Kajian Komprehensif Al Baqarah Ayat 173: Landasan Hukum, Dharurah, dan Manifestasi Rahmat Ilahi

Simbol Keadilan dan Rahmat

Surah Al Baqarah merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an yang kaya akan hukum dan panduan bagi umat manusia. Di antara sekian banyak ayat yang mengatur kehidupan sehari-hari, ayat 173 berdiri sebagai pilar penting dalam menetapkan batasan dietetik (hukum makanan dan minuman) yang harus ditaati oleh seorang Muslim. Ayat ini bukan sekadar daftar larangan, melainkan sebuah manifestasi dari rahmat Ilahi, yang menyeimbangkan antara ketaatan mutlak dan pertimbangan kemanusiaan dalam kondisi darurat.

Memahami Al Baqarah ayat 173 memerlukan analisis yang holistik, mencakup aspek linguistik, konteks pewahyuan, implikasi fiqh (jurisprudensi Islam), serta dimensi teologis yang menegaskan sifat Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat ini menjadi dasar utama penetapan standar halal dan haram, sebuah kerangka kerja yang membedakan syariat Islam dari sistem dietetik agama lain.

Naskah Ayat dan Terjemahan Utama

Ayat 173 dari Surah Al Baqarah berbunyi:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini dibagi menjadi dua bagian utama: (1) Penegasan Larangan (Empat Pilar Haram) dan (2) Pengecualian Syariat (Konsep Dharurah).

Tafsir Mendalam Pilar-Pilar Makanan Haram

Larangan yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat ini bersifat definitif dan mencakup empat kategori spesifik. Penetapan haram ini bukan tanpa alasan, melainkan demi kemaslahatan (maslahah) umat manusia, baik dari segi kesehatan spiritual maupun fisik.

1. Al-Maitah (البَيْتَةُ): Bangkai

Bangkai merujuk pada hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan yang sesuai syariat (dzabh syar'i). Ini termasuk hewan yang mati karena sakit, jatuh, tercekik, atau dimangsa oleh binatang buas. Hukum pengharaman bangkai sangat tegas karena beberapa alasan mendasar. Secara kesehatan, darah yang tidak dikeluarkan dari tubuh hewan akan mengendap, menjadi media subur bagi bakteri dan racun. Proses kematian non-syar'i juga sering kali melibatkan penderitaan hewan yang ekstrem, yang bertentangan dengan prinsip etika penyembelihan Islam.

Namun, para ulama Fiqh (Fuqaha) telah merinci pengecualian terhadap bangkai berdasarkan Hadis Nabi SAW, yang dikenal sebagai ‘Dua Bangkai dan Dua Darah’: Bangkai Ikan dan Bangkai Belalang adalah halal, demikian pula Darah Hati dan Limpa. Pengecualian ini didasarkan pada kekhususan Hadis yang memberikan dispensasi, menunjukkan bahwa meskipun hukum dasar Al Baqarah 173 adalah umum, ia tetap tunduk pada spesifikasi (takhshish) dari Sunnah Rasulullah SAW.

Diskusi mengenai bangkai juga meluas pada masalah bagian-bagian tertentu dari hewan yang haram. Misalnya, kulit bangkai dapat disucikan melalui proses penyamakan (dibaaghah), kecuali kulit babi dan anjing menurut mayoritas ulama. Adapun tulang, tanduk, dan kuku, terdapat perbedaan pendapat; Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung menganggapnya suci karena tidak dialiri darah, sedangkan Syafi'i melihatnya sebagai bagian dari bangkai yang najis.

2. Ad-Dam (الدَّمَ): Darah

Yang diharamkan di sini adalah darah yang mengalir (Ad-dam Al-Masfuh). Darah yang tersisa di dalam daging atau organ setelah penyembelihan yang wajar (seperti darah di hati atau limpa) adalah dikecualikan dan dianggap halal serta suci, sesuai dengan Hadis Nabi SAW. Pengharaman darah yang mengalir didasarkan pada alasan kesehatan yang jelas; darah berfungsi sebagai sistem pembuangan limbah tubuh, dan mengonsumsinya secara langsung dapat membawa kuman dan zat-zat berbahaya.

Aspek fiqh tentang darah juga membahas masalah penggunaan darah dalam produk-produk modern. Jika darah telah mengalami ‘istihalah’ (transformasi kimia total) menjadi zat lain yang sifatnya berbeda, misalnya darah digunakan dalam industri tertentu yang menghasilkan produk non-makanan, hukumnya akan ditinjau ulang. Namun, darah yang digunakan sebagai bahan pengental atau pewarna makanan tetap haram, sesuai dengan keumuman ayat.

3. Lahm Al-Khinzir (لَحْمَ الْخِنْزِيرِ): Daging Babi

Pengharaman daging babi (dan seluruh bagian tubuhnya) adalah larangan yang paling mutlak dan universal dalam Islam. Ayat ini secara spesifik menyebut 'daging babi', namun ulama sepakat bahwa larangan ini mencakup semua bagian babi—kulit, lemak, tulang, dan organ dalamnya. Konsensus ulama (ijma') memperkuat larangan ini. Penafsiran modern seringkali mengaitkan pengharaman babi dengan risiko kesehatan, seperti parasit (Trichinosis), cacing pita, dan kolesterol tinggi, meskipun alasan utama tetaplah kepatuhan terhadap perintah Ilahi.

Isu kontemporer yang relevan dengan babi adalah penggunaan turunannya (derivat) dalam industri non-makanan, seperti gelatin, enzim, atau produk farmasi. Mayoritas ulama modern berpendapat bahwa jika zat turunan babi telah mengalami transformasi total (Istihalah) sehingga tidak lagi memiliki karakteristik fisik babi, maka status najisnya bisa diperdebatkan, meskipun kehati-hatian (ihtiyat) seringkali menyarankan untuk tetap menghindarinya.

Dalam konteks farmasi, penggunaan gelatin babi sebagai kapsul obat, misalnya, menimbulkan perdebatan. Jika tidak ada alternatif halal dan kondisi pasien terdesak, beberapa ulama membolehkannya di bawah aturan *dharurah* yang akan diuraikan lebih lanjut, karena penggunaannya tidak dikategorikan sebagai 'memakannya' secara langsung (sebagai makanan utama).

4. Ma Uhilla Bihi Li Ghairillah (وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ): Disembelih Atas Nama Selain Allah

Larangan ini bersifat ideologis dan spiritual. Ia mencakup hewan yang disembelih dengan menyebut nama berhala, dewa-dewa, atau entitas lain selain Allah SWT. Tujuan dari larangan ini adalah menjaga kemurnian tauhid (keesaan Allah). Tindakan penyembelihan dalam Islam adalah ibadah yang harus murni ditujukan kepada Sang Pencipta.

Pengecualian penting dalam Fiqh adalah masalah makanan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Jika mereka menyembelih dengan cara yang sesuai dengan persyaratan syariat mereka (misalnya, mengeluarkan darah) dan tidak secara eksplisit menyebut nama selain Allah, daging tersebut umumnya dianggap halal bagi Muslim (berdasarkan Al-Maidah ayat 5), meskipun hal ini juga memiliki batasan dan perbedaan interpretasi antar mazhab, terutama mengenai kondisi kontemporer di mana penyembelihan dilakukan secara massal oleh mesin.

Pilar Kedua: Konsep Al-Dharurah (Keterpaksaan)

Setelah menetapkan larangan yang tegas, ayat 173 melanjutkan dengan prinsip kemudahan syariat, yang merupakan inti dari Rahmat Ilahi. Prinsip ini dirumuskan dalam frasa: *famanidhturra ghaira baaghin wa laa ‘aadin fa laa ithma ‘alaih* (Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya).

Konsep *dharurah* (keterpaksaan atau keadaan darurat) adalah salah satu kaidah fiqh terbesar (al-Qawa'id al-Fiqhiyyah), yang berbunyi: "Ad-dharuraat tubihul mahdhuraat" (Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang). Ayat 173 adalah teks primer yang menjustifikasi kaidah ini.

Syarat-Syarat Penerapan Dharurah

Kondisi darurat yang membolehkan konsumsi makanan haram harus memenuhi tiga syarat ketat yang berasal dari analisis frasa dalam ayat:

1. Kondisi Terpaksa (Idhtirār)

Ini adalah keadaan di mana kehidupan seseorang berada dalam bahaya nyata (hadd al-halaak) atau mengalami kerusakan tubuh yang parah jika tidak mengonsumsi makanan tersebut. Rasa lapar yang ekstrem, tanpa adanya makanan halal sama sekali, dan berada di tempat yang jauh dari peradaban (seperti di padang pasir atau lautan) adalah contoh-contoh darurat yang klasik.

Para ulama menekankan bahwa keterpaksaan ini harus bersifat pasti atau sangat mungkin, bukan sekadar ketidaknyamanan atau keinginan untuk kenyang. Jika terdapat makanan halal lain, meskipun kualitasnya rendah, maka darurat tidak dapat diterapkan.

2. Tidak Menginginkannya (Ghaira Baaghin)

Kata *baaghi* secara harfiah berarti 'orang yang mencari' atau 'orang yang memberontak'. Dalam konteks ini, ia diinterpretasikan sebagai seseorang yang:

  1. Tidak mencari keadaan darurat itu sendiri (misalnya, pergi ke tempat berbahaya hanya agar bisa makan haram).
  2. Tidak berniat untuk menikmati atau menginginkan makanan haram itu. Tujuannya murni untuk mempertahankan hidup.

Ini menunjukkan bahwa niat (niyyah) memainkan peran sentral. Seseorang yang terpaksa makan babi harus melakukannya dengan hati yang enggan dan penuh penyesalan, bukan dengan rasa senang atau antusiasme.

3. Tidak Melampaui Batas (Wa Laa ‘Aadin)

*‘Aadi* berarti ‘melampaui batas’ atau ‘melanggar’. Kondisi ini memastikan bahwa konsumsi makanan haram dalam darurat harus dibatasi sebatas yang diperlukan untuk menghindari kematian atau bahaya. Ini dikenal sebagai prinsip *Dharurah tuqaddaru bi qadariha* (Keadaan darurat diukur sesuai kadarnya).

Implikasi praktisnya adalah:

Jika seseorang dalam darurat memakan bangkai melebihi batas yang dibutuhkan, ia dianggap melanggar batas (wa laa ‘aadin), dan rahmat pengampunan dalam ayat ini mungkin tidak berlaku sepenuhnya, karena ia telah mengubah kebutuhan menjadi kesenangan atau kelebihan.

Dimensi Fiqh dan Usul Fiqh dalam Al Baqarah 173

Ayat ini adalah fondasi bagi banyak kaidah fiqh yang mengatur hubungan antara kewajiban (wajib) dan pengecualian (rukhsah). Para mujtahid dari berbagai mazhab telah merumuskan berbagai skenario berdasarkan ayat ini.

Perbedaan Aplikasi Dharurah

Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sepakat pada prinsip dasar dharurah, namun berbeda dalam detail penerapannya:

Prinsip Takhfif (Kemudahan)

Ayat 173 mencerminkan prinsip *Takhfif* (kemudahan) dalam syariat, yang berlawanan dengan *Tasyaddud* (pemberatan). Islam adalah agama yang mengedepankan kemudahan dan tidak membebani umatnya melebihi batas kemampuan mereka (sebagaimana ditegaskan dalam Al Baqarah 286). Dharurah adalah mekanisme syariat untuk memastikan bahwa perintah agama tidak menjadi penyebab kehancuran atau kemusnahan penganutnya.

Kemudahan ini adalah inti dari ajaran Rahmatan Lil Alamin. Allah tidak ingin menyulitkan hamba-Nya. Konsep ini memberikan ruang bagi fleksibilitas hukum tanpa mengorbankan prinsip-prinsip spiritual yang mendasar. Tanpa ayat pengecualian ini, kepatuhan dalam situasi ekstrem akan menjadi mustahil, yang bertentangan dengan keadilan dan rahmat Ilahi.

Hubungan Al Baqarah 173 dengan Ayat-Ayat Larangan Makanan Lain

Al Baqarah 173 sering disebut sebagai ayat pengharaman makanan yang paling ringkas. Namun, dalam konteks Al-Qur'an secara keseluruhan, ia disempurnakan dan diperluas oleh ayat-ayat lain. Membandingkan ayat ini dengan Surah Al-Ma'idah ayat 3, Surah Al-An'am ayat 145, dan Surah An-Nahl ayat 115 memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai subjek ini.

Perluasan dalam Al-Ma'idah Ayat 3

Surah Al-Ma'idah ayat 3 memperluas daftar larangan dengan lebih rinci. Ayat tersebut menambahkan:

Ayat Al-Baqarah 173 menyebut larangan ini secara umum di bawah kategori 'bangkai' (al-maitah), sementara Al-Ma'idah 3 memberikan detail bagaimana sebuah hewan dapat dianggap sebagai bangkai, menunjukkan evolusi hukum syariat dari umum ke spesifik.

Penegasan Tauhid dalam Al-An'am Ayat 145 dan An-Nahl Ayat 115

Ayat-ayat lain ini pada dasarnya mengulangi empat larangan utama dari Al Baqarah 173—bangkai, darah mengalir, daging babi, dan sembelihan yang bukan atas nama Allah—namun dalam konteks yang berbeda, seringkali sebagai jawaban atas kebiasaan musyrik atau pengukuhan tauhid.

Surah Al-An'am 145 menekankan bahwa larangan ini hanya terbatas pada yang disebutkan, menolak praktik Jahiliyah yang mengharamkan rezeki yang dihalalkan Allah. Ini mengukuhkan prinsip bahwa dalam Islam, segala sesuatu pada dasarnya adalah halal (ibahah), kecuali jika ada dalil (teks) yang eksplisit mengharamkannya, dan dalil eksplisit itu terangkum dalam empat poin tersebut.

Kesamaan substansi di ketiga ayat ini (Al Baqarah 173, An-Nahl 115, dan Al-An'am 145) menunjukkan betapa mendasarnya empat larangan ini dalam struktur hukum Islam, menjadikannya 'Ummul Muharramat' (induk dari segala yang diharamkan) dalam hal makanan.

Analisis Linguistik dan Hikmah Filosofis

Pemilihan kata dalam Al Baqarah 173 sangat presisi. Kata *Innama* (إِنَّمَا) yang mengawali ayat ini adalah kata pembatasan (hasr), yang berarti 'hanya ini dan tidak yang lain'. Ini memberikan kekuatan hukum yang absolut pada empat larangan tersebut.

Hikmah di Balik Larangan

Pengharaman empat item ini bukan sekadar ujian kepatuhan, tetapi memiliki hikmah yang mendalam:

Makna Mendalam 'Ghafurur Rahim'

Penutup ayat, *Innallaha Ghafurur Rahim* (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang), adalah kunci teologis. Setelah menetapkan hukum yang ketat, Allah segera menyeimbangkannya dengan atribut-Nya yang paling indah. Ini menyampaikan beberapa pesan penting:

  1. **Rahmat Mendahului Murka:** Pengecualian dharurah adalah bukti bahwa Allah tidak bermaksud memberatkan.
  2. **Pengampunan Niat:** Jika seseorang terpaksa memakan haram, selama niatnya murni untuk bertahan hidup dan ia tidak melampaui batas, Allah akan mengampuninya karena ia melakukannya di bawah tekanan keadaan (ikrah), bukan karena pemberontakan.
  3. **Dorongan untuk Bertobat:** Ayat ini membuka pintu bagi mereka yang mungkin telah melakukan kesalahan dalam interpretasi dharurah. Allah selalu siap mengampuni hamba-Nya yang kembali kepada-Nya.

Perluasan Analisis Hukum Dharurah dalam Konteks Modern

Saat ini, konsep *dharurah* dalam Al Baqarah 173 menghadapi tantangan baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Aplikasi hukum ini kini meluas ke sektor-sektor non-makanan.

Dharurah dalam Pengobatan (Medical Necessity)

Jika suatu obat vital mengandung bahan haram (misalnya alkohol, gelatin babi, atau unsur najis lainnya) dan tidak ada alternatif halal yang efektif, apakah obat tersebut boleh digunakan?

Para ulama kontemporer cenderung menggunakan prinsip *dharurah* dari Al Baqarah 173 untuk membolehkan penggunaan obat tersebut, dengan syarat:

Dalam hal ini, bahaya kematian atau kerusakan fungsi tubuh dianggap setara dengan rasa lapar yang mengancam nyawa, sehingga memicu penerapan dharurah.

Dharurah Ekonomi dan Lingkungan

Para sarjana juga membahas apakah *dharurah* bisa diterapkan dalam konteks ekonomi makro (misalnya, bank sentral di negara Muslim yang terpaksa berurusan dengan sistem riba internasional). Mayoritas ulama berpendapat bahwa *dharurah* dalam Al Baqarah 173 secara spesifik berfokus pada ancaman fisik terhadap individu (Hifzh An-Nafs/perlindungan jiwa), dan menerapkannya pada masalah ekonomi yang kompleks memerlukan dasar hukum (dalil) yang berbeda dan jauh lebih ketat.

Implikasi Syar'i dan Etika Pengawasan Diri

Ayat 173 tidak hanya mengajarkan apa yang dilarang dan dibolehkan, tetapi juga menekankan pentingnya pengawasan diri (muraqabah) dan ketakwaan (taqwa) dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip Ihtiyat (Kehati-hatian)

Meskipun ayat ini memberikan keringanan, syariat menganjurkan *ihtiyat* atau kehati-hatian. Seorang Muslim harus berusaha sekuat tenaga mencari yang halal sebelum mempertimbangkan opsi haram di bawah dharurah. Kehidupan seorang Muslim harus dibangun di atas keyakinan (iman) bahwa rezeki yang halal selalu ada, dan kesulitan adalah ujian.

Hukum Mencicipi

Apakah mencicipi makanan haram dalam situasi non-darurat diperbolehkan? Mayoritas ulama menyatakan bahwa mencicipi (seperti dalam proses memasak) tanpa menelan hingga melewati kerongkongan (jauf) tidak secara otomatis menjadikan seseorang berdosa, meskipun ini tetap harus dihindari karena berpotensi melanggar batas (wa laa ‘aadin) dan membuka pintu syubhat. Namun, jika mencicipi dimaksudkan untuk menguji apakah itu cocok untuk dimakan dalam keadaan darurat, maka hukumnya akan bergantung pada niat dan keadaan.

Peran Ayat 173 dalam Membentuk Identitas Muslim

Dietetik dalam Islam (Hukum Halal dan Haram) adalah bagian integral dari identitas seorang Muslim. Kepatuhan terhadap Al Baqarah 173 membedakan gaya hidup Muslim. Ayat ini memastikan bahwa setiap tindakan, bahkan yang sesederhana makan, terhubung dengan kesadaran akan Sang Pencipta. Ketika seorang Muslim menolak makanan yang lezat namun haram, ia sedang memperkuat keimanan (iman) dan ketakwaan (taqwa)-nya.

Penting untuk diingat bahwa larangan ini bukanlah hukuman, melainkan perlindungan. Seperti orang tua yang melarang anaknya memakan benda beracun, Allah mengharamkan sesuatu yang berpotensi merusak jiwa atau raga hamba-Nya. Penerimaan terhadap hukum ini adalah penerimaan terhadap otoritas dan kebijaksanaan Allah SWT.

Kesimpulan Universalitas dan Rahmat

Surah Al Baqarah ayat 173 adalah sebuah teks hukum yang sempurna. Ia menetapkan batasan yang jelas, memberikan alasan spiritual dan fisik di balik larangan tersebut, dan yang terpenting, ia menyematkan mekanisme fleksibilitas—prinsip *dharurah*—yang memastikan syariat dapat diterapkan di setiap waktu dan tempat tanpa menyebabkan kesulitan yang tidak tertanggungkan.

Pada akhirnya, ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun ketaatan adalah kewajiban, Rahmat Allah (Ghafurur Rahim) meliputi segala sesuatu. Keringanan hukum dalam darurat menunjukkan pemahaman Ilahi yang mendalam tentang kelemahan manusia. Selama seorang hamba bertindak dengan niat yang benar, menghindari pelanggaran batas, dan hanya mencari pertolongan Allah, maka ia akan mendapati bahwa pintu pengampunan dan kasih sayang Allah selalu terbuka.

Kajian mendalam terhadap ayat ini membuktikan bahwa Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem hidup yang komprehensif, bijaksana, dan penuh kasih sayang, yang mengatur setiap aspek kehidupan, dari yang paling besar hingga yang paling kecil, termasuk makanan yang kita konsumsi sehari-hari.

***

Melanjutkan pembahasan mengenai kompleksitas hukum yang terkandung dalam Al Baqarah 173, kita perlu mendalami bagaimana para ulama klasik dan kontemporer menyikapi detail-detail minor yang muncul dari interpretasi empat larangan utama. Kedalaman analisis ini adalah esensial untuk memahami keluasan aplikasi syariat dan keindahan metodologi fiqh Islam.

Isu Khusus: Sisa-sisa Bangkai dan Cairan Tubuh

Darah yang Tersisa (Al-Dam Al-Baqi)

Sebagaimana disebutkan, Darah Al-Masfuh (yang mengalir) adalah haram. Lalu, bagaimana dengan darah yang tersisa di pembuluh darah atau daging setelah penyembelihan? Para ulama sepakat bahwa sisa darah ini tidak termasuk dalam kategori yang haram dalam ayat 173. Jika darah yang sedikit dan sulit dihindari (seperti cairan kemerahan yang keluar dari daging beku) dianggap haram, maka hampir semua daging yang disembelih akan menjadi haram, yang bertentangan dengan tujuan syariat untuk mempermudah. Ini termasuk kaidah 'Ma la yudraku kulluh la yutraku julluh' (Apa yang tidak dapat dihindari keseluruhannya, tidak ditinggalkan keseluruhannya).

Rambut, Wol, dan Kuku Bangkai

Para Fuqaha memperdebatkan apakah bagian-bagian hewan yang tidak memiliki kehidupan (tidak dialiri darah), seperti rambut, wol (bulu domba), kuku, dan tanduk, menjadi najis jika berasal dari bangkai. Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung menganggap bagian-bagian ini suci (thahir), bahkan jika berasal dari bangkai, karena tidak mengalami perubahan kematian dan tidak mengandung darah yang bisa membusuk. Sebaliknya, Mazhab Syafi'i menganggap seluruh bagian dari bangkai (kecuali ikan dan belalang) adalah najis. Perbedaan ini memengaruhi penggunaan produk-produk seperti kuas dari bulu binatang atau aksesoris dari tulang hewan.

Kaidah Istihalah (Transformasi)

Salah satu poin krusial dalam fiqh kontemporer adalah Istihalah, yaitu perubahan total zat najis menjadi zat lain yang berbeda sifatnya. Contoh klasiknya adalah bangkai yang menjadi abu, atau anggur yang menjadi cuka. Jika bahan haram, seperti lemak babi, diolah melalui proses kimiawi hingga menjadi sabun atau bahan industri yang tidak lagi memiliki karakteristik kimia aslinya, apakah ia tetap haram?

Sebagian besar ulama kontemporer dan lembaga Fiqh (misalnya Fiqh Council of North America) menerima Istihalah sebagai cara untuk membersihkan zat, terutama dalam konteks non-makanan. Jika lemak babi berubah menjadi sabun, sabun tersebut dianggap suci. Namun, Mazhab Syafi'i cenderung lebih ketat, menyatakan bahwa najis asalnya tetap menjadi najis, kecuali melalui proses yang sangat terbatas (seperti penyamakan kulit bangkai).

Analisis Kritis Terhadap Penerapan ‘Ghaira Baaghin wa laa ‘Aadin’

Pembatasan ganda pada akhir ayat 173 ini ('tidak mencari-cari' dan 'tidak melampaui batas') sering kali menjadi subjek diskusi paling intensif karena ia berhubungan langsung dengan psikologi dan moralitas pelaku.

Kasus ‘Baaghi’ (Pemberontak/Pencari)

Siapakah yang disebut *Baaghi*? Para mufassir dan fuqaha memberikan beberapa definisi:

  1. **Orang yang Melakukan Perjalanan Maksiat:** Seseorang yang melakukan perjalanan (safar) untuk tujuan maksiat (misalnya, merampok) dan kemudian kehabisan makanan, apakah ia boleh menerapkan dharurah? Sebagian besar ulama (Maliki dan Hanbali) berpendapat bahwa ia kehilangan haknya atas keringanan (rukhsah) karena kesulitan yang ia alami disebabkan oleh dosanya sendiri. Namun, Mazhab Hanafi dan Syafi'i cenderung lebih lunak, menyatakan bahwa kebutuhan untuk mempertahankan hidup adalah hak universal, terlepas dari dosa masa lalu.
  2. **Orang yang Memilih Haram Meskipun Ada Halal:** Seseorang yang memiliki makanan halal, tetapi memilih yang haram karena lebih mudah atau enak. Ini jelas termasuk *baaghi* karena ia menginginkan haram tanpa adanya keterpaksaan.

Batasan pada ‘Aadi’ (Melampaui Batas)

Interpretasi mengenai 'melampaui batas' sangat ketat dalam fiqh. Ini bukan hanya tentang kuantitas, tetapi juga tentang kualitas. Jika seseorang dalam keadaan darurat menemukan bangkai, ia hanya boleh memakan sepotong kecil yang cukup untuk menghilangkan ancaman kematian (sudd al-ramaq). Jika ia memakan seluruh bangkai untuk memuaskan rasa laparnya dan menyimpannya untuk hari berikutnya, ia telah melampaui batas.

Prinsip ini sangat penting karena ia menjaga batas moral antara kebutuhan dan keinginan. Dharurah adalah izin untuk bertahan hidup, bukan lisensi untuk menikmati yang haram.

Aspek Psikologis dan Teologis Ketaatan

Perintah dan larangan dalam Al Baqarah 173 berfungsi sebagai instrumen pendidikan spiritual. Ketaatan terhadap hukum makanan melatih disiplin diri dan kesadaran (ihsan) bahwa Allah Maha Melihat. Ketika seorang Muslim secara sadar membatasi pilihan makanannya di dunia yang menawarkan segalanya, ia sedang mempraktikkan zuhud (menjauh dari keterikatan duniawi) dalam bentuk yang paling praktis.

Hubungan antara Hati dan Makanan

Syariat Islam meyakini adanya korelasi kuat antara kebersihan sumber makanan dan kebersihan hati. Mengonsumsi yang halal dan thayyib (baik) diyakini mempermudah penerimaan doa dan memperkuat nurani. Sebaliknya, konsumsi haram, meskipun hanya sedikit, dapat menggelapkan hati. Larangan sembelihan atas nama selain Allah secara khusus menargetkan kontaminasi spiritual ini, memastikan bahwa energi yang membangun tubuh berasal dari sumber yang suci dan murni tauhid.

Kesinambungan Hukum dalam Peradaban Islam

Hukum yang bersumber dari Al Baqarah 173 telah menjadi penentu aktivitas komersial dan sosial sepanjang sejarah Islam. Dari dapur rumah tangga hingga pasar global, kebutuhan untuk memastikan sumber makanan adalah halal telah memunculkan industri, sertifikasi, dan bahkan cabang ilmu fiqh (seperti fiqh kontemporer yang membahas teknik pengolahan makanan modern).

Ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu kritis terhadap apa yang mereka masukkan ke dalam tubuh mereka, menjauhkan diri dari sikap abai terhadap sumber rezeki. Perintah ini adalah pertahanan pertama umat Muslim terhadap asimilasi budaya yang tidak Islami, menjaga identitas spiritual melalui praktik sehari-hari yang paling mendasar.

Mengatasi Syubhat (Hal yang Meragukan)

Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa antara halal yang jelas dan haram yang jelas terdapat perkara *syubhat* (meragukan). Meskipun Al Baqarah 173 menggariskan haram yang jelas (empat pilar), ketaatan sejati menuntut Muslim untuk menjauhi area syubhat. Misalnya, jika sumber daging tidak jelas penyembelihannya (tidak diketahui Ahli Kitab atau Muslim), seorang Muslim yang taat akan meninggalkannya, demi menjaga agamanya dan kehormatannya. Ini adalah langkah pencegahan (*sadd adz-dzari'ah*) yang didorong oleh semangat ayat ini.

***

Kajian Lanjutan: Dampak Sosial dan Ekonomi Hukum Makanan

Pengaruh Al Baqarah 173 melampaui batasan individu; ia membentuk struktur sosial dan ekonomi komunitas Muslim. Penerapan hukum halal menciptakan sistem pengawasan pangan yang independen dan beretika.

Sistem Ekonomi Halal Global

Hukum yang ditetapkan dalam Al Baqarah 173 adalah dasar dari industri Halal global bernilai triliunan dolar. Kebutuhan untuk memisahkan proses produksi babi dari proses produksi hewan halal, serta memastikan ketiadaan darah mengalir dan bangkai, telah memaksa rantai pasok global untuk beradaptasi. Ayat ini, yang diwahyukan di Jazirah Arab, kini memengaruhi manufaktur, logistik, dan jasa di seluruh dunia.

Tuntutan terhadap kehalalan (thayyib) mendorong praktik peternakan yang lebih etis—menghindari metode yang menghasilkan bangkai (seperti pemukulan atau pencekikan) dan memastikan hewan disembelih dengan cara yang paling manusiawi (ihsan), meminimalkan penderitaan, yang sejalan dengan tujuan etis syariat Islam.

Peran Masyarakat dalam Penegakan Hukum Makanan

Dalam sejarah Islam, penegakan hukum makanan sering kali menjadi tanggung jawab *muhtasib* (pengawas pasar). Ayat 173 memberikan landasan bagi pengawasan ini, memastikan bahwa publik tidak ditipu mengenai sumber makanan mereka, terutama sembelihan atas nama selain Allah, yang dapat merusak akidah masyarakat.

Sintesis Rahmat: Dharurah Sebagai Pintu Keluar

Penting untuk mengulangi bahwa dharurah (keterpaksaan) bukanlah pelemahan hukum, melainkan penegasan fleksibilitas syariat dalam situasi ekstrem. Tanpa pengecualian, hukum akan menjadi tirani yang mustahil dipatuhi di bawah kondisi tertentu. Allah, Yang Maha Mengetahui, memahami batas kemampuan hamba-Nya. Konsep ini adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang praktis dan realistis.

Kapan Dharurah Berakhir?

Kaidah fiqh menyatakan bahwa ‘Idza zaalat ad-dharurah, ‘aada al-mahdhur’ (Ketika keadaan darurat hilang, yang dilarang kembali menjadi dilarang). Ini berarti kewajiban untuk kembali kepada makanan halal adalah segera setelah keadaan aman kembali. Misalnya, jika seseorang tersesat di gurun dan memakan bangkai, segera setelah ia mencapai kota di mana makanan halal tersedia, ia tidak boleh lagi mengonsumsi sisa bangkai tersebut. Keringanan (rukhsah) bersifat sementara dan terikat pada kondisi darurat.

Ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna antara *azimah* (ketetapan hukum yang keras) dan *rukhsah* (keringanan). Ketetapan asalnya adalah haram mutlak, tetapi keringanan diberikan demi keberlangsungan hidup (hifz an-nafs), yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat (Maqasid Syari’ah).

Demikianlah, Al Baqarah ayat 173 berfungsi sebagai landasan hukum yang kokoh, menuntun umat Muslim menuju ketaatan yang berkesadaran, namun tetap berada dalam lingkup kemudahan dan rahmat Ilahi yang tak terbatas. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini merupakan kunci untuk menjalani kehidupan Muslim yang utuh dan selaras dengan ajaran Al-Qur'an.

🏠 Kembali ke Homepage