup dengan harapan. Mendustakan nikmat kelupaan adalah dengan hidup terperangkap dalam penyesalan masa lalu, alih-alih memanfaatkan momen saat ini untuk bersyukur dan beramal saleh. Setiap pengulangan ayat 13 mengajak kita untuk melupakan kelalaian masa lalu dan fokus pada anugerah masa kini.

Mengenai penyebutan air tawar dan air asin yang bertemu namun tidak bercampur (barzakh), ini adalah metafora yang luar biasa untuk batas dan aturan dalam kehidupan. Allah menetapkan batas yang tidak boleh dilanggar. Dalam kehidupan manusia, batas ini diterjemahkan menjadi hukum moral dan syariat. Melanggar batas (hudud) adalah bentuk pengingkaran terhadap *mizan* yang telah ditetapkan. Air lautan yang tunduk pada batas fisika mengingatkan manusia bahwa mereka juga harus tunduk pada batas moral yang ditetapkan oleh Pencipta mereka. Ayat 13 mendesak manusia dan jin untuk menghormati batas-batas ini sebagai bagian dari kesyukuran.

Pada akhirnya, seluruh Surah Ar-Rahman adalah lagu puji-pujian yang berulang-ulang, di mana ayat 13 menjadi refrain yang tak terlupakan. Ia mengubah surah ini menjadi sebuah himne syukur yang abadi. Refrain ini mengikat seluruh rangkaian nikmat, dari kosmik hingga spiritual, dari dunia hingga akhirat, menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tugas kita adalah memastikan bahwa dalam setiap detik kehidupan, respons kita terhadap pertanyaan ilahi itu adalah pengakuan tulus, bukan pengingkaran yang sia-sia.

Pemahaman ini mendorong kita untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh (ihsan) terhadap nikmat Allah. Ini adalah perjuangan harian melawan kelalaian. Ketika kita mengambil makanan, kita bersyukur atas pertanian, air, dan kesehatan. Ketika kita melihat langit, kita bersyukur atas keteraturan kosmik. Ketika kita membuka Al-Qur'an, kita bersyukur atas hidayah. Siklus syukur yang terus menerus ini adalah tujuan hakiki dari pengulangan ayat 13, memastikan bahwa hati kita senantiasa terhubung dengan sumber segala Rahmat: Ar-Rahman.

Kajian ini, yang berfokus pada kedalaman linguistik dan kontekstual dari Ar-Rahman ayat 13, adalah pengingat bahwa Al-Qur'an adalah lautan hikmah yang tak pernah habis. Setiap kata memiliki bobot, dan setiap pengulangan memiliki tujuan. Semoga renungan ini memperkuat iman kita dan menjadikan kita termasuk golongan hamba-hamba yang senantiasa bersyukur, sehingga kita tidak pernah mendustakan satu pun nikmat Tuhan yang terhampar di hadapan kita.

Pengingkaran nikmat dalam bentuk modern seringkali berupa sikap menganggap remeh. Kemudahan hidup modern, seperti ketersediaan listrik, komunikasi instan, dan air bersih yang mengalir, telah membuat kita melupakan betapa besar perjuangan manusia di masa lalu untuk mendapatkan hal yang sama. Kebutuhan yang dulunya merupakan anugerah langka kini dianggap sebagai hak yang otomatis. Ayat 13 memecah ilusi ini, memaksa kita untuk melihat kembali: setiap kenyamanan adalah pemberian, bukan klaim yang pantas didapatkan.

Bagi setiap pembaca dan perenung Surah Ar-Rahman, pertanyaan "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" harus bergema sebagai panggilan pribadi. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, untuk menjeda kesibukan, dan untuk mengingat bahwa tujuan tertinggi dari semua nikmat ini adalah pengakuan keesaan dan kemurahan Sang Pemberi. Syukur adalah mata uang spiritual kita, dan ayat 13 adalah pengingat bahwa kita harus selalu kaya dalam mata uang tersebut, agar tidak jatuh miskin di hadapan Allah pada Hari Perhitungan.

Kesempurnaan penciptaan manusia dari tanah yang kering dan jin dari api yang membara, yang disinggung sebelum ayat 13, adalah bukti kemampuan Allah untuk mengambil materi yang paling sederhana dan menciptakan kehidupan yang kompleks dan berakal. Jika kita mendustakan proses penciptaan ini, bagaimana kita bisa menghargai produk akhirnya? Ayat ini menegaskan bahwa asal usul kita yang rendah tidak boleh menghasilkan kesombongan, melainkan kerendahan hati dan syukur atas transformasi luar biasa yang terjadi melalui kehendak Ilahi.

Penggunaan kata *ālā'i* yang luas, mencakup nikmat dan tanda-tanda, menjadikan pertimbangan kita harus mencakup hal-hal yang tidak terlihat. Misalnya, nikmat dihilangkannya bencana yang seharusnya menimpa kita (nikmat pencegahan), atau nikmat ditutupinya aib-aib kita (nikmat sitr). Kedua jenis nikmat ini, meskipun tak tampak, adalah manifestasi terbesar dari rahmat Allah. Mendustakan nikmat ini adalah dengan merasa diri suci atau menganggap nasib buruk orang lain sebagai keadilan mutlak tanpa menyadari betapa rentannya diri kita sendiri terhadap bencana. Ayat 13 adalah obat mujarab melawan kesombongan moral dan spiritual.

Dengan demikian, Ar-Rahman ayat 13 berfungsi sebagai landasan spiritual dan moral. Ia adalah pondasi dari etika syukur, yang menuntut respons menyeluruh dari akal, hati, dan perbuatan. Bagi setiap muslim, renungan yang berulang terhadap ayat ini adalah ibadah itu sendiri, karena ia adalah upaya untuk memenuhi tujuan penciptaan: mengenal, mencintai, dan bersyukur kepada Allah, Ar-Rahman, Tuhan bagi kita berdua, manusia dan jin.

Elaborasi tentang nikmat air sebagai sumber kehidupan terus berlanjut di sepanjang Al-Qur'an. Dalam konteks Surah Ar-Rahman, air yang memisahkan dan air yang berlayar (kapal-kapal) adalah pengingat akan kontrol ilahi atas sumber daya. Nikmat air bersih adalah nikmat yang paling rentan untuk didustakan, terutama di daerah yang berlimpah. Pendustaan terjadi saat kita mencemari atau menyia-nyiakan air, mengabaikan fakta bahwa jutaan orang di seluruh dunia berjuang untuk mendapatkan setetes air yang layak. Ayat 13 menantang kita untuk menjadi pengelola sumber daya yang bertanggung jawab, sebagai bentuk syukur atas keberlimpahan yang diberikan.

Pengulangan yang begitu mendalam dan sistematis dari ayat 13, dari nikmat hidayah Al-Qur'an, tata surya yang teratur, hingga hasil bumi yang melimpah, hingga ancaman neraka bagi yang mengingkari, hingga janji surga yang berlimpah, semua didorong oleh satu pertanyaan sentral: Apakah kamu berani menyangkal semua ini? Dan bagi seorang hamba yang berakal, jawabannya hanya bisa satu: "Tidak ada satu pun, ya Rabb, yang kami dustakan. Segala puji hanya bagi-Mu."

Kita harus terus menerus mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan rasa syukur kita. Apakah itu melalui sedekah yang membersihkan harta, melalui shalat yang menenangkan jiwa, atau melalui kebaikan yang kita sebarkan kepada sesama manusia dan jin. Setiap perbuatan baik yang timbul dari kesadaran bahwa kita adalah penerima nikmat yang berlimpah adalah bentuk jawaban praktis terhadap tantangan retoris Surah Ar-Rahman ayat 13. Setiap hari adalah kesempatan untuk menjawabnya, setiap nafas adalah pengakuan, dan setiap sujud adalah penegasan.

Semoga kita selalu termasuk hamba-hamba yang bersyukur.

🏠 Kembali ke Homepage