Fondasi Keadilan Ekonomi dan Kepemilikan Harta
Alt Text: Ilustrasi Timbangan Keadilan Warisan dalam Islam, menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak waris, sesuai dengan prinsip QS An-Nisa 7.
Surah An-Nisa, yang berarti 'Perempuan', merupakan bagian sentral dari Al-Qur'an yang secara ekstensif membahas masalah-masalah sosial, hukum, dan ekonomi yang fundamental bagi pembentukan komunitas Muslim yang adil. Salah satu topik yang paling rinci dan kritis yang diatur dalam surah ini adalah hukum warisan, atau yang dikenal dalam terminologi fikih sebagai Fiqh Al-Mawarits. Sebelum turunnya wahyu ini, masyarakat Arab pra-Islam memiliki sistem warisan yang diskriminatif dan eksploitatif, di mana harta hanya diwariskan kepada laki-laki dewasa yang mampu berperang, sementara perempuan, anak-anak, dan orang yang lemah diabaikan haknya.
Ayat ke-7 dari surah An-Nisa ini berfungsi sebagai proklamasi dasar, sebuah fondasi etis dan hukum yang mengubah total pandangan masyarakat terhadap harta peninggalan. Ayat ini menegaskan prinsip universal mengenai hak kepemilikan dan distribusi kekayaan, terlepas dari jenis kelamin penerima atau jumlah harta yang diwariskan. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini sangat krusial, karena ia tidak hanya mengatur pembagian harta, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan, perlindungan terhadap yang lemah, dan penjaminan stabilitas ekonomi dalam keluarga dan masyarakat.
Ayat ini menetapkan bahwa bagi laki-laki ada hak bagian (nasiib) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat, dan bagi perempuan pun ada hak bagian (nasiib) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat. Penekanan utama terletak pada frasa selanjutnya yang memberikan legitimasi pada semua ukuran harta: "baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan." Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada harta, sekecil apa pun, yang boleh diabaikan atau disalahgunakan, sehingga menjamin keadilan menyeluruh dalam sistem ekonomi Islam.
Proses rekonstruksi hukum dan moral yang dibawa oleh QS 4:7 adalah revolusioner pada masanya. Ia menantang tradisi patriarki yang mengakar kuat yang hanya mengizinkan perpindahan kekayaan secara vertikal dan horizontal melalui jalur militer atau kekuatan fisik. Dengan tegas menyatakan hak waris bagi perempuan, Al-Qur'an tidak hanya memberikan hak ekonomi tetapi juga martabat sosial kepada mereka yang sebelumnya dianggap sebagai bagian dari properti yang bisa diwariskan, bukan sebagai pewaris yang berhak atas properti.
Oleh karena itu, menganalisis QS An-Nisa ayat 7 memerlukan pendekatan yang holistik: mulai dari konteks historis dan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), analisis linguistik yang cermat terhadap setiap lafaznya, hingga implikasi fikih dan ekonomi makronya dalam masyarakat modern. Ayat ini adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih luas mengenai seluruh sistem warisan yang diuraikan dalam ayat-ayat selanjutnya (khususnya QS 4:11 dan 4:12), menjadikannya landasan etik yang tidak tergoyahkan.
QS An-Nisa Ayat 7 adalah poros yang memperkenalkan konsep hak waris yang setara di mata hukum ilahi. Mempelajari teks aslinya dan terjemahannya adalah langkah awal untuk memahami kedalaman maknanya:
Setiap kata dalam ayat ini memiliki bobot makna yang sangat besar, menegaskan hak dan kewajiban secara presisi. Analisis linguistik membantu kita menggali mengapa formulasi ayat ini begitu penting dalam menetapkan keadilan distributif.
Kata Naṣīb (نَصِيبٌ) berarti "bagian yang telah ditentukan" atau "jatah". Penggunaan kata ini sangat signifikan. Ia bukan sekadar hadiah atau pemberian sukarela (hiba), melainkan hak yang melekat (haqq) yang wajib dipenuhi. Dengan kata lain, hak waris adalah kepastian hukum yang tidak bisa dibatalkan atau ditunda berdasarkan keinginan ahli waris yang lain. Ini langsung menafikan praktik jahiliyah di mana warisan adalah hak prerogatif dari kepala suku atau patriarkal.
Penggunaan huruf Jarr Lām (لِ) yang bermakna kepemilikan atau hak (li al-milk atau li al-istiḥqāq) semakin memperkuat bahwa bagian tersebut adalah milik penuh (milkiyyah tammah) dari penerima, sejak momen meninggalnya pewaris (muwarrits). Hal ini menandai perpindahan kepemilikan yang sah di mata syariat, yang melahirkan hak dan kewajiban baru terkait harta tersebut.
Penyebutan hak bagian bagi perempuan (walin-nisā’i naṣīb) setelah laki-laki, menggunakan struktur gramatikal yang identik, memberikan penekanan luar biasa pada kesetaraan mereka di hadapan hukum warisan dasar. Meskipun jumlah bagiannya (yang diatur dalam ayat-ayat berikutnya) mungkin berbeda berdasarkan derajat kekerabatan dan tanggung jawab ekonomi, hak dasar untuk menerima warisan itu sendiri adalah setara dan mutlak.
Penyandingan kedua frasa ini dalam satu ayat merupakan bantahan langsung terhadap kebiasaan pra-Islam yang mengecualikan perempuan secara total. Ini bukan hanya reformasi, tetapi deklarasi bahwa perempuan memiliki kapasitas ekonomi dan hukum yang independen. Dalam konteks sejarah, ini adalah pengakuan yang mendahului banyak sistem hukum modern di dunia barat dalam memberikan hak kepemilikan properti kepada perempuan.
Frasa mim mā taraka (dari apa yang ditinggalkan) merujuk pada seluruh harta kekayaan (tirkah) yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Ini mencakup segala bentuk aset: properti, uang tunai, komoditas, saham, dan utang yang harus ditagih. Para ulama fikih menekankan bahwa sebelum warisan dibagi, harta ini harus digunakan terlebih dahulu untuk melunasi utang (dayn), melaksanakan wasiat (waṣiyyah), dan menutupi biaya pemakaman (tajhīz al-mayyit). Hanya sisa bersih (ṣāfī al-tirkah) yang menjadi objek warisan yang dibagi berdasarkan QS 4:7 dan ayat-ayat turunannya.
Ini adalah inti etika dari QS 4:7. Frasa ini memastikan bahwa keadilan tidak bergantung pada nilai nominal harta. Ayat ini memerangi kecenderungan manusia untuk mengabaikan atau meremehkan harta yang nilainya kecil. Dalam masyarakat manapun, ada risiko bahwa harta kecil akan dikuasai oleh ahli waris yang lebih kuat atau diabaikan karena dianggap tidak layak dibagi.
Kata Mafrūḍan (ditetapkan, wajib) menegaskan sifat imperatif dari hukum ini. Ini bukan saran, tapi ketetapan ilahi yang harus dilaksanakan. Penggunaan kata ini menutup peluang bagi ahli waris untuk membuat perjanjian di luar ketentuan syariat, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan (seperti ṣulḥ/perdamaian atau hibah setelah pembagian yang sah). Status farīḍah (ketetapan wajib) ini menempatkan hukum waris sebagai salah satu bagian syariat yang paling tegas dan detail.
Memahami konteks turunnya QS 4:7 sangat penting untuk mengapresiasi betapa radikalnya perubahan yang dibawa oleh Islam. Ayat ini diturunkan untuk mengatasi praktik sosial yang berlaku di Jazirah Arab pra-Islam, sebuah praktik yang sarat diskriminasi.
Dalam tradisi Arab pra-Islam, hukum warisan didasarkan pada prinsip *ghanimah* (harta rampasan perang) dan *nusrah* (dukungan dan perlindungan). Warisan hanya diberikan kepada:
Konsekuensinya, perempuan (baik istri, anak perempuan, maupun ibu) dan anak laki-laki yang belum balig diabaikan total. Mereka seringkali dianggap sebagai bagian dari harta peninggalan itu sendiri, yang kemudian diwariskan kepada kerabat laki-laki yang lebih kuat. Sistem ini jelas melanggengkan ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Meskipun terdapat beberapa riwayat mengenai asbabun nuzul, salah satu yang paling sering dikutip terkait ayat ini (dan ayat warisan secara umum) adalah kasus yang melibatkan Janda Aus bin Tsabit, Ummu Kuhlah, dan paman-paman dari anaknya. Ketika Aus bin Tsabit meninggal, ia meninggalkan seorang istri (Ummu Kuhlah) dan dua anak perempuan yang masih kecil. Dua keponakannya yang bernama Suwaid dan Arfathah mengambil seluruh harta peninggalan Aus, dengan alasan bahwa anak-anak perempuan tidak dapat mengendarai kuda dan berperang.
Ummu Kuhlah mengadukan hal ini kepada Rasulullah ﷺ. Beliau kemudian bersabda: "Tidak ada warisan bagi perempuan dan anak-anak." Namun, Nabi ﷺ mengatakannya berdasarkan hukum yang berlaku sebelum Islam. Setelah pengaduan ini, Allah menurunkan QS 4:7 dan ayat-ayat warisan berikutnya (4:11 dan 4:12) yang secara definitif menetapkan hak waris bagi perempuan dan anak-anak. Riwayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama ayat 7 adalah membatalkan kebiasaan jahiliyah dan menetapkan bahwa warisan adalah hak yang ditentukan oleh kekerabatan dan ketetapan ilahi, bukan oleh kekuatan atau jenis kelamin.
QS 4:7 berfungsi sebagai jembatan dari sistem tradisional yang berbasis kekuatan fisik menuju sistem syariat yang berbasis keadilan ilahi. Ia menetapkan bahwa pembagian harta bukanlah masalah kesepakatan sosial atau adat, melainkan masalah ketaatan kepada naṣīban mafrūḍan (bagian yang telah ditetapkan), menggeser otoritas hukum dari manusia ke Tuhan.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang kaya mengenai QS 4:7, memastikan bahwa prinsip keadilan distributif ini dipahami secara komprehensif dan diterapkan secara ketat dalam praktik hukum Islam.
Al-Tabari menekankan bahwa ayat ini diturunkan sebagai kritik langsung terhadap praktik Jahiliyah. Dalam Jāmiʿ al-Bayān ʿan Taʾwīl Āy al-Qurʾān, beliau menjelaskan bahwa penegasan hak bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib. Bagian yang paling ditekankan oleh Al-Tabari adalah frasa "baik sedikit maupun banyak" (qaliilan minhu aw katsiiran). Beliau menafsirkan bahwa Allah mewajibkan pembagian harta peninggalan, meskipun harta itu hanya berupa benda yang sangat kecil, seperti seutas tali atau wadah makanan. Tidak ada yang boleh diabaikan atau disembunyikan. Tabari melihat ini sebagai penjaminan akuntabilitas dan pencegahan keserakahan yang mungkin muncul saat membagi harta yang bernilai rendah.
Ibn Kathir menghubungkan QS 4:7 secara erat dengan ayat-ayat warisan yang lebih rinci. Beliau menjelaskan bahwa setelah Allah menetapkan hak dasar bagi semua pihak (laki-laki dan perempuan), rincian spesifik tentang jumlah bagian diuraikan kemudian (QS 4:11, 4:12, 4:176). Menurut Ibn Kathir, ayat 7 adalah landasan filosofis yang mengatakan: Kalian semua berhak. Jangan ada yang mengambil semua, dan jangan ada yang tidak mendapat bagian sama sekali.
Beliau juga menyoroti keistimewaan Islam dalam mengangkat status wanita. Di saat peradaban besar lain masih memperdebatkan hak wanita atas properti, Islam telah dengan tegas menetapkan hak tersebut sebagai ketetapan ilahi yang tidak dapat diganggu gugat.
Al-Qurtubi, dalam tafsirnya Al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, fokus pada aspek hukum (aḥkām). Beliau membahas implikasi dari Naṣīban Mafrūḍan, yang berarti bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. Al-Qurtubi berpendapat bahwa karena bagian ini adalah "fardhu" (wajib), maka kesepakatan antar ahli waris untuk mengurangi atau meniadakan hak seseorang adalah batal dan haram, kecuali jika ahli waris yang berhak tersebut (setelah harta menjadi miliknya) secara sukarela dan tanpa paksaan melepaskan haknya (tanāzul).
Lebih lanjut, Al-Qurtubi menjelaskan bahwa meskipun hak waris yang diatur dalam 4:7 berlaku untuk harta orang tua (al-walidain) dan kerabat (al-aqrabūn), istilah kerabat di sini mencakup semua pihak yang berhak menerima warisan, baik melalui nasab (garis keturunan) maupun sebab lain seperti perkawinan (suami/istri) atau pembebasan budak (meskipun yang terakhir ini tidak relevan lagi hari ini).
Dalam konteks modern Indonesia, Buya Hamka menekankan aspek keadilan sosial dalam ayat ini. Beliau melihat QS 4:7 sebagai manifestasi kasih sayang Allah kepada umat manusia. Hamka menyatakan bahwa penetapan hak waris yang jelas ini adalah cara untuk menghindari pertengkaran dan permusuhan dalam keluarga yang sering timbul akibat pembagian harta. Hamka menggarisbawahi bahwa penegasan "baik sedikit maupun banyak" adalah etika spiritual: harta sekecil apapun harus dihargai, karena ia adalah amanah dari Allah dan hak dari ahli waris.
Hamka juga menafsirkan ayat ini sebagai peringatan bagi mereka yang cenderung serakah atau menunda-nunda pembagian harta. Menunda pembagian warisan yang wajib, menurut tafsir ini, sama dengan menzalimi ahli waris yang lemah dan menentang ketetapan ilahi (naṣīban mafrūḍan).
Untuk memahami signifikansi ayat 7 secara lebih luas, kita perlu melihatnya melalui lensa Maqasid Syariah (tujuan-tujuan hukum Islam). Ayat ini secara fundamental berkontribusi pada perlindungan harta, perlindungan jiwa, dan penegakan keadilan.
QS 4:7 adalah mekanisme syariat untuk memastikan harta yang dikumpulkan oleh seseorang tidak teronggok atau terpusat pada satu individu atau kelompok, tetapi terdistribusi secara adil. Dengan adanya pembagian wajib, Islam mencegah akumulasi kekayaan yang berlebihan (monopoli) dan memastikan sirkulasi ekonomi berlanjut, bahkan setelah kematian pemilik asal. Perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari pemborosan atau pengambilalihan harta secara ilegal.
Frasa "baik sedikit maupun banyak" adalah kunci dalam Hifẓ al-Māl, karena ia melindungi harta yang nilainya kecil dari pengabaian. Jika harta yang kecil tidak wajib dibagi, maka kelompok miskin akan kehilangan sumber daya yang sah bagi mereka, melemahkan struktur ekonomi mereka.
Tujuan utama ayat ini adalah menciptakan keadilan distributif yang tidak memandang bulu. Keadilan ini bersifat ganda:
Meskipun tampak seperti masalah uang, hukum warisan adalah alat untuk menjaga ikatan keluarga. Ketika pembagian dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai syariat, potensi konflik internal dapat diminimalisir. Ketidakjelasan atau ketidakadilan dalam warisan sering menjadi penyebab utama putusnya silaturahim antar kerabat. Dengan adanya ketentuan yang jelas dari Allah (naṣīban mafrūḍan), setiap pihak seharusnya menerima dengan lapang dada dan menghindari perselisihan.
Penerapan QS 4:7 secara benar adalah tindakan ibadah yang memperkuat struktur sosial keluarga, memastikan bahwa kasih sayang dan tanggung jawab tidak berakhir dengan kematian, tetapi justru diabadikan melalui distribusi harta yang adil.
Ayat 7 adalah pernyataan prinsip, namun ia memiliki dampak langsung terhadap bagaimana para fuqaha (ahli fikih) menyusun keseluruhan bab Mawarits. Implikasinya mencakup identifikasi ahli waris, penentuan harta, dan prioritas utang-piutang.
Frasa "bagi laki-laki... dan bagi perempuan..." mengharuskan identifikasi semua ahli waris yang berhak, terlepas dari jenis kelamin mereka. Fiqh Mawarits kemudian mengklasifikasikan ahli waris ini ke dalam tiga kategori utama:
QS 4:7 menjadi dasar bahwa semua kelompok ini—yang diidentifikasi sebagai al-wālidān wa al-aqrabūn—memiliki hak dasar atas harta tersebut.
Prinsip yang ditekankan dalam ayat 7, yaitu pembagian wajib atas harta "sedikit maupun banyak", mengharuskan langkah-langkah prosedural ketat yang wajib dipatuhi sebelum pembagian hak waris:
Prioritas Hukum Atas Harta (Tirkah):
Kewajiban untuk membagi harta "sedikit maupun banyak" berarti prosedur ini harus dilaksanakan bahkan jika sisa harta (langkah 4) sangat kecil nilainya.
Para ulama sepakat bahwa, berdasarkan imperatif naṣīban mafrūḍan, menunda pembagian warisan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, setelah semua utang dan wasiat diselesaikan, adalah tindakan zalim. Setiap ahli waris menjadi pemilik penuh bagiannya sejak saat kematian pewaris. Jika harta peninggalan itu produktif (misalnya, menghasilkan sewa, panen, atau dividen), maka keuntungan (ghullā) yang dihasilkan selama periode penundaan juga harus dibagi secara proporsional sesuai dengan bagian warisan mereka.
Penundaan yang berkepanjangan tidak hanya merugikan ahli waris secara materiil tetapi juga secara moral, karena menentang ketetapan wajib (farīḍah) Allah.
Meskipun QS 4:7 diturunkan lebih dari empat belas abad yang lalu, prinsip-prinsipnya tetap relevan dalam menghadapi tantangan ekonomi dan hukum modern, terutama dalam konteks globalisasi dan kompleksitas kepemilikan aset.
Di era modern, banyak aset kecil yang tersebar dan sering diabaikan, seperti saldo rekening bank yang nilainya kecil, polis asuransi yang kecil, atau bahkan aset digital (misalnya, mata uang kripto atau kepemilikan domain). Prinsip "baik sedikit maupun banyak" mewajibkan ahli waris untuk secara proaktif melacak dan mengurus aset-aset kecil ini, memastikan bahwa hak setiap pihak terpenuhi. Mengabaikan aset kecil karena dianggap merepotkan adalah melanggar prinsip keadilan yang ditetapkan dalam ayat ini.
Dalam banyak sistem hukum modern, terutama di Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI), dikenal konsep Harta Bersama atau Gono-Gini. Sebelum hukum waris Islam diterapkan pada harta peninggalan, harta bersama yang diperoleh selama pernikahan harus dipisahkan terlebih dahulu. Dalam konteks QS 4:7, hanya porsi almarhum/almarhumah dari harta bersama itulah yang termasuk dalam "harta peninggalan" (mā taraka) yang wajib dibagi, baik sedikit maupun banyak.
Ayat 7, dengan ketegasan naṣīban mafrūḍan, bertujuan meminimalkan sengketa warisan. Di banyak negara Muslim, sengketa warisan merupakan salah satu kasus perdata terbanyak di pengadilan agama. Konflik ini seringkali berakar pada dua hal yang dilarang ayat 7: (1) Penolakan hak waris perempuan/anak-anak, dan (2) Pengambilalihan harta kecil oleh kerabat yang lebih dominan. Institusi peradilan diwajibkan untuk menegakkan ketetapan ilahi ini secara rigid untuk memulihkan keharmonisan keluarga.
Prinsip keadilan dalam 4:7 memaksa masyarakat modern untuk mendokumentasikan aset secara jelas dan membuat perencanaan warisan yang transparan, agar tidak ada keraguan tentang apa yang termasuk dalam tirkah.
Meskipun ayat 7 berbicara tentang hak waris, ia juga berimplikasi pada filantropi Islam. Seseorang didorong untuk memberikan wasiat (maksimal 1/3 harta) melalui waṣiyyah, namun sisanya wajib diserahkan kepada ahli waris. Ayat ini secara tidak langsung menegaskan bahwa kewajiban terhadap ahli waris yang sah (naṣīban mafrūḍan) lebih didahulukan daripada keinginan seseorang untuk menyumbangkan seluruh hartanya, memastikan bahwa keluarga pewaris tetap memiliki dukungan finansial, baik dari harta yang besar maupun kecil.
QS An-Nisa ayat 7 adalah sebuah mahakarya legislasi ilahi yang padat makna, berfungsi sebagai landasan moral dan hukum bagi seluruh sistem warisan Islam. Lebih dari sekadar instruksi pembagian harta, ayat ini adalah deklarasi kemanusiaan dan keadilan universal.
Deklarasi "Bagi laki-laki ada hak bagian... dan bagi perempuan ada hak bagian..." menegaskan bahwa status sosial dan jenis kelamin tidak dapat menghilangkan hak kepemilikan yang sah. Ini adalah fondasi dari ekonomi Islam yang menekankan perlindungan individu yang lemah di hadapan hukum harta, meniadakan semua bentuk diskriminasi yang berbasis pada tradisi atau kekuatan militer.
Penekanan pada "baik sedikit maupun banyak" (mā qalla minhu aw kathura) adalah pengingat spiritual tentang integritas dan kejujuran. Islam mengajarkan bahwa integritas dalam mengelola harta adalah sebuah ujian keimanan. Jika seseorang tidak jujur dalam membagi harta kecil, ia pasti akan lebih tidak jujur dalam membagi harta besar. Oleh karena itu, hukum ini mewajibkan perhatian yang sama terhadap setiap jenis aset, tidak peduli nilainya.
Ayat 7 secara tegas menutup pintu bagi kesewenang-wenangan dan memastikan bahwa harta kekayaan berfungsi sebagai alat distribusi yang adil, mengalir dari generasi ke generasi sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Kewajiban untuk mematuhi naṣīban mafrūḍan, bagian yang telah ditetapkan, adalah pengakuan bahwa kepemilikan absolut hanya milik Allah, dan manusia hanyalah pengelola sementara yang harus mematuhi aturan distribusi-Nya. Dalam ketaatan inilah terletak keadilan sejati dan keharmonisan masyarakat.
Melalui ayat ini, Islam berhasil menciptakan sistem warisan yang tahan terhadap perubahan zaman, menawarkan solusi yang komprehensif terhadap konflik harta, dan menetapkan standar tertinggi bagi etika ekonomi keluarga.
Kepatuhan terhadap QS An-Nisa ayat 7 bukan hanya masalah hukum; ini adalah manifestasi keimanan yang mengakui bahwa hak setiap individu, sekecil apapun hartanya, adalah suci dan wajib dijaga. Selama prinsip dasar ini dipahami dan ditegakkan, sistem warisan Islam akan terus menjadi model keadilan distributif yang tak tertandingi.
---
Menganalisis warisan adalah memahami keadilan Allah dalam mengelola kehidupan ekonomi umat-Nya.