Kajian Mendalam Surah Ar-Ra'd Ayat 28: Fondasi Iman dan Dzikir
Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, pencarian akan kedamaian dan ketenangan batin selalu menjadi tujuan utama. Meskipun materialisme dan kemajuan teknologi menawarkan berbagai kemudahan, kegelisahan jiwa justru meningkat. Di tengah pusaran kekhawatiran duniawi, Al-Qur'an menawarkan sebuah jawaban yang ringkas namun mendalam, sebuah formula ilahiah yang menjanjikan stabilitas hakiki.
Formula tersebut tersemat dalam Surah Ar-Ra’d (Guruh) ayat 28, sebuah mercusuar spiritual yang menerangi jalur bagi setiap insan yang haus akan ketenangan. Ayat ini bukan sekadar kalimat indah; ia adalah landasan teologis dan psikologis bagi kehidupan beriman. Ia memadukan kondisi hati (iman), proses spiritual (dzikir), dan hasilnya (ketenangan/thuma'ninah).
Untuk memahami kekuatan penuh ayat ini, kita harus mengurai tiga elemen fundamental yang saling terikat: Iman (Al-Iman), Ketenangan (At-Thuma'ninah), dan Mengingat Allah (Dzikrullah). Ketiganya membentuk siklus abadi yang mengantarkan mukmin dari kegelisahan menuju kepastian.
Ayat ini dimulai dengan menetapkan audiensnya: "Orang-orang yang beriman." Iman (kepercayaan) di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan atau warisan budaya. Iman yang dimaksud adalah keyakinan yang mengakar kuat di dalam hati, membuahkan amal saleh, dan mampu menahan guncangan hidup. Iman adalah pra-syarat mutlak. Tanpa fondasi keimanan yang kokoh kepada Allah, takdir-Nya, dan janji-Nya, praktik dzikir hanya akan menjadi ritual kosong tanpa daya transformatif.
Iman sejati menciptakan perspektif kosmik. Orang yang beriman menyadari bahwa semua kejadian, baik suka maupun duka, berada dalam kendali mutlak Sang Pencipta. Kesadaran ini membebaskan jiwa dari beban ilusi kontrol. Ketika manusia berusaha mengendalikan segalanya, ia rentan terhadap kecemasan. Sebaliknya, ketika ia menyerahkan urusannya kepada Al-Wakiil (Yang Maha Mewakili), ia membebaskan dirinya untuk menerima apa pun yang terjadi, karena ia yakin ada hikmah di baliknya.
Dalam konteks Ar-Ra’d 28, iman adalah sumber energi awal. Tanpa filter iman, dzikir (mengingat) hanyalah kata-kata. Dengan iman, dzikir menjadi pengakuan tulus atas kebesaran yang dirasakan dalam jiwa. Tingkat keimanan seseorang secara langsung berkorelasi dengan kedalaman ketenangan yang akan ia rasakan.
Kata kunci kedua adalah Taṭma'innu, yang berasal dari kata dasar Thuma'ninah (ketenangan, kedamaian, kepastian). Thuma'ninah jauh lebih dalam daripada sekadar ketiadaan konflik (sukūn). Sukūn adalah keheningan, tetapi Thuma'ninah adalah kedamaian aktif, kemantapan hati di tengah badai.
Thuma'ninah adalah kondisi di mana hati telah berhenti bergerak, tidak lagi terombang-ambing oleh keraguan, ketakutan, atau godaan materi. Ia adalah titik kepastian yang stabil. Dalam tafsir, ulama menjelaskan bahwa hati yang tenang adalah hati yang benar-benar puas dengan Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya.
Penting untuk dicatat bahwa ayat tersebut menggunakan kata qulūbuhum (hati mereka) sebagai subjek yang menerima ketenangan. Hati (Qalb) dalam bahasa Al-Qur'an bukan hanya organ fisik, melainkan pusat kesadaran, kehendak, dan emosi. Ketika pusat ini tenang, seluruh sistem kehidupan manusia—pikiran, keputusan, interaksi—akan berfungsi dengan optimal dan damai. Thuma'ninah yang dihasilkan oleh dzikir adalah perisai psikologis ilahiah.
Dzikir adalah jembatan yang menghubungkan iman dengan ketenangan. Dzikir secara harfiah berarti 'mengingat', tetapi dalam terminologi Islam, ia memiliki spektrum makna yang sangat luas. Dzikir bukan hanya melafalkan tasbih, tahmid, dan tahlil. Ia mencakup tiga level utama:
Ketika dzikir dipahami secara komprehensif, ia mencakup seluruh hidup seorang mukmin. Seluruh aktivitasnya—mulai dari bangun tidur, bekerja, hingga kembali tidur—dijiwai oleh kesadaran akan Allah. Kesadaran inilah yang menghilangkan rasa kesepian, kekosongan, dan keputusasaan, karena ia selalu merasa bersama dengan Sang Pencipta.
Penekanan "أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ" (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram) adalah pernyataan penutup yang bersifat universal dan definitif. Ia meniadakan semua alternatif lain. Ketenangan sejati tidak ditemukan di pasar, di harta, atau di pujian manusia, melainkan secara eksklusif dalam dzikrullah.
Kajian mendalam terhadap tata bahasa dan pemilihan kata dalam Ayat 28 mengungkapkan lapisan makna yang tidak terlihat pada terjemahan sederhana. Al-Qur'an menggunakan kata-kata dengan presisi yang sempurna, dan Ar-Ra'd 28 adalah contoh utama dari keindahan retorika ini.
Seperti yang telah disinggung, Qalb (hati) adalah inti spiritual. Akar kata Q-L-B berarti 'berubah' atau 'membalik'. Dinamika ini menunjukkan bahwa hati manusia secara inheren tidak stabil—ia terus menerus berbolak-balik antara kebenaran dan kebatilan, antara kedamaian dan kecemasan. Oleh karena itu, kebutuhan akan zat penstabil (dzikrullah) menjadi mutlak agar hati tidak terus berubah arah dan menemukan porosnya.
Ketika Allah berfirman wa taṭma'innu qulūbuhum, ini menyiratkan bahwa hati yang berbolak-balik ini kini menjadi mantap, stabil, dan berlabuh. Dzikir berfungsi sebagai jangkar bagi kapal hati di tengah lautan cobaan dunia.
Frasa kedua yang merupakan penegasan ulang dimulai dengan huruf Alā (Ingatlah/Ketahuilah). Dalam bahasa Arab, penggunaan Alā di awal kalimat berfungsi sebagai seruan perhatian, sebuah penekanan dramatis. Ini bukan sekadar pengulangan; ini adalah deklarasi yang kuat, memisahkan fakta ini dari segala spekulasi atau keraguan yang mungkin dimiliki manusia.
Pernyataan ini seolah-olah mengatakan: "Wahai manusia, setelah segala upaya dan pencarianmu di dunia, Aku tegaskan padamu, dengan kepastian mutlak, bahwa sumber ketenangan itu HANYA di sini." Ini menutup pintu bagi pencarian spiritual yang sia-sia di luar lingkup dzikrullah.
Konsep Dzikrullah dalam ayat ini bersifat inklusif, mencakup seluruh bentuk ibadah. Melalui Dzikir, mukmin menghubungkan dirinya dengan sifat-sifat Allah (Asmaul Husna). Ketika seorang mukmin mengingat Allah adalah Al-Qawiy (Yang Maha Kuat), ia tidak takut pada kelemahan musuhnya. Ketika ia mengingat Allah adalah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun), ia terbebas dari beban rasa bersalah yang melumpuhkan. Ketika ia mengingat Al-Muhyi (Yang Maha Menghidupkan) dan Al-Mumit (Yang Maha Mematikan), ia menerima kehidupan dan kematian dengan Thuma'ninah.
Integrasi sifat-sifat ilahiah ini ke dalam kesadaran sehari-hari adalah bentuk dzikir tertinggi, dan merupakan alasan utama mengapa ketenangan spiritual yang dihasilkan oleh ayat ini begitu mendalam dan tak tergoyahkan oleh peristiwa duniawi.
Di era digital, manusia dihadapkan pada arus informasi, ekspektasi sosial, dan perbandingan tanpa henti. Kecemasan (anxiety) dan depresi menjadi epidemi global. Ar-Ra'd 28 berfungsi sebagai resep spiritual yang relevan untuk mengatasi masalah psikologis kontemporer.
Kecemasan adalah kondisi di mana hati terfokus secara obsesif pada masa depan yang tidak pasti, dipenuhi ketakutan akan kegagalan, kerugian, atau penilaian orang lain. Thuma'ninah, sebaliknya, adalah kondisi di mana hati sepenuhnya fokus pada masa kini, berpegangan pada janji dan kehadiran Allah, meyakini bahwa segala urusan telah diatur dengan sempurna.
Dzikir, dalam konteks ini, berfungsi sebagai alat meditasi ilahiah. Ketika seseorang mengulang nama-nama Allah atau kalimat-kalimat thayyibah, ia secara aktif menggeser fokus dari kekhawatiran yang menguasai pikirannya menuju sumber kekuatan abadi. Pengulangan ini menenangkan sistem saraf, mengurangi produksi hormon stres, dan mengaktifkan jalur saraf yang berhubungan dengan kedamaian dan kepuasan.
Banyak kegelisahan modern berasal dari kegagalan memenuhi ekspektasi (diri sendiri, keluarga, atau masyarakat). Dzikir mengalihkan fokus dari ekspektasi duniawi yang fana menuju ekspektasi ilahiah—keridhaan Allah. Ketika tujuan utama seseorang adalah mendapatkan keridhaan Allah melalui dzikir dan amal saleh, kegagalan dalam urusan duniawi menjadi lebih mudah diterima, karena ia sadar bahwa ujian adalah bagian dari rencana besar ilahi. Ketenangan hadir karena penilaian internal (keridhaan Allah) lebih penting daripada penilaian eksternal (kesuksesan dunia).
Dzikir yang efektif harus diintegrasikan dengan pelaksanaan syariat. Praktik seperti salat yang khusyuk, puasa yang disertai refleksi mendalam, dan zakat yang membersihkan jiwa, semuanya adalah dzikir dalam bentuk aksi. Salat, misalnya, disebut oleh Al-Qur'an sebagai cara untuk mengingat Allah (طه 20:14). Ketenangan dalam salat (Thuma'ninah dalam ruku’ dan sujud) secara fisik dan spiritual mengkondisikan hati untuk menerima kedamaian yang lebih besar di luar salat.
Seorang ulama kontemporer pernah menjelaskan bahwa jika seorang hamba menemukan hatinya gelisah saat dilanda musibah, ia harus kembali memeriksa kualitas dzikir dalam salatnya. Sebab, salat yang dilakukan dengan Thuma'ninah akan menjadi bekal ketenangan bagi sisa hari-harinya.
Memahami Dzikrullah sebagai kunci Thuma'ninah memerlukan pemahaman yang luas tentang bagaimana seorang mukmin dapat "mengingat" Tuhannya dalam setiap aspek kehidupannya. Ayat 28 menuntut lebih dari sekadar sesi tasbih setelah salat; ia menuntut kesadaran ilahiah yang berkelanjutan.
Salah satu bentuk dzikir yang sering terabaikan adalah dzikir melalui ilmu dan refleksi (tafakur). Mengingat Allah berarti merenungkan ciptaan-Nya yang terbentang luas—langit, bumi, siklus kehidupan, dan bahkan struktur tubuh manusia sendiri. Ilmu pengetahuan, ketika dipelajari dengan niat mencari kebenaran, menjadi dzikir. Setiap penemuan keajaiban alam adalah pengingat akan kebesaran Sang Pencipta. Ini adalah dzikir yang menghasilkan kekaguman (khauf) dan cinta (mahabbah).
Dzikir fikr juga mencakup merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Membaca Al-Qur'an dengan tadabbur (perenungan mendalam) adalah dzikir yang paling kuat, karena ia menghubungkan hati langsung dengan firman Allah. Ayat-ayat tersebut menjadi panduan, penghibur, dan pemberi peringatan, yang pada akhirnya menguatkan keyakinan dan menenangkan hati dari keraguan.
Dzikir tidak terbatas pada ruang pribadi ibadah. Dzikir sejati termanifestasi dalam interaksi sosial (mu'amalat). Ketika seorang pedagang berdagang dengan jujur, ia sedang mengingat Allah (Dzikir Al-Amin). Ketika seorang suami atau istri menjalankan hak dan kewajiban pasangannya dengan penuh kasih sayang, mereka sedang mengingat Allah (Dzikir Ar-Rahman). Ketika seorang pemimpin menegakkan keadilan, ia sedang mengingat Allah (Dzikir Al-Adl).
Dalam konteks ini, Thuma'ninah bukan hanya kedamaian internal, tetapi juga kedamaian eksternal yang terwujud dalam masyarakat yang adil dan harmonis. Hati yang tenang tidak akan menipu, zalim, atau menyebarkan kebencian. Dzikir yang benar menghasilkan akhlak yang mulia, yang pada gilirannya, membawa ketenangan bagi lingkungan sekitarnya.
Ujian dan musibah adalah momen paling kritis untuk menguji keefektifan Dzikrullah dalam mencapai Thuma'ninah. Saat musibah datang, hati secara naluriah cenderung panik dan memberontak. Dzikir adalah respons sadar yang membalikkan naluri tersebut.
Mengucapkan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali) adalah dzikir yang fundamental. Ia mengingatkan bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dan bahwa tujuan akhir adalah kembali kepada Allah. Pengingat ini memutus ikatan emosional yang berlebihan terhadap hal-hal fana, memungkinkan hati untuk menerima takdir dengan ketenangan (rida).
Kisah-kisah para nabi dan orang saleh dipenuhi dengan dzikir di masa-masa sulit. Nabi Yunus (Dzul Nun) di dalam perut ikan hiu, dikelilingi oleh tiga kegelapan, berdzikir: "Lā ilāha illā Anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn" (Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim). Dzikir ini bukan hanya permohonan, tetapi pengakuan tauhid yang mutlak, yang segera mendatangkan keselamatan dan ketenangan.
Ayat Ar-Ra’d 28 memberikan janji, tetapi janji ini memerlukan usaha aktif dari pihak mukmin. Bagaimana kita secara praktis menerapkan dzikir agar benar-benar menghasilkan Thuma'ninah yang dijanjikan?
Shalat adalah mi’raj (perjalanan spiritual) seorang mukmin, dan merupakan dzikir yang terstruktur. Untuk mendapatkan ketenangan, fokus utama haruslah pada khusyuk. Khusyuk adalah kehadiran hati di hadapan Allah. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul ihram, ia harus memutuskan hubungan dengan dunia luar dan memusatkan pikiran pada komunikasi ilahiah.
Dzikir di dalam salat (bacaan Al-Fatihah, ruku', sujud) harus dilakukan dengan pemahaman dan perenungan. Thuma'ninah fisik—berdiam sejenak dalam setiap gerakan—mencerminkan Thuma'ninah hati. Tanpa ketenangan fisik dalam gerakan salat, sulit bagi hati untuk tenang. Seorang yang terburu-buru dalam salatnya menunjukkan bahwa hatinya masih terikat pada urusan dunia yang menunggu, sehingga meniadakan janji ketenangan dari dzikrullah.
Thuma'ninah adalah hasil dari proses berkelanjutan, bukan tindakan sesaat. Dzikir harus menjadi kebiasaan (wirid) yang dilakukan secara rutin, baik pagi, sore, maupun di sela-sela aktivitas. Kuantitas dzikir lisan membantu melatih hati untuk mengingat Allah secara spontan.
Salah satu kunci istiqamah adalah memulai dari yang kecil namun konsisten. Jika seseorang berkomitmen untuk membaca 100 kali istighfar atau shalawat setiap hari, meskipun tampaknya sedikit, konsistensi ini akan menumpuk menjadi kesadaran ilahiah yang permanen dan berfungsi sebagai benteng pertahanan bagi hati.
Seringkali, dzikir gagal menghasilkan ketenangan karena adanya penghalang dalam hati. Penghalang utama adalah dosa, kelalaian (ghaflah), dan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Dosa seperti noda hitam yang menutupi cermin hati, menghalangi pantulan cahaya dzikir.
Oleh karena itu, dzikir yang efektif harus didahului atau disertai dengan Taubat (istighfar). Istighfar bukan hanya meminta ampunan, tetapi juga tindakan aktif membersihkan hati. Ketika hati bersih dari noda kesombongan, iri hati, dan keserakahan, ia menjadi wadah yang layak untuk menerima Thuma'ninah. Istighfar adalah dzikir yang menghasilkan pembersihan internal, membuka jalan bagi ketenangan.
Kajian modern di bidang psikologi spiritual menunjukkan bahwa ajaran Ar-Ra’d 28 memiliki validitas ilmiah yang luar biasa. Ketenangan yang dijanjikan oleh dzikrullah berdampak positif pada kesehatan mental dan fisik.
Ketika seseorang berdzikir dengan penuh kesadaran (khudūr), detak jantungnya melambat, tekanan darah menurun, dan aktivitas gelombang otak bergeser dari keadaan beta (cemas) ke alfa (rileks dan fokus). Pengulangan ritmis dalam dzikir, mirip dengan praktik meditasi, menekan kerja amigdala (pusat rasa takut di otak) dan meningkatkan koneksi prefrontal cortex (pusat pengambilan keputusan dan rasionalitas).
Ini menjelaskan mengapa para mukmin yang konsisten dalam dzikir cenderung lebih tahan banting (resilient) terhadap tekanan hidup. Thuma'ninah bukan berarti bebas dari masalah, tetapi kemampuan untuk tetap tenang dan berfungsi secara optimal di tengah masalah, berkat keterhubungan abadi dengan Sumber Kekuatan.
Dzikir secara konstan menegaskan identitas spiritual seseorang sebagai hamba Allah. Dalam masyarakat yang terus menerus mendefinisikan nilai individu berdasarkan kekayaan, jabatan, atau penampilan, dzikir memberikan definisi nilai yang jauh lebih stabil dan abadi: nilai seseorang terletak pada kualitas ketakwaannya dan seberapa sering ia mengingat Tuhannya.
Penguatan identitas spiritual ini menghapus kebutuhan untuk mencari validasi eksternal, yang merupakan sumber kecemasan besar. Ketika jati diri seseorang terikat pada Al-Haqq (Kebenaran Abadi), ia tidak akan merasa terancam oleh kritik atau kegagalan sementara.
Dzikir yang efektif selalu disertai dengan harapan (raja') kepada rahmat Allah. Ketenangan sering hilang karena hilangnya harapan. Ayat 28 mengembalikan harapan dengan mengajarkan bahwa meskipun dunia ini penuh kesulitan, ada jalan keluar dan tempat berlindung. Mengingat Allah adalah mengingat kasih sayang-Nya, keadilan-Nya, dan janji pahala-Nya. Harapan ini bukan khayalan, tetapi keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan.
Dzikir, oleh karena itu, merupakan terapi kognitif spiritual yang paling unggul. Ia mengganti pikiran negatif (cemas, takut, putus asa) dengan afirmasi positif (tauhid, raja', tawakkal) yang secara otomatis menenangkan hati yang gelisah.
Surah Ar-Ra'd dinamakan 'Guruh', yang merujuk pada fenomena alam yang mengagumkan sekaligus menakutkan—petir, kilat, dan suara guruh yang menggelegar. Seluruh Surah ini berbicara tentang kekuatan mutlak Allah, bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta, dan perjuangan antara kebenaran (tauhid) dan kesesatan (syirik).
Ayat 28 hadir di tengah-tengah ayat-ayat yang menggambarkan perbandingan antara orang yang taat dan orang yang lalai. Mereka yang lalai digambarkan seolah-olah berjalan dalam kegelapan yang pekat, takut akan kilat dan guruh. Sementara itu, Ayat 28 memberikan solusi: bagi mereka yang beriman, dzikrullah adalah cahaya di tengah badai kehidupan, membuat guruh (cobaan) tidak lagi menakutkan, karena mereka yakin bahwa semuanya berada dalam kendali Ilahi.
Dengan kata lain, Surah Ar-Ra'd mengajarkan bahwa dunia ini adalah tempat yang penuh gejolak, mirip badai guruh. Hati manusia akan selalu terancam oleh ketakutan dan ketidakpastian. Namun, janji ketenangan (Thuma'ninah) adalah anugerah yang diberikan kepada mereka yang secara sadar memilih jangkar Dzikrullah, menjadikannya penstabil abadi dalam kekacauan dunia.
Ayat sebelumnya (Ar-Ra'd 27) berbicara tentang orang-orang yang taat dan kembali kepada Allah (Al-Munīb). Ayat 28 melanjutkan, menjelaskan apa yang didapatkan oleh orang-orang yang taat ini. Ketenangan hati (Thuma'ninah) adalah hadiah dan hasil alami dari ketaatan total. Ini bukan ketenangan yang dicari melalui pelarian duniawi (hiburan, obat-obatan), tetapi ketenangan yang dihasilkan dari penemuan tujuan hidup yang sebenarnya—beribadah dan mengingat Sang Pencipta.
Thuma'ninah yang dihasilkan oleh Ar-Ra'd 28 adalah bukti nyata bahwa kerangka hidup yang didasarkan pada Tauhid dan Syariat adalah arsitektur terbaik untuk kesehatan mental dan spiritual manusia.
Ar-Ra'd ayat 28 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan sebab-akibat antara spiritualitas dan kesejahteraan batin. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan, janji, dan panduan praktis.
Ia mengingatkan kita bahwa investasi terbesar yang dapat dilakukan seseorang bukanlah pada aset yang dapat dilihat, tetapi pada kondisi hatinya. Harta benda dapat hilang, kesehatan dapat menurun, hubungan dapat putus, tetapi Thuma'ninah yang berakar pada Dzikrullah adalah kekayaan yang tidak dapat diambil, melainkan terus bertambah seiring waktu.
Marilah kita kembali kepada inti ajaran ini: menguatkan iman, memperbanyak dzikir (dalam segala bentuknya—lisan, hati, dan perbuatan), dan menerima ketenangan ilahiah sebagai hadiah termanis dari ketaatan. Hanya dengan cara inilah hati kita, yang secara alami selalu berbolak-balik dan gelisah, akan menemukan tempat berlabuh yang mantap, aman, dan abadi. Di tengah segala hiruk pikuk, suara ketenangan selalu bergema: alā bidhikri Allāhi taṭma'innu al-qulūb.
Pencarian ketenangan adalah pencarian universal. Namun, Al-Qur'an menyederhanakannya menjadi satu formula yang tak terbantahkan. Bagi mereka yang berjuang melawan kecemasan, keraguan, dan ketidakpastian masa depan, Dzikrullah adalah obatnya. Ketika segala sesuatu terasa tidak menentu, sadari bahwa Allah adalah satu-satunya kepastian. Ketika hati merasakan beban yang tak tertanggungkan, lepaskan beban itu melalui dzikir. Hanya dengan mengingat Allah secara tulus dan konsisten, kita akan mewarisi Thuma'ninah, kedamaian sejati yang dijanjikan bagi para mukmin di dunia dan di akhirat.
Ketenangan yang ditawarkan ayat ini bukan berarti tidak adanya masalah, melainkan adanya keyakinan dan kepasrahan penuh di hadapan Sang Pengatur. Ini adalah kekuatan batin yang memungkinkan kita untuk menghadapi kehilangan dan kegagalan dengan martabat, dan menghadapi kesuksesan dengan kerendahan hati. Dzikir adalah nafas spiritual yang memastikan jantung kehidupan seorang mukmin terus berdetak dalam harmoni dengan kehendak Ilahi.
Mengintegrasikan dzikrullah ke dalam rutinitas harian membutuhkan disiplin, tetapi buahnya, Thuma'ninah, sangat layak untuk diperjuangkan. Ia menjauhkan hati dari godaan duniawi yang mengkhawatirkan dan mengarahkannya menuju keabadian. Ketenangan hati adalah tanda bahwa iman telah matang, dan ia merupakan prasyarat untuk keberhasilan dalam segala urusan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Maka, mari kita jadikan Ayat 28 ini bukan hanya sebuah hafalan, tetapi sebuah gaya hidup, sebuah komitmen untuk menjaga hati agar selalu terhubung dengan sumber segala ketenangan. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh mencari kedamaian hakiki melalui mengingat-Nya.